Insecure
Rating: M
Genre: romance, drama, hurt
Pairing: Yunjae (genderswitch for Jae)
Disclaimer:
Cerita ini hanya fiktif belaka. Saya hanya meminjam nama pemeran. Cerita dan kejadian hanya khayalan saya semata, tidak ada hubungannya dengan kejadian di dunia nyata.
Part 1
Namaku Kim Jaejoong, tiga puluh tahun, status lajang. Bukanlah hal yang aneh wanita seusiaku belum menikah, apalagi aku adalah seorang wanita karir yang sangat mencintai pekerjaanku.
Aku adalah seorang peneliti di sebuah lembaga penelitian. Ya, aku adalah seorang ilmuwan. Sebagian banyak waktuku kuhabiskan di laboratorium. Kadang-kadang aku juga menginap di sana, bahkan sampai berhari-hari.
Aku tinggal bersama keluarga pamanku. Paman adalah adik ayahku. Aku tinggal bersama mereka sejak usiaku tujuh tahun.
Kedua orang tuaku hidup miskin di desa. Mereka sakit-sakitan dan kemudian meninggal dunia. Pamanku yang sukses merantau di kota akhirnya membawaku untuk tinggal bersama keluarganya di Seoul.
Pada awalnya aku merasa takut untuk tinggal bersama keluarga pamanku. Mereka adalah orang kaya dengan gaya hidup metropolitan, sedangkan aku hanyalah anak desa yang kampungan. Namun, kekhawatiranku itu sama sekali tidak terjadi. Bibi Youngmi, istri pamanku, menerimaku dengan sangat baik. Ia justru sangat senang oleh kedatanganku karena mereka hanya memiliki seorang anak laki-laki yang setahun lebih muda dariku, Junsu.
Junsu sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Ia juga menganggapku sebagai kakak perempuannya. Terkadang ia sangat manja kepadaku.
Paman dan bibi memperlakukanku seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka tidak membeda-bedakanku dengan Junsu. Mereka menyekolahkanku sampai aku menjadi seperti sekarang ini.
Hari ini akhirnya aku bisa pulang. Projek besar yang kukerjakan akhirnya selesai. Setelah berhari-hari kurang tidur, malam ini aku akan tidur sepuasnya.
Aku melihat sebuah mobil Audi hitam terparkir di depan rumah. Apakah sepupuku itu membeli mobil baru lagi? Akan tetapi, mobil yang ini tidak semewah mobil-mobil koleksinya yang berjejer di garasi. Ya, sepupuku itu memiliki hobi mengoleksi mobil mewah.
Sekarang masih pukul empat sore. Tidak biasanya sepupuku sudah pulang ke rumah.
"Akhirnya kau pulang, Noona." Saat melewati ruang tamu aku melihat Junsu sedang bersama seorang pria. Apakah pria itu temannya? Aku baru pertama kali melihat orang itu. Junsu sangat dekat denganku. Aku tahu siapa saja temannya. Tidak biasanya Junsu membawa orang asing ke rumah.
"Ya, akhirnya." Aku menghela nafas. Rasanya tubuhku sangat lelah. Setelah mencapai kamarku, aku ingin berendam air hangat.
"Perkenalkan ia adalah Jung Yunho, calon investor hotel kita." Junsu memperkenalkan tamunya kepadaku. Oh, jadi pria ini adalah calon investor untuk hotelnya.
Dengan malas aku menjabat tangan pria itu. Sungguh aku merasa lelah. Aku malas untuk berbasa-basi dengan orang lain, tetapi aku harus menghormati tamu sepupuku, apalagi tamu itu adalah calon investor di hotelnya. "Aku Kim Jaejoong, sepupu Junsu. Senang bertemu denganmu, Tn. Jung." Aku menyunggingkan senyumanku.
Pria itu tersenyum sambil menatapku. Senyumannya sangat menawan, sedangkan tatapan matanya sangat tajam. Sejak aku memasuki ruang tamu, ia sudah menatapku seperti itu. Tatapannya membuatku takut, seakan-akan tatapannya itu bisa menembus jiwaku. "Aku juga sangat senang bertemu denganmu, Nn. Kim." Ia kemudian mengedipkan matanya. Hal itu membuatku terhenyak. Seketika aku merinding.
"Aku... aku mohon diri. Silakan lanjutkan pembicaraan kalian!" Aku menjadi salah tingkah dibuatnya. Aku pun segera menghilang dari ruang tamu.
Aku menutup pintu kamarku dengan sedikit membantingnya. Jantungku berdetak kencang. Entahlah, pria itu membuatku ketakutan. Caranya menatapku, juga senyumannya, bagiku itu terlihat seperti sebuah seringaian.
.
.
.
Setelah berendam cukup lama di kamar mandi, aku pun tertidur. Aku terbangun oleh ketukan pada pintu kamarku.
"Jae, makan malam sudah siap!" Terdengar suara bibiku dari luar kamar.
Aku melenguh dan menggeliat. Rasanya tubuhku seperti remuk. Aku masih sangat mengantuk, tetapi aku harus makan malam bersama paman, bibi, dan Junsu. Aku pun bangkit dari atas tempat tidur dan membukakan pintu kamarku untuk bibi. "Aku akan siap di meja makan dalam lima menit."
Bibi merapikan rambutku yang berantakan dengan jarinya. "Kau sudah dewasa. Kau harus lebih memperhatikan penampilanmu."
Aku hanya mengangguk pasrah. Aku masih mengantuk.
"Rapikan penampilanmu sebelum turun ke ruang makan!" Bibi tersenyum sebelum pergi meninggalkan kamarku. Ia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku harus menaatinya untuk merapikan penampilanku.
Sebagai ibu yang memiliki anak perempuan, bibi sangat mencemaskanku. Sampai usiaku yang tiga puluh tahun ini tidak ada satu pun lelaki yang mendekatiku. Ia khawatir aku akan menjadi perawan tua dan tidak menikah seumur hidupku. Beberapa kali ia dan paman mencoba mengenalkanku dengan kenalan mereka, tetapi pada akhirnya mereka semua mundur karena sikapku yang terlampau cuek.
Aku belum tertarik untuk menikah, bahkan untuk menjalin sebuah hubungan. Aku masih ingin menekuni pekerjaanku.
"Apa kau lesbian, Jae?" Aku masih ingat teriakan Hani, pacar sepupuku. Ia berteriak di depanku saat kami berdua sedang mengobrol di sebuah kafe.
Aku dan Hani berteman baik. Ia adalah gadis yang sangat supel dan mudah bergaul, sehingga ia bisa berteman dengan orang yang sangat kaku sepertiku. Ia sedikit tomboy dan juga cuek sepertiku. Akan tetapi, ia lebih memperhatikan penampilannya dan suka bergaul. Ia bekerja di dunia hiburan sebagai model dan beberapa kali tampil di drama televisi sebagai figuran. Ia masih berada di level bawah di dunia hiburan dan terus berusaha untuk menanjak naik. Ia adalah wanita pekerja keras yang pantang menyerah.
Tidak, tentu saja aku bukan lesbian. Aku memiliki ketertarikan kepada lawan jenis. Diam-diam aku menyukai seseorang. Hehehe. Laki-laki tentu saja.
.
.
.
Aku mengenakan pakaian yang rapi dan sopan untuk makan malam. Hal itu kulakukan untuk menghormati paman dan bibiku. Aku terkejut saat menemukan ada empat orang yang sudah berada di meja makan.
Aku melihat pria itu di ruang makan bersama paman, bibi, dan Junsu. Investasinya di hotel milik keluargaku sepertinya sangat penting, sehingga ia sampai diundang dalam makan malam keluarga.
Aku duduk di antara bibi dan pria itu. Aku merasa sangat gugup. Pria itu terus menatapku seperti tadi sore. Aku memaksakan senyumanku kepadanya dan setelah itu berusaha untuk tidak menghiraukannya. Anggap saja ia tidak ada di sana.
Paman, Junsu, dan Tn. Jung itu membicarakan masalah hotel. Terlihat sekali paman dan Junsu berusaha meyakinkan Tn. Jung untuk berinvestasi di hotel mereka.
"Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan." Bibi berbisik kepadaku. "Mereka menganggap kita berdua tidak ada."
Aku tersenyum kepada bibi. "Kita habiskan saja makanannya. Mereka tidak akan menyadari bahwa kita menghabiskan makanannya."
"Kau tidak boleh makan terlalu banyak. Kau harus menjaga berat badanmu." Bibiku itu sangat disiplin dalam menjaga penampilan.
Aku memanyunkan bibirku sebagai tanda kecewa. Aku tidak suka dilarang makan. Jika aku ingin memakan sesuatu, aku akan memakannya, tak peduli jika makanan itu sehat, berlemak, atau berkolesterol tinggi.
Tiba-tiba saja aku seakan-akan mengalami serangan jantung. Pria itu tiba-tiba menoleh ke arahku dan mengedipkan matanya kepadaku. Tak lupa ia juga melayangkan senyuman mautnya.
Seketika detak jantungku berhenti. Pria itu menakutkan. Mengapa ia melakukan hal itu kepadaku? Tidak pernah ada yang berani berbuat seperti itu kepadaku sebelumnya.
Aku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku berlari ke kamarku dan bersembunyi darinya. Tubuhku merinding. Aku takut. Ia hanya berjarak kurang dari setengah meter dari tempatku duduk.
"Jae, kau kenapa?" Bibi melihat keanehan pada diriku.
"Aku merasa mual, Bi." Perutku rasanya tiba-tiba bergejolak.
"Kau pasti masuk angin karena tidak tidur selama berhari-hari. Ayo kita pergi ke kamarmu saja!" Bibi membantuku untuk berdiri. Ia kemudian memohon diri kepada paman, Junsu, dan Tn. Jung agar kami bisa pergi ke kamarku.
"Bi, siapa sebenarnya Tn. Jung itu?" tanyaku kepada bibi sesampainya kami di kamarku. "Mengapa ia ikut makan malam bersama kita?"
"Ia adalah orang yang akan menggelontorkan uangnya untuk hotel kita," jawab Bibi. Ia menggosok punggungku dengan minyak angin. "Ia adalah orang yang sangat kaya."
"Apa pekerjaannya?" Aku sempat berpikir bahwa ia adalah seorang mafia yang mendapatkan uang dari hasil kejahatan.
"Ia adalah seorang investor dan pemain saham. Ia sangat pandai memainkan uangnya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi kaya seperti sekarang." Bibi bercerita.
"Oh." Aku mengangguk. "Ternyata bibi mengetahui banyak hal tentangnya."
Bibi menghela nafas. "Hampir setiap malam pamanmu bercerita mengenai pria itu. Aku sampai bosan."
Aku terkekeh. Bibiku itu sama sekali tidak tertarik dengan dunia bisnis.
"Mengapa kau bertanya? Apa kau menyukainya?" Entah dari mana bibiku bisa berpikir seperti itu.
"Tidak, aku hanya penasaran. Tidak biasanya kita mengundang orang asing untuk bergabung dalam makan malam keluarga," balasku. Aku tidak ingin bibi menjadi salah paham.
"Oh." Bibi terdengar kecewa. "Kukira kau tertarik kepadanya. Sayang sekali, padahal ia sangat tampan dan juga kaya. Kau akan menjadi wanita yang paling beruntung jika kau berhasil mendapatkannya."
Aku hanya bisa terkekeh menanggapinya. "Pria setampan dan sekaya dirinya pasti sudah mempunyai pendamping."
Bibi menggeleng. "Tidak, ia belum menikah."
"Walaupun ia belum menikah, ia pasti sudah mempunyai kekasih," terkaku. "Pria seperti dirinya bisa mendapatkan wanita mana pun yang ia inginkan."
"Hmm, benar juga." Bibi mengangguk. "Sayang sekali." Ia tampak berpikir. "Selama ia belum menikah, kau masih mempunyai kesempatan. Ia bisa memutuskan kekasihnya jika ia mau."
"Bibi, aku sama sekali tidak tertarik kepadanya." Aku memberikan pengertian kepada bibiku.
"Lalu pria seperti apa yang bisa menarik perhatianmu?" Bibi mulai kesal. "Selama ini kami berusaha mencarikanmu seorang pria, tetapi tidak ada satu pun di antara mereka yang membuatmu tertarik."
Aku tersenyum dan membelai punggung tangan bibi. "Paman dan bibi tidak perlu repot-repot mencarikan jodoh untukku. Jika saatnya sudah tiba, aku pasti akan menikah juga."
"Kapan?" Bibi tampak tidak sabar. "Aku sangat khawatir karena anak perempuanku belum menikah."
"Aku belum terlalu tua. Aku masih tiga puluh tahun, masih banyak waktu," ujarku.
"Sudahlah, aku lelah membicarakan hal ini denganmu." Bibi berdiri. "Terserah dirimu saja."
Sebenarnya aku tidak ingin membuat bibi marah dan kecewa. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa memenuhi harapannya.
.
.
.
"Sunbae, kau membawa makanan apa hari ini?" Asistenku terlihat sangat antusias melihat tas kecil yang kujinjing. Tas itu berisi kotak bekal makan siangku.
"Kau tidak boleh melihat isinya sebelum waktu makan siang," tegasku. Aku harus bersikap tegas kepada asistenku itu jika menyangkut hal makanan.
Asistenku di laboratorium, Shim Changmin, memang sangat suka makan. Ia sangat cocok untuk mencicipi makanan hasil eksperimenku. Beberapa bulan lalu aku memutuskan untuk belajar memasak. Walaupun aku adalah seorang wanita karir, setidaknya aku harus bisa memasak untuk diriku dan keluargaku.
Changmin adalah seorang mahasiswa S2. Ia bekerja di laboratorium sebagai asistenku. Ia adalah orang yang jenius. Ia menolak tawaran beasiswa di luar negeri dan memilih untuk melanjutkan pendidikannya di dalam negeri. Alasannya menolak beasiswa di luar negeri sangat konyol menurutku, yaitu ia tidak akan menemukan makanan-makanan Korea yang ia sukai.
Changmin adalah orang yang selalu berpikir sederhana. Ia menjalani hidupnya dengan santai dan lurus-lurus saja. Ia tidak suka ambil pusing dengan urusan-urusan yang menurutnya tidak perlu dipusingkan. Seakan-akan ia tidak memiliki beban dalam hidupnya.
Orang yang paling sering berinteraksi denganku adalah Changmin. Kami hampir selalu menghabiskan waktu bersama di laboratorium. Menurutku ia juga lucu, sehingga aku tidak pernah merasa bosan bersamanya, walaupun seringkali ia berkata-kata pedas, kata-kata pedas yang jujur, yang bisa menohok perasaan.
Aku terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Changmin, sehingga perlahan-lahan tumbuhlah rasa sukaku kepadanya. Ini adalah tahun kedua ia bekerja di laboratorium bersamaku. Ia mulai bekerja di laboratorium sejak ia masih mengerjakan skripsinya. Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menyukainya.
Changmin adalah satu-satunya lelaki yang bisa membuatku tertarik. Menurutku ia sangat keren. Di usianya yang masih muda ia sudah mempunyai banyak hasil penelitian. Ya, ia masih muda. Usianya masih 22 tahun, delapan tahun lebih muda dariku. Inilah yang membuatku hanya bisa menyembunyikan perasaanku kepadanya. Usia kami terlampau jauh dengan usiakulah yang lebih tua, apalagi ia sama sekali tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia juga menyukaiku. Selain menghormatiku sebagai seniornya, ia juga menganggapku sebagai kakak perempuannya. Ia pernah mengatakan hal tersebut kepadaku. Menyedihkan sekali, bukan? Ia hanya menganggapku sebagai kakak perempuannya.
.
.
.
Hari ini aku pulang malam lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku menunggu bis di halte. Dingin sekali malam ini. Dinginnya udara malam masih bisa kurasakan, walaupun aku sudah mengenakan jaket.
Sebuah mobil Audi hitam berhenti tepat di hadapanku. "Jae, kau masih menunggu bis?"
Aku tidak menyangka bahwa aku bertemu dengan Tn. Jung di halte. Aku juga tidak menyangka bahwa ia bisa mengenaliku. Kami baru sekali bertemu.
Aku hanya mengangguk. Udara dingin membuatku tidak bisa berkata-kata.
Tn. Jung membukakan pintu mobilnya untukku, tanpa turun dari dalam mobilnya. "Masuklah!"
Aku masih merasa takut kepadanya. Aku tidak ingin masuk ke dalam mobilnya dan duduk di sebelahnya. Namun, aku tidak memiliki alasan yang bisa kusampaikan untuk menolaknya.
"Mengapa kau diam saja? Ayo masuklah!" Ia menyuruhku masuk.
Aku bingung. Aku pun akhirnya memutuskan untuk menerima ajakannya.
"Apa kau sangat sibuk di laboratorium, sehingga kau pulang selarut ini?" Dari mana ia mengetahui pekerjaanku? Junsu keterlaluan sekali menceritakan diriku kepada Tn. Jung.
"Ya," jawabku singkat. Aku berbicara tanpa melihat wajahnya. Aku takut melihat matanya.
"Mengapa kau tidak pulang naik taksi atau meminta Junsu untuk menjemputmu?" tanyanya. "Sangat berbahaya bagi seorang wanita berada di luar sendirian pada malam hari."
"Aku sudah terbiasa," ujarku dingin, sedingin udara malam ini. Aku tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan kepadanya. Aku hanya merasa tidak nyaman berbicara dengannya. Ia membuatku takut.
"Apakah kau kedinginan?" Berhentilah bertanya dan mengajakku berbicara! Suaramu yang berat itu membuatku takut.
Secara refleks aku mengangguk. Bodohnya! Seharusnya aku menggeleng dan mengatakan tidak.
Tidak terduga ia menyampirkan syal ke leherku. Ia membelitkan syal yang terbuat dari benang wol itu di leherku.
Aku menoleh ke arahnya. Aku menatap wajahnya, tampan sekali. Jantungku berdetak sangat kencang.
Ia balas menatapku. Oh, tidak! Menatapnya merupakan tindakan yang salah. Seharusnya aku tidak melakukan hal itu.
Ia tersenyum. Matanya yang sipit menatapku dengan tajam. "Lain kali pakailah jaket yang lebih tebal! Sekarang sudah memasuki musim gugur. Angin bertiup sangat kencang."
Aku tahu itu. Kau tidak perlu memberitahuku. Apa kau pikir aku adalah anak kecil? Huft!
Hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke rumah. Akan tetapi, rasanya bagaikan berjam-jam saat bersamanya. Sesampainya di depan pagar rumah, aku langsung melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobilnya. "Terima kasih karena kau sudah mengantarkanku pulang, Tn. Jung. Selamat malam!"
"Panggil saja aku 'Yunho'!" Ia bersandar pada jok mobilnya dengan santai sambil menatapku dengan intens.
"Eh?" Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. "Selamat malam, ...Yunho!"
"Sampai jumpa, Jae! Bermimpilah yang indah malam ini!" Ia mengedipkan matanya sebelum ia menjalankan mobilnya dan berlalu dari hadapanku.
Aku berlalu ke dalam rumah. Aku benar-benar takut. Aku ingin segera bersembunyi di balik selimutku.
"Ehem, siapa yang mengantarmu?" Aku tidak menyangka bahwa paman, bibi, dan Junsu berkumpul di ruang tamu malam-malam begini.
"Mengapa kalian belum tidur?" Deru nafasku tidak beraturan dan detak jantungku sangat kencang.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Jae?" Paman berjalan menghampiriku.
"Eung..." Entah mengapa aku sulit untuk menjawab pertanyaan pamanku itu. "Err... itu. Itu tadi yang mengantarku adalah Tn. Jung. Ia kebetulan lewat saat aku sedang menunggu bis di halte."
"Setelah itu kalian pergi ke mana saja?" Sekarang giliran Junsu yang menginterogasiku.
"Tidak pergi ke mana-mana. Ia langsung mengantarku pulang," jawabku jujur.
Junsu menghela nafas. "Mungkin lain kali." Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.
"Sudah ya, aku lelah dan mengantuk. Silakan kalian lanjutkan kembali obrolan kalian!" Aku melarikan diri ke kamarku.
Tidak kusangka bibi menyusulku ke kamar. "Jae, ceritakan kepadaku apa yang terjadi!"
Aku mengerutkan keningku. "Apa maksud bibi? Aku tidak mengerti."
"Apa saja yang kau lakukan dengan Tn. Jung?" Bibi masuk ke kamarku dengan antusias.
"Tidak ada," jawabku. Aku lupa mengembalikan syal Tn. Jung.
"Kau membeli syal baru?" Bibi melihat-lihat syal yang baru kulepaskan dari leherku.
"Tidak, itu milik Tn. Jung." Oops! Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu. Bibi akan terus bertanya.
"Aw, manis sekali!" komentar bibiku.
"Aku lupa mengembalikannya. Aku akan meminta Junsu untuk mengembalikan syal itu kepadanya." Aku juga melepaskan jaketku.
"Sepertinya ia menyukaimu, Jae," ujar bibi tiba-tiba.
Aku mencibir. "Itu tidak mungkin. Mana mungkin pria sepertinya menyukai wanita sepertiku."
"Memangnya kenapa? Kau cantik, Jae. Kulitmu putih. Kau memiliki mata bulat yang indah dan bentuk bibir yang penuh. Kita hanya tinggal mendandanimu dan kau akan terlihat sangat cantik bagaikan bidadari." Bibi mulai mengacak-acak lemariku.
"Aku tidak ingin repot-repot berdandan hanya untuk menarik perhatian laki-laki," kataku. "Jika seorang pria benar-benar menyukaiku, ia akan menyukai penampilanku apa adanya."
"Ini adalah Korea Selatan, Sayang. Para pria menilai wanita dari penampilan fisiknya. Sifat dan kepribadian urusan belakangan." Bibi menceramahiku. "Di mana kau akan menemukan pria seperti yang kausebutkan tadi?"
"Pria seperti itu pasti ada. Aku akan tetap menunggunya," kataku dengan angkuh.
"Sampai kapan kau akan menunggu? Kau akan menjadi tua dan akhirnya mati dalam kesepian sebelum kau menemukan pria itu." Ucapan bibi memang relevan dengan keadaan masyarakat kami.
"Aku tidak pernah merasakan kesepian, sekali pun aku berada sendirian di laboratorium." Aku membela diri.
Bibi hanya menggeleng-geleng kepalanya. "Suatu saat kau akan kesepian, Jae. Setiap wanita pasti ingin merasa dicintai. Percayalah kepadaku! Suatu saat kau akan merasakan perasaan seperti itu."
Aku tahu. Aku juga wanita seperti bibi. Namun, aku hanya bisa menghibur diriku dan berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. Aku bisa menjalani hidupku ini dengan bahagia.
Sebelum keluar dari kamarku, bibi memberikan sepucuk surat kepadaku. "Ia benar-benar menyukaimu, Jae."
Aku menatap amplop kecil berwarna merah muda di tanganku. Apa ini? Aku pun membaca sepucuk surat yang berada di dalamnya.
Dear Jaejoong,
Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman dengan meminta nomor teleponmu kepada Junsu tanpa seizinmu. Oleh karena itu, aku hanya bisa menitipkan surat ini untukmu.
Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Jika kau berkenan, maukah kau memberikan nomor teleponmu kepadaku?
Yunho
+82 xxx
Isi surat ini membuatku melayang. Namun, aku merasa bahwa ini hanyalah lelucon. Tidak mungkin Tn. Jung itu tertarik kepadaku. Memangnya apa yang kumiliki, sehingga membuatnya tertarik kepadaku?
.
.
.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan isi surat Tn. Jung. Sebagai seorang wanita yang tidak pernah didekati oleh seorang pria, jujur saja aku merasa senang ada seorang pria yang menulis surat seperti itu kepadaku. Akan tetapi, aku tidak boleh terlalu senang terlebih dahulu. Jangan-jangan ia hanya ingin mempermainkanku. Aaargh! Aku bingung. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menghubunginya? Aku tidak ingin menjadi seekor ikan kecil yang masuk ke dalam perangkapnya.
.
.
.
Aku terlambat bangun. Semua ini gara-gara Tn. Jung itu. Junsu dan paman sudah berangkat kerja sejam yang lalu. Aku sarapan sendirian di meja makan.
Aku tidak menghabiskan rotiku. Aku memasukkan sisanya ke dalam tas agar nanti aku bisa memakannya di dalam bis. Aku juga memindahkan susu dari dalam gelas ke dalam botol. Aku tidak sempat untuk meminumnya. Aku pun kemudian berpamitan kepada bibi dan keluar dari rumah.
Aku harus berjalan sekitar seratus meter untuk sampai ke halte. Aku berjalan sangat cepat. Sesampainya di persimpangan jalan, sebuah Audi hitam menghadangku.
"Masuklah! Aku akan mengantarmu ke tempat kerjamu." Kehadirannya membuatku terkejut. Tanpa banyak berpikir aku langsung masuk ke dalam mobilnya. Aku sudah sangat terlambat.
"Apakah kau sudah menerima suratku?" Ia langsung bertanya.
Aku merasa sangat lapar. Aku mengeluarkan sisa roti di dalam tasku dan memakannya. "Ya, aku sudah membacanya."
"Jadi, bagaimana?" tanyanya lagi.
"Apa?" Mulutku penuh dengan roti.
"Jawabanmu. Apakah kau tidak keberatan untuk memberikan nomor ponselmu kepadaku?" Sepertinya ia tidak suka berbasa-basi dan langsung berbicara pada intinya.
Ucapannya membuatku tersedak. Aku mengeluarkan botol berisi susu dari dalam tasku. Dengan tergesa-gesa aku meminum susu dari dalam botol. Karena aku minum dengan tergesa-gesa, sebagian susu tumpah ke dadaku, membasahi pakaianku.
Dengan sigap ia mengambil tisu dan mencoba untuk mengeringkan bajuku yang basah. Ia menyentuh dadaku! Tanpa rasa bersalah ia terus mengusapkan tisu pada bajuku yang basah.
"Aaargh!" Aku menyingkirkan tangannya dari dadaku dan menatapnya dengan penuh kemarahan.
Ia terkejut oleh teriakanku. Hampir saja mobil yang ia kemudikan menabrak tiang listrik di pinggir jalan. "Mengapa kau berteriak? Kau membuatku terkejut."
Aku benar-benar merasa malu dan marah. Ia telah melecehkanku, tetapi ia sama sekali tidak merasa bersalah. Rasanya aku ingin menangis. "Kau menyentuh ...ku."
"Apa?" Ia masih saja tidak mengerti.
"Kau sudah bersikap tidak sopan kepadaku. Aku bisa melaporkanmu ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual." Aku harus berani menghadapi dirinya. Aku tidak boleh membiarkan ia terus merendahkanku
"Memangnya apa yang telah kulakukan?" Ia seperti orang bodoh yang tak mengerti apa-apa.
"Kau telah menyentuh dadaku dengan tanganmu!" teriakku. Aku benar-benar marah.
Ia terdiam sejenak. Sepertinya ia memang tidak menyadari apa yang telah diperbuatnya. "Maaf, aku tidak bermaksud untuk melecehkanmu! Aku tidak sadar telah melakukannya. Kumohon maafkanlah aku! Aku sama sekali tidak berniat buruk kepadamu."
Aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa ia, seorang pria, tidak menyadari bahwa ia telah menyentuh payudaraku? Apakah ia tidak merasakan sesuatu? Dadaku sama sekali tidak rata. Jangan-jangan ia terlalu sering menyentuh tubuh wanita, sehingga hal itu bukanlah hal yang aneh baginya. Ia benar-benar berbahaya. Aku tidak ingin berlama-lama berduaan bersamanya. "Tolong hentikan mobilmu sekarang! Turunkan aku di sini!"
Ia langsung menghentikan mobilnya. "Jae, kumohon jangan marah! Aku benar-benar minta maaf."
Aku benar-benar takut. Namun, aku terkejut oleh wajah memelasnya. Aku tidak menyangka bahwa ia bisa menunjukkan wajah memelas seperti itu.
Aku mengatur nafasku. Aku perlu menenangkan diri.
Ia kembali menjalankan mobilnya. Ia tidak berbicara apa-apa lagi.
.
.
.
Rasanya aku ingin menangis. Selama ini aku selalu menjaga kehormatanku. Aku tidak tersentuh, tetapi hari ini ia telah menyentuh dadaku. Mood-ku benar-benar buruk hari ini.
"Sunbae, apa yang terjadi kepadamu? Kau tampak sangat tidak bersemangat hari ini. Kau juga datang terlambat." Apakah semua pria tidak bisa mengerti wanita? Seharusnya Changmin menghiburku, bukannya mengingatkanku bahwa aku datang terlambat.
Aku merasa kesal. Changmin menjadi sasaran kemarahanku hari ini. Hariku benar-benar buruk.
.
.
.
Aku pulang cepat hari ini. Sebenarnya tidak ada aturan bahwa aku harus datang setiap hari ke laboratorium atau berapa jam perhari aku harus bekerja di sana. Yang terpenting penelitianku harus mendapatkan hasil pada waktunya.
"Kau pulang cepat hari ini." Bibi sedang menikmati teh sore di beranda. "Apakah kau baik-baik saja?"
Tidak biasanya aku pulang lebih awal. Sangat wajar bahwa bibi mengira bahwa aku sedang tidak baik.
"Aku merasa kurang sehat," jawabku.
"Kalau begitu, pergilah ke kamarmu dan beristirahat!" Bibi tersenyum penuh arti. Aku tidak bisa mengartikan senyumannya itu.
Aku terkejut saat membuka pintu kamarku. Ada banyak sekali karangan bunga di kamarku dan kado di atas tempat tidurku. Aku tidak pernah mendapatkan hadiah sebanyak ini seumur hidupku. Ini benar-benar mencurigakan.
Benar saja dugaanku. Semua ini pemberian Tn. Jung. Ia ingin meminta maaf atas kejadian tadi pagi. Aku membaca surat darinya yang tergeletak di atas tempat tidurku.
Dear Jaejoong yang lebih cantik daripada bidadari,
Kumohon maafkanlah perbuatanku kepadamu tadi pagi. Aku mengaku salah. Tidak seharusnya aku berbuat seperti itu kepadamu.
Kau boleh marah kepadaku. Aku akan menerimanya karena aku memang pantas mendapatkannya.
Malam ini aku akan datang ke rumahmu. Jika kau mau memaafkanku, pakailah hadiah-hadiah yang kuberikan untukmu!
Yunho
Lagi-lagi surat darinya membuatku melayang. Ia pandai sekali merayu wanita. Wanita mana pun pasti akan luluh oleh rayuannya. Ia mengaku salah. Ia sangat tahu caranya menaklukkan hati wanita. Wanita akan semakin marah jika pria tidak mau mengaku salah.
Aduh, bagaimana ini? Ia akan datang malam ini. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus memaafkannya? Jujur saja, kemarahanku menghilang saat melihat kamarku yang dipenuhi oleh bunga dan hadiah pemberiannya. Aku bukanlah wanita yang materialistis, tetapi aku pasti luluh jika ada lelaki yang memperlakukanku seperti ini. Maklum saja aku tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria sebelumnya.
Aku adalah wanita yang tidak mudah untuk jatuh cinta dan tidak mudah untuk dirayu. Aku bahkan seringkali sengaja membuat lelaki tidak tertarik kepadaku. Akan tetapi, kali ini aku tidak bisa berkutik. Aku tidak tahan diperlakukan istimewa seperti ini. Aku hanyalah wanita biasa yang rapuh.
Tidak pernah ada lelaki yang menyebutku cantik selain paman dan Junsu. Kali ini Tn. Jung melakukannya. Ia menyebutku cantik. Aku tidak tahu apakah ia jujur atau tidak, tetapi yang pasti aku merasa senang.
Aku membuka satu-persatu hadiah darinya. Ia memberiku sebuah gaun berwarna merah muda. Ukurannya sangat pas dengan tubuhku. Apakah ia menanyakan ukuran pakaianku kepada Junsu? Atau mungkin dengan sekali melihat ia sudah bisa menebak ukuran pakaianku?
Aku membuka kotak berikutnya. Bola mataku hampir melompat keluar saat melihat sebuah kalung berlian. Apa tidak salah? Ia memberikan kalung berlian kepada orang yang baru ia temui beberapa hari yang lalu. Apakah ia berpikir bahwa diriku bisa dibeli dengan uang?
Seketika aku marah. Ia merendahkanku lagi. Bukan hanya kalung berlian, ia juga memberikan sepasang anting dan gelang berlian kepadaku. Selain itu, masih ada yang lain.
Harga diriku terluka. Apakah ia berpikir bahwa semua wanita bisa dibeli dengan uang? Apakah semua wanita materialisitis? Aku memutuskan bahwa aku tidak akan memakai satu pun barang pemberiannya.
.
.
.
Dengan angkuhnya aku datang ke ruang makan dengan penampilan yang berantakan. Aku ingin tahu apakah ia masih akan menyebutku cantik atau tidak.
Bibi terkejut melihat penampilanku. Ia segera menghampiriku dan berbisik. "Apa yang kau lakukan? Sisir rambutmu yang rapi dan pakailah pakaian yang lebih pantas! Kita sedang kedatangan tamu."
"Memangnya apa yang salah dengan penampilanku? Aku mengenakan pakaian yang sopan, tidak mengekspos tubuhku," ujarku.
"Akan tetapi, pakaian santai seperti itu tidak pantas untuk dikenakan di hadapan tamu." Bibi menatapku dengan tajam.
"Ini adalah makan malam keluarga," kataku. Dari perkataanku itu tersirat makna bahwa orang asing tidak berhak untuk bergabung.
Bibi tidak pernah menang melawan kekeraskepalaanku. Ia pun kembali duduk di samping paman. Aku bisa melihat raut kesal di wajahnya. Maafkan aku, Bibi! Aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah. Aku harus melakukan ini untuk menunjukkan kepada Tn. Jung bahwa ia tidak bisa menginjak-injak harga diriku.
Dengan penuh percaya diri aku mengambil tempat duduk tepat di hadapan Tn. Jung. Ia terlihat sangat tenang dengan 'seringaian' khasnya. Ia sama sekali tidak terkejut atau pun terlihat kecewa melihat penampilanku. Apakah ia sudah memperkirakannya? Apakah ia tidak sungguh-sungguh untuk mendapatkan maaf dariku?
Aku kalah. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh penampilanku. Kukira ia akan bersedih atau kecewa, ternyata tidak. Ia terihat jauh lebih percaya diri daripada diriku.
.
.
.
Makan malam telah usai. Tn. Jung mengobrol dengan paman dan Junsu di ruang tamu.
Bibi tampak marah kepadaku. Ia tak mau berbicara kepadaku. Sungguh aku merasa sangat bersalah. Aku menyadari bahwa sikapku tadi terlalu berlebihan. Seharusnya aku tetap berpenampilan rapi, walaupun aku tidak mengenakan barang-barang yang diberikan oleh Tn. Jung. Tujuanku untuk membuat pria itu kecewa tidak tercapai, justru bibi yang marah kepadaku.
"Jae, ayah memanggilmu ke ruang tamu." Junsu menghampiriku. Kadang-kadang ia langsung memanggil namaku tanpa embel-embel 'noona'.
"Ada apa paman memanggilku ke ruang tamu?" tanyaku penasaran. "Bukankah kalian sedang berbincang-bincang dengan Tn. Jung? Apakah ia sudah pulang?"
"Sebaiknya kau temui saja ayah di ruang tamu." Junsu tidak mau menjawab pertanyaanku.
Paman adalah pengganti ayahku. Aku harus patuh memenuhi panggilannya. Junsu mengikutiku di belakang.
"Paman, ada apa kau memanggilku?" Pandanganku bertemu dengan Tn. Jung saat aku memasuki ruang tamu. Aku harus mengendalikan diriku. Aku tidak boleh terlihat salah tingkah di hadapannya.
"Duduklah, Jae!" ujar paman.
Aku mengambil tempat duduk yang cukup jauh dari Tn. Jung. "Ya, Paman. Apa yang ingin paman bicarakan denganku?"
"Begini, Jae." Paman menyesap kopinya sebelum melanjutkan perkataannya. "Yunho meminta izin kepadaku untuk mengajakmu pergi ke luar besok malam."
Aku terkejut mendengar pernyataan pamanku. Aku melirik ke arah Tn. Jung. Ia mengedipkan matanya kepadaku. Hal itu membuat jantungku berdebar.
"Tentu saja aku tidak bisa memutuskannya. Itu semua terserah kepadamu. Jika kau tidak keberatan untuk pergi bersamanya, aku akan memberikan izin kepada kalian. Akan tetapi, jika kau tidak mau, aku tidak akan mengizinkannya," ujar paman dengan tenang.
Aku bingung. Pria ini benar-benar pantang menyerah. Sebenarnya apa yang menjadi tujuannya? Aku tidak ingin dipermainkan.
"Terserah paman saja," jawabku. Aku benar-benar bingung. Kuharap paman bisa berpikir dengan bijaksana dengan tidak membiarkan anak gadisnya pergi ke luar bersama orang asing.
"Mengapa terserah kepadaku? Yang diajak pergi ke luar adalah kau, bukan aku," kata paman. "Jika aku yang diajak, tentu saja aku akan menolaknya karena aku akan lebih memilih menghabiskan Sabtu malam berdua dengan istriku."
"Jaejoong malu-malu untuk mengatakan 'ya', Ayah," celetuk Junsu.
Aku langsung menatap Junsu dengan tajam. Mengapa ia berkata demikian? Ia membuatku malu. Lebih parahnya lagi, Tn. Jung itu mengira aku mau pergi dengannya.
Menyebalkan! Junsu menyeringai kepadaku. Awas saja kau, Junchan! Aku akan mengadukanmu kepada kekasihmu.
"Ah, aku mengerti." Paman menarik kesimpulan sendiri berdasarkan perkataan Junsu. Gara-gara Junsu semua menjadi salah paham. "Kalau begitu, tentu saja aku mengizinkannya. Kau boleh pergi bersama Yunho besok malam." Ia kemudian beralih kepada Tn. Jung. "Lain kali jika kau ingin mengajak Jaejoong keluar, kau tidak perlu meminta izin kepadaku. Aku percaya kepadamu."
"Aku merasa lebih tenang jika aku mendapatkan izin darimu, Tn. Kim. Aku ingin meminta Jaejoong secara baik-baik kepada keluarganya. Aku merasa tersanjung karena kau mempercayakan putri kesayanganmu kepadaku. Oleh karena itu, aku harus menjaga Jaejoong dengan baik sebagai amanat darimu." Tn. Jung itu berkata seakan-akan paman menyerahkan diriku kepadanya untuk dinikahi. Ia benar-benar mencari muka di hadapan keluargaku.
"Sekarang sudah larut. Aku tidak ingin lebih lama lagi mengganggu waktu istirahat kalian. Selamat malam! Sampai jumpa besok malam, Jae!"
.
.
.
Aku libur pada hari Sabtu. Aku menunggu Hani di kafe langganan kami. Ia sudah terlambat dua puluh menit dari waktu yang dijanjikan. Aku bisa memakluminya. Ia sangat sibuk dengan pekerjaan di dunia hiburan.
"Jae, maaf aku datang terlambat!" Dengan tergesa-gesa Hani memasuki kafe dan duduk di hadapanku. "Selesai kasting aku langsung datang kemari."
Aku bersandar pada tempat dudukku dengan santainya. "Minumlah terlebih dahulu! Aku sudah memesankan jus sayuran untukmu."
"Terima kasih, Jae!" Hani langsung menyeruput habis jus sayurannya. "Baiklah, Jae. Ada apa kau ingin bertemu denganku?"
"Junsu pasti sudah menceritakannya kepadamu," kataku.
"Mengenai kencanmu malam ini? Tentu saja ia sudah memberitahuku." Hani mengambil wafel dari piringku dan memakannya. Ia terlihat kelaparan.
"Itu bukanlah kencan. Ia hanya mengajakku pergi ke luar," sanggahku.
"Jika bukan kencan, memangnya apa?" Hani yang cantik dan menawan tidak peduli dengan imejnya. Ia makan dengan brutal. "Jelas-jelas ia mengajakmu berkencan, apalagi ia sampai meminta izin kepada pamanmu."
"Ini semua gara-gara kekasihmu. Aku terpaksa harus menerima ajakan pria itu." Aku menggerutu.
"Hey, kau jangan sembarangan mengkambinghitamkan Junsuku! Kau juga sebenarnya menyukai pria itu, bukan?" Hani akan siap membela kekasihnya kapan pun. Beruntungnya sepupuku itu.
"Aku membencinya," jawabku dengan tegas.
"Batas antara benci dan cinta sangat tipis." Hani mengolok-olokku.
"Aku tidak menyukainya. Aku tidak suka caranya menatap dan tersenyum kepadaku. Aku juga tidak suka sikapnya yang mencari perhatian keluargaku. Ia sok baik di hadapan keluargaku." Aku menunjukkan ketidaksukaanku kepadaku Tn. Jung.
"Semua pria seharusnya bersikap seperti itu," komentar Hani.
"Apa maksudmu?" Mengapa semua orang membelanya? Ia tidaklah sebaik yang mereka pikirkan.
"Beruntungnya dirimu karena pria itu meminta izin kepada keluargamu untuk mengajakmu keluar." Hani menjelaskan kepadaku. "Itu artinya ia menghormatimu sebagai wanita."
"Menghormati apanya?" cibirku. Aku masih ingat bagaimana dengan tak sopannya ia menyentuh dadaku.
"Wajahmu memerah." Kata-kata Hani membuatku terlonjak. "Akui saja bahwa kau memiliki ketertarikan kepadanya."
"Kau sama saja dengan lain. Tidak ada yang berpihak kepadaku, termasuk keluargaku." Aku cemberut.
"Kau terlalu arogan, Jae. Sikapmu yang seperti itu justru akan menjadi blunder untukmu." Hani menasihatiku. "Kau berniat untuk membuatnya tidak menyukaimu dengan penampilanmu yang berantakan. Langkah yang salah, Kawan. Ia justru merasa semakin yakin bahwa kau memang tertarik kepadanya karena kau berusaha membuatnya marah. Itu sama saja artinya dengan kau ingin menarik perhatiannya."
Aku terdiam. Ucapan Hani ada benarnya juga. Apa yang telah kulakukan? Aku telah mempersulit diriku sendiri. "Jadi, apa yang harus kulakukan nanti malam?"
"Bersikaplah sewajarnya! Kau tidak perlu berusaha membuatnya kesal atau semacamnya. Jadilah dirimu sendiri! Bukankah kau mengharapkan pria yang menyukai dirimu apa adanya? Biarkan ia melihat dirimu yang sebenarnya! Biarkan ia menilai sendiri dan memutuskan apakah ia akan tetap menyukaimu dengan dirimu yang apa adanya atau tidak. Jangan mempermalukan dirimu dengan berpura-pura!" Hani tampak sangat berpengalaman dalam urusan percintaan. Sepertinya ia benar-benar mengerti pria.
.
.
.
Masih ada waktu dua jam sebelum Tn. Jung datang untuk menjemputku. Aku masih belum memutuskan pakaian mana yang akan kukenakan untuk 'berkencan' dengannya. Yang pasti aku tidak akan mengenakan gaun dan perhiasan pemberiannya. Semua itu tidak sesuai dengan kepribadianku.
.
.
.
Akhirnya aku memutuskan untuk berpenampilan seperti biasa, blus, celana panjang, sepatu sandal, dan jaket. Aku mengikat rambut panjangku dengan rapi dan tentu saja aku mengenakan kacamataku. Aku tidak suka menggunakan lensa kontak karena itu dapat membuat mataku iritasi.
Tn. Jung tidak berkomentar apa-apa mengenai penampilanku. Ia juga pasti berpikir bahwa aku tidak akan mungkin percaya jika ia mengatakan bahwa aku cantik. Sepertinya ia sudah belajar dari kesalahan sebelumnya.
Sama sepertiku, ia juga mengenakan pakaian kasual, kaus polo berwarna hijau dan celana jins. Aku merasa bahwa ia mempelajari kepribadianku. Ia sekarang tahu bahwa aku tidak suka diberi hadiah yang mewah dan menyukai hal yang sederhana.
"Kau mau pergi ke mana?" Ia bertanya sebelum menyalakan mesin mobilnya.
"Kau yang mengajakku pergi ke luar." Aku menjawab pertanyaannya secara implisit.
"Apa tempat favoritmu?" tanyanya lagi.
"Aku menyukai laut dan pantai, tetapi itu jauh dari sini," kataku.
"Lain kali saja kita pergi ke pantai. Ada ide yang lebih baik?" ujarnya lagi. Percaya diri sekali dia. Memangnya lain kali aku mau diajak pergi olehnya?
"Aku suka makan," kataku.
"Apakah kau suka makanan Jepang?" Ia bertanya lagi.
"Ya, aku suka," jawabku. Aku hanya menjawab seperlunya.
"Baiklah, kita akan pergi ke restoran Jepang. Aku tahu restoran Jepang yang sangat bagus." Ia mulai menjalankan mobilnya.
.
.
.
Tibalah kami di sebuah restoran Jepang yang sangat mewah. Nuansanya benar-benar Jepang. Para pramusaji mengenakan pakaian adat Jepang. Di dalam restoran terdapat sebuah taman dan kolam buatan, indah sekali.
"Kau tidak menyukai gaun dan pakaian mewah. Akan tetapi, kau pasti tidak akan menolak untuk makan di tempat yang mewah, bukan?" Ternyata benar dugaanku. Ia mempelajari kepribadianku.
Aku tidak membalas perkataannya. Aku berpura-pura tidak mendengarnya. Ia benar. Aku tidak akan menolak makanan enak.
.
.
.
Ia terus saja menatapku saat aku makan. Ia membuatku salah tingkah.
"Mengapa kau tidak makan? Apa kau tidak menyukai makanannya?" Aku merasa tidak nyaman dipandangi terus olehnya.
"Aku sudah kenyang." Ia masih saja menatapku.
Aku melihat sisa makanan di nampannya masih banyak. "Kau baru makan sedikit."
"Memandangi wajahmu membuatku kenyang dengan sendirinya." Ia tersenyum nakal kepadaku. Dasar gombal!
Aku berpura-pura tidak mendengar gombalannya. "Sayang sekali makananmu tidak dihabiskan. Aku saja yang akan menghabiskan makananmu." Aku mulai mengambil makanan dari nampannya.
Ia tersenyum lebar saat aku mengambil makanannya. Oh, tidak! Jangan lakukan itu! Kau membuatku sangat gugup.
Ia terlihat sangat tampan. Sekarang aku sudah tidak terlalu takut lagi kepadanya. Ia cukup menyenangkan menurutku.
Tanpa sadar aku juga menatapnya. Aku terhenyak saat ia tiba-tiba mengedipkan matanya. Ia menggodaku. Huh, sebal! Perasaanku menjadi tak menentu.
Aku ingin tersenyum, tetapi aku tidak boleh menunjukkan kepadanya bahwa aku merasa senang. Aku pun makan sambil menunduk.
Aku rapuh. Aku tidak siap untuk diperlakukan seperti ini oleh seorang pria. Ia terus saja membuatku terkesan dan perasaanku pun melambung tinggi.
.
.
.
Setelah makan kami berjalan-jalan di taman yang berada di dalam restoran. Tamannya sangat luas. Banyak sekali pohon sakura di sini. Bunganya berguguran jatuh ke tanah.
Ia tidak berbicara. Kami hanya berjalan menyusuri deretan pohon sakura. Aku berjalan menunduk dan kakiku menendang-nendang bunga yang berserakan di tanah.
"Tuan, mengapa kau ingin mengajakku pergi ke luar?" Aku tidak tahan dengan keheningan di antara kami.
"Panggil aku 'Yunho'!" Suaranya yang berat terdengar... seksi.
"Aku merasa tidak sopan jika aku hanya memanggil namamu," kataku. "Kau pasti lebih tua dariku." Aku memperkirakan usianya sekitar 35 tahun.
"Kalau begitu, kau bisa memanggilku 'oppa'." Ia tersenyum lagi.
Aku merasa geli sendiri jika harus memanggilnya 'oppa'. "Aku akan memanggil namamu saja, supaya lebih akrab. Hahaha!" Aku tertawa untuk menyembunyikan kegugupanku.
Ia ikut tertawa. Mengapa kami tertawa? Sama sekali tidak ada yang lucu.
"Jadi, mengapa kau ingin pergi denganku?" Aku kembali pada pertanyaanku.
"Karena aku ingin," jawabnya santai. Jawaban macam apa itu? Ia menengadahkan kepalanya untuk memandang langit malam. Ia kemudian menatapku dengan serius. "Jae, maukah kau menjadi kekasihku?"
"Apa?" Jantungku seakan berhenti berdetak.
Ia menatapku semakin dalam. Oh, tidak! Aku meleleh. Aku tidak sanggup lagi.
"Maukah kau menjadi kekasihku?" Ia mengulangi pertanyaannya. Tatapannya mengintimidasiku.
Aku tiba-tiba tertawa. "Mengapa kau tiba-tiba memintaku untuk menjadi kekasihmu? Kita belum sebulan bertemu."
"Seberapa lama kita saling mengenal tidaklah penting," ujarnya yakin.
"Kau tidak tahu seperti apa diriku yang sesungguhnya," balasku.
"Justru hal itu yang membuatku tertarik kepadamu." Ia 'menyeringai'.
Aku kembali merasa takut. Apa tujuannya? Apakah menaklukkan diriku merupakan suatu tantangan baginya?
"Dengar, Tn. Jung!" Aku harus bersikap tegas kepadanya.
"Yunho!" Saat aku ingin berbicara dengan tegas, ia justru berbicara lebih tegas. Ia mengagetkanku.
"Baiklah, Yunho." Aku mengatur nafasku. "Aku tidak ingin dipermainkan. Sebaiknya kau lupakan saja niatmu jika kau hanya ingin mempermainkanku. Aku tidak cantik. Pria sepertimu bisa mendapatkan wanita secantik apa pun. Mengapa kau repot-repot mempermainkan perasaan wanita sepertiku? Apakah kau sudah bosan dengan wanita cantik, sehingga kau mencari tantangan baru?"
Ia terlihat terluka. Aku melihat hal itu di matanya. Sepertinya kata-kataku terlalu kasar, sehingga membuatnya tersinggung.
"Aku serius denganmu. Jika kau mau, besok malam aku akan datang lagi menemui keluargamu dan menyatakan niatku untuk menikahimu." Ucapannya kali ini sangat dahsyat. Menikah? Ia memintaku untuk menjadi kekasihnya saja sudah aneh, apalagi menikah.
Jantungku berdetak tak karuan. Aku harus mengendalikan diriku. Aku, seorang Kim Jaejoong yang tidak pernah menarik perhatian pria, tiba-tiba ada pria yang ingin menikahiku. Tentu saja perasaanku menjadi tak menentu. Di satu sisi aku merasa senang. Aku merasa berharga, bernilai. Namun, di sisi lain aku merasa takut. Aku tak merasa cukup percaya diri untuk menganggap diriku bernilai di mata seorang pria.
"Jika kau ingin tahu, aku tidak pernah mempermainkan perasaan wanita. Kaulah wanita pertama yang kuajak berkencan." Haruskah aku percaya? Tidak, aku sama sekali tidak memercayainya.
Aku terdiam. Aku bingung. Ia sangat pandai merayu. Tidak mungkin ia tidak pernah menjalin suatu hubungan. "Aku ingin pulang."
Kami tidak berbicara lagi sampai ia mengantarku pulang dengan selamat.
.
.
.
Sesampainya di rumah, bibi langsung memburuku dan menghujani pertanyaan. Ia benar-benar ingin memastikan bahwa kencanku dengan Tn. Jung berjalan dengan lancar. Aku mengatakan bahwa aku lelah dan ingin tidur.
Hani juga berkali-kali meneleponku. Ia sama penasarannya dengan bibiku. Namun, aku sama sekali tidak mengangkat telepon darinya. Aku mematikan ponselku.
Aku menangis semalaman. Hatiku terasa hancur. Ia jahat sekali. Mengapa ia mempermainkan perasaanku? Ia membuat perasaanku melambung tinggi, tetapi ia juga memberiku harapan palsu.
.
.
.
"Sunbae, matamu sembab. Semalam kau menangis ya?" Wajah Changmin berada sangat dekat dengan wajahku. Ia memperhatikan wajahku.
Aku mendorongnya. "Jangan terlalu dekat! Kau tidak sopan." Aku masih menyukai bocah itu. Ya, yang kusukai adalah Changmin, bukan Yunho si pemberi harapan palsu.
Aku tahu bahwa aku sama sekali tidak memiliki harapan dengan Changmin, tetapi setidaknya anak muda itu tidak pernah memberiku harapan palsu. Aku akan baik-baik saja jika suatu saat nanti bocah itu berhubungan dengan gadis lain.
.
.
.
Aku menyibukkan diri di laboratorium. Aku sangat mencintai pekerjaanku. Hanya pekerjaanku yang dapat mengalihkanku dari semua masalah yang kuhadapi.
Aku sampai di rumah pada pukul sembilan malam. Aku sama sekali tidak memperhatikan bahwa ada mobil Audi hitam terparkir di depan rumah. Darahku mendidih saat aku melihat lelaki itu ada di rumahku lagi. Untuk apa ia datang kemari?
Aku langsung pergi ke kamarku tanpa mengacuhkan yang lain. Aku sadar bahwa tindakanku itu sangat tidak sopan. Akan tetapi, aku merasa bahwa aku tidak akan sanggup untuk menghadapi dirinya. Aku ingin melarikan diri dan bersembunyi darinya. Aku memang pengecut. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk menghadapinya. Aku takut diriku kalah dan jatuh ke dalam perangkapnya.
"Jae, bergabunglah bersama kami di bawah!" Kali ini paman yang mengetuk pintu kamarku.
"Aku lelah, Paman. Aku ingin tidur." Lagi-lagi aku bersikap tidak sopan.
"Ada yang harus kita diskusikan," lanjut paman.
"Bisakah kita mendiskusikannya besok pagi saja saat sarapan?" Aku merasa sangat bersalah karena telah bersikap tidak sopan kepada paman.
"Tidak bisa. Kita harus mendiskusikannya selagi Yunho ada di sini." Perasaanku mulai tidak enak. Apakah ia mengadukanku kepada paman? Aku pasti akan dimarahi.
"Aku akan turun dalam lima menit." Aku segera merapikan diri.
"Baiklah, kami akan menunggumu," ujar paman.
.
.
.
Aku berjalan menuju ruang tamu dengan penuh ketakutan. Aku menyiapkan diriku untuk dimarahi oleh paman dan bibi.
Di luar dugaan paman tersenyum kepadaku saat aku memasuki ruang tamu. "Jae, duduklah!"
Aku menoleh ke arah bibi dan Junsu. Mereka juga terlihat berseri-seri. Ada hal yang aneh di sini. Bukankah seharusnya mereka marah kepadaku?
Aku memilih tempat duduk terdekat. Aku merasa seperti seorang terdakwa yang sedang diadili. Aku menunggu salah seorang di antara mereka untuk berbicara. Jantungku berdetak tak menentu.
Paman berdeham. "Aku sudah menganggap Yunho seperti keluargaku sendiri. Selama sebulan terakhir ini hubungannya dengan keluarga kita semakin dekat."
Aku masih belum bisa menangkap maksud perkataan paman. Pandanganku tertuju kepada paman. Ingin rasanya aku menganggap Yunho tidak ada di sana, tetapi pada kenyataannya ia memang sedang berada di ruangan yang sama denganku.
"Malam ini Yunho datang kemari dengan maksud meminta izin untuk mempersunting Jaejoong," lanjut paman.
Tubuhku membeku seketika. Aku menoleh ke arah Yunho. Aku menatapnya dengan tatapan membunuh. Aku menuntut penjelasan darinya.
Ia balas menatapku. Ia memberikan 'seringaian' khasnya. Ia adalah pria yang sangat licik. Ia menggunakan keluargaku untuk menekanku.
"Bagaimana, Jae? Apakah kau mau menerimanya?" tanya paman.
Aku menatap paman, bibi, dan Junsu satu-persatu. Mereka bertiga tampak sangat berharap aku menerima lamaran Yunho. "Aku tidak bisa memutuskannya sekarang, Paman. Aku harus memikirkannya matang-matang."
Paman menghela nafas. "Tentu saja kau membutuhkan waktu untuk berpikir. Keputusanmu akan menentukan jalan hidupmu."
.
.
.
Aku meminta pendapat Hani mengenai masalah Yunho. Ia adalah orang yang paling kupercayai untuk menceritakan masalah ini. Aku juga memberitahunya mengenai perasaanku kepada Changmin.
Hani cukup terkejut saat aku memberitahunya bahwa aku menyukai Changmin. "Ini tidak sesederhana yang kubayangkan sebelumnya. Ada dua orang pria di sini. Kau menyukai pria yang jauh lebih muda darimu. Di sisi lain ada pria yang ingin meminangmu untuk menjadi istrinya."
"Jika kau menjadi diriku, siapa yang akan kau pilih? Yunho atau Changmin?" Aku ingin mengetahui pendapat pribadinya.
"Aku tidak akan memilih keduanya. Aku akan memilih Junsu," jawabnya yakin.
"Kau tidak bisa memilih Junsu jika kau menjadi diriku. Junsu adalah sepupuku." Aku merasa iri kepada hubungan Junsu dan Hani. "Aku masih tidak habis pikir bagaimana kalian bisa bersatu. Dunia kalian berbeda. Sifat kalian pun sangat bertolak belakang. Sepupuku itu adalah pria yang sangat lembut, sedangkan kau..."
"Apa kau ingin mengatakan bahwa aku kasar seperti preman?" potongnya.
"Tidak, bukan begitu. Aku hanya tidak mengerti mengapa kalian bisa tertarik satu sama lain," lanjutku.
"Kau meragukan Yunho, bukan?" Hani menatapku. "Kau merasa tidak yakin bahwa ia benar-benar tertarik kepadamu, bukan?"
"Ia mengatakan bahwa aku adalah wanita pertama yang ia ajak berkencan. Bukankah itu terlalu berlebihan? Siapa yang akan percaya?" Aku berargumen. "Ia pasti sudah sering berhubungan dengan wanita-wanita cantik karena ia sangat pandai merayu."
"Mungkin selama ini para wanita cantik itu yang mengajaknya berkencan, bukan sebaliknya." Ucapan Hani memang masuk akal. Tidak heran, ia memiliki IQ yang sangat tinggi.
"Apakah ia bosan berkencan dengan wanita cantik, sehingga ia mengajakku berkencan?" Aku melanjutkan argumenku.
"Bisa jadi. Ia muak dengan wanita cantik yang hanya melihat kekayaannya," ujar Hani lagi. "Bisa jadi ia hanya menguji dirimu dengan memberikanmu barang-barang mewah. Bukankah kau mengatakan bahwa ia tidak terlihat kecewa saat kau muncul di ruang makan tanpa mengenakan hadiah-hadiah pemberiannya? Ia justru terlihat semakin percaya diri."
Aku berpikir. Semua yang dikatakan oleh Hani sangat masuk akal. Aku mulai mengerti motif pria itu sekarang. "Hani, apakah kau hanya menginginkan harta sepupuku?"
"Apa?" Hani tidak terima dengan pertanyaanku. Ia menggebrak meja.
Semua orang di kafe melihat ke arah kami. Aku merasa malu.
"Tenanglah! Kau tidak perlu menggebrak meja seperti itu." Aku memaksa Hani untuk kembali duduk.
Hani mengatur nafasnya. Ia kemudian merapikan poni rambutnya. "Aku menyukai ketulusan hatinya."
"Sepupuku memiliki harta yang dapat membuat wanita tertarik, sedangkan kau mempunyai kecantikan yang bisa membuat pria tertarik kepadamu. Apakah semua orang berpikir seperti itu?" Aku mencurahkan kerisauanku.
"Perjalanan cinta kami tidak semulus yang kau pikirkan." Hani mulai bercerita. "Pada awal hubungan kami, banyak orang yang berpikir bahwa aku hanya mencintai hartanya dan dengan kecantikanku aku bisa dengan mudah menjerat sepupumu, bahkan sampai sekarang masih banyak orang yang berpikir seperti itu. Aku sempat mengalami depresi karena hal itu. Namun, kemudian aku berpikir. Untuk apa aku memedulikan mereka? Yang penting Junsu mencintaiku dan percaya kepadaku." Ia menatapku dengan serius. "Tidak semua orang berpikiran seperti itu. Kau sendiri pernah mengatakan bahwa kau merasa yakin bahwa pasti ada pria yang menyukai dirimu apa adanya dan kau akan menunggunya. Mungkin saja pria itu adalah Yunho dan masa penantianmu berakhir."
"Bagaimana jika bukan? Bagaimana jika ia hanya ingin mempermainkanku?" Aku merasa sedih. "Lalu bagaimana dengan Changmin?"
"Apa kau berani mengutarakan perasaanmu kepada Changmin?" Hani menantangku.
Aku menggeleng. Mana mungkin aku melakukan hal itu? 99% Changmin akan menolakku dan hubungan kami akan menjadi canggung. Bagaimana kami bisa bekerja dengan suasana yang canggung seperti itu?
"Kau harus bersikap tegas kepada dirimu sendiri sebelum bersikap tegas kepada orang lain. Kau harus menentukan," ujar Hani. "Mendengar ceritamu mengenai Changmin yang sama sekali tidak tertarik kepadamu, menurutku satu-satunya harapanmu dengannya adalah kau menyatakan perasaanmu kepadanya, atau setidaknya kau mengirimkan sinyal kepadanya. Namun, mengingat sifatmu, aku yakin kau tidak akan berani melakukannya."
"Jika jarak usia kami tidak sejauh itu, mungkin aku akan berani melakukannya." Aku membela diri.
"Oh, ya? Benarkah?" Hani terdengar tidak percaya kepadaku.
Aku menghela nafas. Sepertinya aku mengerti kepada siapa Hani berpihak. "Jadi, menurutmu aku harus menerima lamaran Yunho?"
"Aku tidak berkata demikian." Hani sangat pandai memanipulasi. "Kuncinya adalah Yunho melamarmu langsung kepada keluargamu. Kau mempunyai keuntungan di sini. Seluruh keluargamu akan membelamu jika pria itu berani menyakitimu. Menurutku tindakannya sangat berani. Sangat jarang pria yang langsung datang kepada orang tua si gadis untuk mendapatkan gadis itu. Biasanya pria akan mendapatkan hati si gadis terlebih dahulu, barulah keluarganya."
"Ia menanamkan investasi yang sangat besar di hotel kami. Ia tahu bahwa pamanku tidak akan menolak dirinya," kataku.
"Cerdas!" Hani berseru.
Aku mengerutkan keningku. "Apa maksudmu?"
"Hanya pria bodoh yang mempermainkan wanita," lanjut Hani. "Tn. Jung-mu ini jelas-jelas pria yang sangat cerdas."
.
.
.
Aku berharap ada orang yang mengatakan kepadaku untuk menolak Yunho. Hani benar-benar tidak bisa diharapkan. Ia sama saja seperti yang lain.
Aku masih menyimpan surat dari Yunho. Aku menghubungi nomor yang ia cantumkan pada suratnya.
"Halo?" Suara bassnya membiusku.
"Tn. Jung, aku Jaejoong." Aku mempertegas suaraku.
"Oh, Jaejoong! Senang sekali bisa mendengar suaramu yang merdu." Ia mulai merayuku lagi.
"Aku tidak akan banyak berbasa-basi. Aku akan langsung berbicara pada intinya." Sebenarnya ini saja sudah termasuk kategori basa-basi. "Aku mengerti bahwa kau pasti sangat sibuk."
"Aku tidak sedang sibuk. Jika kau ingin berbasa-basi terlebih dahulu, silakan! Dengan senang hati aku akan mendengarkanmu." Ia sangat menyebalkan.
"Sebelum aku memberikan keputusanku, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu." Aku berusaha untuk tidak terdengar gugup.
"Keputusan apa?" Menyebalkan! Apakah ia sudah lupa? Terdengar suara tawanya. "Aku hanya bercanda. Tentu saja aku tahu apa yang kau maksud. Bagaimana mungkin aku melupakan hal sepenting itu? Hatiku tidak tenang menunggu jawaban darimu."
Aku kesal. Ia sangat senang mempermainkanku. Di sisi lain aku merasa senang digombali olehnya.
"Pertanyaan apa? Aku siap untuk menjawabnya," lanjutnya. Ia terdengar lebih serius sekarang. "Aku akan memutuskan sambungan telepon darimu terlebih dahulu. Tunggu sebentar! Aku akan segera meneleponmu kembali."
Ia baru saja mengatakan bahwa ia tidak sedang sibuk. Dasar tidak konsisten! Salah satu wanitanya pasti tiba-tiba menelepon.
Hanya berselang satu detik, ponselku berdering. Ia sudah meneleponku kembali, cepat sekali. "Halo?"
"Sekarang aku siap," ujarnya.
"Aku tidak tahu siapa dan seperti apa dirimu. Apa pekerjaanmu dan apa kesibukanmu setiap hari?" Aku mengajukan pertanyaan pertama.
"Pekerjaanku adalah memainkan uang dan saham. Aku tidak punya atasan juga bawahan. Aku bekerja untuk diriku sendiri. Aku akan mempunyai banyak waktu untuk bermain-main denganmu." Jawabannya terdengar sangat menyebalkan. Bermain-main denganku?
"Sekarang berapa usiamu?" Aku beralih pada pertanyaan berikutnya.
"Menurutmu?" Benar-benar menyebalkan.
"Jawab saja! Aku tidak punya banyak waktu untuk berbicara denganmu. Aku harus bekerja," kataku. Lama-lama tekanan darahku bisa naik.
"Kau galak sekali," komentarnya. "Tapi aku suka."
Aaargh! Ia sangat menyebalkan. "Jika kau tidak menjawab juga, aku akan mengakhiri pembicaraan kita dan kau pasti bisa menebak apa keputusanku."
"Baiklah, aku akan menjawabnya. Tahun ini usiaku empat puluh tahun." Aku tercengang. Kupikir usianya sekitar 35 tahun. Ya, tebakanku memang tidak salah. Usianya memang sekitar 35 tahun, 35 tahun lebih lima tahun.
Sebenarnya banyak hal pribadi yang ingin kutanyakan kepadanya. Namun, aku mengurungkan niat untuk menanyakannya karena aku ragu bahwa ia akan menjawab dengan jujur. Aku penasaran mengapa ia memilihku. Aku juga ingin tahu mengapa ia belum menikah juga saat usianya sudah menginjak kepala empat.
"Bagaimana dengan keluargamu? Kau sudah mengenal keluargaku, sedangkan aku tidak mengetahui apa pun mengenai keluargamu." Aku melanjutkan ke pertanyaan berikutnya.
"Ayahku sudah meninggal. Aku mempunyai ibu dan adik perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak. Ibuku tinggal di rumah adikku, sedangkan aku tinggal sendirian." Aku merasa suaranya terdengar bergetar. "Jika kau mau menjadi istriku, aku akan membawamu untuk menemui ibuku untuk meminta restu darinya."
"Bagaimana jika ibumu tidak menyukaiku?" tanyaku kemudian.
"Ibuku pasti menyukaimu. Kau tenang saja. Jadi, kau mau ya menjadi istriku?" Percaya diri sekali kau, Tn. Jung.
"Jangan terlalu banyak berharap, Tn. Jung!" kataku kepadanya.
"Aku akan menunggu keputusanmu dengan sabar, Jaejoongie."
.
.
.
Hampir setiap hari Yunho menghubungiku untuk menanyakan kabarku. Aku menyesal telah menelepon dirinya tempo hari, sehingga ia mengetahui nomor ponselku.
Aku heran mengapa ia harus menungguku untuk menghubunginya untuk mendapatkan nomor ponselku. Bukankah ia bisa menanyakannya kepada Junsu atau paman?
Tidak pernah ada yang memperhatikan diriku seperti Yunho. Rasanya menyenangkan ada seseorang yang menanyakan kabarku setiap saat. Aku merasa... penting. Apakah ia menganggapku sebagai orang yang penting dalam hidupnya?
"Sunbae sudah berubah sekarang," komentar Changmin. "Sekarang sunbae lebih memperhatikan penampilan."
Komentar Changmin membuatku tertohok. Benarkah aku telah berubah? Aku sama sekali tidak menyadarinya. "Tidak ada yang berubah dari diriku, penampilan dan sikapku."
Changmin tersenyum lebar. "Sunbae pasti sedang jatuh cinta. Biasanya orang akan lebih memperhatikan penampilan jika sedang jatuh cinta."
Aku terdiam. Aku merasa bingung dengan perasaanku sendiri. Yang kutahu aku menyukai Changmin. Aku menyukainya sejak lama. Jika aku berubah, seharusnya bukan sekarang aku berubah.
"Siapakah pria yang beruntung itu? Kau harus mengenalkannya kepadaku." Bocah tinggi itu ikut-ikutan menggodaku.
"Kau mengada-ada. Kembali bekerja!" Aku menjadi salah tingkah. Aku malu.
.
.
.
Sudah dua minggu. Aku belum juga memberikan keputusan atas lamaran Yunho. Aku benar-benar bingung. Aku harus memikirkannya baik-baik. Aku tidak boleh salah langkah dalam menentukan jalan hidupku.
"Apa aku terima saja lamarannya?" Aku menatap langit-langit kamarku. Ia selalu membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku merasa senang saat ia menelepon dan menanyakan kabarku. Aku suka caranya memperlakukan diriku, seakan-akan aku adalah orang yang sangat istimewa baginya. Di sisi lain aku merasa takut. Aku takut ia hanya bermaksud mempermainkanku.
Aku teringat akan perkataan Hani. Jika ia menyakitiku, keluargaku tidak akan tinggal diam. Aku menghela nafas. "Sepertinya aku terima saja lamarannya. Kekhawatiranku tidak akan terbukti jika aku tidak mencobanya."
.
.
.
Aku menerima lamaran Yunho. Kini aku benar-benar menjadi kekasihnya. Ia masih saja bersikap sangat sopan. Setiap ia akan membawaku pergi berkencan, ia akan meminta izin dari pamanku terlebih dahulu. Ia juga tidak suka berbuat macam-macam. Ia sangat menjaga jarak denganku. Sepertinya ia tahu bahwa aku masih takut kepadanya.
"Kapan kau akan membawaku untuk menemui ibumu?" Aku menagih janjinya tempo hari. "Bukankah kau akan membawaku untuk menemuinya jika aku menerimamu? Kita tidak akan bisa menikah jika belum mendapatkan restu dari ibumu."
Ia terdiam sejenak. "Nanti, jika semuanya sudah siap." Raut wajahnya menegang.
"Apanya yang siap? Semua persiapan untuk pernikahan?" Nada bicaraku terdengar menuntut.
Ia tersenyum. Aku masih melihat ketegangan pada wajahnya. "Aku janji, sebentar lagi. Aku akan mengenalkanmu kepada ibuku. Ia pasti akan merasa senang mempunyai menantu sepertimu."
Aku mencurigai sesuatu. Apakah ia memiliki masalah dengan ibunya? Apakah ibunya adalah tipe orang tua yang sangat selektif dalam mencari menantu? Aku mulai berspekulasi. Mungkin Yunho pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita yang sangat ia cintai. Namun, ibunya tidak merestui karena ibunya tidak menyukai tipe wanita yang dicintai oleh putranya itu. Apakah Yunho memilihku karena aku sesuai dengan tipe menantu yang diinginkan oleh ibunya?
Ketakutanku muncul kembali. Mungkinkah Yunho sebenarnya mencintai wanita lain? Kuharap tidak. Perasaanku kepadanya sudah mulai tumbuh. Aku tidak ingin merasakan patah hati.
.
.
.
"Jae, gawat!" Junsu menerobos masuk ke kamarku. Tidak sopan! Bagaimana jika aku sedang mengganti pakaianku?
Aku ingin marah kepadanya, tetapi aku tidak tega karena melihatnya terengah-engah. "Ada apa? Tenangkan dirimu terlebih dahulu!"
Junsu duduk di atas tempat tidurku. Ia mengatur nafasnya. "Kau pasti akan terkejut jika mengetahui apa yang baru saja kuketahui."
Aku mengerutkan dahiku. Aku penasaran dan gugup menunggu Junsu melanjutkan kata-katanya.
"Ini mengenai Yunho, kekasihmu." Junsu menatapku dengan serius. "Kumohon persiapkan dirimu!"
Junsu membuatku cemas. Ada apa dengan Yunho? Jangan-jangan semua kekhawatiranku benar-benar terjadi. Yunho mencintai wanita lain.
"Aku mendapatkan informasi bahwa kekasihmu itu adalah penyuka sesama jenis." Junsu terlihat panik. "Yunho adalah gay, homoseksual."
Aku syok mendengar pernyataan Junsu. Konyol, apa yang dikatakan oleh Junsu sangat konyol. "Kau jangan bicara sembarangan."
Junsu mengangkat tangannya seperti sedang bersumpah. "Aku serius, Jae. Beberapa orang sudah mengkonfirmasinya. Mereka tidak mungkin bersekongkol untuk memfitnah Yunho. Beberapa orang itu bahkan tidak saling mengenal."
"Apa kau yakin bahwa itu benar? Jangan-jangan itu hanya rumor yang tak berdasar." Aku tidak ingin sembarangan menuduh, apalagi pria itu adalah calon suamiku.
"Semoga saja itu tidak benar. Akan tetapi, bisa saja itu benar." Junsu terlihat khawatir. Ia mengkhawatirkanku.
Aku mencoba untuk bersikap tenang. "Apakah kau sudah menceritakannya kepada paman dan bibi?"
"Setelah aku mengetahuinya, aku langsung mencarimu. Aku belum sempat untuk mengatakannya kepada mereka," ujar Junsu.
"Kau tidak boleh mengatakan hal apa pun kepada mereka. Aku tidak ingin mereka menjadi khawatir." Aku berusaha untuk tetap tenang. "Biar aku yang menangani masalah ini. Kau juga harus bersikap biasa saja kepada Yunho. Berpura-puralah kau tidak mengetahui apa-apa!"
Junsu mengangguk tanda mengerti. Anak baik, aku bisa mengandalkannya. "Jika kau membutuhkan bantuan, aku akan selalu siap."
.
.
.
Hatiku terluka. Kejam sekali jika yang Junsu katakan itu benar. Ini lebih mengerikan daripada semua yang kubayangkan sebelumnya. Aku akan lebih bisa menerima kenyataan bahwa Yunho hanya memilihku untuk menyenangkan hati ibunya daripada kenyataan bahwa dirinya seorang gay.
Aku mengatakan kepada Yunho bahwa aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin mengunjungi apartemennya. Aku penasaran seperti apa apartemennya. Mungkin aku bisa menemukan petunjuk di sana.
"Apartemenku sedang direnovasi, Sayang. Tempatku sangat berantakan. Jika renovasinya sudah selesai, aku akan membawamu ke sana." Ia sangat mencurigakan. Ia seakan-akan tidak ingin aku berkunjung ke apartemennya.
"Jika apartemenmu sedang direnovasi, lalu kau tidur di mana?" Aku berusaha mengorek informasi darinya.
"Aku bisa tidur di mana pun, lagipula apartemenku itu masih bisa ditinggali pada malam hari. Para pekerja hanya bekerja pada siang hari." Deg! Apakah ia tidur di tempat kekasih lelakinya?
"Aku sangat penasaran dengan tempat tinggalmu," kataku.
"Keadaan apartemenku itu sama saja seperti tempat tinggal pria lajang yang tinggal sendirian, berantakan. Aku merenovasinya agar kita bisa nyaman tinggal di sana setelah menikah." Dalam keadaan normal aku pasti akan senang karena ia memikirkan masa depan kami, tetapi kali ini aku sama sekali tidak merasa senang.
"Pokoknya aku ingin melihat tempat tinggalmu." Aku merengek.
Aku mendengar ia menghela nafas. "Baiklah jika kau bersikeras. Kita akan pergi ke sana sepulang kau bekerja."
.
.
.
Aku mencoba bersikap biasa saat bertemu dengannya. Aku menunjukkan antusiasmeku untuk mengunjungi apartemennya.
Memang benar yang dikatakan olehnya, apartemennya memang sedang direnovasi. Saat kami ke sana ada beberapa tukang bangunan sedang bekerja.
"Renovasinya diperkirakan akan selesai sebulan lagi, tepat sebelum kita menikah." Ia mengadakan tur singkat untukku di apartemennya. Apartemennya cukup kecil untuk orang yang yang mempunyai banyak uang seperti dirinya. Gaya hidupnya cukup sederhana. Barang-barang di sana juga bukan barang-barang mewah. Apakah benar ini apartemen miliknya? "Kau pasti kaget melihat apartemenku ini. Kau pasti mengharapkan apartemen yang lebih besar dan mewah daripada ini."
Aku menoleh ke arahnya. "Ya, aku cukup terkejut. Kukira kau tinggal di apartemen yang sangat mewah. Akan tetapi, tidak apa-apa. Aku bisa tinggal di mana pun."
"Aku merasa tidak enak kepadamu. Aku akan membeli apartemen baru untuk tempat tinggal kita setelah menikah," katanya.
"Eh, tidak perlu. Tempat ini cukup. Aku akan menyulapnya menjadi rumah yang indah dan nyaman untuk kita," kataku.
"Tidak, ini tidak cukup. Hanya ada satu kamar di sini. Kita akan memerlukan rumah yang lebih besar untuk menampung anak-anak kita." Ia tampak berpikir.
Anak? Apakah seorang gay bisa membuat anak? Apakah ia membutuhkanku hanya untuk memberikannya anak? Hatiku sakit memikirkan hal itu.
.
.
.
Aku tidak menemukan petunjuk apa pun mengenai orientasi seksualnya karena apartemennya sedang direnovasi. Setelah mengunjungi apartemennya, ia membawaku untuk makan malam di restoran Jepang yang menjadi tempat kencan pertama kami.
"Sejak dari apartemenku kau terlihat murung. Apa kau tidak menyukai tempat itu? Katakan saja jika kau tidak menyukainya. Untukmu aku akan memberikan apa pun." Ia terlihat khawatir.
"Yunho, aku ingin mengkonfirmasi sesuatu darimu." Kupikir aku harus menanyakan hal ini langsung kepadanya.
"Apa?" Ia terlihat tenang. Ia pasti tidak pernah menyangka bahwa aku akan menanyakan hal ini.
"Yunho, apakah kau gay?" Aku menatapnya dengan serius. Aku berdoa di dalam hati semoga hal ini tidak benar.
Yunho berhenti makan dan menaruh sumpitnya. Ia menatapku dengan serius. "Dari mana kau mendapatkan kabar itu?"
"Tidak penting dari mana aku mendengarnya. Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku dengan jujur agar hatiku tenang." Aku merasa sangat gelisah. "Kau 'lurus' kan, Yunho?"
"Ya, aku gay," jawabnya santai.
TBC
