Mimpi.
Sebuah kata dengan makna ganda; tujuan dari kehidupan, atau khayalan kosong di dalam tidur.
Konsep yang diciptakan oleh orang dewasa, memberikan harapan kepada kaum muda, memaksa mereka untuk memberikan segala hidup mereka pada satu tujuan, hanya untuk mengajarkan mereka satu hal:
Mimpimu tak selalu jadi kenyataan.
Berapa kali—misalnya—aku mengganti mimpi? Dari tentara, ke pilot, ke dokter, ke arsitek, ke guru, ke penulis, ke pengangguran kaya raya—dan akhirnya pasrah ke arah mana kehidupan akan menuntun.
Dari begitu banyak mimpi yang kumiliki, ada satu mimpi yang benar-benar kukejar, meskipun aku tahu ujungnya bagaimana.
Pemain basket nasional.
Itu bukan sebuah mimpi yang dimiliki oleh banyak orang. Bagaimanapun juga, olahragawan selalu dianggap sebagai impian yang remeh. Namun bagiku, itu adalah segalanya—setidaknya di masa itu.
"Masa depanmu telah ditentukan sejak kau dilahirkan, Len—mewarisi perusahaan Kagamine yang telah berjalan selama tiga generasi ini."
"Jika kau menggunakan tanganmu untuk melakukan hal tak berguna semacam basket, berarti kau tidak membutuhkannya, bukan?"
"Hidupmu hancur hanya karena Ayah 'menghancurkan' tanganmu? Jangan bercanda. Pewaris Kagamine tidak mungkin selemah itu—yah, meskipun jika kau akan benar-benar jatuh sejauh itu, masih ada saudari kembarmu."
"Keputusannya sudah bulat. Rin, saudari kembarmu itulah yang akan mewarisi perusahaan. Kau tidak diperlukan lagi. Hah? Tanganmu? Kau masih punya yang kanan; berhentilah merengek, sampah."
Aku tidak mengerti jalan pikir iblis yang kupanggil Ayah itu. Menghancurkan tangan putranya sendiri, membuatnya tak bisa mengejar mimpi yang diinginkan, dan menyerahkan mimpi yang ia berikan sendiri ke anaknya yang lain.
Seolah ia tak lagi melihat putranya ini sebagai seorang manusia. Seolah di matanya, Kagamine Len hanyalah mainan rusak yang sudah tak dapat digunakannya lagi.
Sejak ia memutuskan bahwa aku tak diperlukan lagi, aku bukan lagi putranya, ia bukan lagi ayahku. Keberadaanku hanyalah hiasan rumah, sebuah samsak hinaan, seekor kambing hitam yang tak diinginkan, namun diperlukan.
Dengan semua itu, aku terus hidup.
Melewati masa sekolah menengah pertama yang tak mungkin dimiliki oleh anak seumuran lainnya, aku terus hidup. Hanya dengan tangan kanan, Kagamine Len terus menapaki kehidupan—
—dan akhirnya sampai di tingkat sekolah menengah atas.
"Aku adalah tanganmu, dan engkau adalah kakiku."
Di tingkat itu pula, aku bertemu dengannya.
"Kita adalah satu jiwa dalam dua tubuh, dua keberadaan yang saling melengkapi."
Seorang gadis berambut toska yang hidup di atas kursi roda.
"Kagamine Len."
Teman sekelas yang berbagi perasaan hilangnya fungsi salah satu alat gerak paling penting. Gadis jenius paling ceria sekaligus paling hampa di saat yang sama. Perempuan aneh yang memanggil namaku di hari pertama kami berjumpa.
"—Maukah kau membantuku untuk menguasai dunia?"
— [I] —
Vocaloid © Yamaha, Crypton Future Media.
Drama persahabatan, jangan terlalu berharap konklusi romantis. Merupakan penggunaan ulang ide dari fanfik saya yang lain yang berjudul Disability Students Club. Menggunakan bahasa gaul secara rutin.
— Something Called Dream —
— Bagian #01: Klub Penyandang Cacat —
— [I] —
Musuh terbesar umat manusia telah tiba.
HARI SENIN. Level: 150. HP: 100.000. Skill: Upacara Pengeram Pantat (merendahkan agility), Pidato Kepala Sekolah (memberi debuff sleep).
Menurut walkthrough bernama kehidupan, kau bisa memilih untuk menghindarinya, yaitu dengan cara memilih 'terus tidur' ketika diberi pilihan pada jam tertentu di pagi hari. Kau mungkin kehilangan kesempatan mendapatkan EXP, tapi itu sebanding dengan menghindari betapa sulitnya SENIN.
Namun cara itu memiliki satu masalah:
Itu tak berlaku jika kau berada di stage bernama Asrama Sekolah.
"MORNING, EVERYBODYYY—! DJ Honne Dell from 3-C is heeere! It's 5.30 A.M.! Asa dazee! WAKE UUUP! Wash your face and feel the greatness of Lady Meiko's breakfast! Today menu is... oh, shit! It's a lontong! A food from the faraway, Spice Country!"
Ini minggu kedua aku tinggal di asrama, dan aku sama sekali belum terbiasa dengan teriakan DJ Dell dalam Bahasa Inggris yang rada ngaco tiap pagi. Berkat itu, aku—kami—sama sekali tidak dapat menjalankan rencana 'ah, maaf saya ketiduran'. Lagipula, tanpa teriakan itupun, mustahil untuk melanjutkan tidur dengan sang Nona Iblis yang selalu keliling tiap pagi.
Sebagai sekolah yang ingin menciptakan generasi mandiri, apalagi sampai mewajibkan siswa tahun pertama untuk tinggal di asrama, adalah hal yang wajar jika para penghuninya diwajibkan bangun pagi. Jika kau tertidur lagi—selamat menikmati 'reedukasi' dari Nona Meiko.
"Aah, Dell-senpai berisik kayak biasa, padahal gue baru tidur dua jam... Harusnya kemaren gue enggak namatin itu komik dalam sekali baca."
Setiap kamar di asrama ini dihuni oleh dua siswa, dan entah kenapa, daripada menyediakan dua kasur yang terpisah, pihak sekolah malah menyediakan kasur bertingkat yang merepotkan. Tidakkah mereka tahu bahwa naik-turun tangga tiap kali pergi dan bangun tidur itu merepotkan?
Untungnya, sebagai orang yang datang lebih dulu, aku langsung mengamankan kasur bawah menggunakan aroma ketiak tanpa deodoran. Ah, aku masih ingat ketika Nero teriak 'elu manusia atau beruang?!' waktu itu.
"Berhenti bergumam dan cepatlah bangun," ujarku kepada teman sekamarku yang tidur di ranjang atas, "Dan jangan lupa balikin itu komik ke penyewaan. Gue capek jadi objek pelampiasan Om Manajer mulu."
"Itu resiko elu kerja sambilan di tempat kayak gitu," sahut suara dari ranjang atas. "Padahal elu ganteng, kenapa enggak jadi gigolo aja—ah, sori gue lupa kalo elu bahkan enggak tahan 30 detik."
Reflek, aku menendang ranjang atas dari bawah.
"Buaahah!"
"... Apa-apaan teriakan konyol elu barusan?"
"Len, tahu enggak?" rekan sekamarku bertanya dengan suara bergetar, "... Gue tadi lagi tidur dalam posisi tengkurap..."
"Terus?"
"... elu tadi hampir saja memaksa salah satu dari dua telur abadi gue menetas..."
"... Sori, tadi gue sengaja enggak sengaja."
"Itu artinya elu sengaja, 'kan?!"
Pagi hari yang biasa, kehidupan yang biasa. Semenjak tinggal di asrama, setiap pagi terasa jauh lebih menyenangkan daripada ketika aku masih berada di 'sana'.
5.45, aku selesai mandi dan memakai seragam. 6.00, sarapan bersama para penghuni asrama lainnya. 6.15, berangkat ke sekolah.
Pukul segini, biasanya Nero akan mejeng di lantai tiga atau empat, mencoba mendekati satu atau dua kakak kelas yang cantik; meskipun hasilnya selalu nihil secara permanen.
Sedangkan aku—
Pukul enam lewat dua puluh pagi, di hadapan gedung asrama putri. Gedung itu memiliki bentuk sederhana dan minimalis, sama seperti gedung asrama putra. Perbedaannya, asrama putri memiliki... aura feminin?
Berbeda dengan asrama putra yang dapat ditemukan coret-coretan di dinding, atau satu atau dua puntung rokok, asrama putih memberikan kesan yang bersih dan rapi, serta berbagai bunga di pekarangan yang menambah unsur feminitas dari tempat ini.
Langit pagi belum begitu terang, nuansa sejuk yang membuatku tak dapat menahan diri untuk menarik nafas. Aku memasukkan oksigen ke dalam paru-paru, sembari menunggu seorang gadis yang akan keluar dari pintu itu beberapa saat lagi.
Tidak, ia bukan pacarku.
Jika ia pacarku, aku pasti sudah menelponnya, atau bahkan malah berada di dalam kamarnya saat ini.
Gadis yang kutunggu ini... entah bagaimana aku menjelaskannya. Kami bertemu seminggu yang lalu, dan sejak saat itu, kami telah terikat oleh sesuatu yang tak dapat kumengerti.
Jika ada kata yang dapat menggambarkannya... teman senasib?
Beberapa siswi berjalan keluar dari pintu itu, satu persatu menuruni tangga kecil yang berada di teras gedung asrama. Beberapa dari mereka menatapku dengan pandangan aneh—meskipun sudah sering melihatku—yang hanya kubalas dengan senyum seadanya.
Aku adalah salah satu siswa tahun pertama dengan wajah tertampan, namun untuk beberapa alasan, aku bahkan tidak termasuk ke dalam kategori 10 siswa terfavorit untuk dijadikan pacar.
Salah satu alasannya—
"Pagi, Len. Bagaimana tangan kirimu?"
—adalah hubunganku dengan gadis ini.
Gadis berambut biru toska yang diikat kembar itu bergerak dengan perlahan, menggerakkan dua roda besar dari kursi peraknya dengan kedua tangan. Seorang wanita tua yang kukenal sebagai pengurus asrama putri membantunya menuruni tangga secara perlahan.
"Jangan diam saja. Aku tanya, bagaimana keadaan tangan kirimu?"
Gadis dengan tulisan Hatsune Miku di atas blazernya itu menanyakan pertanyaan paling sensitif yang dapat kuterima, bertanya bagaimana keadaan dari tangan kiriku yang terbaring tak berdaya di dalam balutan perban yang menggantung dari leher.
Di mata orang lain, aku terlihat seperti seseorang yang sedang mengalami patah tangan, namun kondisi tanganku seratus persen berbeda dengan 'sekadar' patah tulang.
Satu-satunya yang mengetahui kondisi tangan kiriku di sekolah ini hanyalah diriku sendiri, gadis di depanku ini, serta Nero—yah, mustahil aku bisa menyembunyikannya dari teman sekamarku.
"Masih mati seperti biasa. Gimana dengan kaki elu?"
Sama sepertinya, aku juga menanyakan pertanyaan paling sensitif seolah-olah itu bukan apa-apa—justru kenyataannya, saling tanya ini sudah menjadi semacam ucapan selamat pagi bagi kami.
"Mereka masih tak berguna, seperti biasa."
Wajahnya yang agak pucat. Matanya yang penuh akan semangat, meskipun keadaannya begitu. Senyumnya yang penuh dan hangat, seolah-olah ia adalah salah satu manusia paling ceria di muka bumi.
Aku sudah biasa melihatnya, namun tetap tak mampu berhenti memiliki rasa kagum di dalam hati. Maksudku, lihat aku. Seseorang dengan 'kekurangan' itu harusnya lebih suram, bukan penuh dengan senyuman seperti itu.
Aku berjalan ke belakang gadis yang sudah menuruni tangga itu, mendorong gagang kursi rodanya dengan satu tanganku yang masih berfungsi.
Hatsune Miku.
Kagamine Len.
Aku adalah kaki baginya.
Ia adalah tangan bagiku.
Kami saling memenuhi kekurangan satu sama lain.
Ini ikatan yang sama sekali berbeda dengan cinta atau pertemanan.
Sesuatu yang tak mampu kupahami ataupun kumengerti, dan bahkan kuragukan bahwa kuketahui.
Ikatan yang hanya dimiliki oleh sesama manusia yang tak mampu menggapai sesuatu yang disebut mimpi.
— [I] —
Ini terjadi seminggu yang lalu.
Awal bulan april, dimana bunga sakura mekar tak terkira, menyambut hari pertamaku—dan siswa tahun pertama lainnya—di SMA Vokazuri.
Menapaki kaki secara perlahan, melewati gerbang sekolah, berjalan di antara delapan pohon berdaun merah muda yang membentang jalan di antara gerbang dan gedung utama sekolah.
Di bawah salah satu pohon itu, aku bertemu dengannya.
Ia, yang terduduk di atas kursi roda, membuatku terpesona. Aku yakin banyak siswa lain yang mengalami hal yang sama—aku tidak akan rela jika hanya aku sendiri yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Berbeda dengan penampakannya yang terlihat rapuh dan penuh dengan aura yang mampu membuatmu ingin melindunginya, gadis dengan dua pita hitam mungil yang membuat rambutnya diikat ke kiri dan kanan itu berbicara dengan penuh semangat,
"Kagamine Len."
—tidak, ia bukan hanya sekadar berbicara, melainkan memanggil namaku.
Aku terdiam. Ia mengetahui namaku. Berbagai hipotesa bermunculan di kepalaku, dari yang konyol ia tahu hanya dari nama di blazer yang kupakai, atau bahwa kami sudah pernah bertemu sebelumnya.
Tidak, kami tidak pernah bertemu.
Jika kami pernah bertemu, aku tidak akan mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama sekarang.
Seperti orang bodoh, aku menjawab sambil terbata,
"I-iya?"
Dengan wajah tenang dan suara yang seolah-olah disengaja diperdalam untuk permainan drama, gadis yang tak kuketahui namanya itu bertanya,
"Siapakah dirimu?"
'Kagamine Len' adalah jawaban yang langsung terlintas di kepalaku, namun aku tahu pasti itu bukanlah jawaban yang diinginkannya, mengingat ia sudah mengetahui namaku. Apakah yang ia inginkan adalah sebuah jawaban filosofis?
Sebuah bagian kecil dari alam semesta, mungkin? Atau salah satu dari milyaran manusia tak berharga? Atau—
Aku melirik tangan kiriku.
Tertidur lelap di dalam pelukan perban dan menggantung dari leher, terlekuk dan terkapar tak berdaya.
"... Aku... hanyalah seorang pemain basket gagal yang kehilangan tangan kirinya."
Itukah jawaban yang diinginkannya? Toh itu tak penting lagi, karena aku sudah mengucapkannya dari mulutku. Entah itu benar atau salah, satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah menanti jawaban.
"Hatsune Miku."
"Eh?"
"Itu namaku," ia menjawab sembari menggerakkan kursi rodanya untuk mendekat padaku, "Apa kau bodoh? Mana ada orang mau mengatakan hal semacam itu pada orang asing."
"Ah..."
Jangan permasalahkan reaksiku yang terlalu priceless dari tadi, karena kau tahu, jika kau berada dalam posisi yang sama, aku yakin kau akan membuat ekspresi yang sama.
"Bagaimana kalau begini?"
Ia menarik nafasnya, lalu berkata sambil tersenyum lembut,
"Mulai hari ini, aku akan jadi tanganmu, dan kau akan jadi kakiku. Kita akan jadi satu jiwa dalam dua tubuh, saling melengkapi satu sama lain."
Ketika Hatsune Miku berbicara begitu, satu-satunya yang muncul di kepala bodohku adalah ia menyatakan cinta—padahal jika aku mengingat hari ini, aku tahu dengan pasti, ini lebih dari sebuah pengakuan cinta.
Ini seperti... pernyataan pengabdian?
Menanggapi Miku yang menanti jawaban, aku menganggukkan kepala secara perlahan.
"Nah, karena perjanjian di antara kita sudah terbentuk, ayo kita tentukan tujuan pertama kita."
Ia menjeda kalimatnya sebentar, memikirkan apa yang ingin ia lakukan.
"—Bagaimana kalau kau membantuku menguasai dunia?"
Ia mengucapkan hal bodoh yang seharusnya membuat semua orang tertawa. Namun Hatsune Miku mengatakan hal itu dengan ekspresi lembut dan serius, membuatku tak berdaya untuk bahkan tersenyum konyol.
Sekali lagi, aku mengangguk.
"Ya, ayo kuasai dunia ini."
— [I] —
Saat perkenalan:
"Nama saya Kagamine Len, dari sebuah SMP Locavoid di kota seberang. Hobi membaca, cita-cita... arsitek."
Sebenarnya, aku tak punya cita-cita. Aku hanya menyebut arsitek demi imej siswa yang rajin dan kreatif. Begitu juga dengan hobi; membaca adalah pilihan paling standar untuk terlihat pintar.
Bagus, dengan perkenalan seperti ini, dan wajah tampanku—jangan panggil aku narsis—seharusnya imej yang kuharapkan sudah mulai terwujud. Tenang saja, tak ada masalah. Kehidupan SMA yang menyenangkan telah menanti.
Hingga...
"Hatsune Miku, dari SMP Utaite. Hobi terlalu banyak untuk disebutkan. Cita-cita... menguasai dunia bersama Kagamine Len."
... anjrit.
— [I] —
"Kalo gue... blowjob, kayaknya."
Satu minggu kemudian, alias hari ini, dunia masih berjalan seperti biasa. Tangan kiriku masih tertidur pulas, dan aku memiliki beberapa orang teman yang tanpa malu membicarakan hal mesum di dalam kelas.
"Selera elu standar banget, Gaku," Nero—satu dari dua teman mesum yang kumiliki—menyahut, "Kalo gue paling demen anal."
"Elu mah emang miring. Keindahan perempuan itu udah jelas vajayjay-nya lah. Kalo mau anal mending elu nonton film homo aja sana," cibir Gakupo, tidak sadar bahwa homo juga bisa blowjob... gue mikir apaan sih.
"Kalo elu, Len?"
Tolong, Nero, jangan bawa-bawa gue. Imejku sudah hancur dari awal akibat perkenalan Miku, dan sekarang kau mau menambahkan bagian dari trio mesum ke daftar profilku.
"Gue enggak terlalu suka film porno...," ujarku dengan nada agak kencang, sengaja agar didengar oleh siswi yang berada di dekat kami dan pura-pura tak mendengar obrolan kami.
"Munafik lu, Len."
"Munafik lu, Len."
Nero dan Gakupo menghina kemunafikanku secara bergantian, yang hanya kubalas dengan dengusan hidung. Seharusnya mereka pilih tempat kalau mau membicarakan hal semacam ini.
"Padahal kemaren elu minta bokep sama gue."
—!
Nero, KENAPA ELU NGOMONG ITU KENCENG-KENCENG?!
"Jadi, selera Len itu yang gimana?" tanya Gakupo, menyikut Nero untuk membongkar rahasia bisnis kemarin.
Jangan bilang... jangan bilang... anak cewek di bangku sebelah sudah menatap gue dengan pandangan kecewa.
"Itu... Di luar dugaan, Len demen sama les dengan kostum sust—"
Kalo elu lanjutin, jangan harap tangan dan kaki elu masih nyambung saat pulang dari sekolah.
Melihat tatapan membunuh dariku, Nero langsung menggelengkan kepalanya, mengatakan "Bu-bukan apa-apa! Kayaknya gue kemaren cuma mimpi, deh. AHAHAHAH!" dengan terbata-bata.
Haah, aku menarik nafas.
Menjaga imej di sekolah itu adalah salah satu hal terpenting untuk mendapatkan kehidupan sekolah yang menyenangkan—itulah tujuanku saat ini, atau dengan kata lain, 'mimpi'-ku.
'Memiliki kehidupan sekolah yang menyenangkan' mungkin memang lebih terdengar seperti harapan dibandingkan mimpi, namun bagiku yang melewati masa SMP yang bagaikan neraka dan tak tahu akan cita-cita, itu adalah mimpi terbaik yang kumiliki.
Aku duduk di bangku keempat dari depan, kedua dari belakang, tepat di samping jendela yang mengarah ke lapangan olahraga—dengan kata lain, bangku protagonis.
Lalu, di belakangku, orang yang duduk di bangku heroine, seolah sudah ditakdirkan, tidak lain dan tidak bukan adalah pasangan jiwaku, Hatsune Miku.
Yah, yang sebenarnya sudah ditakdirkan itu adalah diriku. Bangku paling pojok adalah bangku spesial yang tidak memiliki kursi (berbeda dengan bangku siswa lain yang gabungan meja dan kursi—kau pasti pernah melihatnya), khusus untuk siswi yang sudah 'membawa' kursi dari rumah.
Dengan kata lain, hanya untuk Hatsune Miku seorang.
Berbeda denganku yang memiliki dua orang yang dapat kupanggil sebagai 'teman' (menurut prinsip 'pria baru dapat disebut teman yang sebenarnya jika membicarakan hal jorok seolah-olah itu bukan apa-apa'), Miku memiliki banyak 'kenalan', namun tak ada satupun orang yang dapat ia panggil teman.
Ya, ia ramah pada semua orang, namun tetap saja, pada akhirnya, ada satu dinding yang membatasi mereka.
"Bukannya aku tidak ingin berteman, hanya saja... Kau tahu, Len, rasanya menyakitkan memiliki teman yang mendekatimu hanya karena rasa iba. Aku iri denganmu yang mampu berteman dengan Akita dan Kamui tanpa mempedulikan kondisi tanganmu."
—adalah apa yang Miku katakan padaku ketika aku bertanya perihal hubungan sosialnya dengan siswi lainnya.
Jadi, bisa dibilang, akulah satu-satunya teman yang dimiliki Miku.
The one and only.
Meskipun pemikiran itu terkadang membuatku senang, namun tetap saja, aku ingin melihat Miku dapat berteman dengan siapapun tanpa memandang kekurangan yang ia miliki, sama sepertiku.
Hatsune Miku duduk bertopang dagu, sembari membaca buku pelajaran kimia yang terlihat seperti kumpulan mantra sihir bagiku. Entah ia mengerti atau mencoba untuk mengerti, ia terus membaca sembari menggaris bawahi bagian-bagian yang penting.
Ini jam pelajaran terakhir, dan sang guru tak dapat hadir karena sedang sakit.
Dengan Nero dan Gakupo yang pergi keluar kelas untuk mejeng hit-and-run, aku tertinggal sendirian karena sedang malas untuk menggerakkan kakiku. Di saat seperti ini, aku membalik kursiku, menghadap ke arah Miku tanpa aba-aba.
"Hai, Len."
"Apa-apaan itu?"
"Aku tidak tahu apa yang harus diucapkan untuk memulai percakapan," ia menutup bukunya, menyimpannya di dalam kolong meja. "—dan lagi, kau tahu, hatiku selalu berdebar dan kepalaku tak dapat berpikir saat berbicara denganmu."
"Itu dialog dari novel mana?"
"Entah, sepertinya dari salah satu komik romantis di tempatmu kerja sambilan."
Aku sudah biasa menerima godaan darinya. Awalnya itu sempat membuatku ke-geer-an dan malu tiap kali mendengarnya, namun setelah menerima godaan semacam itu secara rutin tiap hari dalam seminggu, aku jadi kebal terhadapnya.
"Heeh," ujarku ringan, "Aku tidak pernah membaca komik shoujo. Mungkin nanti akan kubaca beberapa, jadi aku bisa membalas godaan picisanmu dengan godaan yang lebih picisan lagi."
"Kau suka sekali dengan kata 'picisan', ya?"
Salah satu keunikan lain di antara kami—selain perjanjian untuk menguasai dunia bersama—adalah betapa mudahnya kami menggunakan kalimat-kalimat dramatis dalam kehidupan sehari-hari.
Mungkin seharusnya aku ikut klub teater saja—pikiran itu langsung kubuang jauh-jauh karena mustahil bermain teater dengan kondisi tangan yang diperban sebelah semacam ini.
"Hari ini mau ke toko lagi?"
Miku menggeleng pelan, "Aku memiliki rencana lain hari ini, dan kau terlibat di dalamnya."
"Salah satu dari sekian rencana untuk menguasai dunia yang berada di dalam kepalamu? Kukira itu hanyalah omong kosong belaka."
"Jika selama ini kau menganggapnya hanyalah omong kosong, itu tidak sepenuhnya salah, karena selama satu minggu ini, yang kulakukan hanyalah penyusunan dan penyempurnaan rencana."
"Jadi, maksudmu... kau akan mulai menjalankan rencana itu hari ini?"
"Iya. Kita akan memulai Proyek Penguasaan Dunia hari ini."
Gadis berambut toska itu menggenggam tangannya sendiri sambil tersenyum semangat,
"Sepulang sekolah nanti, ikut aku ke suatu tempat."
— [I] —
"Disini?"
Lantai dasar gedung serba guna SMA Vokazuri, gedung yang berbeda dari gedung kelas utama. Di dalam gedung serba guna yang hanya terdiri dari dua lantai, terdapat studio musik dan lukis, perpustakaan, auditorium, laboratorium biologi dan fisika, serta gudang-gudang tak terpakai.
Di antara beberapa gudang tersebut, terdapat satu gudang yang berada di bawah tanah, dan pintu dari ruangan yang dimaksud adalah pintu yang berada di depanku saat ini.
"Iya."
Begitu pintu terbuka, dapat terlihat tangga yang langsung menuju ke ruangan kosong yang dihuni beberapa kardus, serta meja dan kursi yang tak terpakai.
Tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah itu terbagi dua, sebelah kanan berupa tangga bertingkat biasa, sedangkan yang sebelah kiri adalah lantai miring yang digunakan untuk membawa benda beroda masuk—dengan kata lain; landasan untuk Hatsune Miku.
Tanpa berpikir panjang, Miku langsung mendorong kursi rodanya menuruni landasan itu, lalu membuat manuver belokan mengagumkan untuk berhenti tepat di tengah ruangan.
Hatsune Miku. Level: 50. Skill: Wheelchair Drifting.
"Apa yang kau tunggu?"
Menanggapi panggilannya, aku menuruni anak tangga, menghampiri Miku yang sudah menunggu. Aku memandang sekitar ruangan tanpa jendela, memasukkan mereka ke dalam memori.
"Lalu?" aku berbicara, menanyakan tujuan ia membawaku kesini.
Ia menggerakkan kursi rodanya, bergerak ke arah sebuah meja panjang berdebu di salah satu sisi ruangan. Gadis itu menepuk meja itu, membuat debu-debu di atasnya berterbangan.
"Beberapa hari yang lalu, aku pernah berkata bahwa aku tidak ingin berteman dengan orang yang memandangku dengan kasihan, bukan?"
Aku mengangguk.
"Apakah kau memandangku begitu?"
"... Tidak."
Awalnya mungkin, namun pikiran itu langsung lenyap seketika.
"Jika kutanya alasannya, aku yakin seratus persen kau akan menjawab karena kau juga tahu bagaimana rasanya memiliki kekurangan fisik, bukan?"
Sekali lagi, aku mengangguk.
"Dari situ, aku mendapat ide."
Ia menunjuk ke arahku menggunakan jari telunjuknya, lalu berkata dengan senyum yang lebar,
"Jika aku bisa menemukan lebih banyak orang yang sama-sama memiliki kekurangan fisik, mereka pasti akan berteman denganku tanpa pandangan kasihan, bukan?"
Ah, aku mengerti ke arah mana pembicaraan ini menuju.
"Dan lagi, mustahil kita bisa menguasai dunia hanya dengan dua orang. Kita butuh lebih banyak rekan untuk melaksanakan Proyek Penguasaan Dunia ini."
Gadis itu membuka tas selempang yang berada di pangkuannya, mengambil sebuah dokumen yang terdiri dari beberapa lembar kertas, dan memberikannya kepadaku.
"Oleh karena itu—"
Aku membaca dokumen yang berisi tentang beberapa siswa 'spesial' yang berada di sekolah ini, dan langsung paham apa yang akan diucapkan oleh Hatsune Miku selanjutnya,
"—Ayo kita dirikan Klub Siswa Penyandang Cacat."
— [I] —
Klub Siswa Penyandang Cacat.
Ketua: Hatsune Miku.
Wakil Ketua: Kagamine Len.
Sekretaris:
Bendahara:
Anggota:
1.
2.
3.
Tujuan:
Menciptakan lingkungan dunia yang kondusif bagi penyandang cacat melalui penguasaan aspek-aspek kehidupan tertentu, menambah kemampuan sosial para anggotanya, sekaligus memberikan konsultasi kepada siswa yang memiliki masalah.
— • —
— Bersambung —
— • —
Catatan Penulis:
Halo, Elpiji disini.
Ah, sudah lama sejak terakhir kali nulis di fandom ini. Jangan tanyain kabar fanfik multikapter saya yang lain, karena kayaknya enggak akan dilanjutin karena hilang ide dan malas.
Jadi, yah, ini adalah versi baru dari Disability Students Club yang saya tulis (mungkin) tahun lalu. Ada lumayan banyak perubahan disana-sini, jadi ini bukan hanya sekadar tulis ulang belaka. Itu terserah kalian mau melihatnya sebagai a whole new story atau rewrite.
Saya enggak akan ngejelasin dimana perubahannya karena kalian bisa cek sendiri.
Soal kurangnya adegan lawak di chapter ini... yah, kapter depan ntar dibanyakin, karena ide utama dari fanfik ini adalah banyak lawak, banyak ngefeels. Ahahah.
Akhir kata, sampai jumpa.
Kalau ada waktu kasih review. Apresiasi pembaca sangat berharga.
