Summary:

Dunia sihir butuh seorang pahlawan. Namun, apa yang akan terjadi jika topi seleksi tak mau mempertimbangkan pilihan Harry Potter kecil? Bagaimana jika topi kumal itu meneriakkan 'Slytherin' untuk Harry? Apakah kisah penyelamat dunia sihir itu akan berubah sepenuhnya? / "Tidak, Potter. Aku akan menempatkanmu di sana. Tempat di mana kau seharusnya berada. SLYTHERIN!" / "Kau yakin dia sanggup beradaptasi di sini? Santo Potter itu—" / "Akan kulakukan apa pun untukmu. Apa pun. Kumohon ubahlah aku, Malfoy." / "Kau bilang apa pun, kan?" / DRARRY! Read and review, please.

...

"Hei, Ginny! Begitu kami masuk nanti, kami akan seasrama dengan Harry Potter, penyihir hebat itu!"

"Tentu saja kalian akan seasrama dengannya! Kau pikir kemana lagi topi seleksi akan menempatkannya?"

"Ah, lihat. Dia ingin pergi juga. Adik malang."

"Shut up, George."

"Astaga. Siapa yang mengajarimu tidak sopan begitu?"

"Arggh, Percy. Jangan pidato, please."

"Yeah, inilah akibatnya memiliki prefek dalam keluarga."

"Sudahlah, kalian. Berhenti bertengkar. Kemasi saja barang-barang itu!"

"Mum, bolehkah aku ikut mengantar ke stasiun?"

"Ehm. Kurasa kita harus menjauhkan Harry Potter dari pandangan si adik kecil ini."

"Ginny, jangan bilang kau memang mau melihat Harry Potter."

"Apa dia tampan?"

"GINEVRA!"

"Sorry, Mum. Aku kan hanya penasaran."

...

Change Me,Malfoy

Original by: GinevraPutri

Disclaimer: J.K. Rowling

Rate T

Romance and Drama

"."

...

Chapter 1 – The Wrong Decision

"Follow me."

Gemuruh langkah kaki penyihir-penyihir cilik itu terdengar sangat bersemangat. Lukisan-lukisan sepanjang koridor melambai-lambai. Pintu Aula Besar nampak terbuka dari kejauhan. Proffesor Mcgonagall memimpin murid-murid kelas satu itu ke depan podium.

Sepasang mata kehijauan milik Harry James Potter serasa nyaris meloncat keluar dari rongganya. Kepalanya mendongak ke arah langit-langit Aula Besar yang menurutnya sangat menakjubkan itu. Dan bukan hanya dirinya yang terpukau, kini gumaman murid-murid baru lainnya ikut mendominasi suasana.

"Ah, ya. Itu hanya langit-langit sihiran. Disihir agar terlihat seperti langit malam," Semua mata mendadak mengarah pada gadis kecil berambut ombak di belakang Harry. "Well, aku membacanya di Hogwarts, a History."

Cowok berambut merah disamping Harry, Ronald Billius Weasley, memutar mata. "—dan entah kenapa aku yakin kau akan masuk Ravenclaw."

"Siapa namamu?"

"Ronald Weasley. Kenapa?"

"Oh. Kupikir kau keturunan peramal atau apa," gadis itu ganti mencibir. "Aku tak percaya ramalan. Menurutku terlalu mengada-ada."

"Siapa namamu?"

"Hermione Granger. Kenapa?"

"Aku hanya tanya," Ron mengangkat bahu sebelum berbisik pada Harry. "—sepertinya dia keturunan Muggle. Aku belum pernah mendengar keluarga sihir bermarga Granger."

"Aku mendengarmu."

Ron tersandung jubahnya sendiri. "Yeah, kita semua tahu menguping adalah tindakan yang tidak sopan sama sekali."

"Well, apa kau belum pernah mendengar bahwa membicarakan orang lain di depannya juga tindakan yang tidak sopan sama sekali?"

"Berhenti, kalian berdua," Proffesor Mcgonagall menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sekolah belum dimulai, dan keributan sudah terjadi."

Keheningan yang canggung mendadak menyelimuti Aula Besar.

"Nah. Pertama-tama, Proffesor Dumbledore akan menyampaikan beberapa patah kata."

Pria tua dengan jenggot putih panjang berdiri dan melangkah ke podium. "Sebelumnya, tentu saja aku harus mengucapkan selamat datang bagi kalian terlebih dahulu. Welcome to Hogwarts!"

Tepuk tangan riuh menyambutnya.

"Aku tak ingin berpanjang-panjang kata. Yang ingin kusampaikan hanyalah peringatan dari Tuan Filch, ya, dia disana." Kepala-kepala menoleh ke arah yang ditunjuk. Pria pendek dengan seekor kucing dalam gendongannya berdiri tepat di depan pintu masuk. "Peringatan tersebut, antara lain: Semua murid, tanpa terkecuali, dilarang memasuki Dark Forest."

Jeda.

"Selanjutnya, koridor lantai tiga adalah terlarang—" lanjut Proffesor Dumbledore, "—bagi yang tidak ingin mengalami kematian dengan sangat menyakitkan, tentu saja."

Murid-murid kelas satu saling berpandangan. Bayangan-bayangan mengerikan mulai berkelebat dalam pikiran masing-masing. Namun sebelum mereka bisa menduga-duga apa yang tersembunyi di koridor itu, sang kepala sekolah menuruni podium dan Proffesor Mcgonagall kembali menjadi pusat perhatian.

"Sekarang, aku akan memanggil nama kalian satu-persatu. Yang kupanggil maju, duduk di kursi ini. Akan kuletakkan topi seleksi di kepala kalian, dan kalian akan terpilih ke asrama masing-masing. Baiklah. Mari kita mulai."

...

"Granger, Hermione."

Hermione menghela napas keras-keras sebelum melangkah maju dan duduk di kursi yang telah disediakan itu.

"Mm-hm, kau jenius, Granger." Topi seleksi memulai. "Cerdas dan ambisius.. kita semua tahu tempatmu. R—Ah. Tunggu! Aku tak menyangka. Yeah, tekad.. keberanian.. pengorbanan.. Astaga, Granger. Kurasa Ravenclaw kurang tepat untukmu. Sebaiknya kau berada di.. GRYFFINDOR!"

...

"Malfoy, Draco."

Ron mendengus. "Nama macam apa itu."

"Itu nama dari konstelasi bintang, Ron," Harry tertawa. "—lagipula, kedengarannya unik."

Cowok dengan rambut pirang-platina maju ke depan dan duduk di kursi. Namun belum sempat topi seleksi mendarat sempurna di kepalanya, sehelai rambut yang mencuat membuat si topi tersentak. Benda kumal itu kemudian meneriakkan kata yang dirasanya sangat tepat dan— pasti tepat.

"SLYTHERIN!"

Ron mengguncang lengan Harry. "Tapi semua penyihir jahat berasal dari Slytherin!"

"Bahkan Vol— ehm. Kau-Tahu-Siapa?"

Ron menghela napas dan mengangguk kaku.

...

"Potter, Harry."

Harry bergidik ngeri mendengar namanya dipanggil. Bisik-bisik merambati Aula Besar. Semua mata memandangnya. Telinganya menangkap gumaman disana-sini.

"Itukah Harry Potter?"

"Wah. Dia pakai kacamata."

"Bloody hell! Itu Harry Potter!"

Ron mengucapkan semoga suksesnya tanpa suara. Harry menelan ludah dan mulai melangkah maju. Proffesor Mcgonagall segera menyuruhnya untuk duduk begitu sampai.

Perlahan tapi pasti, topi itu menyentuh puncak kepalanya.

"Oh. Yaa, keberanian, tentu saja.. Bakat, sesuatu yang bagus.. Well, keinginan untuk membuktikan diri.. dan— cenderung melanggar peraturan. Hmm.. Difficult, very difficult.."

Harry menggigit bibir dan mulai berbisik, "Not slytherin.. Not slytherin.. Not slytherin.."

"Not slytherin?" Si topi mendadak menggeram. "Tapi kau akan menjadi penyihir yang hebat, Potter. Semua yang kau butuhkan ada disana. Slytherin akan membantumu menuju kesuksesan itu."

"Not slytherin, not slytherin, not slytherin.. please.." Harry mati-matian berbisik layaknya kata-kata itu adalah mantra yang akan membius si topi untuk menyeleksinya ke asrama mana pun, kecuali Slytherin. Ia tak akan sudi berada dalam asrama musuh abadinya. Asrama di mana pembunuh orang tuanya dulu tidur dan belajar. Tidak—

"Tidak, Potter. Aku akan menempatkanmu di sana. Tempat di mana kau seharusnya berada. SLYTHERIN!"

"What?"

Teriakan-teriakan mulai terdengar, dan Harry tak dapat merasakan tubuhnya. Rasanya seakan bertahun-tahun sebelum Proffesor Mcgonagall mendadak tersadar dan menarik lepas topi itu.

Harry berjalan sempoyongan ke arah meja Slytherin, di mana para kobra sibuk mendesis tak suka ke arahnya.

Termasuk pria itu. Si pirang-platina.

...

"Apa pun milik Godric Gryffindor adalah laknat. Bahkan topi sialan itu kepunyaannya, kan? Lihat, kini kita memiliki Harry Potter! Apa-apaan! Pantas saja Salazar membencinya," gerutu Theodore Nott.

"Tidakkah menurutmu dia terlalu bertolakbelakang dengan Slytherin? Apa yang membuat topi seleksi berpikiran bahwa dia akan cocok disini?" Vincent Crabbe menggeleng-geleng tak percaya.

Gregory Goyle mengangkat bahu. "Mungkin topi itu sudah pikun. Siapa yang tahu berapa usianya?"

"Arrgh. Potter menodai sejarah asrama kita," sahut suara baru. Cowok tinggi berambut pirang-platina menghampiri dua teman barunya.

"Hei, Malfoy. Kau sudah menyapa si Potter?" goda Crabbe.

Draco Malfoy memutar mata. "Oh please—"

"Aku tak yakin bagaimana nasibnya di sini," gumam Nott.

"Yeah, siapa peduli? Tidakkah kau senang melihatnya menderita begini?" Malfoy tertawa.

"Jadi, maksudmu, kita harus menambah penderitaannya?"

"Aku tidak bilang begitu, tapi akan menyenangkan jika kita melakukannya," Malfoy tersenyum di sudut bibirnya.

"Wah, mate. Itu mengerikan," tawa Goyle.

"Tapi bukankah ini yang dinamakan Slytherin?"

...

"Bukankah ini yang dinamakan kesialan seumur hidup?" Harry melempar bantalnya ke seberang ruangan.

Sementara 'teman-teman' barunya asyik bercengkrama di ruang rekreasi, ia justru mengurung diri di kamar asrama dan merutuki nasibnya.

ARRGH. SIAL. SIAL. SIAL.

Ia akan menjalani tujuh tahun—ya, tujuh tahun—bersama murid-murid Slytherin dan pikiran licik mereka. Bersama tempat remang-remang bawah danau ini. Bersama pengucilan dan gangguan dari orang-orang yang seharusnya bisa disebut 'teman'. Bersama kepala asrama yang sangat mengintimidasi. Bersama—

DAMN.

Yeah, sepertinya Harry akan jauh lebih banyak menghabiskan waktu di luar asrama. Mungkin ia akan menemukan teman-teman beda asrama yang tidak membicarakannya terang-terangan, ditambah cara mereka mendengus setiap mendengar nama 'Potter'. Ia akan berhasil. Ya, ia akan berhasil melewati tujuh tahun di sini.

Huft. Tarik napas, hembuskan. Tarik na—

"Hei, Potter!"

—pas, hembuskan. Brengsek.

"Apakah orang tuamu kecewa karna kau masuk Slytherin?" Draco Malfoy menyandarkan punggungnya ke ambang pintu, "By the way, dimana mereka? Apa mereka ada di dimensi lain, Potter?"

Gelagak tawa menyusul kalimat demi kalimat yang baru saja dilontarkan pada Harry.

"Pergi dan urus urusanmu sendiri, Malfoy."

"Ah. Kau begitu jahat, Potter. Kau menyakiti hatiku. Pantas topi itu memasukkanmu ke Slytherin."

Harry menghela napas keras-keras dan mencoba bicara sepelan mungkin. "Topi itu membuat keputusan yang salah, Malfoy. Sekarang pergi dan jangan ganggu aku."

"Keputusan yang salah," ulang Malfoy. "Well, kita tak tahu apakah kesalahan topi itu atau memang kau penyihir yang busuk."

"Apa kau sedang mengolok asramamu sendiri? Jika aku penyihir busuk dan masuk Slytherin, bagaimana denganmu dan murid Slytherin lainnya?"

"Aku tidak sedang mengolok Potter. Aku sedang memuji," Malfoy mencibir. "Tapi jika kau menganggapnya sebagai olokan, mungkin akan sempurna jika aku memanggilmu Santo Potter, yeah?"

"Apa orang tuamu tak pernah mengajarimu untuk menutup mulut?"

"Bagaimana dengan orang tuamu, Potter? Hah. Cowok malang yang kesepian."

"Kau membuang waktuku."

"Silahkan abaikan kata-kataku. Tapi kau harus tahu bahwa aku takkan pernah berhenti."

"Aku tahu, Malfoy. Aku tahu kau terlahir untuk menyampah dalam kehidupan orang lain."

Malfoy tertawa. "Lihat siapa yang bicara. Sampah Slytherin."

Sampah Slytherin. Kata-kata itu menusuk Harry lebih dalam dari yang diharapkan. Sampah Slytherin.

Bahkan ia adalah sampah dari asrama terburuk di Hogwarts. Apakah kini masih ada kesempatan untuk mengubahnya? Mengubah jati dirinya?

"Kata yang sangat bermakna untukmu, ya?" Malfoy memberikan senyum sinis terbaiknya dan berlalu begitu saja sedetik kemudian.

Hening.

Setidaknya sekarang Harry tahu, cara mengenyahkan Draco Malfoy adalah membiarkan hatinya terluka untuk sesaat.

...

To Be Continued

...

AuthorNote:

Yeah. Drarry pertama, nggak bisa dipercaya aku berhasil menulisnya. Review, please.. Aku benar-benar mengharapkan kritik dan saran. Bagaimana idenya, menurut kalian? Klise kah? Next chapter bakal diupdate setelah fanfic Burn di update ya. Thanks.

Sign,

GinevraPutri.