Warning : chapter ini mengandung spoiler & timeline manga chapter 629.
Note: Dapet ide cerita ini setelah baca chapter 629 kemarin yang bikin aku nangis…
Disclaimer: Naruto & Team Seven adalah milik Masashi Kishimoto
Sweet Delusions
"RAIKIRI!"
Kakashi mendorong telapak tangannya yang sudah dilapisi jurus petirnya, ia tak ragu lagi untuk menghunus dada Obito. Namun nampaknya, mantan rekan setimnya itu bergerak lebih cepat dengan memutar tomoe sharingan di matanya.
Drashh!
Rin memuntahkan darah selagi mengerang dan sedikit terbatuk. Dagunya sudah dialiri cairan merah kental. Kakashi segera menarik lengannya. Kakashi terkesiap, matanya terbelalak dan seketika luka dalam hatinya kian lebar, terasa kering namun perih, dan begitu menganga.
Ia menarik tangannya dengan cepat.
Memori itu!
Rin.
Obito terbatuk darah, dadanya telah ditembus dan ia menyeringai.
"Lihat," Obito menunjuk lubang besar ciptaan Kakashi di dadanya. "Tak ada hati di sini, Kakashi. Tak ada luka…"
Kakashi membuka matanya lebih lebar, adrenalinnya sudah terpacu. Sejak tadi diseret dalam pusaran Obito, Kakashi disiksa secara psikis. Inilah kelebihan Uchiha yang paling tidak adil. Mereka pintar membuat ilusi yang disebut genjutsu melalui kekkai genkai mereka, mata sharingan.
Kakashi pernah terjebak dalam genjutsu Itachi, di mana dirinya di ikat dalam sebuah tiang salib dalam dunia hitam merah. Hanya ada belasan Itachi memegang pedang begitu mengancamnya. Itu adalah genjutsu paling mengerikan seumur hidupnya menjadi pasukan ninja elit atau jounin.
Tapi yang dilakukan Obito kali ini lebih dari itu.
Lebih jahat.
Kakashi memegangi dadanya.
Rin…
"Kau merasa bersalah?" suara Obito seakan mengejeknya. "Kau merasa lemah?"
"Mari kita akhiri saja, Obito… hentikan semua ini." sahut Kakashi masih tersengal sehabis melihat bayang kematian Rin di tangannya yang begitu menyesakkan batinnya.
"Ikutlah bersamaku, Kakashi. Bergabunglah denganku…" Obito menatap Kakashi dengan kesungguhan, "Kau pikir aku ingin hancurkan Konoha karena kau membiarkan Rin mati? Ya, aku memang marah padamu. Ya, aku sangat kecewa kau mengingkari janjimu padaku. Tapi ingatlah, aku bukan orang sedangkal dulu.
Banyak hal yang kian lama semakin kubenci. Salah satunya adalah dunia shinobi. Aku tahu, Rin memutuskan kematian di tanganmu, di tangan orang yang dicintainya, karena pada saat itu ialah jinchuuriki sanbi yang dijadikan alat Kirigakure untuk menyerang Konoha.
Ia memilih kematian di tangan orang yang dicintainya, juga untuk melindungi desa. Apa kau berpikir itu adalah patriotisme? Apa kau tak pernah mengerti? Adakalanya kita merasa egois karena orang yang kita cintai…" Obito mendecih seakan sejarah cinta pertamanya adalah kesakitan abadi.
"Ah, percuma saja kukatakan panjang lebar karena kau tak tahu rasanya. Kau tidak tahu hancurnya aku menangisi mayat Rin dengan tubuh sakitku! Tubuh tak nyataku, Kakashi!"
Kakashi ingin berteriak untuk membantah. Ia tahu, ia sudah keluar dari genjutsu Obito. Tapi nyatanya, kata-kata yang dikeluarkan Obito lebih pedih dari sebuah siksaan ilusi.
Obito tidak pernah melihat secara langsung bagaimana Kakashi mengalami guncangan jiwa pada saat itu. Kakashi bergetar, Kakashi lemas, Kakashi bahkan tidak memiliki keberanian untuk sekedar mencengkram pundak Rin dengan keras saat itu.
Ia ingin memarahi Rin. Ia ingin membentak Rin sekeras-kerasnya saat itu. Tapi ternyata ia tidak bisa. Yang ia lakukan hanya memegang kedua pundak Rin, menyaksikan dengan seksama bagaimana Rin menutup mata dan menghembuskan napas terakhir, dengan rinci.
Menancapkan rasa bersalah dan penyesalan begitu dalam. Membayangi mimpi buruknya. Menghantui hidupnya.
"Karena kau lebih egois dariku, Kakashi. Kau hanya seorang bocah yang merasa sempurna, tidak mungkin merasakan apa-apa saat kematian Rin terjadi."
"DIAM!"
"Kenapa?" Obito terkekeh ringan mendapati Kakashi sudah tersulut emosi.
"Kau tak pernah tahu aku pun merasa bersalah," akhirnya Kakashi bersiap ingin membalas rekan setimnya. "Ada satu hal yang dari dulu selalu kusembunyikan, Obito!"
"Katakanlah!"
"Aku menyukai Rin."
Sejenak ejekan yang sejak tadi tersirat di wajah Obito kini lenyap, namun tak berlangsung lama karena ia segera menyeringai sinis. "Aku terkesan, pecundang sepertimu mampu mengatakannya. Tapi kau tahu kau sudah terlambat, Kakashi."
Kakashi mengerutkan alis, ia langsung mengerti bahwa ternyata rasa yang ditutup-tutupinya untuk Rin sudah diketahui Obito. "Aku menahan perasaanku, menekannya hingga dadaku sakit. Itu semua untukmu, Obito."
Obito mengepalkan tangannya kesal, ekspresinya sedari tadi tak menunjukan efek lubang besar di dadanya. "Tak perlu kau mengasihaniku!"
Kakashi bertekat mengungkap semuanya tanpa sisa, "Dia adalah gadis paling manis seangkatan, dan aku menyukainya diam-diam sampai kita disatukan dalam sebuah tim dan aku tahu kau menyukainya."
"Che," Obito mendecih. "Jadi itu alasanmu menjadi bocah arogan dan dingin di tim kita?"
Kakashi menggeleng, "Kalau saja kau tahu, aku ingin sekali kita bersama-sama. Selalu. Adalah hal sulit untuk memilih antara Rin dan kau. Semakin kupendam perasaan itu, semakin mencengkram hatiku. Rin adalah cinta pertamaku, kau adalah sahabatku.
Apa yang bisa kulakukan memangnya? Tadinya aku berpikir untuk membiarkan kalian berdua bersama, lalu berdiam mengawasi dan menjaga keutuhan kalian, kebahagiaan kalian. Apa kau berpikir itu mudah dilakukan? Membayangkannya saja membuatku sakit, Obito.
Tapi aku bertahan menahan semuanya sampai kematianmu, kau memintaku berjanji untuk menjaga Rin. Tanpa kau suruh aku berjanji, itulah yang akan kulakukan di sisa umurku! Saat kau mati, aku amat terpuruk. Rin menangisimu."
Obito terkejut, tak bisa menutupi ekspresi itu di wajahnya. Wajar saja jika teman menangisi temannya yang lain ketika celaka bahkan mati. Tapi mendengar Rin menangisinya dari mulut Kakashi… "Aku… merasa sakit…" ia menyentuh lubang di dadanya.
"Aku juga." Kakashi menyambung, "Menekan perasaanku pada Rin dalam hati selama beberapa tahun. Itu sakit. Menyaksikan Rin menangisimu ternyata jauh lebih sakit. Ada bayang… Ada rasa…"
Kakashi mulai terbata-bata, "Di kedua matanya yang basah, aku mulai tahu ternyata hatinya sudah terbelah… antara kau dan aku. Semua itu terlihat saat kematianmu. Cara ia menggenggam tanganmu, menatapmu sendu dan seakan tak rela saat aku menariknya segera pergi saat itu.
Aku sangat terpuruk." Kakashi melanjutkan, " Aku pikir aku bisa kembali tegar dan menutupinya seperti biasa yang kulakukan. Ternyata itu jauh, jauh dan jauh lebih sakit tanpamu, Obito. Sebagian diriku mulai sadar inilah yang kuinginkan, tanpamu, hanya berdua dengan Rin. Namun sebagian diriku lagi menikam, dan menenggelamkanku dalam doa: jika saja kau hidup akan kurelakan Rin untukmu."
"Kakashi…" Obito bergumam.
"Sejak kau tak ada, Rin tidak lagi sama. Ia masih ramah dan ceria tapi aku tahu keceriannya kadang dibuat-buat. Rin juga tidak pernah lagi mencari perhatianku seperti dulu. Ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa."
"Apa maksudmu sebenarnya menceritakan ini?" tanya Obito sempat sengit.
"Tidak tahu," Kakashi tersenyum, "Mungkin rasa terima kasih. Karena kau, Rin dewasa, karena kau, Rin tumbuh kuat. Tapi aku mengacaukan semuanya. Maaf kan aku, Obito… itu kelalaianku… kematian Rin…"
"Cukup." Obito menyudahi, "Aku tidak butuh omong kosong ini. Bagiku, Rin tidak mati. Orang mati adalah palsu… dunia ini palsu karena Rin mati. Bergabunglah, kau akan hidup dalam Dunia Sempurna yang kuciptakan."
Kakashi memandangi Obito, entah kenapa fokusnya tersedot putaran tomoe di mata manan rekannya tersebut.
.
==00==00==00==
.
Napas Kakashi tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya berkeringat. Ia menatap kesekitarnya.
Ini sebuah kamar?
Kakashi bahkan tidak bisa memastikan desa mana tempat dirinya berada.
"Kakashi-kun," Suara itu… asing… tapi kenapa Kakashi sangat merindukannya?
Kakashi menoleh ke arah pintu berkelambu, disanalah seorang perempuan berambut cokelat basah sepundak sedang tersenyum. Kakashi menelan ludah.
"R-rin?" tanyanya ragu. Jantungnya berdebar-debar. Wanita dewasa yang manis itu sungguhkan Rin?
"Sudah bangun, lekas mandi. Satu jam lagi kau harus mengajar." Rin mengeringkan rambutnya dengan handuk. Kakashi diam memerhatikan. Itu wajah Rin. Rin versi dewasa. Sebuah pemandangan yang benar-benar tak pernah diduganya.
Rin tak banyak berubah. Caranya bicara, caranya menatap, caranya bergerak dan sepasang tato ungu di pipinya. Tanpa sadar Kakashi menahan napasnya. Hanya saja Rin bertambah manis dengan tubuh tumbuh tinggi langsing dan suara yang lebih halus, tidak secempreng dulu.
"Kakashi-kun," Rin membalikkan badan setelah menyisir rambut. Kakashi benar-benar tidak percaya dengan apa yang diperbuat oleh matanya. Rin mulai jengkel, "Naruto, Sasuke dan Sakura akan menyusul kemari lagi jika kau tidak segera bergegas!"
Merasa tidak sabar karena Kakashi hanya diam memandanginya, jemari lentik dan kurus Rin menarik lengan Kakashi. Menggeretnya ke kamar mandi dan memberikannya handuk, "Cepat mandi! Aku sudah menanak nasi dan membuat sup miso, aku akan menghangatkannya dan menambahkan terong selagi kau mandi."
Dan pintu pun ditutup oleh Rin.
Dalam kamar mandi, Kakashi memegangi kepalanya. Mengapa ia bisa satu rumah dengan Rin? Mengapa Rin bertingkah seolah-olah… seolah-olah… "Isteriku?"
Tidak mungkin kan satu rumah tanpa ikatan apa-apa?
Kakashi tidak bisa mandi dengan tenang. Berniat menyegarkan diri dengan air dingin, Kakashi teringat maskernya! Tangannya meraba wajah, dan ia mengumpat keras dalam hati tak menemukan lapisan pelindung itu di sana.
Rin sudah melihat wajahnya?
Kakashi mempercepat kegiatannya membersihkan tubuh dan keluar kamar mandi. Di atas ranjang sudah terdapat seragamnya lengkap dengan jounin-vest dan ikat kepala serta maskernya. Selama memakai pakaiannya, Kakashi bisa mencium aroma sabun cuci yang sangat khas pilihan Rin.
Setidaknya, Kakashi masih ingat terakhir kali ia bersama Obito. Dalam medan perang. Lalu Obito menjebaknya, mengirim Kakashi menuju dimensi ini.
"Kakashi-kun, pakai sandal ninjamu yang hitam saja ya karena sudah kucuci. Tinggalkan saja yang biru tua, nanti akan kucuci juga."
Genjutsu.
"Maaf Kakashi-kun, kantung kunai-mu kotor dan kurendam. Kemarin sore kebetulan aku membeli beberapa kantung kunai baru untuk persiapan. Modelnya tidak sama dengan yang lama, tapi lebih muat banyak dan minimalis kok. Tidak apa-apa kan?"
Dan inikah sebuah trailer dari dunia sempurna yang Obito janjikan?
"Kakashi-kun, kenapa tidak dimakan?" Rin menatap cemas Kakashi dengan gumpalan nasi dijepit sumpit di depan mulutnya. Wanita itu urung. "Apa kau sakit?"
Kakashi tidak bisa lagi melihat wajah Rin yang begitu memperhatikannya. Ia melirik semangkuk nasi yang masih mengepulkan uap di depannya. Rin yang tadi menyodorkannya. Juga semangkuk besar sup miso yang adalah makanan favorite-nya.
Kakashi diam tak menjawab Rin yang lagi-lagi bertanya dengan khawatir. Ia tidak boleh terlena. Semakin dalam ia menikmati maka pintu keluar akan semakin menjauh atau menghilang. Kakashi menyendok kuah sup.
"Apa rasanya tidak enak? Wajah Kakashi-kun pucat…"
Bahkan masakan Rin sangat cocok dengan lidahnya. Inilah siksaannya. Melawan perasaan demi memecahkan jebakan.
"Kakashi-kun ada masalah?"
Sialan. Obito benar-benar sialan!
"Apa… Kakashi-kun marah padaku?"
Bahkan untuk mengabaikan Rin dalam wujud ilusi saja begitu sulit.
Kakashi mengeraskan hati. Ia tidak boleh punya rasa kasih pada Rin yang ini, sedikit pun, jangan sampai. "Diamlah Rin, aku sedang makan."
Lantas sampai kapan Kakashi akan terkurung di sini?
Bersambung…
Uhhh, maaf maaf keluar dengan fic baru yang bikin list hutangku nambah. Jadi 13… hi… serem ya? Keluh kesah kritik dan saran siap kutampung! #hormat!
