Tittle: I Sold My Soul to a Three-Piece And He Told Me I Was Holy.

Author: Meonk And Deog.

Cast/Pair: Donghae/Hyuk Jae/HaeHyuk.

Rate: M

Warning: Yaoi/Boys Love, possibility of typos, minor coarse language, this fiction contains mature scenes that not adviced for minors.

Disclaimer: We own nothing but our own ideas. We own no characters in this fiction. Don't do bad thing, plagiarism is still illegal.

Summary: "Hyuk Jae kehilangan kewarasannya, sumber napasnya, karena Donghae telah meracuninanya, menjauhkannya dari Henry—bocah semata wayangnya yang terpelajar—membuatnya memuja Donghae, seperti kesetanan, kesetanan mendambanya."

Who are we? Just a speck of dust within the galaxy?

Maybe we'll find a brand new ending

Where we're dancing in our tears

Adam Levine – Lost Star

.

.

.

Author POV

Hyuk Jae tidak suka diingatkan mengenai kilasan balik yang melibatkan mantan-mantan kekasihnya, yang pria maupun wanita, mantan teman tidurnya, mantan istrinya. Wanita yang berjanji sehidup semati dengannya, dalam duka maupun suka yang gampang diingkar, wanita yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan Hyuk Jae, yang dapat membuatnya bahagia sepanjang hari, sepanjang tahun, seiring waktu berdetik dan detak jantungnya, wanita itu adalah miliknya. Wanita yang dihamilinya selagi muda dan Hyuk Jae samarkan namanya. Wanita itu adalah mukjizat serta karuniaTuhan, tetapi kehilangannya malah membawa ilusi badai yang suka memorak-porandakkan suasana hatinya bila dibawa-bawa oleh Ibunya. Wajahnya yang berseri, sinarnya menyilaukan hati Hyuk Jae, sehingga Hyuk Jae bakal jadi lebih dari gila, apalagi sepasang mata bewarna kecokelatan yang membawanya menuju dunia yang lebih aman. Dan Henry-nya.

Buah hatinya, jantung baru buatnya, bocah yang dinamainya dalam kondisi yang kronis, tetapi Henry memiliki senyum yang mengingatkannya pada indahnya surya. Jadi Hyuk Jae setuju bila anak semata wayangnya yang berusia aktif diberi nama lain yang lucu, sekaligus menyenangkan. Seperti bintang kecil yang berkilau, membawanya menuju rumah sehabis hujan, yang lebih muktahir dari arah mata angin. Karena dengan melihat senyumnya saja, Hyuk Jae tidak lagi tersesat, sebab dunia ini seluruhnya kejam, tetapi Henry bukan salah satunya.

Omong-omong tentang Henry, selagi menatapi sebuah foto berbingkai kayu, terdapat dirinya dan anak itu yang kelihatan bahagia karena diciumi olehnya, Hyuk Jae tidak bisa lagi berbohong soal perasaannya. Henry membawa reaksi berbunga-bunga, seperti halnya dia yang sedang jatuh cinta, dan jatuh cinta bukanlah suku kata yang tepat sebab jatuh cinta sifatnya sementara. Melainkan sayang yang tidak akan luput dari hatinya. Henry anakku, anak dari wanita itu, wanita jalang yang pergi meninggalkannya, pergi dari hidup yang seperti malapetaka untuknya, tetapi Henry memulihkannya dari patah hati.

Henry kemarin berpesan kepadanya sebelum Henry hilang menuju keramaian, bahwa Hyuk Jae haruslah tegar, dia pula benci diingatkan dengan wanita yang suka seenaknya itu, Henry akan mengejar mimpinya, mimpi yang seluas galaksi sehingga mereka akan memiliki hidup yang mumpuni. Mereka berdua, Ayah dan anak yang rukun dan selalu dihadiahi senyum. Seumpama Henry dapat mewujudkan mimpinya, Hyuk Jae akan jadi yang paling Henry prioritaskan. Mendengarnya membuat hati Hyuk Jae senyap. Tiba-tiba ingatan tentang Henry memberikan semangat yang lebih gila dari sebelumnya, semangat yang akan muncul bila Henry memberikan motivasi yang pribadi. Jadi Hyuk Jae menciumi pipinya yang bulat sebelum membiarkannya sirna, membawanya terbang ke angkasa, dan Henry menangkap sebuah bintang di tangannya.

Mari kuberitahu bagaimana sebenarnya pria tak terlampau tinggi, nan kering, tetapi tetaplah gagah ini, kepada pembaca sekalian. Pria yang baru sembuh dari kematian pujaan hati bernama Hyuk Jae dengan latar belakang keluarga tidak jelas, yang sudah terlantar semenjak remaja. Hyuk Jae sendiri adalah pria yang suka membawa kelucuan, jarang menangis, suka sekali berpergian keluar kota bersama Henry. Membawa bekal dari rumah dan dimakan di kereta api. Hyuk Jae adalah Ayah yang waspada bila dikaitkan dengan keselamatan Henry. Ayah yang menunaikan tugasnya dengan meningkatkan wawasannya pada seluk beluk pergaulan bebas tingkat pergaulan pra-remaja, yang ketat, dan Hyuk Jae bakal membuat dunia yang lebih baik. Dengan demikian Henry akan terlindungi dari berbagai macam marabahaya, dan Hyuk Jae adalah milik Henry, begitupun sebaliknya.

Hyuk Jae dibangunkan dari lamunannya oleh teman kerjanya yang bermata sipit menyalang-nyalang, rambutnya berwarna kemerahan dan wajah yang putih pucat, tetapi enak dipandang. Awalnya mereka memiliki ketertarikan seksual yang bagus—Tiffany namanya—namun selang beberapa minggu menjalin hubungan yang minim kontak batin, Tiffany ternyata bukan gadis yang ingin punya anak. Apalagi dengan anak orang lain, akhirnya Hyuk Jae memutuskan untuk menjadi teman karib yang profesional, meski Tiffany kadang berpikir kalau Hyuk Jae memiliki prosedur putus cinta yang salah, yang mana keputusan cuma ada di tangannya, sebelah pihak. Namun, Tiffany bukan jenis orang yang suka mendendam, Hyuk Jae adalah pria yang tidak pernah benar-benar mengisi hatinya, pengunjung sementara yang tidak sampai membuatnya patah hati. Tiffany sering kali masih suka mengungkit hubungan mereka yang seumur jagung, dan ditanggapi enteng oleh Hyuk Jae. Untungnya sih begitu.

"Kau kelihatan seperti akan menangis," komentar Tiffany sehabis menepuk pundaknya dengan kekuatan yang tidak terlalu kencang. Tiffany mengibarkan roknya yang sepaha, yang dulunya menjadi idaman Hyuk Jae, tetapi sekarang penampilan fisik Tiffany tidak pernah menggugah hatinya seperti halnya sedia kala. Dia duduk di atas meja kerja Hyuk Jae, sambil memberikan ruang untuk Hyuk Jae kembali ke kontak dunia nyata.

"Aku merindukan anakku," balas Hyuk Jae jujur. Hyuk Jae adalah sekian dari pria yang bangga akan status dudanya, dan tidak malu buat mengakui kalau dia pernah menikah, walau gagal di tengah jalan. Tiffany mengangguk paham, meski pun dia sebenarnya separuh tidak paham. "Kau melihatnya setiap hari."

"Setiap hari, bukan sepanjang hari."

Tiffany menggusar rambutnya, memberikan Hyuk Jae segelas kopi putih yang manis. "Kau Ayah yang luar biasa sempurna."

Hyuk Jae terkekeh akan pendapat pribadi Tiffany yang meninggalkan kesan di hatinya. "Tetapi bukan suami dan pasangan tidur yang hebat. Aku membosankan."

Tiffany mengibaskan tangannya tidak setuju, tanganya nyaris mengenai Hyuk Jae. Tetapi silau dari cat kuku yang digunakan Tiffany membuat Hyuk Jae terpaku. Hijau kebiruan yang anehnya mengingatkannya pada mantan istrinya, wanita yang sebatang kara, sama sepertinya. Dan Hyuk Jae harus berhenti memikirkannya selagi ditemani di sini oleh Tiffany. "Kau hanya kaku, tetapi pria berhati hangat. Dan gampang terluka."

Hyuk Jae menenggelamkan wajahnya di badan gelas kertas kopi, dan kepalanya naik lagi memandangi Tiffany, terheran-heran terhadapnya. "Aku tidak suka dibilang kaku."

Tiffany menimpalinya dengan senyum tak kalah indahnya. Tertawa sehabis itu sebab air muka Hyuk Jae sangatlah lucu. "Omong kosong, ah iya! Kau belum menemukan pengganti hatimu sehabis ditinggalkan olehkukan?"

"Ha, lucu sekali, sayang."

Tiffany menyenggol lengan Hyuk Jae. "Aku punya kejutan, hadiah di musim dingin, yang Santa berikan buat duda keren sepertimu!" Bisikan Tiffany lebih mirip pekikan yang centil.

"Aku tidak mau ikut kopi darat lagi denganmu, sungguh, yang kemarin adalah yang terakhir."

Tiffany menatapi Hyuk Jae seperti pria itu diserang penyakit mental yang serius. "Bodoh, sekarang eksklusif buatmu saja."

Hyuk Jae tampak tidak terima dan khawatir. Dan ide kencan Tiffany tidak ada yang cemerlang, salah satunya adalah yang paling membekas di kepalanya. Pada suatu hari, sehabis minggu yang melelahkan dan seorang bos yang semena-mena, Tiffany memberikan peluang kencan yang aneh, bersama seorang wanita dan pria, mengingat Tiffany adalah gadis yang orientasi seksualnya sama dengan Hyuk Jae, mereka bakal memulai kualifikasi partner bercinta yang ganjil. Bila yang pria cocok dengan Hyuk Jae maka wanita satunya lagi akan milik Tiffany, dan sebaliknya. Tetapi ternyata mereka adalah sepasang penipu berkedok calon pacar, keduanya adalah pasutri pula. Sebelum mereka sampai ke level yang lebih berbahaya dari tidur bareng, Hyuk Jae menemukan keganjilan yang persis seperti dalang kriminal di televisi, sehingga dia sigap menghindari dirinya dari bahaya. Akhirnya tidak ada sebarang pun yang bisa dibawa mereka lari, baik dari sisi Hyuk Jae hingga Tiffany sekalipun. Tiffany setuju kalau aksi penyelamatan Hyuk Jae buatnya sangat keren. Persahabatan mereka menjadi lebih erat karena Hyuk Jae adalah pria yang mengdepankan keselamatan teman gadisnya terlebih dahulu, dan Tiffany tidak bisa menemukan yang sama lagi selain Hyuk Jae.

"Aku tidak suka ikut klub LGBT mingguan, Tiffany ya ampun! Kita akan jadi bahan omelan! Kau bahkan mendaftarkanku sebagai member VIP! Itu yang paling gila," Hyuk Jae nyaris kehilangan kepalanya.

Tiffany menampar mulut Hyuk Jae menggunakan punggung tangannya. "Aku bilang untuk tidak mengukit-ukitnya lagi! Kan itu cuma gagasan pelepas rindu, lupakan. Mengenai kencan satu malam ini," Tiffany kelihatan seperti menimbang-nimbang, dan mengulangi reka adegan yang dilakukan oleh seorang teman dari teman Tiffany, yang sedang mencarikan atasannya jodoh rahasia. Dan Tiffany tertarik buat mencomblangi Hyuk Jae bersama pria yang tidak dikenal itu. Tanpa atau dengan persetujuan Hyuk Jae sekalipun. "Oh iya, jangan bilang pada siapapun, ini rahasia milik kita berdua, salah seorang politikus muda punya ketertarikan seksual yang menyeleweng—"

"Cuma karena dia homo, kau setuju buat memasang-masangkanku dengannya."

"Oh, tutup mulutmu! Biarkan aku bicara," Tiffany mendekatinya dengan seram, sehingga Hyuk Jae lebih was-was. "Dia ingin berkencan, bukan mencari teman tidur. Sudah dua tahun belakangan dia tidak memiliki status yang resmi dengan seorang pria. Dia menginginkan pria yang bisa mengayominya, walau begitu dia memiliki kriteria yang cerewet. Dan kau, Hyuk Jae tampan yang baik hati dan suka memberikan kasih sayang penuh terhadap kekasihnya, memenuhi kualifikasi pria idaman. Dia ingin pria muda yang matang."

Hyuk Jae tahu kalau semua yang dikatakan Tiffany itu hanya sekedar omong kosong belaka. "Oh, aku tidak ingin tahu kelanjutannya. Politikus muda itu notabenenya berkepala lima. Tiffany, berarti 25 tahun jauhnya usianya dariku! Gila!"

"Usia bukan masalah. Dan tidak, dia bahkan belum empat puluh tahun. Nyaris empat puluh tahun, masih lajang, bersahaja, mapan, pasangan idaman. Yang terpenting, luar biasa tampannya!"

Hyuk Jae enggan berkata apa-apa, sebab hatinya menjadi bercampur aduk. Persetan, kenapa Tiffany harus pusing-pusing mencarikannya jodoh? Hyuk Jae tidak sedang mencari Ayah yang baru atau Ibu pengganti buat Henry, kualitas hidup mereka sudah sempurna. Hanya dengan dirinya dan Henry, soal kakasih hati Hyuk Jae masih punya banyak waktu. Hyuk Jae tidak mau memikirkan patah hati-patah hati lainnya, apalagi pengalaman kedua mengenai pasangan hidup yang baru dinikahinya dan meninggal karena sakit parah, penyakit kelamin, atau penyakit kewanitaan, memikirkannya saja membuat Hyuk Jae lebih dari ngeri.

"Aku takut akan reaksi Henry."

Tiffany menyadari bila alasan Hyuk Jae hanyalah sebongkah muslihat yang tidak berdasar. "Henry adalah anak yang pintar. Kalau Ayahnya bahagia, kenapa tidak?"

Tiffany meninggalkan Hyuk Jae sendirian, sebelum lenyap dari kesunyian dan berkata, "Kalau kau setuju, hubungi aku besok. Pria itu ingin cepat-cepat menemuimu."

.

.

.

Jumat, dini hari. Hyuk Jae baru saja memulai sesi mencari kemandirian karena krisis kepercayaan dirinya. Dia membuat pengakuan yang ganjil, kalau dia sudah termakan iming-iming; mengenai seorang pria kaya yang disegani seluruh negri, dan Henry-nya akan bahagia karena sejumlah pemenuhan kebutuhan material dari eksistensi seorang pasangan hidup ayahnya, yang seorang pria juga tetapi memiliki status yang tidak bisa dipungkiri kalau pria itu telah menggoyahkan hatinya.

Hyuk Jae semakin jauh berenang menuju kegilaan, karena ya ampun! Dia menghabiskan tiga puluh tiga menit memantau pria yang dijodohkan Tiffany kepadanya. Mencari-cari ciri mengkhusus tentangnya di Internet, kehidupan pribadinya, sampai jalan hidupnya, bagaimana karier pria itu dan wajahnya yang katanya ilusi gantengnya bertahan sampai hitungan jam.

Hyuk Jae nyatanya tidak sedikitpun kecewa terhadap kenyataan.

Oke, pria itu memang tidak sebaya dengannya, beraroma kebapakan yang kental, politikus muda (Donghae ini baru menginjak tiga puluh delapan tahun) kebijakan-kebijakan negara yang berada di bawah kuasanya, yang membawa progres yang bagus terhadap perekonomian tahun Ini. Dia meluncurkan aturan pajak, yang mengharuskan setiap lembaga masyarakat serta perorangan untuk ikut andil dalam membina kehidupan bernegara yang mapan, matang. Yang membuat Hyuk Jae lebih kaget dia ternyata terlibat dalam ekonomi makro seantero Korea. Dia memiliki pengaruh yang tidak biasa dalam parlemen, serta mencalonkan diri sebagai Gubernur di Provinsi pusat.

Tidak salah, memang Lee Donghae. Yang dicari Hyuk Jae di laman-laman rahasia Google, terdapat pula serangkaian koneksi dengan seorang pengusaha sejagad, tetapi bukan yang melibatkan hubungan seksual. Mereka terhubung dalam status sedarah, dan gosip mengenai kepiatuannya yang gagal dijelaskan secara masuk akal dan Ayah angkatnya yang terdahulu adalah seorang pemabuk. Sehingga sejauh ini, Hyuk Jae tidak bisa mengambil kesimpulan. Donghae, Donghae, siapapun dia, pria ini punya latar belakang yang jernih, tanpa skandal tahunan, mengingat dirinya adalah pria penyuka sesama jenis, dia tidak memiliki ikatan dengan salah seorang wanita manapun.

Hyuk Jae menggusar rambutnya, membuka foto Donghae yang lain. Pria itu adalah mantan angkatan, tetapi prestasinya dalam menjabat di Bank dunia yang berpusat di kota Apel membuatnya gampang mendapat posisi di Kantor Pemerintahan. Hyuk Jae berdecak kagum, dia belum genap empat puluh tahun, bagaimana mungkin pria ini punya kehidupan yang kelewat sejahtera? Akhirnya, Hyuk Jae menyimpan fotonya yang unik. Pria itu suka gonta-ganti gaya rambut, seperti halnya pemuda puber, tetapi memiliki nuansa kedewaan yang jauh dari kesan kanak-kanak. Yang paling heboh adalah warna rambutnya yang biru, yang langsung digantinya dalam dua hari selanjutnya karena menuai kontroversi. Hyuk Jae terkikik geli membaca beritanya.

Hyuk Jae mencari-cari yang lain, yang lebih kontroversial dari gaya rambut biru. Sayangnya, Lee Donghae itu punya kehidupan pribadi yang rahasia. Selain kediamannya yang megah, data diri mengenai umur, asal, tanggal lahir, Hyuk Jae tidak menemukan yang lebih privat. Hyuk Jae merasa gatal. Tidak mungkin, namanya yang bersih malah menakuti Hyuk Jae. Meski dia memiliki penampilan luar yang nyentrik, Donghae tidak sekalipun membiarkan dirinya tertangkap basah, Hyuk Jae jadi mengira-ngira bagaimana hubungan mereka kedepannya. Dan memikirkan kalau dia sampai memiliki hubungan yang langgeng dengan Donghae membuat Hyuk Jae kehilangan akal sehatnya. Mereka bisa saja tidak klop, kenapa Hyuk Jae menaruh harapan yang besar kepadanya?

Henry dibangunkan dari suara ketikan yang keras oleh laptop Hyuk Jae sehingga dia nyaris menangis. Hyuk Jae meraihnya sigap, menenangkan ketakutan Henry. "Sayang, apa aku mengganggu tidurmu?" Dan dibalas dengkurannya yang lucu sebab Henry kembali tidur. Hyuk Jae menghela napas.

Bagaimana ya, kedengarannya tidak etis buatnya menelpon Tiffany pada Sabtu yang berbahaya. Sewaktu dia menanak nasi buat Henry yang tengah libur. Hyuk Jae bilang dia ingin secara rahasia bertemu dengan Donghae, tanpa diwakilkan oleh anak buahnya yang lain, apalagi perantara-perantara semacam Tiffany. Dia akan memberikan pendapatnya yang matang bila Donghae mau bertemu dengannya, empat mata.

Donghae dalam kurun waktu dua puluh empat jam memberikan responnya, kalau dia ingin sesegera mungkin bertemu dengan pujaan hatinya yang baru, tetapi masih dalam syarat-syarat yang memunculkan negosiasi bisnis. Yang membuat Hyuk Jae berbunga-bunga, berbunga-bunga bukan karena dia sudah menyukai Donghae, tetapi karena dia ingin melihat wajahnya yang sungguhan tampan, fisiknya adalah daya tarik yang membawa Hyuk Jae pusing tujuh keliling, yang membuatnya belakangan memikirkan rasanya bercinta dengan pria yang pastinya jago dalam bersenggama. Dan tentang bersenggama dengan seorang pria, sudah berapa lama dia tidak mendapat yang setampan Donghae?

Lusa mendatang, sehabis mengantar Henry sekolah, Hyuk Jae mengambil cuti sehari karena Donghae cuma punya waktu luang di pagi hari. Hyuk Jae berjanji kepada Henry untuk datang lebih awal, dan Henry melewati teman sebayanya bersama senyum yang tak kalah indahnya.

Tiga puluh menit kemudian, Hyuk Jae datang ke rumah makan Jepang yang berlokasi lima blok dari kantor pemerintahan, dan lima kilometer jauhnya dari Blue House. Tunggu dulu, pria ini memunculkan kesan bahwa dia tidak takut kepada apapun, kepada media yang bisa menangkapnya basah berkencan dengan seorang duda beranak satu, yang bisa mengungkapkan keburukannya yang katanya tidak ada. Tetapi sehabis lima menit menunggu kedatangannya, pintu terbuka lebar. Pria berpakaian serba hitam membuka sepatunya dan mengembangkan senyum.

Senyum bersahaja, senyum yang hanya dilihatnya di wajah Henry.

Donghae, oh dia tidak percaya. Pria yang kira-kira setinggi dirinya, berwajah murah tawa, sebagian dari ekspresi mukanya datar tetapi ramah, pokoknya ada kesan mitologis sewaktu Hyuk Jae tatap hidungnya yang mancung. Serta bayangannya yang menjulang karena kakinya sekokoh kaki kuda. Jangan biarkan Hyuk Jae memikirkan yang lebih nakal dari berciuman dengannya, sebab lihatlah betapa seksinya dia sewaktu Donghae mengacak rambutnya yang agak cepak di kedua sisinya, di antara telinga, dan jam tangan yang berkilau. Hyuk Jae disadarkan oleh kekehannya yang tak kalah mempesona, jadi Hyuk Jae merona dan merasa sangat tragis.

Hyuk Jae terbatuk, "Salam kenal," sapanya selagi menundukkan setengah punggungnya yang bengkok. Tetapi Donghae malah menganggapnya bergairah.

"Aku minta maaf sudah membuatmu menunggu," Donghae berkata-kata seperti dia tengah dilanda keraguan sebab suaranya putus-putus. Reaksinya menakuti Hyuk Jae, namun pria itu tak kunjung berubah judes, yang berarti dia pula menaruh hati kepada Hyuk Jae. Kencan pertama yang bagus, akhirnya Hyuk Jae bisa bernapas lega.

Hyuk Jae menggusar rambutnya yang agak panjang, tetapi tidak sampai menutupi matanya. "Aku juga baru sampai."

Donghae memecah keheningan yang bertahan sampai dua menit, sembari memantau perubahan air muka Hyuk Jae, dia menggenggam tangan pemuda yang mendekati sempurna (untuknya). "Aku tidak suka diingatkan tentang umur, dan profesi yang tidak biasa haruslah bukan kendala. Aku juga tidak suka basa-basi, aku tidak keberatan mengenai seluk-beluk hidupmu, Hyuk Jae. Dan aku pun berharap begitu."

Hyuk Jae tidak sedang berpikir kalau ini cuma akal-akalan Donghae buat mengajaknya tidur bareng, jadi Hyuk Jae mengembangkan senyum tipis. "Aku tidak suka mengeluh, Donghae." Hyuk Jae menyadari dirinya ditatapi serius oleh Donghae, jadi Hyuk Jae terbangun, mengundang kata-kata yang lebih provokatif dari apa yang sebenarnya dia inginkan, karena sebagian besar pria suka caranya merayu, dikarenakan Hyuk Jae sering berlaku centil tetapi tidak kemayu. "Aku memiliki rahasia yang lebih banyak untuk disimpan, sayang."

Donghae meminum teh hijaunya, senyumnya ada di balik sana. "Kupikir bergitu," Donghae menaruh lagi gelasnya sehabis sekali teguk yang merangsang. "Jadi, mari ungkapkan sedikit banyak rahasia itu untukku, sayang."

Hyuk Jae dilanda kegetiran hati yang luar biasa hebatnya, tetapi dia tidak boleh membohongi siapapun, terkait Henry, seluruh dunia harus mengetahuinya. "Aku memiliki seorang putra berusia lima tahun," katanya, selagi memandangi wajah Donghae yang agak kaget. Hyuk Jae ingin mengintip isi hati Donghae, namun Hyuk Jae tidak berani bertutur apapun lagi.

Sepanjang itu Donghae terus berusaha untuk tidak memukuli Hyuk Jae, sebab dia pikir kerabatnya tidak pernah berkata apa-apa mengenai pria yang punya istri dan anak. "Oh kupikir aku tidak setuju mengenai hubungan yang melibatkan dua pria dan seorang wanita," jawab Donghae frustasi. Tangannya tidak lagi menggenggam Hyuk Jae, melainkan mengkaitkan satu sama lainnya, supaya dia tidak meninju pipi Hyuk Jae. "Dan seorang anak."

Hyuk Jae kelimpungan, "bukan, maksudku, aku pernah menikah. Istriku meninggal sehabis melahirkan anakku," Hyuk Jae menggenggam Donghae sewaktu pria itu mencoba untuk bangun. "Aku 100% tidak berbohong," katanya bersungguh-sungguh, meski Donghae menakuti muslihat di balik wajahnya yang tampan.

Donghae kembali duduk, menenangkan riuh batinnya. "Aku tidak suka diselingkuhi atau menjadi selingkuhan."

"Oh, Donghae. Aku pun begitu, dan kau bukan diantaranya!" Hyuk Jae menggapai lengan Donghae, membelainya. "Aku hanyalah pria lajang yang memiliki anak."

Donghae tidak boleh merasa terlena, tetapi nyatanya dia memanglah terlena akan sentuhan Hyuk Jae. "Kau tidak sedang berkencan dengan pria paruh baya, sekali kau setuju, maka kau tidak akan bisa pergi." Kaki Donghae menyentuh lutut Hyuk Jae di bawah meja leseh kayu, akses nakal itu membuat Hyuk Jae melayang-layang. Hyuk Jae melenguh di antara suaranya, dan Donghae senang mendengar napasnya yang putus asa, "Aku adalah pria yang berisiko. Kau akan kehilangan lebih banyak ketimbang mendapatkan lebih banyak."

"Oh persetan!" Hyuk Jae menggigit bibirnya, "Aku tidak peduli, sayang."

.

.

.

Donghae mengutarakan segala ketentuannya secara serius, yang berarti dia menginginkan pasangan hidup yang tidak cerewet, mau diajak sembunyi-sembunyi, tidak membangkang dan bekerja sama, suka merawat dirinya, dengan demikan Donghae pula akan memberikan apapun yang Hyuk Jae mau untuknya. Selama perjalanan yang pelik menuju kediaman pribadi Donghae, Hyuk Jae banyak mencari tahu. Kecocokan mereka bakal dibangun selama berbulan-bulan lamanya, sebab jujur saja, Hyuk Jae tidak suka pria yang suka ngatur. Tetapi Donghae membuatnya menjadi kehilangan kewarasannya. Dia memiliki pengendalian diri yang pasif ketika Donghae mencium punggung tangannya, dia dibuat melayang-layang menuju langit ke tujuh, Hyuk Jae kepayahan. Sehingga sebuah perjanjian dibuat, di luar sana Hyuk Jae mendengar hujan yang rintik-rintik dibarengi petir yang membahana. Tetapi jantannya Donghae membuatnya melupakan dunia. Melupakan segala-galanya.

Hyuk Jae mengingat namanya dengan benar, gosip sensasional Donghae yang keturunan Eropa Barat, tetapi Donghae tak kunjung mau berterus terang. Donghae jelas-jelas memiliki lebih banyak rahasia, tetapi Hyuk Jae malah yang lebih tidak tenang. Mereka berhenti berbicara dan Donghae membawanya masuk. Kamar Donghae dicat monokrom putih, yang membuatnya kehilangan jejak akan jati diri pria itu yang sesungguhnya.

Untungnya Donghae menunggu pendapat kompeten Hyuk Jae akan gagasan bercinta sehabis kencan pertama mereka dulu, yang dibalas Hyuk Jae dengan ganas. Hyuk Jae tidak suka melewatkan kesempatan emas bila melibatkan seks yang panas bersama seorang pria yang luar biasa indahnya, kulit yang perunggu itu, kisah mengesankan dari sisi politikus yang tidak pernah ditulis dalam buku biografi dan cinta yang gelap.

Donghae membuka baju Hyuk Jae, menenggelamkan Hyuk Jae ke kakinya, meraba sepasang pahanya yang pas sekali dengan telapak tangan Donghae. Mengejar orgasme umum, tetapi membawa pengaruh magis yang Hyuk Jae kira cuma mimpi belaka. Ya ampun Donghae, Buddha-ku, bagaimana mungkin pesona itu benar adanya? Kulit yang berkilau karena keringat tambah berwarna cokelat, kaki yang menyodok dan desahan yang membangun suasana menjadi lebih esensial. Donghae memperlakukannya bukan karena dia ingin semata-mata buat tidur dengannya saja, melainkan merajainya, dari ujung kaki sampai kepala, sampai ke ubun-ubun, ke tulang-tulangnya, sehingga Hyuk Jae termakan indahnya sensasi keduniawiaan. Donghae membawanya ke ejakulasi yang lebih nikmat dari orgasme sekalipun.

Donghae suka menggigit, oh dia memang pria yang nakal. Karena Donghae akan bersenggama lagi dengan Hyuk Jae, yang kedua kali menjadi momen yang terbaik. Mereka mengulangi lagi, Hyuk Jae berdiri di depan cermin sementara Donghae mengambil posisi di bekalang punggungnya yang bergetar keenakan. Donghae mencumbu dengan sepenuh hati, memompanya dalam sentuhan damba yang tidak pernah Hyuk Jae rasakan dari siapapun itu, mantan istrinya, teman pria dan teman wanitanya sekalipun. Seks bersama Donghae membuatnya melupakan gadis idaman yang mengering di liang lahat, oh almurhumah istrinya dihapus secara paten oleh sodokan Donghae yang tidak ada matinya. Hyuk Jae mencapai nirwana akan rangsangan Donghae, penis Donghae, apapun yang ada di dalamnya. Donghae masuk ke dalam dirinya lebih lama dan Hyuk Jae akhirnya tersedot menuju lubang hitam yang dangkal. Hyuk Jae terlena di pelukan prianya yang baru, sembari Donghae memeluknya, membawanya menuju dunia yang lebih aman.

Hyuk Jae terbangun di petang yang senyap, dipelukan Donghae yang masih terlelap, dan kakinya yang membuatnya terlindung dalam proteksi Donghae. Ajaib, Hyuk Jae ingin berlama-lama memandangi senyum natural yang tak kunjung hilang, yang menyentakkan seluruh indra motorik Hyuk Jae karena pria itu membuatnya terbuai. Sentuhannya, ciumannya. Sehelai rambutnya dan ketelanjangan pria itu yang membawa sentuhan mistis. Segenap keringat yang bergulir di bawah teriknya sinar bulan, Hyuk Jae akan tergila-gila kepadanya, Hyuk Jae yakin itu.

Tetapi hati yang kasmaran itu sirna sudah, dia baru ingat kalau Henry belumlah pulang, sehingga dia tergesa-gesa lenyap dari kediaman Donghae yang seperti gedung pencakar langit, terbirit-birit menggapai buah hatinya yang seperti kesetanan, menangis kesetanan, diguyur hujan dan seorang diri. Tangisannya yang menyakiti hati Hyuk Jae. Barang siapa sih yang tega meninggalkan anaknya yang dibawah umur seorang diri, anak semata wayang di kota yang ramai akan isu penculikan dan pelecahan verbal, kepada seorang bocah sekalipun? Dan Henry tidak bisa menghentikan tangisannya yang kencang, di pekarangan sekolah yang sepi semenjak lima jam lalu. Situasi yang jelas-jelas berbahaya, baginya, maupun bagi Henry. Seumpama Henry benar-benar berada dalam bahaya, maka Hyuk Jae akan menjadi setengah mati. Oh tentu saja, apa yang baru saja dia lakukan?

Hyuk Jae pedih, Hyuk Jae telah gagal, dan dia akan mengulangi kegagalan-kegagalan lainnya.

Hyuk Jae berlari dan memeluk putranya, mengelus tubuh Henry yang menggigil, membelai wajahnya yang sedingin es. Hyuk Jae jadi ingin menangis juga. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan janjinya bersama Henry, bila mana Henry harus menunggunya dan Hyuk Jae akan menjemput Henry secepatnya, membelikannya ayam cepat saji yang menjadi makanan favorit Henry? Bagaimana bisa Hyuk Jae lalai, apalagi lalai kepada Henry, yang tidak pernah terjadi sebelumnya?

Henry memukul Hyuk Jae, namun untungnya bocah ini tidak sampai kabur dari dekapannya karena lelah menangis. Dia berteriak, murka sekali terhadap Hyuk Jae, "Aku benci sekali! Benci denganmu!"

Hyuk Jae menutup matanya, menyesali tindakannya yang teledor. "Sayang, aku terjebak macet," Hyuk Jae mengeratkan pelukannya, sebelum menciumi kepala Henry yang tidak mau tenang. "Oh, Henry. Tenanglah, aku ada di sini. Aku tidak akan pergi lagi."

Henry tidak bisa menghentikan sesaknya hatinya sewaktu mengingat hujan badai yang membawanya nyaris pingsan, sehingga Henry merasa ada yang tidak beres. Kalau-kalau Ayahnya memang pergi darinya, karena Hyuk Jae tidak pernah berbohong padanya. Mengingkari janjinya apalagi! "Kau bohong! Kau sepenuhnya pembohong! Aku benci padamu, benci sekali, ayah! Kau membiarkanku seorang diri."

Disaat Henry mulai kehilangan suaranya yang kencang, Hyuk Jae tahu kalau dia menjadi tidak wajar. Pertemuannya dengan Donghae kali ini malah berbuah petaka.

Apa yang baru saja merasukiku, Buddha?

.

.

.

Hyuk Jae tidak bisa membangun semangat Henry yang terlanjur patah hati, apalagi dengan mencuranginya. Henry yang demam dibawakan game console, bubur abalone, sup ayam, sampai janji dibelikan seekor anak janjing, namun Henry urung memaafkannya. Hyuk Jae memberi Henry gambaran mengenai serunya akhir pekan di kebun binatang bila mana Henry mau menyapanya lagi, walau bujukannya malah meningkatkan kemarahan Henry. Henry semakin mengamuk, dan Hyuk Jae tidak bisa melakukan yang lainnya lagi. Tetapi untungnya, sifat pembangkang Hyuk Jae tidak diturunkan ke Henry, tengah hari Henry kembali cerah lagi, adik Hyuk Jae (pria itu adalah Yesung) membawanya menuju impian kanak-kanak, mengenai Henry yang berangkat ke taman bermain seharian. Dan Hyuk Jae memberikan pelukan terakhirnya sewaktu Yesung membawa Henry pergi.

Oke ini mungkin kedengaran agak tidak masuk akal, tetapi pertemuannya dengan Donghae membuatnya khawatir. Hidup ini memang tidak terduga, tidak berjalan sesuai rencana, tetapi bagaimana mungkin, dalam segenap kesadaran dirinya yang masih utuh, Hyuk Jae menjadi ugal-ugalan akan keselamatan Henry dikarenakan kencan yang luar biasa indahnya bersama Donghae? Bahwasanya, prioritasnya bukanlah lagi Henry, melainkan kedatangan seorang pujaan hati yang baru membuatnya melupakan kesakitan Henry, membuatnya terlena akan kisah asrama yang menganaktirikan posisi Henry.

Oh, Tuhan! Apa yang baru saja dipikirkannya? Kesakitan bagaimana yang pernah Henry berikan kepada Hyuk Jae, baik secara fisik maupun mentalnya? Tidak ada, dan tidak akan pernah ada. Henry adalah sumber kebahagiaan yang absolut, satu-satunya tawa, anekdot lucu di dunia yang keji ini. Tidak akan ada Henry-Henry lainnya lagi, tetapi Hyuk Jae sudah terlanjur memikirkannya, dan Hyuk Jae menjadi tidak waras.

Hyuk Jae pada akhirnya dibangunkan oleh dering ponselnya, dia menutup pintu rumah, melambai kepada mobil Yesung yang hilang di ujung emasnya cakrawala dan birunya langit. Meski begitu Hyuk Jae bisa menebak siapa orang dibalik panggilan telepon itu, tentu saja Donghae. Dia sudah menelpon berulang kali, pesan yang dikirimnya bersifat keyakinan diri akan kencan kedua, dan khawatir, yang Hyuk Jae hiraukan sepanjang hari. Jadi Hyuk Jae akhirnya menjawab, sekalipun suaranya malas-malasan dan agak dengki memikirkan kilasan balik tentang Henry yang menangis karena Donghae. "Donghae?"

"Oh sayang! Kupikir kau terlibat dalam bencana, dan sebagian dari praduga itu bukanlah cuma mimpi, Hyuk Jae!" Donghae membabi buta, untungnya dia tidak sampai berteriak. "Kalau kau memang menganggapku serius, setidaknya kirimi aku pesan! Kau membuatku nyaris kehilangan kontrol diriku, mengenai hubungan ini dan prasangka buruk akan keselamatanmu."

Hyuk Jae menghela napas, mematikan keran yang berisik, berpaling dari cermin kamar mandi, pantulan dirinya membangun paranoia yang aneh. "Aku minta maaf. Seharian penuh Henry rewel—"

"Oh itu bukan alasan!"

Hyuk Jae ingin memarahinya balik, bukan untukmu, tapi untukku, tetapi Hyuk Jae terlena oleh bisikan Donghae yang lain, "Sayang, aku pikir kau hanya ingin tidur denganku, padahal ada skenario mengenai sepasang pria yang kasmaran, yaitu diriku dan dirimu."

Hyuk Jae buat pertama kalinya tersenyum lagi sehabis aksi ngambek Henry yang tidak mau surut. "Oh, bagaimana ya, aku tidak sampai berpikir untuk membiarkanmu pergi dariku semenjak aku tahu kau bukan pria yang pintar gombal saja."

Hyuk Jae berani bertaruh kalau Donghae tengah tersenyum, tersenyum selagi memikirkannya. Sehingga Hyuk Jae ikut-ikutan merasa mabuk kepayang. "Aku ingin kita segera bertemu lagi, aku merasa hubungan ini amatlah klop," kata Donghae, dengan suatu katarestik suara yang memberi kesan bahwa pria ini tengah bahagia.

Hyuk Jae lebih dari setuju. "Aku akhirnya juga berhenti memikirkan seks semata sehabis bertemu denganmu, yang adalah teman bercinta, seperti aku dilanda efek cinta pertama." Hyuk Jae berbunga-bunga mengungkapkan perasaanya dan Donghae ingin melihatnya seorang, menghapus kerinduannya terhadap Hyuk Jae.

"Aku harus bertemu denganmu, malam ini juga—"

"Anakku, dia tidak akan kubiarkan seorang diri di rumah sayang, dia baru berusia lima tahun."

Donghae menggeleng-gelengkan kepalanya seolah Hyuk Jae memiliki indra ke enam yang nyata dan menembus dimensi panggilan telepon, dengan demikian mereka berhenti berkomunikasi secara verbal, dan pertemuan ini akan menjadikan sesi argumentasi jadi lebih mendasar, serta akan ada yang bisa lebih banyak buat didiskusikan selain kelanjutan hubungan mereka yang pasif. Bukan cuma sekedar alibi yang dipendam di hati sebab Donghae merindukannya setengah mati. "Aku yang kesana."

"Tidak—maksudku, aku belum terang-terangan, itu bukan ide yang bagus—"

"Oh, Hyuk Jae. Aku juga harus memiliki kontak dengan Henry, aku adalah pasangan hidup ayahnya yang baru, kau boleh sembunyi-sembunyi dengan siapapun itu, tetapi bukan dia. Aku tidak suka ditolak. Aku akan tiba jam delapan lewat, atau jam sembilan. Istirahat sayang, sampai jumpa," akhir kata Donghae memutus sambungan dan Hyuk Jae merasa kalau memang ada yang tidak beres.

.

.

.

Ini saatnya untuk jadi lebih bahagia, baik dari sisi kebersamaan bersama Henry maupun kisah cinta yang tidak tragis, keberadaan pasangan hidup yang baru. Hyuk Jae tidak boleh terlena oleh masa lalu, benar, yang mana keinginan untuk berevolusi bukanlah melulu niatan yang berbau sensual. Hyuk Jae ingin tumbuh menjadi pria yang hubungan cintanya non-erotis, tetapi tetaplah nakal. Hyuk Jae menginginkan kekasih hati, bukan partner seks. Hyuk Jae menginginkan Donghae, bukan mantan istrinya. Jadi Hyuk Jae memantapkan hatinya dan lebih berkuasa, memberi pengaruh yang bagus akan kehidupannya. Dia harus menghentikan kegundahan yang hinggap itu. Dia memandikan Henry, rambutnya dibasuh dan dikeramasi olehnya, diberikan minyak, Henry menggigil karena geli. Dengan berlalunya menit demi menit, Donghae datang, sembari mengembangkan senyum, senyum yang persisnya tidak ada duanya.

Donghae membawa bingkisan sebesar kepala Hyuk Jae, dan mainan robot untuk Henry, dia tidak sedang berpikir kalau ini hanya cara Donghae untuk mengambil hatinya, tetapi Hyuk Jae tahu Donghae tidak senang mendapati seberapa besar buah hatinya. Mungkikah Donghae berharap Henry masih seumur orok, sehingga bakal ada jalinan batin antara Henry dan Donghae, tanpa bayang-bayang mengenai mantan Ibu yang tidak ada? Mengapa kepiatuan Henry menjadi masalah yang amat besar untuknya?

Hyuk Jae tidak boleh beranggapan macam-macam, mengenai seorang duda dan kekasih hatinya, tetapi Donghae membuatnya tidak bisa mengalihkan keburukan itu, tatapan mata yang tidak seutuhnya bahagia, meski Hyuk Jae setitik pun tidak peduli akan pandangan pribadi Donghae terhadap Henry. Masalah dengan Henry adalah hal yang lain lagi dan tidak boleh disangkut pautkan. Hyuk Jae menyuruhnya masuk, Henry menunggu di balik badan Hyuk Jae, tersenyum malu-malu, Donghae menimpali senyuman Henry dengan tawa.

"Dia persis denganmu, matanya. Aku suka matanya," komentar Donghae membawa pengaruh alam semesta yang mengguncang, yakni Henry persis dengannya dan karena Henry memiliki kemiripan khusus, maka Donghae akan menerima anaknya lapang dada, bukannya setengah hati.

Hyuk Jae membelai pipi Henry, membawa mereka duduk. "Beri salam, sayang," Henry anak yang cerdik, dia disukai oleh banyak orang karena ramah, sedikitpun tidak cengeng. Henry menjauh sehabis memberi salam yang dibalas kekehan, dan Henry menghilang di balik pintu kamar yang terbuka, sehabis merebut mainan robot dari tangan Donghae, dia malu-malu, sehingga Hyuk Jae tersenyum karena ulahnya.

Hyuk Jae tidak ingin menjadi yang terlebih dahulu terluka, tetapi hati tidak bisa dibohongi. Donghae gampang dicintai, dan mencintai seseorang bukan hal sekadar baginya, yang bisa dihentikan bila seumpama nanti ia jenuh. Hyuk Jae memberi hatinya, tetapi hati tidaklah satu-satunya dalam membina hubungan yang langgeng. Walau dia sudah terlanjur terbuai, dia baiknya tidak memikirkan tentang pernikahan bersama Donghae. Hyuk Jae bukan orang yang suka mengembangkan takhayul, yang khas sekali dengan nuansa siang bolong. Hyuk Jae itu praktis, kecintaannya pada Henry jauh lebih kuat dari apapun itu. Bahkan bila dibandingkan dengan pengabdiannya pada Buddha, hidup sekalipun, dunia dan angkasa, mereka tidak ada apa-apanya. Mereka bukanlah ilusi yang membawanya kepada surga, hanya Henry yang dapat melakukannya.

Donghae mendekati Hyuk Jae, pertimbangan yang jitu karena Henry sudah menutup pintu kamarnya. Hyuk Jae yang melamun menghidupakan reaksi yang cabul buat Donghae, jadi Donghae ingin membawa Hyuk Jae ke pelukannya sekali lagi, supaya mereka bermandi air lengket yang menyatukan aksi bersetubuh yang terasa seperti berkat ini. Donghae ingin mengerjai ketelanjangan Hyuk Jae yang membuatnya mabuk kepayang, lagi dan lagi, mencium kaki Hyuk Jae yang bergetar. Membawa Hyuk Jae ke dirgantara yang maha agung dan maha luas. Jadi Hyuk Jae hanya akan memikirkannya, Donghae mengisi segala-galanya, dalam bentuk halusinasi erotis yang tiada duanya.

Hyuk Jae melenguh dalam ciuman berdurasi singkat mereka, Henry akan keluar, dia tidak akan betah berlama-lama di kamar, namun Donghae membungkam bibirnya untuk yang kedua kali, bernapas di tenggerokannya. Hyuk Jae mendorong Donghae, "Donghae, sebentar sayang, Henry akan melihat semuanya."

Kelopak mata Donghae terpejam, bergerak-gerak, frutasi, merasa pamrih oleh keberadaan Henry, tetapi tetap menjamah tubuh Hyuk Jae. Kaki Hyuk Jae dirabanya, disentuhnya, sehingga Hyuk Jae kejang-kejang karena Donghae menyetrum permukaan kulitnya dengan pagutan basah. Hyuk Jae mencoba untuk melepaskan dirinya sekali lagi, sayangnya Donghae berhasil menakutinya. "Hyuk Jae," geram Donghae. "Kau membuat Henry terpojokkan, jangan sebut namanya bila kau memang tidak ingin bercinta denganku. Jangan salahkan dia, aku tahu itu bersumber darimu."

Hyuk Jae dibangunkan oleh ketersinggungan Donghae. "Aku ingin bercinta denganmu."

Donghae memutar matanya jengah. "Oh, iya, kau melakukannya, maka dari itu kau menutup kakimu serapat mungkin seperti gadis perawan yang aneh, dan suka sekali memojokkan Henry, membuat-buat alasan yang kronis. Kalau Henrylah yang membuatmu tidak ingin melakukannya, padahal kau sendiri yang tidak mau." Donghae menjaga suaranya supaya dia tidak menjadi lebih marah.

Hyuk Jae berusaha untuk tidak tersinggung juga, karena pada dasarnya Donghae telah kehilangan kewarasannya. Kenapa dia berpikir kalau Hyuk Jae berbohong? "Donghae, kau tidak marah padaku cuma karena aku tidak mau bercinta denganmukan?" Hyuk Jae mencari kebaikan hatinya, sebab pria yang memiliki kondisi emosional semacam Donghae haruslah dihindarinya.

"Apa? Persetan? Bagaimana mungkin?" Donghae balik kaget, "Sayang, kau adalah masalahnya. Kau membuat seolah-olah karena ada Henry, kau tidak mau tidur denganku. Kalau kau tidak menginginkannya, tidak perlu sampai melibatkan Henry. Aku adalah pria yang berbudi luhur, yang tidak mungkin kesetanan karena prianya menolak diajak bersenggama."

Berbudi luhur?

Hyuk Jae sepenuhnya kehilangan kata-katanya. "Aku tadi ingin bercinta dengamu, sekarang tidak lagi." Air muka Hyuk Jae sekeras batu, yang membuat Donghae langsung menyadarinya.

Donghae menyugar rambutnya, dan Hyuk Jae berpikir bila pria ini membuatnya merasa kalau kenyataan dilarang terjadi. Oke, Hyuk Jae sepenuhnya bingung, mereka tidak bersitegang, memang begitu, tetapi Donghae membuatnya merasa buruk. Apa yang salah menghindarkan Henry dari sepasang pria yang hendaknya bersenonoh, belumlah resmi menikah, dan Donghae adalah pria yang tidak pengertian karena suka membolak-balikkan kata-katanya hingga ke tingkat yang membuat ini seolah-seolah menjadi pertengkaran yang layak diperdebatkan.

Donghae menggenggam Hyuk Jae yang nyaris beranjak, "Kau marah?"

Hyuk Jae menganga. "Donghae, ya ampun! Sebenarnya apa sih yang salah denganmu?"

"Jangan berteriak padaku!" Hyuk Jae terpejam, mendengar ancaman yang genting dari Donghae. "Lagian, akulah yang pantas marah. Hyuk Jae, kau kehilangan poin yang penting."

"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi!" teriak Hyuk Jae putus asa.

Donghae menariknya kembali duduk, mengunci kakinya, membawa Hyuk Jae sejengkal lebih dekat tetapi membuat hatinya selangkah lebih jauh dari Donghae. Dia sepenuhnya melintasi bayang-bayang seorang pria idaman buat Hyuk Jae. Hanya wajahnya saja dekat dengan keindahan, perilaku Donghae bukanlah sikap pria yang biasa dia kencani. Hyuk Jae mencoba lepas dari genggaman Donghae, tetapi penolakannya malah mengundang sikap yang lebih kasar lagi. Donghae menjatuhkannya ke lantai, mendekapnya dalam pesona posesif yang kasar, namun kata-katanya membuat Hyuk Jae merasa disentuh bintang-gemintang. "Hyuk Jae, kubilang jangan berteriak padaku," Donghae menyusuri permukaan kulitnya, membekap mulutnya, membuat Hyuk Jae kepanikan.

"Sayang, kukatakan padamu bagaimana hubungan ini seharusnya berjalan," Donghae membangkitkan kendali dirinya dengan mengendurkan pegangannya tetapi tidak melepaskan genggamannya pada Hyuk Jae. "Kau berada dalam genggamanku, dan karena kau sudah setuju, kau tidak boleh membangkang. Aku sudah berikan ketentuannya," akhirnya menggigit telinga Hyuk Jae.

Hyuk Jae berpaling dari ciuman Donghae, sedetik bekapannya lepas, Hyuk Jae melotot. "Donghae, kau menakutiku!"

Donghae tergelak, menciumi kening Hyuk Jae yang bersinar karena keringat. Menyingkap poninya yang basah, menjejal sentuhan ringan yang mengenyahkan kesadaran diri, baik Hyuk Jae maupun Donghae. "Maaf, aku bercanda sayang."

Donghae menekan lehernya, tenggelam di sana. Hyuk Jae memejamkan matanya dan mereka saling memuji dengan kaki yang terikat.

.

.

.

TBC

.

.

.

Author Note:

Tittle inspired by Halsey's song named Hold Me Down.

Ini pernah di post dalam bentuk drabble di FB. Mungkin sebagian yang baca kenal sama plot-linenya lol karena kita juga nggak expect ini ff bakal dijadiin short-chaptered fic. FF ini sudah tamat—dalam artian sudah rampung dan tinggal di publish kelanjutannya—berarti nasib ff ini ada di tangan kalian guys (:

Comments are Loved 3