"Terima kasih untuk bimbingannya selama tiga hari ini, Kak Mayuzumi!"

"Sama-sama, aku harap Teikou bisa kembali menang dalam NDSC* Kodya tahun ini dan kalian bertiga menjadi best speaker agar bisa mewakili Tokyo ke tingkat Provinsi."

Ketiga siswa-siswi SMA Teikou tersebut membungkuk hormat, melepas kepergian sang pelatih serigala berbulu domba yang sudah membombardir mereka dengan materi dan ulasan pedas mengenai penampilan dan performa mereka dalam latihan.

"Ah. Akhirnya selesai juga-" Momoi Satsuki melakukan peregangan.

"Kenapa, Momoi-san? Kesannya seperti lega sekali, kalau Kak Mayuzumi selesai melatih kita," kata Kuroko separuh bertanya pada rekan bersurai merah mudanya.

"Ya, siapa yang tahan Tetsuya. Aku pribadi juga tidak tahan. Kerjanya hanya merecoki kita dengan ulasan pedas saja- tidak ada niatan untuk memberi contoh dan penjelasan lebih lanjut- ya mana bisa," tukas Akashi.

Ketiga remaja yang dipilih oleh sang ketua asosiasi debat bahasa inggris di Teikou—lazimnya disebut Teikou Debating Community, Nijimura Shuuzou untuk mewakili sekolah mereka lomba, menghela napas secara bersamaan.

"Mungkin, setelah ini kita harus meminta tolong Nijimura-senpai lagi- aku heran, alumnus kita hebat-hebat namun tak satupun dari mereka cocok sebagai pelatih."

Akashi dan Kuroko dalam hati menyetujui perkataan Momoi. Sudah tiga kali berturut-turut mereka berganti pelatih, namun tidak satupun dari mereka cocok. Dan masalahnya selalu sama.

Terlalu keras, temperamen, tidak bisa memberi penjelasan lugas.

Bahkan ada salah seorang yang nyaris bertengkar dengan Akashi perihal sebuah mosi yang bertajuk "Setuju atau tidak mempekerjakan anak-anak sebagai labour."

"Meminta Nijimura-senpai untuk mencarikan yang lain?-" pertanyaan Kuroko retoris, namun tetap direspon dengan anggukan singkat sebelum ketiganya membalikkan badan untuk kembali memasuki gedung sekolah.

"Tentu saja. Kamu pikir- masih banyak waktu yang tersisa sebelum lomba?"

"Justru itu dia Satsuki, dengan sedikit waktu yang tersisa, memangnya kita masih bisa main-main dengan uji-coba pelatih ini? Menurutku sih tidak." Akashi berkata lugas, sukses membuat Momoi Satsuki bungkam.

"Sudahlah, jangan ribut di sini lagi, nanti aku akan minta tolong Nijimura-senpai melalui pesan singkat. Aku yakin ia sudah pulang sekarang. Besok kita diskusikan lagi. Sebaiknya kalian berdua pulang dan mengisi daya otak kalian lagi, aku yakin otak kalian sudah gosong rasanya dipakai memikirkan argumen untuk negara lain dan masalah internasional yang tadi dibahas."

Titah Akashi menjadi akhir dari percakapan mereka sebelum ketiganya menyusuri lorong Teikou yang dihiasi oleh kaca yang merefleksikan sinar matahari, terbias menjadi warna jingga keunguan dan berpencar menuju tujuan masing-masing- rumah tercinta.

-x-

Nijimura mengerutkan kening begitu ia menjarah ponselnya setelah tiga jam berkutat dengan ilmu-ilmu mengenai peradaban Yunani Kuno.

Satu pesan diterima.

Pengirim, Akashi Seijuurou.

Nijimura memijit pelipisnya pelan.

Nampaknya, tanpa ia buka dan teliti satu persatu kata yang ditorehkan Juniornya melalui media elektronik itu, ia sudah bisa menebak isinya.

"Nijimura-senpai, maaf mengganggu tapi kayaknya kami bertiga lagi-lagi kurang cocok dengan Kak Mayuzumi. Mohon bantuannya."

Rekor terbaru- empat kali berganti pelatih. Hasilnya sama saja.

Nijimura jadi pusing sendiri.

Nyaris seluruh rekomendasi alumnus dari pembina klub debat bahasa inggirs yang ia pimpin sudah ia uji coba.

Mayuzumi Chihiro, Imayoshi Shouichi, Hyuuga Junpei, Aida Riko.

Dan keempatnya gagal. Masalah klasik selalu diadukan Akashi secara implisit mengenai keempatnya. Yang berintikan bahwa mereka memang hebat, kelewat bagus dan pintar sebagai debaters, namun tidak memiliki bakat sebagai guru.

Mengaduk-aduk notes kecil yang selalu ia bawa sebagai otak eksternalnya- Nijimura membuka lembar tengah-tengah yang berisikan sebuah nama.

'Mungkin memang ini saatnya meminta tolong padanya. Semoga saja aku tidak berakhir nelangsa lagi seperti tahun lalu.'

Separuh was-was dan takut, Nijimura mengetik angka demi angka dan memencet tombol hijau untuk memanggil panggilan.

"Halo- selamat malam Kak Midorima, maaf mengganggu. Ini Nijimura Shuuzou—"

.

Coach

Kuroko no Basket (c) Tadatoshi Fujimaki

Warning: AU! Teikou High School. 16!AkaKuroMomoi. 17!Nijimura. 20!Midorima dan character lain yang umurnya dirombak. MidoAka dominated. Friendship! Akakuro & MidoTaka

#AkaMidoWeek2015 #4 (Prompt Bebas)

The 2nd and 3rd chapter will be updated in day #5 (Teikou) & #7 (Shintarou)

.

"Kalian akan kedatangan pelatih baru besok. Dan aku memutuskan untuk mengadakan training camp untuk kalian."

Kuroko kira ada hal penting yang akan disampaikan Ketuanya itu sehingga ia harus mengorbankan tiga puluh menitnya yang berharga di kelas bahasa, ternyata—

"Tapi Nijimura-senpai, bukankah alumnus kita sudah dicoba semua dan hasilnya memang semuanya jelek dalam mengajar?" sanggah Akashi.

"Yah- sebenarnya ada satu yang masih aku simpan."

"Jadi si kakak yang menjadi alternatif terakhir ini yang paling bagus diantara keempatnya atau paling jelek? Sampai kau menyembunyikannya."

Nijimura menggaruk kepalanya. Bingung mau menjawab pertanyaan juniornya yang sudah menatapnya tajam.

"Eh..."

"Jawaban ragu-ragu. Aku yakin dia jelek. Kalau gitu aku nggak mau training camp. Mending latihan sendiri."

Nijimura makin pusing. Kadang-kadang ia berpikir, ini sebenarnya yang senior dan junior, siapa. Kenapa ujung-ujungnya malah ia yang merasa terintimidasi.

"Akashi… Dengar dulu hei—"

"Nijimura Shuuzou? Ada apa kau memanggilku ke sini? Aku ini sedang sibuk nanodayo."

Nijimura terkejut. Suara yang menurut ia sangat unik itu benaran tiba. Pemuda berumur tujuh belas –nyaris delapan belas tahun itu membalikkan badannya, menghadap ke sumber suara dan bermaksud untuk menyapa pemuda berkaus polo dan celana jins yang memanggilnya tadi.

"Ah, Kak Midori—"

"Siapa lagi orang yang memiliki aksen aneh dalam berbicara ini, Nijimura-senpai?"

Akashi blak-blakan. Nijimura tepuk jidat. Yang menjadi topik mengernyitkan kening.

"Hei bocah, kamu siapa? Tidak sopan sekali menghina orang yang lebih tua, terlebih menyinggung ciri khas." Midorima menatap nanar Akashi yang tengah berada di belakang Nijimura.

"Aku? Akashi Seijuurou. Kelas sebelas. Program IPS. Kami dipanggil Nijimura-senpai ke sini perihal pelatih baru. Dan kamu siapa? Kakak Berkacamata?" respon Seijuurou agak sinis. Momoi dan Kuroko hanya diam sekitar satu meter di sebelah Akashi. Keduanya tidak mau cari masalah karena memiliki firasat bahwa—

Midorima mengangkat alis. Kemudian ia tersenyum kecil sebelum menampakkan gestur menaikkan kacamata. "Midorima Shintarou. Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo. Aku dipanggil Nijimura Shuuzou untuk melatihmu, bocah."

-bahwa Kakak Berkacamata ini adalah pelatih mereka yang dipanggil Nijimura.

Benar kan.

"Oh, jadi Kakak toh—pelatih kita. Baiklah. Mohon bimbingannya ya, Kak Midorima." Nada Akashi tidak berubah. Bahkan sekarang terdengar lebih menantang ketimbang tadi.

Nijimura mulai keringat dingin melihat perang tatap-menatap tidak bersahabat yang dilancarkan oleh senior yang berusia tiga tahun diatasnya dengan juniornya ini.

Mampus. Jangan bilang habis ini aku akan didamprat lagi oleh Kak Midorima lewat telepon.

-x-

"-I have proven to you, that our case is still standing until in the end of this debate. And because of that, we beg you, to support our house, thank you."

Akashi mengakhiri pidatonya sebagai pembicara ketiga. Nijimura menghela napas. Tubuhnya pegal juga duduk diam dan mendengarkan enam juniornya yang sejak tadi memperdebatkan topik mengenai pemerintah akan menggunakan negara berkembang sebagai tuan rumah dari ajang olah raga dunia.

"Nijimura-senpai, ada reply speech nggak?" Momoi mengacungkan tangannya.

"Nggak. Aku cepat-cepat. Lagipula kalian sudah bisa kan, melakukannya ? Membagi debat ini menjadi beberapa clash atau permasalahan utama kemudian mengelompokkan argumen mereka dan kemudian kalian jelaskan kenapa argumen kalian masih standing sampai akhir. Dan setahuku sih reply speech tidak begitu diperhatikan kecuali kalau hasil dan poin kalian beda tipis dengan tim lawan." Nijimura melebarkan kertas penjurian yang sejak tadi ia lipat-lipat menjadi empat jendela bagian. "Kita langsung assessment saja ya. Nah mulai dari pembicara pertama tim proposisi—Haizaki…"

"—Begitu, sudah mengerti?"

Keenam orang yang menjadi sasaran Nijimura mengangguk.

"Bagus. Tingkatkan lagi kemampuan kalian. Sekarang kalian boleh pulang."

Setelah keenamnya meninggalkan ruangan, Nijimura beranjak dari kursi yang ia duduki, dan berjalan mengambil tasnya yang ia tinggal di meja pojokan dekat pintu.

"Nijimura-senpai. Aku mau tanya sesuatu."

"Whoa! Kuroko kamu mengagetkanku." Nijimura terlonjak dan mengelus dada. Juniornya yang satu ini memang memiliki hawa keberadaan yang beda tipis dengan makhluk gaib.

"Kenapa harus Kak Midorima? Maksudku, kenapa harus ada pelatih lagi? Aku pikir latihan kita dengan pelatih sudah cukup sih," jelas Kuroko panjang lebar.

Nijimura membalikkan badan, menatap juniornya dengan tatapan aneh sembari menggaruk belakang kepalanya.

"Sebaiknya kita bicarakan ini sambil jalan pulang. Ngomong-ngomong, Akashi dan Momoi mana? Sekalian mereka juga ajak membicarakan hal ini."

"Kebetulan sekali, sepertinya Akashi-kun dan Momoi-san masih di gerbang karena mereka berdua pun juga kepo perihal ini."

-x-

Layaknya siswa yang mendengarkan gurunya mengajar, ketiganya fokus mendengar cerita senior bersurai gelap yang duduk berhadapan dengan mereka. Sekarang keempatnya tengah makan malam di sebuah restoran cepat saji, Maji Burger.

Restoran yang bukan Akashi sekali, namun karena ia terlanjur penasaran, ia terpaksa mengekor Kuroko dan senpainya yang kebetulan ingin menu cepat saji.

"Jadi, Kak Midorima itu lulus tiga tahun yang lalu—Berarti ia sekarang sudah semester enam atau tujuh. Empat tahun yang lalu, ketika ia kelas dua SMA, dia mewakili Jepang menuju ajang internasional-World School Debating Championship. Dan darisana, ia mendapat akses lebih mudah untuk mencari Fakultas Kedokteran. Nah semenjak menjadi mahasiswa, ia tetap mengikuti latihan debat, karena di ajang universitas pun ada lomba yang seperti kalian, namanya World University Debating Championship—WUDC, singkatnya." Nijimura meneguk sodanya.

"Tapi semenjak semester empat—kalau tidak salah, ia berhenti karena pelajarannya semakin berat, sementara debat juga membutuhkan perhatian yang banyak—Semenjak itu dia juga jarang mau melatih. Padahal ia adalah alumni Teikou. Tahun lalu, kalau tidak salah sewaktu aku minta tolong sama dia, yang ada aku malah dimarahi karena mengganggu dia. Ya, mungkin dia sedang sibuk-sibuknya. Fakultas yang ia jalani cukup sulit sih—"

Nijimura menghela napas, agak ngeri juga ia mengingat-ngingat masa-masanya sebagai anak hijau di Teikou—Dimintai tolong oleh senior yang melatihnya untuk menghubungi Midorima—Berakhir nelangsa.

"Maka dari itu, aku ingin kalian memanfaatkan kedatangan Kak Midorima, karena kebetulan saat ini dia sedang tidak sibuk. Aku yakin Kak Midorima itu bagus dalam melatih, makanya aku langsung memutuskan untuk mengadakan training camp tiga hari lagi. Dilakukan lima hari empat malam. Rabu siang kalian mulai ke tempat yang aku pesan, Minggu siang selesai. Nanti aku dan yang lain akan mengunjungi kalian di waktu senggang—"

Momoi dan Kuroko hanya mengangguk—entah itu mengangguk karena memang berniat atau kasihan melihat wajah Nijimura yang mulai tertekuk lagi.

Namun tidak bagi Akashi yang malah menyeringai setelah mendengar latar belakang Midorima.

-x-

"M-Maaf! Momoi! Nampaknya sewaktu aku pesan kamarnya, pegawai yang aku ajak ngomong agak salah paham! Jadi kalian sekarang terjebak seperti ini! Ah, bagaimana ya, kenapa jadinya hanya dua kamar—Padahal aku pesan tiga, Untuk kamu satu, Kuroko dan Akashi, serta Kak Midorima. Ah—Y-Ya nanti pulang sekolah aku kesana! Bye! Aku mau ulangan."

Telepon dari Nijimura terputus begitu saja. Momoi memandang ponselnya dengan wajah datar.

Sial.

Kalau begini dia bisa terjebak dengan dua remaja lainnya selama empat malam.

"Momoi kamu pakai kamarku saja- Biar aku yang tidur sama Kuroko dan Akashi nanti. Tidak enak saja sepertinya kalau kamu harus tidur sama mereka. Kamu cewek, nanodayo. Dan aku sebagai satu-satunya orang dewasa di sini, bertanggung jawab terhadap kalian."

"Sok dewasa."

Midorima mendelik dalam diam ke arah Akashi.

"Bocah, kamu diam saja dan turuti perkataanku, nanodayo."

"He? Aku tidak mau tidur denganmu, Kak Midorima."

"Siapa juga yang ingin tidur denganmu. Kau sama Kuroko di kasur yang besar, aku sendiri yang kecil. Tidak sudi aku tidur denganmu."

"Ish!"

Mulai lagi...

Momoi rasanya ingin meneror Nijimura saja karena sang empu tidak ikut dalam training camp dan membiarkannya serta Kuroko terjebak dengan duo Midorima-Akashi yang selalu rusuh.

Dari awal mereka menjemput Midorima di rumahnya—

"Hai kak. Butuh berapa lama berdandan? Kita sudah lumutan nunggu di sini-"

Padahal Akashi sendiri yang memaksa mereka untuk berangkat sejam lebih awal dari waktu yang ditentukan oleh perjanjian kemarin.

Dan ketika mereka semua makan siang setelah menjemput Midorima—

"He, ternyata Kak Midorima nafsu makannya besar juga. Lihat saja menunya yang paling beragam."

"Diam. Dengan porsi yang pas dan ideal seperti ini aku tidak kekurangan gizi. Lihat saja tinggiku yang pas untuk seumuran dua puluh tahun-nanodayo."

Penghinaan secara tidak langsung. Akashi tersinggung. Midorima makan dengan tenang.

Oh tidak. Bisa-bisa ketika ia tidur di kamar yang seharusnya ditempati Midorima—esok hari ketika ia menengok Kuroko dan Akashi, kamar sebelah sudah hancur lebur karena perang antara Akashi dan Midorima.

Harusnya ia tidak usah repot-repot menelepon Nijimura—Toh juga kamar yang disediakan ada dua. Kamar pribadi Midorima—Dan lagi satu kamar untuk mereka yang sudah terdiri dari satu kasur king size dan satu kasur single bed. Ia bisa membiarkan Kuroko dan Akashi tidur sekasur saja.

Ya. Momoi harus meluruskan ini sebelum—

"Kak Midorima mesum ya, ingin tidur dengan anak di bawah umur. Aku masih enam belas tahun. Diam-diam kau pedofil juga ternyata."

-Akashi mulai lagi.

Perempatan muncul di kening Midorima. Pelatih mereka yang kata Nijimura tsundere itu memerah.

"H-Hei! Aku hanya menyarankan hal yang bijak! Jangan menuduhku seperti itu bo—"

"Sudahlah Akashi-kun, Kak Midorima. Lebih baik kita taruh barang-barang dulu di sini secara acak kemudian latihan. Masalah ini bisa diurus nanti malam. Jangan membuatku menyia-nyiakan empat hari waktu sekolahku hanya untuk berdiri di sini dan menonton kalian berdebat sendiri."

Tiba-tiba tubuh mungil Kuroko berada di antara keduanya yang sudah siap adu jontos.

Menohok dan lugas.

Momoi haleluya dalam hati, ada juga satu orang yang waras di sini- walau suka menghilang tiba-tiba seperti hantu.

-x-

Midorima mengernyitkan keningnya. Kertas penjurian adalah titik fokusnya selama tiga puluh menit terakhir. Iris zamrudnya yang tersembunyi di balik lensa minus itu menatap secarik kertas tersebut seolah-olah sampah.

"Aku rasa—role kalian sebagai pembicara harus diubah nanodayo. Melihat kalian melawan diri sendiri begini—sebagai tim mendukung dan menolak—Aku kurang puas. Aku ingin kita berdebat sekali lagi. Akashi kamu jadi pembicara pertama, Momoi jadi yang kedua, dan Kuroko jadi yang ketiga. Mosinya adalah This House Believes That Socialism is Better Than Capitalism—mosi Ekonomi."

Perkataan Midorima disambut oleh decakan kesal Akashi karena ia kurang suka mosi ekonomi.

-x-

"Kak Midorima?"

Midorima yang tengah membereskan baju-bajunya menoleh ke arah Kuroko. "Ada apa?"

"Boleh aku duduk di sebelahmu?" Midorima menggangguk. Membiarkan Kuroko duduk bersila disampingnya yang tengah mengobrak-abrik kopernya.

Sesi latihan siang dan sore mereka sudah selesai sejak pukul tujuh tadi. Dan setelah makan malam dan membersihkan diri—Akashi dan Kuroko menumpang di kamar Momoi untuk membahas mosi serta apa yang Midorima tambah-tambahkan ketika latihan tadi. Sementara Midorima ditinggal sendiri di kamar.

Sekedar informasi, kamar mereka tetap seperti semula—saran Midorima.

Momoi sendiri. Sementara untuk Akashi, Kuroko, dan Midorima satu kamar dengan catatan Midorima tidur di kasur single bed. Dan Akashi yang nampaknya sedang lelah tidak berkomentar apa-apa. Midorima bersyukur tadi ia tidak perlu lagi bertikai dengan mulut pedas setan cilik yang jadi anak didiknya itu.

Kuroko memperhatikan barang-barang yang dibawa Midorima sejenak sebelum ia mengutarakan maksud mendekati pelatihnya itu.

"Kenapa role kita harus diganti?"

Aktivitas Midorima untuk mengambil peralatan mandi terhenti sejenak. Ia meletakkan handuk dipangkuannya sebelum beralih menatap anak didiknya yang berwajah datar itu.

"Besok akan aku jelaskan kenapa, Kuroko. Kenapa kau tiba-tiba iseng bertanya seperti ini?"

Kuroko menggeleng, "Tidak. Aku hanya mengutarakan rasa penasaran kok. Karena sejak tadi Akashi-kun ribut sendiri bertanya-tanya kenapa posisinya sebagai penangkis argumen harus diganti menjadi seseorang yang menjelaskan landasan teori dari mosi itu secara filosofi."

Midorima tidak menjawab. Ia malah beranjak bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. "Besok akan aku jelaskan. Sebaiknya kalian bertiga tidur. Ini sudah jam sembilan malam."

Kuroko mengangguk kemudian keluar kamar untuk memanggil Akashi dan Momoi yang masih membahas mosi yang harus dipersiapkan untuk lomba di kamar Momoi.

Selepas kepergian Kuroko, Midorima melihat foto yang ia pajang sebagai homescreen dari ponsel pintarnya.

-x-

Midorima keluar dari kamar mandi dengan handuk yang ia gosokan pelan di helaian hijaunya yang masih basah. Uap samar-samar terlihat akibat hangatnya suhu air yang digunakan untuk membersihkan diri oleh sang empu.

"Kak Midorima priyayi sekali ya. Satu jam di kamar mandi."

Suara menyebalkan itu kembali mengomentarinya setiap tingkahnya.

"Aku lelah. Dan mengguyur tubuh di bawah kucuran air hangat dari shower adalah cara paling ampuh untuk rileks, nanodayo." Midorima menjawab sekenanya, kemudian melangkahkan kakinya menuju meja yang terdapat di pojok kamar—Sudah dipenuhi dengan beberapa buku yang tadi Midorima sempat atur sebelum Kuroko tiba dan menontonnya mengobrak-abrik koper.

"Tetap saja. Kak Midorima lelet dalam hal mandi untuk ukuran pria umur dua puluh tahun." Akashi tersenyum jahil. Posisinya yang duduk bersender di tempat tidur sembari membaca novel membuat Midorima tidak bisa melihat senyum jahilnya—perihal posisi Midorima yang tengah duduk menghadap meja memunggungi Akashi.

"Terserahmu sajalah."

Midorima mulai membuka salah satu bukunya. Suara gemerisik dari halaman perhalaman yang di balik menjadi suara yang mengisi keheningan kamar.

Menyudahi aksi saling mengejek, keduanya sekarang sibuk terlarut dengan kegiatan membaca masing-masing, membiarkan Kuroko Tetsuya yang sudah terlelap meringkuk di balik selimut.

-x-

"Setidaknya aku tamat dalam rasa cinta."

"Aku juga mencintaimu."

Mereka lalu berpegangan tangan erat. Dua pria yang tak punya nama belakang di dalam sebuah kamar kerja. Saling mencintai.

Akashi menutup novel mungil tersebut. Ia sudah selesai membaca seri pertama dari serial Supernova karangan Dee Lestari. Awalnya Akashi mengira keputusan yang salah untuk membelinya—perihal ada pasangan homoseksual di dalam novel itu, tapi oh biarlah. Akashi sukses dibuat terhanyut oleh plot twist dan rangkaian kata-kata yang indah di dalamnya.

Pemuda itu melakukan peregangan singkat. Tubuhnya pegal karena terlalu lama bersender di kayu jati yang menjadi hiasan dari kasur yang ia tempati sekarang. Iris dwi warnanya melirik jam dinding yang tergantung manis di atas televisi.

Pukul sebelas malam.

Rekor terbaru, ia berhasil menyelesaikan bagian pertengahan hingga akhir novel selama satu setengah jam.

Kemudian ia melirik ke arah punggung tegap yang masih asyik berkutat dengan notesnya. Dari gesturnya, Akashi bisa menebak sesekali ia menulis sesuatu di sebuah notes ukuran sedang yang ia lampirankan di sebelah buku cetaknya.

Siswa Teikou itu mengernyitkan kening. Setahu Akashi—pelatihnya ini sedang masa libur entah karena apa—Masih belajar juga?

Berjingkat-jingkat perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang bisa mengalihkan konsentrasi Midorima dan membangunkan Kuroko, ia, dibalut piyama berwarna abu-abu, mendekati pelatih yang masih larut dalam dunia medisnya sendiri.

-x-

"Dan sekarang yang ini di sini. Aku pikir Akashi lebih baik menjadi pembicara pertama karena—"

Pikirannya seketika buyar. Midorima terkejut ketika merasakan sebuah tangan menepuk pundaknya di suasana nyaris tengah malam begini.

"Hei—Akashi?"

Yang menepuknya adalah Akashi Seijuurou.

"Kukira kamu sudah tidur." Midorima sudah pulih dari keterkejutannya, ia masih tetap fokus dengan orat-oret yang sejak tadi ia torehkan di notes miliknya.

"Tidak. Aku belum bisa tidur. Sedangkan Kak Midorima sendiri?"

"Tidak. Bukan apa-apa nanodayo."

Tangan besar Midorima dengan sigap bergeser, menutupi notes yang masih terbuka lebar. Melindunginya dari pandangan Akashi yang sudah tertuju ke situ.

"Kenapa ditutup? Aku hanya bertanya?" separuh keheranan separuh geli, Akashi bertanya pada Midorima.

"Bu-Bukan apa-apa—Oi!"

Akashi berhasil menyelipkan tangannya dan menarik notes yang sejak tadi berada di bawah lengan Midorima.

"Jangan buka privasi orang sembarangan—Akashi!" Midorima separuh berteriak sembari mencoba untuk menggapai notesnya sebelum Akashi membawanya pergi ke sudut ruangan lain.

Midorima sebenarnya bisa mengejar, hanya saja—Ia terlalu malas untuk rusuh. Ini sudah malam.

Asyik membolak-balikkan halaman per halaman notes pelatihnya, Akashi berjengit.

"Aku kira daritadi Kakak berkutat dengan pelajaran kuliah? Ternyata membuat inti argumen dari mosi yang harus kami siapkan dan menulis alasan kenapa kami ganti posisi." Akashi menatap Midorima dengan wajah kebingungan.

Yang ditatap menghela napas, "Aku hanya baca-baca sedikit dari buku kuliahku sekitar setengah jam kalau tidak salah tadi. Setelah itu aku berkutat dengan urusan metode latihan kalian. Tapi bukan berarti aku peduli sampai sebegitunya pada kalian! Aku hanya melaksanakan tugasku sebagai pelatih. Tidak lebih, nanodayo. "

Akashi tersenyum kecil mendengar respon separuh mengelak dari pelatihnya. Tsundere.

Midorima beranjak dan mendekati Akashi yang masih berdiri di pojok lain. "Sini, berikan bukuku nanodayo, aku belum selesai."

"Jadi—menurut Kakak aku lebih cocok sebagai pembicara pertama karena penjelasanku jelas, begitu? Bukannya pembicara ketiga memang harus begitu juga?" Akashi bertanya sembari ia berjalan mengekor Midorima yang tengah berjalan kembali menuju mejanya. Akashi sudah menunjukkan respon positif untuk menurut rupanya.

"Aku melihatmu jelas dalam menjelaskan hal-hal tertentu. Dan terkadang jadi bablas membawakan argumen baru yang harusnya dibawakan dari pembicara pertamamu—Momoi. Untuk Kuroko— Kuroko sendiri nampaknya lebih menikmati ketika ia membawakan sanggahan atau rebuttal ketika sebagai pembicara kedua tadi. Ia lebih kuat dalam masalah sanggahan karena kemampuan analisisnya ketimbang kamu, selain itu memang nada bicaranya tenang namun menohok di saat yang sama—Itu benar-benar naturally third speaker. Namun di satu sisi ia kurang bisa memikirkan future impacts yang harusnya disampaikannya." Midorima menjelaskan sambil duduk. Panjang lebar pada Akashi yang berdiri di depannya.

"Sementara untuk Momoi, dia memang bagus sebagai pembicara pertama, tapi terkadang ia juga lebih banyak berbicara tentang dampak kedepannya yang lebih meluas. Sementara ia harusnya membicarakan basis dan alasan secara filosofi. Menurutku ia itu orangnya down to earth, lebih cocok menjadi pembicara kedua. Maka dari itu peran kalian aku ganti—Lagipula, kalian merasa lebih nyaman kan? Akui saja, nanodayo. Tapi bukan berarti aku memperhatikan kalian! Aku hanya melihat dari segi argumen kalian."

Akashi menatap Midorima nanar, kemudian mengangguk. "Iya, memang sih. Tapi kenapa hanya Kak Midorima yang berinisiatif mengganti peran? Sementara pelatih-pelatih lain tidak ada membahas ini."

"Kamu yakin, mereka tidak membahas? Atau mereka hanya tidak bisa mengutarakannya dengan jelas? Aku tahu nyaris mereka semua nanodayo."

"Er… Mungkin yang kedua." Akashi menjawab ragu-ragu.

"Ya. Begitulah. Aku sudah mendengar semuanya dari Nijimura.—Oh ngomong-ngomong, lebih baik kamu tidur sekarang. Sudah hampir jam dua belas dan kamu masih ada latihan besok."

"Aku belum mengantuk, Kak." Akashi mengangkat bahu kemudian berjalan menuju kasur.

"Mau coklat panas? Biasanya ibuku akan menyuruhku minum coklat panas atau susu agar bisa tidur nyenyak."

Tanpa menunggu jawaban dari Akashi, Midorima berjingkat menuju kopernya dan merongoh kantong paling luar. Menyondorkan Akashi sesaset coklat panas instan.

"Aku tidak suka yang manis-manis."

"Ini tidak terlalu manis kok. Enak. Coba saja."

Akashi memutar bola matanya, namun ia menuruti saran pelatihnya itu. Ia kemudian beranjak menuju dispenser yang terletak di dekat televisi—Berbekal cangkir dan sendok teh, ia mengaduk adonan yang sudah ia campurkan menjadi bentuk koloid itu dan meminumnya sedikit sembari duduk di sofa panjang yang berada di dekat jendela luar.

Raut wajah Akashi yang sedatar raut wajah Kuroko tiba-tiba mencerah sedikit.

"Enak…"

Midorima tersenyum penuh kemenangan ketika ia menangkap ekspresi kesenangan dari raut wajah anak didiknya. "Sudah aku bilang, kan? Kamu tidak percaya."

"Terima kasih ya, Kak Midorima." Akashi tersenyum kecil sebelum ia kembali menyendokkan coklat panas dan meminumnya perlahan.

"Sama-sama—" Midorima memerah melihat wajah manis Akashi. "Tapi bukan berarti aku begini karena peduli padamu nanodayo! Aku hanya tidak ingin kamu bangun kesiangan besok sehingga menunda waktu latihan yang sangat berharga!"

Akashi tersenyum geli ketika Midorima membalikkan badannya dan kembali berkutat dengan notes kecilnya.

Baru kali ini ia merasa, seperti inikah memiliki figur seorang kakak.

-x-

Pukul satu dini hari.

Midorima menegakkan tubuhnya. Akhirnya ia selesai juga mencatat mosi yang akan ia berikan pada Akashi dan kawan-kawan besok—atau bisa dikatakan nanti karena sudah pukul satu. Possible argumentnya juga sudah rampung. Walau ia tidak akan berorientasi ke sana ketika menjuri karena ia tidak boleh melakukan hal itu. Sebagai juri ia harus mengosongkan pikiran seolah-olah ia adalah anak umur lima tahun yang tidak tahu apa-apa mengenai mosi, dan Akashi, Momoi, dan Kuroko bertugas sebagai pemberi ilmu padanya.

Dari argumen mereka—dari situlah informasi yang ia dapat. Lumrahnya, seorang adjudicator yang bagus memang harus begitu.

Midorima hanya ingin mengurangi beban mereka bertiga dengan membantu dalam diam—Siapa tahu mereka kesulitan atau ada argumen yang kurang, bisa ia comot dari apa yang telah ia tulis di notesnya.

Lampu masih menyala terang. Midorima sedikit heran kenapa Kuroko dan Akashi mudah sekali terlelap dalam kondisi terang benderang seperti ini.

Midorima menoleh ke belakang, menatap wajah Kuroko yang sangat polos seperti anak kecil. Anak didiknya yang berwajah bak triplek itu ternyata imut juga kalau sedang terlelap.

Midorima menatap Kuroko yang tengah menguasai kasur di balik selimut kemudian ia beralih ke—

Tunggu.

Ia tidak menemukan eksistensi Akashi yang harusnya tidur dengan Kuroko malam itu. Malah yang ada Kuroko sendiri menguasai kasur berukuran single it—

WAIT WHAT?!

Midorima mengerjapkan matanya.

Kuroko.

Tidur.

Di kasur.

Yang seharusnya.

Ia tempati?!

Sementara,

Kasur yang lebih besar,

Kosong.

Mana Akashi?!

Midorima pangling sendiri.

Namun ia bisa segera bernapas lega ketika mendengar suara deritan dari sofa yang berada di dekat jendela.

Akashi Seijuurou tengah tertidur di sana. Hanya berlapis piyama. Tidak ada selimut yang membungkus tubuh—yang menurut Midorima, mungil.

Setelah menutup buku dan menatanya di pojokan meja agar terlihat apik, Midorima beranjak, menimbulkan sedikit suara derit dari kursi yang sejak tadi menahan beban tubuhnya.

"Hoi, Akashi."

Midorima mengguncangkan tubuh mungil anak didiknya.

Akashi tidak bergeming. Napasnya masih teratur—menandakan bahwa tidurnya terlalu pulas untuk dipaksa bangun.

Midorima melirik meja kecil yang ada di samping sofa.

Terdapat buku novel Supernova yang berjudul Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, serta cangkir yang sudah kosong.

Nampaknya Akashi ketiduran setelah minum coklat panas dan membaca novel—atau dia sengaja tidur di sini?

Walau Akashi termasuk jahil karena hobi mengomentari setiap aktivitas Midorima—dan komentarnya tidak penting, Midorima merasa anak didiknya ini masih memiliki rasa hormat di dalam dirinya. Mungkin Akashi menjadi sedikit menyebalkan karena tekanan di rumah ia tidak bisa bertingkah seperti itu.

Dan karena dilahirkan di keluarga yang setahu Midorima sangat ketat akan adat dan istiadat—pastinya Akashi Seijuurou memiliki sifat seperti itu yang diterapkan di kehidupan sehari-hari.

Midorima mengalihkan pandangannya ke wajah Akashi. Posisi tidur yang sangat tidak enak. Akashi memaksakan dirinya untuk meringkuk di sofa itu, menjadikan tumpuan lengan sebagai cadangan bantal.

Kalau begini dia bangun-bangun akan sakit semua badannya.

"Hoi, bangun Akashi. Badanmu akan sakit semua kalau tetap di sini, nanodayo. Tidak berselimut lagi."

"Mmh… Urusai Tetsuya. Biarkan Kak Midorima tidur di kasur yang besar—Kan dia pelatih kita, kasi kehormatan sedikit—ng, salahmu sih ketiduran di kasur Kak Midorima."

Mata Akashi Seijuurou terbuka sedikit, namun tidak fokus. Nampaknya ia dalam keadaan setengah sadar ketika dibangunkan Midorima.

"Tapi besok badanmu akan sakit semua. Dan aku bukan Kuroko, nanodayo." Midorima meladeni Akashi yang tengah menggeliat tidak nyaman di kondisi setengah sadar.

"Lihat, gestur tubuhmu mulai menunjukkan bahwa kamu tidak nyaman, nanodayo." Midorima kembali mengguncangkan bahu Akashi.

"Mmhh… Kamu cerewet Tetsuya. Aku ngantuk."

Sial.

Anak ini susah sekali dibangunkan.

Melihat gestur Akashi yang mencoba untuk membalikkan badan namun gagal karena keterbatasan ruang gerak di sofa, akhirnya Midorima memutuskan untuk membawa Akashi paksa ke kasur.

HUP.

Dengan satu gerakan sigap, tangan kekarnya berhasil menggendong tubuh Akashi.

"Hei—Tetsu-ya!"

Masih dengan keadaan setengah sadar, Akashi sedikit memberontak.

"Diam atau akan aku jatuhkan tubuhmu ke lantai."

Akashi menggerutu sedikit ketika mendengar ancaman Midorima—yang masih ia kira sebagai Kuroko, namun ia diam saja. Tidak ada lagi perlawanan. Matanya terpejam.

Setibanya di samping kasur, Midorima langsung membaringkan tubuh Akashi dan menyelimutinya. Seperti yang ia kira—Akashi langsung bergelut nyaman ketika tubuhnya sudah diselimuti dan dibaringkan ke tempat yang lebih nyaman ketimbang sofa.

Midorima menghela napas sembari berjalan menuju sisi kasur yang lain setelah mematikan lampu utama—menyisakan lampu tidur saja yang menjadi satu-satunya penerangan di kamar tersebut.

Pemuda itu melepaskan kacamatanya kemudian membaringkan badannya di sisi kasur yang lain. Sesekali ia memiringkan tubuhnya untuk menjadi posisi nyaman.

Dan ketika ia memiringkan tubuhnya sehingga tidak sengaja berhadapan dengan Akashi—

"Tetsuya—aku baru tahu iris Kak Midorima, hijaunya indah sekali."

Senyum polos Akashi yang masih setengah sadar, disusul dengan dengkuran halus. Nampaknya ia tengah bermimpi kalau ia berbincang-bincang dengan kawannya sejak tadi—Dan yang menjadi topik sekarang adalah Midorima sendiri.

Midorima spontan memerah dan membalikkan dirinya. Separuh menyesal separuh malu ketika berhadapan dengan Akashi tadi.

-x-

Suara gaduh internal membuat iris heterochrome itu perlahan menampakkan dirinya. Sinar matahari yang menyeruak masuk merupakan pemandangan pertama yang ia lihat.

Mengusap kelopak matanya pelan, Akashi mencoba untuk duduk. Rasanya tubuhnya enak sekali. Ia pikir—ia akan bangun dengan kondisi sakit pinggang karena tidur di sofa kemarin. Tapi tubuhnya malah terasa enak sekali. Ditambah selimut tebal yang melapisi tubuhnya ini membuatnya semakin malas untuk beranjak dari tempat ti—

Kesadaran Akashi terkumpul sepenuhnya.

Ia ingat.

"Tetsuya, kamu ada menyeretku ke kasur kemarin?"

Akashi menoleh ke arah Tetsuya yang tengah menonton televisi—berita olah raga pagi dengan tatapan menuduh.

"Lho? Kok aku? Kan aku sudah tidur sebelum kamu tidur, Akashi-kun." Yang dituduh hanya memandang Akashi dengan wajar datar, walau tersirat nada tidak terima dari nada bicaranya.

"Bukannya kamu yang kemarin maksa-maksa aku untuk pindah tidur dengan alasan akan sakit badan?" Akashi masih kukuh.

"Nggak. Kamu mimpi Akashi-kun."

Akashi kukuh, begitu juga Kuroko. Bahkan sekarang sang empu tidak mempedulikan lagi televisi yang menayangkan kilasan dari liga sepak bola. Ia malah bersila di atas kasur yang ia tiduri kemarin sembari menghadap ke arah Akashi—di kasur sebelah.

"Serius Akashi-kun," lanjut Kuroko ketika ia menangkap ekspresi menuduh Akashi belum sirna.

"Sebentar. Kita ada ngobrol tentang apa saja kemarin?"

Yang Akashi ingat, mereka sempat membicarakan Midorima sebelum Akashi terlelap.

"Tentang mosi, dan gosip mengenai Kise Ryouta, dan Aomine-kun yang katanya menjalin hubungan. Kita cuma sempat ngobrol sebentar saja kan karena langsung disuruh tidur oleh Kak Midorima."

Oh sial. Akashi mengumpat dalam hati.

Lalu… seingatnya ia ada berbicara dengan Kuroko mengenai iris Midorima—

"Lalu siapa yang aku ajak bicara tentang iris Kak Midorima yang ternyata bagus?!"

Ups.

Akashi keceplosan.

Kuroko melongo. Momoi yang seenak jidat memasuki kamar anak laki-laki, terkejut. Midorima yang baru keluar dari kamar mandi—tentunya setelah berpakaian lengkap hanya diam saja mendengar namanya disebut.

Kuroko mengangkat bahu, "Aku tidak tahu. Mungkin kamu ngomong sama Kak Midorima sendiri kemarin. Bukan begitu—Kak?"

Midorima nampaknya mulai mengerti apa yang mereka bicarakan. Serabut memerah di pipinya tidak bisa disembunyikan ketika ia mengingat apa yang Akashi katakan mengenai dirinya—di tengah kondisi setengah sadar.

"A-Aku tidak tahu, nanodayo! Dan jangan membicarakan orang lain sembarangan. Itu tidak sopan!"

Midorima bergegas menuju meja untuk mengambil notesnya, maksud terselubung untuk menghindari Kuroko dan Akashi yang sudah melihat wajahnya memerah.

Akashi terdiam.

Otak cerdasnya mulai mencoba untuk memutar balik ingatannya. Kenapa bisa ada kepingan memori di mana ia membicarakan iris pelatihnya.

Ingatan terakhirnya adalah—ia diberi coklat panas oleh Midorima, dan setelah itu ia tidur-tiduran sembari membaca ulang beberapa bagian favoritnya di novel dan mungkin setelah itu ketiduran?

Tapi Akashi samar-samar mengingat seorang sosok memaksanya untuk bangun dan pindah tidur—yang ia pikir sebagai Tetsuya karena keras kepala.

Lalu—I=ia ingat tubuhnya dipaksa untuk pindah. Entalah mungkin digendong. Tapi masa Tetsuya sekuat itu?

Tubuh Tetsuya lebih kecil daripada dia.

Dan seingat Akashi yang menggendongnya memiliki iris berwarna hijau zamrud—

Akashi memerah.

Dan nampaknya ia secara tidak sengaja mengutarakan di depan sang empu—yang ia sangka Tetsuya bahwa iris hijau zamrudnya sangat indah.

'MAU DITARUH DI MANA MUKAKU DI DEPAN PELATIH MENYEBALKAN ITU?!' Akashi menjerit nelangsa dalam hati.

Kuroko yang melihat perubahan ekspresi Akashi mulai keheranan.

"Akashi-kun?"

"S-Sudahlah Tetsuya! Mungkin yang tadi aku hanya mimpi atau ngingau. Bisa saja aku jalan sendiri ke kasur tanpa sadar. Setengah sadar." Nada Akashi dan gaya bicaranya yang terbata-bata. Sangat tidak Akashi sekali, tidak berhasil meyakinkan Tetsuya.

"S-Sudah! Aku mau mandi dulu!"

Akashi langsung melesat ke kamar mandi.

Iris biru langit milik pemuda yang bertubuh lebih kecil itu bergantian menatap Midorima yang tengah melakukan entah apa itu dengan notesnya di meja, dan Akashi yang keluar dari kamar mandi karena ia lupa mengambil baju dan peralatan mandi di koper.

Otak observatif Kuroko menangkap bahwa gerakan Midorima tidak fokus—Ia hanya asal membolak-balikkan notes dan Akashi yang tumben sekali ling-lung.

Pasti mereka ada apa-apa kemarin malam. Nampaknya aku bisa menebak.

Kuroko diam-diam tersenyum misterius.

"Tetsu-kun, ada apa?"

"Nanti akan aku ceritakan, Momoi-san."

Momoi yang masih belum mengerti situasi hanya memiringkan kepalanya, bingung melihat tingkah aneh Akashi dan Midorima, serta Kuroko yang senyum-senyum sendiri.

.

.

.

Part 1 of 3

.

.

.

GLOSSARIUM:

*NSDC: National School Debating Championship. Ajang lomba debat bahasa inggris nasional. Tapi seleksi bertahap. Jadi Dari kodya dulu (sekolah-sekolah di kota itu yang ikut, dipilih tiga pembicara terbaik yang akan mewakili sebagai wakil kota tsb ke tingkat provinsi) , lalu provinsi (tim yang mewakili tiap kota bertanding, di cari juara pertama atau best team untuk mewakili ke tingkat nasional)

*WSDC: World School Debating Championship. Lanjutan dari NDSC. Representative dipilih melalui 15 best speaker NDSC yang nantinya akan diseleksi dan tahap-tahap lanjutan, kemudian dipilih empat sebagai representative negara itu dalam ajang internasional. Tiga sebagai pembicara, satu sebagai matter box atau lazimnya sebagai cadangan atau pembantu dalam hal persiapan materi.

*Sistem debat yang dibahas di sini adalah Asian parlementary System. Dua tim, proposisi (affirmative / setuju) dan oposisi (negative / menolak) memperdebatkan mengenai sebuah mosi. Di mana satu tim terdiri dari tiga orang (Akashi, Momoi, Kuroko) dengan role sebagai berikut dengan waktu masing-masing maksimal tujuh menit dua puluh detik setiap pembicara (untuk reply speaker empat menit dua puluh detik) :

Pembicara pertama proposisi - pembicara pertama oposisi - pembicara kedua proposisi - pembicara kedua oposisi - pembicara ketiga proposisi - pembicara ketiga oposisi - reply speaker opposition - reply speaker proposition.

First speaker/pembicara pertama: bertugas untuk menjelaskan landasan teoritis dan filosofi mengapa mereka menjunjung atau menolak (tergantung posisi prop atau op) mosi ini. Untuk pembicara pertama tim oposisi, dia memiliki tugas tambahan yaitu menyampaikan rebuttal atau sanggahan terhadap pembicara pertama proposisi.

Second speaker/pembicara kedua: bertugas untuk memberi sanggahan pada tim lawan dan menjelaskan mengenai apa yang akan terjadi jika mosi ini didukung / atau tidak. Mengadakan perbandingan situasi—Dan mengandaikan apabila dirinya terlibat dalam mosi ini apa yang akan terjadi. Melalui perbadingan situasi yang dianalisis—Di sini dia akan membuktikan bahwa berdasarkan situasi yang ada dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dia bisa membuktikan bahwa casenya lebih kuat daripada tim lawan.

Third speaker/pembicara ketiga: bertugas untuk memberi sanggahan balik kepada tim lawan, membuktikan bahwa kasus yang dibawakan oleh timnya adalah solid, dan kasus tim lawan tidak yang penting karena ia bertugas untuk memback-up timnya.

Reply speaker: mirip seperti third, namun ruang lingkupnya lebih luas jadi otomatis tidak sedetail third. Dia bertugas untuk meyakinkan juri secara universal bahwa kasus yang dibawakan oleh timnya lebih valid ketimbang tim lawan. Posisi ini biasanya akan dilakukan oleh pembicara pertama atau kedua—Bukan pembicara ketiga.

Rebuttal = sanggahan yang disampaikan pada tim lawan, mengenai kekurangan mereka, dan menyatakan bahwa tim kita lebih kuat.

POI = Point of Interuption. Di tengah-tengah seorang pembicara menyampaikan pidatonya, seseorang boleh memberikan sanggahan singkat secara langsung selama lima belas detik dan akan direspon langsung oleh sang pembicara. Etikanya dengan mengacungkan tangan dan berkata "On that point, mam." Kalau diterima, silahkan bicara, kalau tidak, dipersilahkan untuk duduk. POI hanya boleh dilakukan diantara menit pertama dan keenam.

Rencana awal sebenarnya oneshot. Tapi—semua gagal semenjak mantra sakti MidoAka menyerang. Jadi aku potong tiga chapter.

Ngomong-ngomong, ini adalah fanfiksi MDAK/AKMD pertamaku :'D /gaada yang nanya/ /dibuang/

Maaf jika agak aneh.. dan temanya… berat?;'D Maafkan me yang lagi kangen debate + terlarut euphoria si manis hijau-merah ini :')

Jadi—fanfiksi ini pasti masih ada kekurangan—kalo kelebihnya paling Cuma kelebih words yang +++ ;'D /dibuang/

Untuk itu….

Mohon kritik dan sarannya? :'3

Selamat AkaMidoWeek2015 !

-Love, Shizuka C.