Ada dua hal yang menjadi misteri bagi Jihoon. Pertama, memar yang ia temukan pada beberapa siswa di sekolah. Dan kedua, Kang Daniel. Daniel/Jihoon, AU. produce 101.
Unworthy
Bagian 1
Bunyi ketukan sepatu yang terburu-buru menggema di koridor sekolah yang lengang. Jihoon menggigit bibir bawahnya, matanya mencari-cari. Pandangannya melompat dari satu tempat ke tempat lain, berusaha menemukan satu ruangan di antara puluhan ruangan lain yang tak ia kenal.
Ruang musik, ia merapal dalam hati. Ruang musik, ruang musik, ruang musik. Mereka bilang bekas ruang musik.
Jihoon menuruni tangga, berbelok ke kanan, dan berhenti. Apa benar bekas ruang musik ke arah sini? batinnya ragu. Lalu kepalanya menggeleng. Tak ada waktu untuk berpikir.
Dan ia mulai berlari.
Ruang musik, ruang musik, bekas ruang musik, ia kembali merapal. Seragamnya basah karena keringat. Ia berlari melewati kelas demi kelas, lab, gudang atau apapun itu dan ia mulai merasa putus asa. Ia sama sekali tak menemukan tempat yang ditujunya. Rasa pening merambati kepalanya. Napasnya tersengal.
Dimana? Dimana ruangan sialan itu? Dimana? Kenapa aku tak menemukannya?
Jihoon mengacak-acak rambutnya frustasi. Koridor sekolah baginya seperti terowongan yang tak berujung. Kakinya lama-lama terasa berat untuk diayunkan.
Jihoon menyeka keringat di dahinya, membungkuk untuk membenarkan tali sepatunya yang lepas, dan membeku.
Bekas ruang musik tak memiliki papan tanda yang menggantung di atas pintu seperti ruangan lain. Jihoon hampir melewatinya, menganggap itu gudang biasa kalau saja ia tak melihat papan tanda yang terselip di dekat pintu bagian bawah, seolah papan tanda itu jatuh dan tak ada yang peduli untuk mengembalikannya ke tempat semula.
Mata Jihoon memicing. Ia menegakkan tubuhnya, menarik napas dan menggeser pintu tersebut dengan satu hempasan.
Dan Jihoon disambut oleh wajah memar, bibir sobek dan mata membengkak milik Park Woojin yang balik memandangnya dengan kaget, seolah tak menyangka Jihoon akan berdiri di pintu. Seragam bagian depannya terkoyak dicengkram laki-laki lain yang kepalan tinjunya terhenti di udara karena kehadiran Jihoon yang tiba-tiba.
Woojin tersenyum getir, lalu membuang muka.
Oh, kata Jihoon dalam hati. Amarah meledak di dadanya. Jadi ini yang terjadi.
Ia melangkahkan kakinya masuk. Ruangan itu hening, tapi ada sekitar sebelas orang disana. Hampir masing-masing dari mereka terlihat terganggu dengan kedatangan Jihoon ke wilayah mereka, tapi Jihoon tak peduli. Ia menatap mereka satu persatu, tangannya mengepal erat, berusaha menahan amarah yang meluap-luap.
Dan tatapannya berhenti pada pemuda berambut coklat madu yang duduk dengan tenang di sofa di sudut ruangan. "Apa—" Jihoon berkata, nadanya dingin dengan senyum yang tak mencapai mata, "Apa maksudnya ini, Kang Daniel-sunbae?"
.
.
Woojin mencoba mendoktrinnya dua hal ketika Jihoon pindah ke SMA Nayana di tengah semester karena pekerjaan ayahnya.
Satu, jangan bertanya. Dua, jangan mencari tahu. Woojin mengatakannya dengan begitu serius sampai-sampai membuat Jihoon bingung. Jihoon mengernyitkan dahi, bertanya 'mengapa?', tapi sepupunya itu hanya menggelengkan kepala, menempelkan telunjuknya pada bibirnya dan menjawab, "Ssst. Kubilang jangan bertanya."
Jihoon tak mengerti. Ia ingin bertanya. Ia ingin mencari tahu apa maksud sebenarnya dari perkataan Woojin, tapi sorot mata sepupunya membuatnya bungkam. Ia akhirnya mengangguk, meredam kebingungannya dalam-dalam dan Woojin memberinya senyum lega.
Jihoon tak mengerti, dan satu minggu setelah ia menjalani hari-harinya di SMA Nayana, Jihoon menyadari sesuatu.
Ada dua hal yang menjadi misteri bagi Jihoon selama seminggu ia bersekolah di SMA itu. Pertama, memar yang ia temukan pada beberapa siswa. Ia bukan orang yang suka memperhatikan, tapi memar itu sulit untuk diabaikan ketika Jihoon melihatnya dengan jelas di kantin sekolah. Ia sedang mengantri untuk makan siang, melihat-lihat menu, dan memar di lengan siswa di depannya tertangkap matanya.
Jihoon akan menganggapnya angin lalu kalau saja ia tak melihat luka di rahang siswa yang berbeda keesokan harinya. Lalu ia melihat punggung teman sekelasnya yang keunguan di ruang ganti ketika pelajaran olahraga. Lalu siswa lainnya yang tak ia kenal, dan siswa lainnya lagi.
Ia mengingat perkataan Woojin, jangan bertanya, jangan mencari tahu, dan ia menarik napas dalam-dalam.
Hal kedua yang menggelitik rasa ingin tahunya adalah salah satu kakak kelas di kelas tiga. Kang Daniel. Siswi di kelasnya membicarakannya dengan cekikikan yang membuat telinganya sakit. Ia banyak mendengar rumor disana-sini. Katanya, Kang Daniel adalah orang nomor satu di SMA Nayana. Katanya, Kang Daniel bisa membuat Kepala Sekolah bertekuk lutut dihadapannya.
Jihoon bisa melihat mengapa Kang Daniel begitu populer di sekolah. Pemuda itu begitu menarik perhatian di antara lautan siswa yang makan siang di kantin. Ia duduk di tengah-tengah, dikerubungi siswa-siswa yang berusaha menarik perhatiannya. Ia tersenyum, tertawa, tertawa, tertawa dan Jihoon memandanginya dengan heran dari kejauhan.
Kang Daniel tertawa begitu mudah.
Dan mencoba tertawa tak semudah itu.
Kang Daniel tersenyum, membuat orang terpesona dengan lengkungan bibirnya, tapi tidak dengan Jihoon. Senyuman Daniel memang menawan, tapi ada sesuatu hal yang membuat perasaan Jihoon tak nyaman ketika melihatnya.
Jihoon tak tahu mengapa. Ia tak boleh bertanya.
Hari ke sebelas ia bersekolah di SMA Nayana, ia menemukan sesuatu yang lain.
Ada lebih banyak siswa yang memiliki lebam di bagian tubuh mereka, tidak terlalu terlihat bagi orang-orang yang tak memperhatikan, tapi tidak luput dari penglihatan Jihoon yang familiar dengan warna ungu-kehijauan selama beberapa hari ke belakang.
Ketidaktahuan akan apa yang terjadi membuat Jihoon merasa sangat frustasi. Ia berusaha memikirkan segala kemungkinan yang ada, setiap petunjuk yang ia lihat, semua hal yang tak bisa ia tanyakan, sampai-sampai ia tak menyadari tali sepatunya yang lepas dan tak sengaja tersandung ke depan.
Jihoon menabrak Joo Haknyeon yang membawa nampan makan siangnya dengan agak ceroboh, dan nampan itu terlepas dari tangannya, melayang dan—
—membuat basah seragam Kang Daniel yang kebetulan lewat dengan sup daging yang masih mengepul panas.
"Ah," desah Daniel, wajah tampannya mengerut.
Jihoon sadar secara tak langsung ini adalah salahnya. Ia sadar ia harus minta maaf, pada Haknyeon yang kehilangan makan siangnya, dan pada Daniel yang ia kotori kemejanya.
Tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan begitu ia melihat betapa tegangnya bahu Haknyeon dari belakang.
"A-a-ah, sunbae! M-maafkan aku! Astaga, aku benar-benar m-minta maaf sunbae! Maafkan aku!" panik menguasai Haknyeon. Ia membungkukkan badannya berulang kali, wajahnya memerah dan tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuhnya. Suaranya terdengar menyesal, lemah—
Dan ada ketakutan yang terselip dibalik permintaan maafnya.
Daniel tersenyum, "Tak apa-apa." Ia menepuk bahu Haknyeon untuk meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja. Senyumnya tulus, membuatnya terlihat begitu baik di mata siswa yang lain.
Namun reaksi Haknyeon yang menjengit begitu Daniel menempelkan telapak tangannya pada bahunya membuat Jihoon berpikiran sebaliknya.
Daniel tersenyum sekali lagi pada Haknyeon, lalu berbalik arah dan meninggalkan kantin diikuti beberapa siswa yang selalu bersamanya. Bahu Haknyeon jatuh. Tangannya gemetar.
Jihoon menaikkan sebelah alisnya, lalu ia teringat sesuatu.
Lima hari yang lalu, di ruang ganti sebelum pelajaran olahraga. Punggung dengan memar keunguan yang dilihat Jihoon.
Itu adalah punggung milik Haknyeon.
.
.
Jihoon menarik Woojin ke atap setelah bel tanda pulang berbunyi.
"Aku tahu ada yang salah," katanya pada Woojin yang terlihat pasrah ditarik seenaknya oleh Jihoon. "Aku tahu ada yang aneh."
"Jihoonie," desah Woojin seraya memutar mata. "Jangan bicara yang aneh-aneh. Ayo pulang."
Jihoon mengibaskan tangannya di udara, "Woojin-ah. Aku yakin kau pasti tahu soal luka di beberapa—tidak, banyak sekali—siswa disini, kan?"
Woojin tersentak. Jihoon melihatnya.
"Jihooni—"
"Tidak, tidak. Dengarkan aku," ia menarik tangan Woojin dan menggenggamnya erat. Ia berkata serius, "Aku tak tahu apa ini benar atau tidak, tapi aku tidak sebodoh itu, Woojin-ah. Aku melihatnya." Jihoon menarik napas, "Aku tahu semua ini ada hubungannya dengan Kang Dani—"
"Park Jihoon." Suara sepupunya tidak seperti yang pernah ia dengar sebelumnya. Nadanya dingin, rendah, dan jengkel. Ia menatap Jihoon dengan sorot mata yang sama yang ia lihat di malam sebelum hari pertama Jihoon bersekolah. "Ayo pulang." Ia melepas genggaman tangan Jihoon, berbalik dan mulai melangkah menjauh.
"Tapi—"
"Ayo pulang."
"Woojin-ah," keluhnya. Ia berlari, menggapai bahu Woojin yang mencapai pintu dan memaksanya untuk berbalik menghadapnya.
Hari ke dua belas ia bersekolah di SMA Nayana, ia mendapatkan sesuatu yang lain.
Woojin mengernyit, seperti menahan rasa sakit yang tiba-tiba datang. Ia melepas tangan Jihoon dari bahunya dengan sedikit kasar, lalu mundur ke belakang.
Tidak. Mata Jihoon perlahan membulat. Tidak. Jangan bilang kalau...
"Woojin-ah." Ia menatap Woojin dengan tatapan tak percaya. "Woojin-ah, kau—"
"Jihoonie," Woojin memejamkan matanya, "Kau ingat apa yang kuajarkan padamu?"
Jihoon menatap Woojin, lama. Tentu saja ia ingat, karena ucapannya adalah apa yang membuat Jihoon menahan diri. Jangan bertanya. Jangan mencari tahu. Jangan bertanya. Jangan mencari tahu. Jangan mencari tahu.
Jangan mencari tahu.
Lalu ia melihat keadaan Woojin. Ia melihat wajah sepupunya yang pucat, bahunya, tangannya yang bergetar.
Tidak, putus Jihoon dalam hati.
Mari mencari tahu.
.
.
Bagian 1, selesai.
a/n: ini harusnya panwink, tapi saya malah kecantol nielwink dan jadilah fanfic kelam ini ahahahaha. Berdoa saja supaya saya update bagian dua cepet, karena saya udah lama gak nulis fanfic, dan saya gak puas sama tulisan saya yang sekarang ;;
anyway, review, kritikan, saran, apapun itu sangat saya terima.
Terima kasih sudah membaca~ /tebar wanna one/
-red
