Kuroko no Basuke ©Fujimaki Tadatoshi
AU, OoC, Typo and an OC kind of fanfiction ... we did not gain any financial benefit from this story. This is purely for our satisfaction.
.*.
Ann and Azalea Airys
presents...
Only Hope
.*.
Harapan yang membuatku bertahan dalam kediaman
Harapan yang membuatku merajut mimpi untuk memilikimu
Tetapi hanya harapan yang kupunyai
Padahal rasa suka bukan hanya untuk dipendam, tetapi harus dinyatakan dengan lantang
.*.
A/N:
Azalea: Dear Aunty, I'm sorry. Muahahaha... *evil laugh*
Ann : Dedek, semoga kamu suka ini~ and ... don't kill me after this. Wkwkwkwk
.*.
Sakura bermekaran, warna merah muda pucatnya mewarnai halaman samping SMU Teiko. Udara segar dan pemandangan sakura yang indah membuat sebagian besar siswa Teiko memilih menghabiskan waktu istirahat siang mereka di luar ruangan, begitupula Narahashi Yui. Gadis yang memiliki rambut sewarna kayu manis itu membawa bekal makan siangnya dan duduk di bawah pohon sakura. Tentunya ia tidak sendiri, Yui tidak pernah suka makan siang sendirian. Ia selalu bersama seorang atau beberapa teman, dan di antara banyak teman yang ia miliki ada satu orang yang tak pernah absen menemaninya. Gadis itu adalah Kaminari Fuko, seseorang yang ia kenal di hari pertamanya bersekolah di SMU Teiko, teman terdekatnya.
"Jadi, apa kau akan mengatakan padaku siapa dia?" tanya Fuko setelah mengosongkan kotak bekalnya.
Rambut sebahu Yui bergoyang saat gadis tingkat 3 itu menggeleng.
"Kau sudah naksir dia hampir dua tahun, tapi sampai sekarang masih merahasiakannya dariku. Aku temanmu bukan sih?" Pipi Fuko mengembung sebal.
"Kau teman terbaikku, Fuko-chan," ujar Yui sambil merangkul pundak Fuko. "Tapi—"
"Sesuatu yang dimulai dengan tapi biasanya bukan sesuatu yang baik," sahut Fuko.
"Eh, tahu dari mana Fuko-chan?"
"Tapi itu kata penghubung yang menyatakan hal yang bertentangan. Nah, kalau kau mengatakan sesuatu yang baik sebelumnya lalu menyambungnya dengan kata tapi, kata setelahnya pastilah tidak baik," jelas Fuko.
"Sejak kapan kau jadi pintar begini?" Yui melepas rangkulannya dan mencubit kedua pipi Fuko.
Fuko memelototi Yui. "Aku emang pintar dari dulu, kau saja yang tidak sadar," sahutnya sembari mengelus pipinya yang memerah. "Siapa dia?" Akhirnya Fuko kembali ke pertanyaan awalnya.
"Ra-ha-si-a," jawab Yui dengan senyuman manis di wajah.
"Dasar pelit," sahut Fuko tetapi ia tak lagi melanjutkan topik itu.
"Maaf ya, Fuko-chan," ucap Yui.
"Okelah kalau kau tidak mau katakan siapa orangnya, tapi beritahu aku kapan kau akan nembak dia?" Fuko berputar menghadap Yui, mata hazelnya memandang lurus ke mata Yui.
"Ne-nembak? Ma-maksudnya?" Yui beringsut mundur dan menjauhkan matanya dari tatapan tajam Fuko.
"Menyatakan perasaan. Memangnya kau mau selamanya cuma jadi pengagumnya?"
"Soal itu..."
"Selamanya itu waktu yang lama loh, Yui-chan. Jumlah waktu yang tidak bisa diprediksi." Fuko menambahkan. "Lagipula sebentar lagi kita lulus, kalau tidak melakukannya sekarang tidak akan ada kesempatan lagi nanti."
Yui menelan ludah. Yang dikatakan Fuko benar, tetapi keberanian untuk mengatakan suka kepada pemuda yang sudah membuatnya jatuh hati semenjak di semester awal di tahun pertamanya di SMU Teiko belum ia miliki. "Itu sulit," ujarnya beralasan.
"Siapa bilang mudah," sahut Fuko.
"Ta-tapi..." Keraguan itu seperti bola besar yang menyumbat tenggorokan Yui, menghalangi kata 'suka' terlontar dari mulutnya.
"Begini saja," ujar Fuko tiba-tiba.
Mata cokelat Yui memandang Fuko penuh minat, menanti dengan ketidaksabaran ide yang akan dilontakkan temannya itu. Yah, meski ia tidak terlalu berharap karena seringkali ide yang muncul dari kepala Fuko cenderung nekat dan hanya bisa dilakukan seseorang yang punya PDBM—Percaya Diri Berani Malu.
"Kita akan sama-sama nembak orang yang kita suka, aku lebih dulu baru kau. Bagaimana?"
Yui mengerjap beberapa kali, berusaha mencerna ide Fuko. Itu ide yang lumayan bagus, setidaknya ia memiliki teman melakukannya. Jika Fuko sudah melakukannya, mau tidak mau Yui juga akan melakukannya. Lebih baik terpaksa daripada tidak sama sekali, bukan?
"Caranya?" tanya Yui.
"Seminggu lagi akan ada festival kan? Nah, kita akan beraksi pada hari itu, lebih tepatnya sebelum acara api unggun dimulai supaya di ujung festival kita bisa berdansa dengan pasangan masing-masing." Fuko menerawang, jelas sekali ia tengah memimpikan akhir bahagia untuk pernyataan cintanya. Begitulah Fuko, selalu optimis, walau terkadang terlalu pemimpi. Yui pun memikirkan hal yang sama, berdansa dengan pemuda yang disukainya di malam festival. Tetapi saat memikirkan harus menyatakan perasaannya seminggu lagi, ia ketakutan. Yui tidak siap melakukannya dalam waktu secepat itu.
"Kurasa tidak, Fuko-chan, itu terlalu cepat," ujar Yui akhirnya.
Fuko menghela napas. Ia memandang Yui cukup lama hingga membuat Yui agak jengah. "Kalau begitu apa boleh buat," ujarnya kemudian. "Aku sendiri saja."
"Kau akan nembak Kagami-kun minggu depan?!"
Fuko memiringkan kepalanya, senyum tipis—yang di mata Yui terlihat mencurigakan—muncul di wajahnya sebelum menjawab pertanyaan Yui. "Hm... Bukan Kagami."
Mata Yui membulat, kebingungan dengan jawaban Fuko. Selama ini setahunya Fuko menyukai Kagami Taiga dari kelas C. "Lalu siapa?"
"Itu!"
Yui mengikuti arah yang ditunjuk Fuko. Matanya menemukan pemuda berambut merah-hitam yang tengah menikmati makan siangnya di bawah pohon sakura tak jauh dari mereka. "Itu Kagami-kun, Fuko-chan."
"Bukan si tinggi beralis aneh itu, Yui-chan." Fuko menggeleng pelan. "Tetapi yang di sebelahnya."
Tanpa melihat pun Yui sudah tahu siapa yang duduk di sebelah Kagami. Sejak tadi ia memerhatikan pemuda itu. Ah, bukan hanya sejak tadi, Yui sudah memerhatikan pemuda itu jauh sebelumnya. Tepatnya sejak dirinya dan pemuda berambut biru muda itu berada di kelas 1. Pemuda itu, Kuroko Tetsuya adalah orang yang ia sukai sejak dahulu. Orang yang selalu Yui ceritakan pada Fuko meski tanpa menyebutkan namanya. "Ba-bagaimana bisa?" Kepala Yui tertoleh kaku ke arah Fuko.
Senyum itu kembali ke wajah Fuko. Senyum yang menghancurkan hati Yui. "Mungkin aku baru tersadar akan pesona Kuroko Tetsuya." Fuko menjawab dengan enteng.
"Tapi kau suka Kagami, kan?" Yui menuntut jawab. Ia ingin memastikan perasaan sebenarnya dari gadis di sampingnya itu.
"Memang, aku suka Kagami." Fuko mengarahkan matanya pada Kagami. "Tapi sekarang aku suka Kuroko."
"Itu tidak baik, Fuko-chan," protes Yui.
Fuko hanya mengedikkan bahu. "Aku lelah mengejar Kagami, sekarang mau cari target baru," ujarnya enteng. "Kenapa? Kau ada masalah aku suka pada Kuroko-kun?"
Wajah Yui memucat. Bagaimana bisa Fuko semudah itu mengganti orang yang ia sukai?
"A-aku—Kau tidak serius, kan?!"
"Seratus persen," tegas Fuko sambil merapikan kotak bekalnya.
"Tapi—"
"Seserius kau suka pada Pangeran Tanpa Nama-mu, Yui-chan," potong Fuko, "dan aku akan menyatakan perasaanku pada Kuroko-kun minggu depan."
.*.
Sisa pelajaran hari ini tak satu pun yang masuk ke kepala Yui, bahkan ia tidak mencatat saat guru bahasa Fisika memberikan lima soal sebagai pekerjaan rumah. Pikirannya tiba-tiba hanya dipenuhi pembicaraannya dengan Fuko saat makan siang tadi.
"Yui-chan."
Suara yang menyebut namanya itu membuat Yui tersentak dari lamunannya. Di depannya, Fuko tengah memandangnya dengan bingung.
"A-ada apa, Fuko-chan?" Yui gelagapan.
"Kau tidak mau pulang?"
"Pulang?" Yui mengedarkan pandangannya. Kelas sudah mulai kosong, hanya beberapa anak petugas piket yang masih ada di sana. "Sudah bel ya?"
"Heh?! Bisa-bisanya kau melamun di jam pelajaran Kaka-sensei? Kalau ketahuan—"
"Aku tidak melamun kok!" sergah Yui.
"Yui-chan...?"
"Aku mau pulang!" Dengan sembarangan Yui memasukan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Fuko ia meninggalkan kelas, bahkan ketika Fuko mencoba mengejarnya ia mempercepat langkahnya.
.*.
Yui memilih lewat pintu belakang agar Fuko tidak bisa menemukannya. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga tidak menyadari ada sebuah bola oranye menggelinding ke arahnya. Bola itu tepat mengenai kakinya hingga langsung membuatnya jatuh.
Sambil meringis kesakitan karena pantatnya menyentuh koridor dengan keras, Yui mencoba berdiri.
"Maaf, kau baik-baik saja kan?" Seorang gadis dengan seragam olahraga menghampirinya dan membantu Yui berdiri. "Aku tidak sengaja melemparkan bolanya ke arahmu."
"Aku tidak apa-apa." Yui melepaskan diri dari gadis itu setelah yakin dirinya dapat berdiri sendiri.
"Bagaimana kalau kuantar ke ruang kesehatan?" tanya gadis berambut hitam panjang itu sambil memerhatikan Yui.
"Tidak perlu, aku—"
"Yuki, kenapa kau lama sekali?"
Tubuh Yui seketika membeku kala mengenali pemilik suara itu.
"Eh, Narahashi. Kenapa kau ada di sini?" Suara itu kini bertanya pada Yui.
Yui mengangkat matanya, dan bertatapan dengan mata sewarna langit milik Kuroko Tetsuya.
"Aku..."
"Dia jatuh karena bola yang kulemparkan tadi."
Kuroko mengalihkan matanya pada Yuki sesaat, kemudian kembali lagi pada Yui. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Ya, aku tidak apa-apa. Tapi apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Yui penasaran.
"Latihan," jawab Yuki.
"Latihan?"
"Yuki tidak bisa main basket." Jawaban Kuroko yang pendek sama sekali tak memuaskan bagi Yui.
"Apa kau tidak bisa mengatakannya dengan lebih sopan, Tetsu?" omel Yuki.
"Aku hanya mengatakan kenyataannya, Yuki. Kau memang tidak bisa main basket," sahut Kuroko.
"Tapi kau kan bisa memperhalus bahasamu," ujar Yuki.
Sebelum ini Yui tak pernah melihat Kuroko seperti ini. Kuroko yang Yui kenal adalah pemuda pendiam, yang hanya mengeluarkan suaranya saat diperlukan. Tetapi sekarang pemuda itu dengan mudahnya mengeluarkan banyak kata-kata, bahkan terlihat akrab dengan gadis bernama Yuki itu. Yuki, gadis itu membuat Yui penasaran. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Kuroko? Apa mungkin mereka...
"A-ano..." Yui berusaha menyela, tetapi Kuroko dan Yuki asyik dengan dunia mereka sendiri. Merasa dirinya tidak akan mendapat respon dari kedua orang yang tengah asyik perang mulut itu, Yui putar badan dan memutuskan untuk menjauh.
"Kau mau pergi?" Pertanyaan Kuroko membuat langkah Yui terhenti. Ia menunggu, dan sedetik kemudian Kuroko berdiri di sampingnya.
"Aku mau pulang, Kuroko-kun," ujar Yui dengan jantung yang mengentak cepat dalam rongga dadanya.
"Begitu..."
"Kalau begitu, aku pulang dulu, Kuroko-kun," ucap Yui cepat seraya bergegas melanjutkan langkahnya.
Jantung Yui masih memacu meski kini ia sudah berada jauh dari sekolah. Beginilah dirinya, jangankan menyatakan perasaan, bicara beberapa patah kata saja dengan Kuroko ia sudah gugup setengah mati.
.*.
Setelah sampai di rumah Yui bergegas naik ke lantai atas menuju kamarnya. Pertanyaan-pertanyaan dari sang Ibu yang agak kaget melihatnya pulang cepat hanya dijawab sekenanya, dan ia langsung mengunci diri dalam kamarnya.
Terlalu banyak yang terjadi, pikir Yui ketika mendudukan dirinya di atas tempat tidur. Fuko yang jatuh cinta pada Kuroko, keakraban Kuroko dengan gadis asing bernama Yuki. Semua itu membuat pikiran Yui kusut. Kenapa sekarang ia tidak bisa menyukai Kuroko dengan tenang seperti yang sudah ia jalani dua tahun ini? Kenapa tiba-tiba Fuko berpindah hati pada Kuroko padahal sebelumnya sahabatnya itu terang-terangan mengejar Kagami? Lalu siapa Yuki? Mengapa Kuroko terlihat begitu nyaman bersamanya?
Yui menjatuhkan diri di tempat tidur sementara bermacam hal masih berputar di kepalanya. Ia lebih suka keadaannya dulu, rasanya lebih nyaman ketika hanya menyukai dalam diam. Ia ingin seperti itu lagi, ingin kembali pada ketenangan itu. Tetapi...
"Fuko, kenapa kau harus memilih Kuroko-kun?" Yui meraih bantal, memeluk erat benda empuk berwarna biru itu, dan menggigit salah satu ujungnya. Tanpa ia inginkan sudut-sudut matanya mengeluarkan cairan bening, yang mengalir perlahan menuruni pipinya. "Kau tidak boleh menyukainya, Fuko-chan. Tidak boleh!" Yui menangis, terisak sendirian dalam kamarnya hingga jatuh tertidur.
.*.
Pagi itu cerahnya sinar mentari seakan berbanding terbalik dengan suasana hati Yui. Ia gundah. Malam yang biasanya dipenuhi oleh mimpi-mimpi indah telah berganti menjadi insomnia panjang berkat kejadian kemarin. Tak ada hentak semangat ketika gadis itu melakukan rutinitasnya seperti biasa. Ia pun hanya bisa tersenyum singkat dan bergegas berangkat sekolah ketika Ibunya mulai menatapnya khawatir.
Semakin dipikir rasanya semakin menyakitkan. Dengan gontai, Yui menyusuri rute familiar yang dipenuhi oleh bunga sakura itu. Ia melangkah dengan pikiran kosong, hanya mengikuti arus kumpulan berseragam biru putih itu sambil sesekali menjawab lemah sapaan siswa yang mengenalnya.
Jujur saja, perubahan situasi yang begitu mendadak ini membuatnya kehilangan arah. Ia sudah terbiasa menjadi pengagum rahasia, sudah cukup puas berada dalam zona aman ini. Namun pernyataan tiba-tiba Fuko mengenai Kuroko, juga kehadiran gadis misterius yang menimbulkan reaksi 'tak biasa' pada pemuda itu seakan mengoyak kenyamanan yang telah ia rasa selama dua tahun ini.
Yui tahu, cepat atau lambat ia harus mengungkapkan perasaannya pada Kuroko. Tapi mengungkapkannya dalam keadaan seperti ini ... ia tak tahu apakah ini karma karena terus memendam perasaannya atau malah sebuah dorongan yang sebenarnya sangat ia perlukan.
"Yui."
Gadis itu tersentak pelan mendapati Fuko yang entah sejak kapan telah berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang.
"Kau itu keterlaluan sekali sih..." Fuko mencubit gemas pipi gadis berkacamata itu. "Seenaknya meninggalkanku dan kabur tanpa penjelasan. Aku mengkhawatirkanmu, tahu! Kalau sudah sampai rumah dengan selamat paling nggak kasih kabar kek! Kemarin itu aku mencarimu sampai keriput, ngerti nggak?!"
Yui hanya bisa meringis kecil dan mengelus-elus pipinya ketika Fuko melepaskan cubitannya. Kedua iris Yui memandang penuh sesal hazel Fuko yang berkilat penuh emosi. Jika biasanya ia akan disapa dengan senyum dan rangkulan riang ketika bertemu, kini—untuk pertama kalinya—tatapan kekecewaanlahyang ia dapati.
"Maaf, Fuko-chan." Rasa bersalah terdengar jelas dari nada suara Yui. Seberapa pun hatinya merasa nyeri berkat pernyataan Fuko kemarin, ia sadar bahwa sahabatnya ini begitu memedulikannya.
Yui menundukkan kepalanya menghindari tatapan Fuko. "Kemarin aku ada urusan mendadak, makanya pergi terburu-buru seperti itu."
Yui hanya bisa tertawa canggung ketika Fuko memandanginya curiga.
"Ngomong-ngomong, bukankah pelajaran pertama kita adalah Ishida-sensei? Kalau tidak buru-buru nanti kita bisa telat lho?!"
Fuko menepuk keningnya pelan. "Oh iya! Mana hari ini ada ulangan lagi. Ayo kita pergi ke kelas." Gadis itu pun segera menarik tangan Yui dan berjalan cepat memasuki gerbang sekolah. Tanpa disadari Fuko, Yui menghela napas lega ketika sahabatnya itu tak membahas lagi tingkah anehnya kemarin.
.*.
"Aku lapar~ Ulangan Fisika yang dilanjut pelajaran Matematika tadi rasanya benar-benar menguras otakku deh."
Bel tanda istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Kini kedua gadis itu tengah berjalan berdampingan mengikuti arus siswa menuju kantin sekolah.
"Tumben kau mengajakku makan di kantin, Fuko-chan." Yui melirik sang sahabat yang masih menggamit lengannya dengan tatapan heran. Ia paham betul sahabat bersurai ikalnya itu bukan tipe yang dengan senang hati berdesak-desakan demi sejumlah makanan. Makanya ia cukup kaget ketika Fuko mulai menyeretnya menuju tempat terfavorit siswa itu.
"Hari ini kantin kita menunya Omurice Spesial yang hanya dijual sebulan sekali. Kau tahu sendiri kan kalau itu makanan kesukaanku?" Yui mengangguk ringan. "Nah! Karena aku sudah lama tidak membeli makanan itu dan kebetulan kau juga tidak membawa bekal, tak ada salahnya kan kalau hari ini kita jajan di kantin?"
Cengiran khas Fuko membuat Yui menerbitkan senyuman kecil, lengkung manis pertama yang akhirnya dikeluarkan oleh gadis itu secara tulus.
"Dasar." Yui menggeleng geli.
"Hei!" Fuko melepaskan gamitan tangannya dan menyentil Yui. "Food is Love, Food is Life, tahu?!"
Melihat akting berlebihan sahabatnya yang pura-pura tersinggung, kekehan kecil tak terasa mulai terlepas dari bibir Yui. Fuko melirik sahabatnya dengan senyuman lebar.
"Ngomong-ngomong aku serius soal motto hidup itu." Ekspresi 'sok' serius Fuko lagi-lagi membuat Yui mengeluarkan kikikan geli. Keduanya kini telah sampai pada pintu putih yang menghubungkan koridor dengan kantin sekolah.
"Ayo, nanti omurice-ku keburu habis—"
Perkataan Fuko ini terhenti tepat setelah ia mendorong pintu di depannya terbuka. Melihat ekspresi syok Fuko yang terpaku tanpa bisa melanjutkan perkataannya tadi membuat Yui mengikuti arah pandang Fuko dengan penasaran.
Dan apa yang menanti iris hazel-nya adalah pemandangan yang membuat dirinya membeku tanpa daya.
Yuki—gadis asing yang baru ditemuinya kemarin itu—tengah duduk berhadapan dan mengelap bibir Kuroko-nya dengan selembar tisu. Keduanya terlihat begitu intim, dengan senyum kecil yang menghiasi bibir Yuki, dan Kuroko ... yang tak menolak gestur akrab dari gadis berambut hitam itu. Bahkan dari jarak sejauh ini pun ia bisa melihat tatapan lembut dari kelabu Yuki dan kilatan hangat yang terpancar dari iris Kuroko.
Sakit.
Ia bisa merasakan hatinya berkerit nyeri.
Dan tanpa ia sadari, air mata yang sempat terhenti itu kini memburamkan penglihatannya untuk kesekian kali. Seakan melindungi perasaannya dari pemandangan yang menyakitkan ini.
Mengabaikan Fuko yang masih terdiam di depan pintu, Yui berlari menjauhi tempat itu. Menyusuri koridor tanpa menoleh pada pemandangan yang sangat ingin ia hapus dari ingatan itu.
.*.
Beberapa hari telah berlalu semenjak kejadian itu. Hari-hari yang dilalui Yui dengan setengah mati karena ia tak mampu melupakan insiden di kantin dulu. Bukan ... bukan tak mampu. Lebih tepatnya tak bisa karena Fuko—tanpa lelah—selalu mengeluhkan kejadian itu kepadanya. Maka bagai menekan tombol repeat secara permanen, luka di hatinya akan selalu terbuka seiring curhatan Fuko yang didengarkannya dengan setengah hati.
Kini keduanya tengah menaiki tangga menuju atap sekolah untuk makan siang bersama.
Suasana taman dengan warna pink sakura membuat Yui enggan untuk menginjakkan kaki ke sana. Ia sudah 'kenyang' melihat pohon sewarna cinta itu sepanjang rute menuju sekolah. Dengan suasana hati yang carut-marut seperti ini, rasanya cukup wajar jika ia sedikit sensi dengan warna itu.
Pilihan logis selanjutnya seharusnya jatuh pada kantin sekolah. Namun sejak kejadian traumatis itu, Yui berusaha menghindari tempat itu sekuat tenaga.
"Fuko-chan? Kenapa hari ini kita makan siang di atap?" Yui melirik gadis di sampingnya yang masih memasang wajah masam. Fuko baru saja menyelesaikan sesi curhatnya ketika mereka mulai menaiki tangga.
Fuko menghela napas lelah. "Ganti suasana. Aku butuh udara segar untuk membangkitkan mood-ku." Hazel Fuko kini bersitatap dengan Yui. "Karena kau tidak mau kuajak ke taman dan kantin adalah zona terlarang ..." Yui meringis kecil ketika mendengar kata 'kantin'. "... pilihan logis lainnya sudah pasti atap sekolah," tutup Fuko.
Yui mengangguk singkat. "Yah, untungnya langit hari ini lumayan cerah jadi kita bisa makan di atap dengan nyaman."
"Nah, gitu dong!" Fuko berseru riang. "Untuk saat ini lupakan saja masalah pesaing potensial Kuroko itu. Pokoknya aku nggak akan menyerah sebelum paspor nikah ditandatangani!"
"Ssstt ... Fuko-chan, jangan teriak-teriak." Yui berusaha menenangkan Fuko yang masih berapi-api dengan deklarasi cintanya barusan. Ia hanya bisa tersenyum kecut menghadapi semangat juang gadis itu. Meski dalam hati, ia mengakui ada rasa iri yang bercampur sedikit kekaguman akan keberanian Fuko ini. Andai aku bisa sepertimu...
"Apaan sih? Tangga menuju atap ini kan sepi. Jadi nggak masalah dong kalau aku ingin meningkatkan semangatku dengan cara seperti ini?" Fuko menggembungkan pipinya.
Yui menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mencoba mengusir pikiran absurb yang sempat melintas pada lobus otaknya.
Ia tersenyum kecil. "Yah, siapa tahu kan ada orang lain yang makan siang di—"
Senyuman Yui berubah menjadi ekspresi bingung ketika mereka sampai pada belokan terakhir. Masih tersisa beberapa anak tangga lagi sebelum mereka mencapai atap sekolah. Namun, apa yang membuatnya heran adalah pintu atap itu—yang seharusnya tertutup rapat—kini terbuka beberapa senti.
"Katamu tak ada orang di atap..." Yui menatap Fuko yang kini juga terlihat kebingungan.
Setelah terdiam selama beberapa saat, Fuko akhirnya mengendikkan bahu. "Mungkin ada orang lain yang mendahului kita. Nggak pa-pa kan? Tanggung sudah sampai sejauh ini."
Surai pendek Yui bergoyang ringan ketika gadis itu mengangguk maklum. "Kuharap kita tak mengganggu siapa pun yang lebih dulu tiba di sana."
"Sip." Fuko tersenyum lebar dan mengeratkan genggamannya pada kotak bento-nya.
"Ayo kita pergi."
Sebelah tangan Fuko yang bebas kini menarik lengan blazer Yui. Memastikan bento di tangannya tak terlepas, Yui pun mengekori sahabatnya itu tanpa suara.
Keduanya kini telah sampai pada tangga terakhir yang terhubung dengan atap sekolah. Secara perlahan, Yui mendorong pintu besi yang menghalangi pandangan mereka dari taman kecil yang menjadi tujuan mereka.
Pintu itu berdecit kecil, terbuka dengan mudah tanpa perlawanan berarti. Namun, belum sempat Yui melangkahkan kakinya untuk menuju tempat itu, sebuah tangan mendadak membekap mulutnya dan menariknya secepat kilat.
Hazel Yui membulat kaget ketika si pemilik tangan melepaskannya untuk menutup pintu yang baru saja dibukanya.
"Fuko-chan, apa-apan sih—"
"Ssstt..." Fuko membuat gestur diam dengan telunjuknya sebelum kembali berbalik untuk mengintip sesuatu dari balik pintu besi itu.
Melihat tingkah aneh sahabatnya, kedua iris Yui memicing khawatir. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu di atap sekolah?" bisiknya pelan. Ia pun kini ikut membungkuk seperti Fuko.
"Kau lihat saja sendiri." Fuko mendesiskan kalimat itu dengan penuh penekanan. Dari kilatan yang terpancar pada hazel gadis itu, Yui tahu jika sahabatnya ini tengah menahan emosi.
Gugup bercampur was-was, Yui membetulkan letak kacamatanya sebelum ikut mengintip dari sela-sela pintu.
Dan ia bersumpah hatinya berhenti berdegup saat itu juga.
Bento di genggamannya pun terjatuh tanpa suara, ia tak punya tenaga lagi untuk sekedar menopang tubuhnya.
Yui tak tahu berapa detik, menit, jam yang terlewati semenjak ia menjatuhkan pandang pada pemandangan di depannya ini. Ia tak tahu, dan tak mau peduli.
Semuanya tak berarti lagi ketika pemuda yang kausukai terlihat tengah tertidur puas di pangkuan gadis yang bukan dirimu sendiri.
Rasanya begitu menyakitkan melihat ekspresi damai pemuda itu ... ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelum hari ini.
Dan jemari lentik sang gadis yang membelai lembut surai Kuroko-nya dengan bebas ... Kuroko-nya, yang telah ia cintai dalam diam selama dua tahun ini...
Ia kini bisa merasakan darah dalam mulutnya. Yui membebaskan bibirnya dari gigitan tanpa sadarnya.
Ia iri pada gadis berambut hitam itu.
Iri pada jemarinya yang bisa menyentuh pemuda itu dengan leluasa.
Iri padanya yang bisa seakrab itu dengan pujaannya.
Dan iri, pada tatapan sayang yang mampu ia ekspresikan tanpa beban pada Kuroko Tetsuya-nya.
Tanpa kata, Yui segera berbalik pergi, berderap meninggalkan pemandangan damai itu bersama hatinya yang kini sehancur makan siangnya.
.*.
Tanpa terasa waktu membawa Yui ke hari terakhir festival. Pagi-pagi sekali ia datang ke sekolah bersama Fuko, sebab kelas mereka harus menyiapkan segala sesuatu untuk kedai takoyaki yang akan dibuka oleh kelas mereka. Anak-anak kelas 3-B sebagian besar sudah datang, beberapa langsung membersihkan stand mereka, sedang yang lain mempersiapkan bahan pembuat takoyaki dan sebagian lagi—yang bertugas sebagai seksi promosi—mulai memakai kostum mereka. Mungkin akan lebih tepat dikatakan sebagai kostum cosplay, sebab mereka memakai bermacam kostum yang diambil dari berbagai anime atau manga kenamaan.
"Kyaaa!" Yui berteriak sembari melemparkan cumi-cumi dari tangannya.
"Hei, apa yang kaulakukan, Yui?!" Fuko bergegas memungut cumi-cumi yang dilemparkan Yui.
"Cumi-cuminya hidup," ujar Yui sembari melangkah mundur saat Fuko mendekatinya.
"Ya iyalah hidup, kita kan butuh bahan segar supaya rasa takoyakinya mantap," sahut Fuko sambil menyimpan kembali cumi-cumi ke dalam box.
"Ta-tapi..." Yui masih menatap takut-takut pada cumi-cumi yang menggeliat di tangan temannya itu.
"Kau iris sayuran saja dengan Nami, biar cuminya aku yang tangani."
Dengan senang hati Yui menuruti saran Fuko. "Hati-hati, Fuko-chan," ujarnya sembari mengambil kol dan mencuci sayuran putih kehijauan itu.
Fuko memutar bola matanya. "Ini cuma Cumi, Yui."
"Memang, tapi itu hidup," sahut Yui.
"Akan kubuat mati." Dengan gerakan cepat dan terlatih Fuko mengeluarkan beberapa ekor cumi dari box, mencucinya, kemudian memasukkannya ke panci berisi air mendidih. Setelah tiga menit ia mengangkat cuminya dan meniriskannya.
"Sugoiii!" Semua anak yang kebagian tugas memasak memuji dan bertepuk tangan untuk Fuko.
Gadis beriris hazel itu hanya bisa menggeleng pelan dan melanjutkan pekerjaannya. Sedikit pun ia tidak merasa apa yang dilakukannya begitu hebat. "Setelah dingin tolong dipotong ya," ujarnya pada Yui dan Nami.
"Siap, Bos!" jawab keduanya serentak.
"Sesuka kalianlah, yang penting pekerjaannya selesai. Pokoknya adonan dan isiannya harus siap sebelum pintu gerbang sekolah dibuka dan tamu berdatangan."
Sepagian itu seksi memasak sibuk menyiapkan adonan dan isian takoyaki. Mereka bekerja bersama, berbagi tugas hingga semua siap tepat pada waktunya.
"Nah, sekarang saatnya mengajari kalian memasak takoyaki," ujar Fuko sembari mengangkat loyang 16 lubang dan mulai memanaskannya di atas api. "Yui-chan sini."
"Aku?" Yui menunjuk dirinya sendiri.
Fuko menghela napas. Gadis itu terlihat lelah menghadapi sikap temannya yang sepertinya anti dengan kegiatan memasak. "Namamu Yui, kan? Atau sekarang sudah ganti?"
Yui meringis. "Belum sih, tapi sepertinya aku ingin ganti nama." Takut-takut ia melangkah mendekati Fuko.
"Kau hanya kusuruh memasak takoyaki, Yui-chan, bukannya nembak Pangeran Tanpa Namamu," ujar Fuko.
"Kok bawa-bawa itu sih." Yui memberengut.
"Sudah, jangan banyak alasan. Sini!" Fuko menarik tangan Yui. "Masukan adonannya ke loyang," perintahnya.
Dalam keadaan seperti ini Fuko yang biasanya terlihat santai dan suka bercanda berubah jadi pemimpin tegas yang tak bisa dibantah. Mau tak mau Yui melakukan apa yang disuruh Fuko, dengan hati-hati ia memasukkan adonan ke dalam cetakan, lalu memasukkan isian dan menutupnya dengan adonan lagi seperti yang Fuko contohkan. Yui membalik takoyaki dengan menggunakan tusuk bambu, meski baru pertama kali memasak takoyaki ia melakukannya dengan baik.
"Sudah matang!" Yui bersorak senang sembari mengangkat satu tusuk berisi lima takoyaki ke udara.
"Yeay!" Fuko pun ikut bersorak merayakan keberhasilannya, berbagi tos bersama Yui.
"Bolehkan aku mencobanya?"
Keduanya terdiam, lalu menoleh ke arah suara. Pemuda bersurai biru itu berdiri di depan stand takoyaki mereka.
"GYAAA! Ku-Kuro—"
"Namaku Kuroko, Kaminari," potong pemuda itu datar. Lalu dengan sikap tak acuh ia mengabaikan Fuko dan beralih pada Yui. "Boleh aku mencobanya?"
"Eh? A-ano ... i-itu..."
"Tentu saja boleh, Kuroko-kun," jawab Fuko manis. Dengan satu gerakan cepat ia mengambil takoyaki dari tangan Yui dan menempatkannya dalam karton. "Kau mau pakai saus atau mayo?" tanyanya, lagi-lagi dengan nada yang membuat Yui ingin muntah. Jelas-jelas Kuroko meminta kepada Yui tetapi malah Fuko yang merepotkan diri.
"Saus," jawab Kuroko, tetapi saat mengatakan itu matanya mengarah pada Yui.
"Tunggu sebentar." Fuko segera mengambil botol saus dan menyiramkannya di atas takoyaki, lalu menyodorkan pada Kuroko. "Selamat menikmati. Ini adalah masakan perdana Yui-chan, dan tentu saja aku yang menjadi gurunya."
Yui hanya diam mengamati interaksi keduanya, ia langsung menunduk menyembunyikan wajahnya kala mata biru Kuroko mengarah padanya, dan itu hampir setiap waktu karena sapphire itu selalu mengarah kepadanya.
"Terima kasih," ucap Kuroko mengambil karton berisi takoyaki. "Dan ... Kaminari?"
Perhatian Yui langsung tersita saat mendengar Kuroko menyebut nama Fuko.
"Ya?" Lagi-lagi Fuko menyahut dengan nada suara yang membuat Yui ingin berteriak bahwa Kuroko adalah miliknya.
"Bisakah kau hentikan itu?"
"Eh?!" Senyum Fuko luntur seketika.
"Sikap manismu yang berlebihan itu membuatku muak." Setelah melontarkan kalimat dingin nan menusuk hati itu Kuroko beranjak. Tetapi sebelum pergi ia masih sempat berpamitan pada Yui. "Sampai jumpa, Narahashi."
"Sa-sampai jumpa, Kuroko-kun. Terima kasih sudah berkunjung ke kedai kami."
Mungkin ini sedikit kejam, apalagi jika ditujukan pada sahabat sendiri, tetapi Yui tak bisa memungkiri jika dirinya merasa senang saat Kuroko dengan amat sangat jelas menolak perhatian yang Fuko berikan. Ini mungkin akan membuat Fuko urung untuk menyatakan perasaan pada Kuroko, bahkan mungkin melepaskan pemuda itu dan mencari target baru.
Sayangnya perasaan senang itu tak bertahan lama ketika ia menoleh dan mendapati Fuko membatu, rasa bahagia di hatinya sirna seketika. Yah, walau bagaimanapun perkataan dari mulut tajam Kuroko telah menghancurkan hati sahabatnya, dan dirinya memiliki kewajiban untuk menghibur gadis patah hati itu.
Namun hal yang terjadi sesudahnya jauh berbeda dengan perkiraan Yui. Kewajiban itu nyatanya tak perlu ia lakukan karena entah bagaimana caranya Fuko sudah kembali bersemangat beberapa detik kemudian.
"Fuko-chan, kau baik-baik saja?" Yui menanyakan dengan hati-hati. Ia takut Fuko tiba-tiba menangis atau membuat drama.
"Yup," jawab Fuko ringkas sembari mulai menuang adonan ke dalam cetakan.
Mata Yui melebar. Ia jelas tak percaya pada apa yang baru didengarnya. "Setelah yang tadi itu?" tanyanya lagi, untuk memastikan.
Fuko memiringkan kepala dan memandang Yui dengan mata bulatnya. "Memangnya kenapa?"
"Kata-kata Kuroko-kun tadi..." Yui bahkan tak mampu menemukan kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Fuko hanya mengedikkan bahu. "Dia kan memang begitu, dari dulu bermulut tajam," sahutnya enteng.
"Tapi—"
"Tenang saja, Yui-chan. Aku baik-baik saja," potong Fuko, "malah ini membuatku tambah semangat."
"Hah?!"
Seringkali Fuko memang membuat Yui tercengang, tetapi yang kali ini benar-benar membuatnya tak mampu berkomentar. Bagaimana bisa seorang manusia sesantai itu setelah jelas-jelas ditolak orang yang disukainya?
"Cinta yang mudah didapatkan itu tidak mengasyikkan, Yui-chan, bahkan cenderung membosankan. Tantangan akan membuat kita lebih gigih dalam berusaha mendapatkan apa yang diinginkan."
Optimisme. Hal itulah yang membuat Yui iri kepada Fuko. Andai ia bisa memiliki sedikit saja rasa optimis itu dalam dirinya, mungkin kini ia tidak akan terjebak dalam cinta terpendam.
"Aku akan menyatakannya malam ini," kata Fuko tiba-tiba.
"Kau yakin?" tanya Yui sangsi. "Kau mungkin akan..."
"Ditolak?" Fuko menyambung ucapan Yui dengan enteng.
"Ya. Itu akan menyakitkan, Fuko-chan," ujar Yui. "Jangan melakukan sesuatu yang akan menyakitimu," pintanya.
"Hatiku tahan banting, Yui-chan," sahut Fuko. "Bukankah sudah terbukti dengan pengejaranku pada Kagami selama ini?"
Yui meraih tangan Fuko, matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Ia tahu semua yang Fuko lakukan untuk mendapatkan perhatian Kagami, meski akhirnya gadis itu lelah dan memilih menyerah. Kegigihan dan perjuangan tanpa lelah itu membuat Yui kagum. Membuatnya selalu ingin memberikan dukungannya kepada sang sahabat. "Kau yakin mau melakukannya?"
Anggukan Fuko adalah jawaban yang Yui dapatkan. "Aku ingin memperjelas apa yang kurasakan pada Kuroko, jadi setelah ini aku bisa mengejarnya dengan terang-terangan."
Yui terdiam. Haruskah ini melakukan ini; membiarkan Fuko menyatakan rasa sukanya pada Kuroko? Jika melakukan itu bukankah sama saja dengan ia merelakan cinta yang ia pendam selama bertahun-tahun. Sanggupkah ia? Relakah?
.*.
To be Continue...
.*.
