RRRR-
Ponsel Kise bergetar di saku celananya. Dengan segera, pemuda bersurai emas itu merogoh-rogoh saku celana untuk mengambil ponsel tersebut. Nama ibunya tertera di layar. Oh, ibu menelepon rupanya.
"Ada apa ibu?" tanya Kise.
"Ryou-chan, apa kau masih di studio pemotretan?"
"Iya, aku masih di studio." jawab Kise.
Sekarang ia sedang berada ditengah-tengah waktu istirahat. Tangannya meraih botol minuman yang diberikan oleh salah seorang kru. "Memangnya ada apa?" ucapnya, setelah meneguk sebagian isi botol.
"Ah... tidak ada apa-apa..."
Kise mengerutkan keningnya heran. Tidak biasanya ibunya menelepon di saat jam sibuk hanya untuk menanyakan hal-hal yang tak penting. Ia melirik jam tangannya. Sebentar lagi sesi pemotretan akan kembali dimulai.
"... Ryou-chan..." Ucapan ibunya menyadarkan Kise dari lamunannya.
"Ibu dan Ayah akan pergi ke Kyoto untuk beberapa hari. Tolong jaga dirimu baik-baik ya. Makan yang teratur dan jangan pulang terlalu larut."
"Tentu saja Ibu. Ngomong-ngomong, untuk apa ayah dan ibu ke Kyoto?"
Tidak ada jawaban. Ketika Kise ingin bicara lagi, salah seorang kameraman memanggilnya.
"Kise-kun, pemotretan akan kembali dimulai! Segeralah bersiap-siap!" panggilnya, sambil memberikan gestur tangan yang mengisyaratkan padanya untuk datang kearahnya.
"Iya! Sebentar lagi aku kesana!" sahut pemuda bersurai kuning itu.
"Ibu sesi pemotrean akan dimulai lagi."
"Ya, Ryou-chan! Semoga pemotretannya berjalan lancar, dan..." ucapan ibunya terhenti ditengah kalimat. Jedanya agak lama, membuat Kise sedikit heran. "... berhati-hatilah pada pria bertopi hitam. Jika ia datang ke rumah, jangan pernah buka pintunya." tambah ibunya. Kali ini suaranya lebih rendah seperti berbisik.
Pria bertopi hitam? Siapa? Kenapa tidak boleh mebukakan pintu?
"..ib-" ucapan Kise terpotong.
"Jika ia mengajakmu untuk ikut, jangan pernah menurutinya! Jangan percaya kata-katanya! Selalu kunci pintu dan jendela! Jangan tatap matanya!" potong ibunya. kali ini suaranya gemetar seperti orang ketakutan.
"...ibu...? Ibu baik-baik saja kan?" Rasa khawatir, bingung, dan takut kini bercampur aduk dalam benak Kise.
"Ryou-chan... ja-jangan... jangan pernah..." suaranya terputus-putus. Kise dapat mendengar isak tangisnya di balik telepon. "Ibu mohon... turutilah... hanya itu saja..."
"B-baiklah ibu..." Kise tidak tau harus bicara apa lagi. Bertanyapun, ia bingung untuk memulainya dari mana. Semua tarasa sangat tiba-tiba.
"Syukurlah..." ibunya bernafas lega. "Ibu dan ayah sayang padamu, Ryou-chan... sampai jumpa." Lalu sambungan telepon pun terputus.
Kise kembali memasukan ponselnya kedalam saku celana. "Hah... apa maksudnya semua ini...?" gumamnya sembari memijit kedua pelipisnya. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah.
Pemotretan pun dimulai. Selama sesi tersebut, Kise tidak fokus. Ucapan ibunya masih berputar-putar di kepalanya. Mencoba mencerna kata-kata tersebut. Beberapa staf dan kameraman sempat menegurnya untuk tetap fokus. Tapi ia tidak bisa. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Siapa pria bertopi itu? Seperti apa rupanya? Kenapa orangtuanya melarangnya bertemu dengannya? Bahkan menatap matanya pun tidak boleh.
"Kenapa..." Hanya itu yang kise gumamkan di tengah perjalanannya pulang usai pemotretan.
.
.
.
.
BLOOD OF INNOCENCE
cHAPTER 1: Accident
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
Story © MurrueMioria
WARNING! AU, OOC, Boyxboy, Shounen-ai, yaoi, Typo, kaku, gak jelas
Don't like, don't read!
Pairing: Mainly Aokise, Haikise, slight allxkise, pairing lain mungkin akan ditambah
Rating: T (untuk sekarang)
.
.
.
.
Maji Burger. Pukul 6.30 sore.
Sebelum pulang kerumah, Kise menyempatkan dirinya untuk mampir ke restoran cepat saji tersebut. Di jam istirahatnya—di studio pemotertan tadi—ia melewatkan makan siang. Dan kini perutnya protes minta diisi. Yah, sebenarnya Kise sekarang sedang dalam program diet. Tapi setidaknya makan junk food sedikit saja, tidak apa-apa kan? Toh, hanya hari ini saja kok.
Ketika masuk, sudut matanya menangkap segelintir bayangan berwarna biru. Seorang pemuda dengan wajah minim ekspresi tengah duduk di sudut ruangan sembari menegak vanilla shake favoritnya. Di seberang mejanya, duduk pemuda yang lebih tinggi, berambut merah dan memiliki alis cabang yang unik. Ia sibuk dengan gunungan hamburger dihadapannya.
"Kurokocchi! Kagamicchi!" Kise melambai-lambaikan tangannya, kemudian berjalan mendekati kedua pemuda tersebut.
"Ah, selamat sore Kise-kun," sapa pemuda berambut biru. Kuroko Tetsuya namanya.
"Yo, Kise," sapa si rambut merah, Kagami Taiga.
Kise mengambil tempat duduk di sebelah Kuroko. "Kebetulan sekali aku ketemu kalian," ucapnya.
"Kami baru saja selesai dari latihan sore. Kebetulan juga kau datang, Kise-kun. Kami barusan membicarakanmu," ujar Kuroko.
"Oh ya? Maaf, Kurokocchi... Aku tidak datang latihan."
"Tidak apa, Kise-kun. Sebaiknya kau simpan kata maafmu untuk Akashi-kun. Tadi, dia kelihatan kesal," ucapi si surai baby blue itu, kembali menyeruput vanilla shake-nya.
Kagami yang dari tadi sibuk makan, menghentikan aktivitasnya. Ia mengambil salah satu burger yang masih terbungkus rapi di nampannya dan memberikannya pada Kise. "Ini untukmu."
"Waah... Terima kasih Kagamicchi!" Kise menerimanya dengan senang hati.
"Oh... Ada Kise juga disini." Terdengar suara seseorang dari arah lain. Suara yang sangat dikenal oleh ketiga pemuda itu. Pemuda tinggi berkulit tan dengan surai navy blue. Aomine Daiki.
Aomine menghampiri mereka dengan nampan berisi teriyaki burger dan minuman soda. Di belakangnya mengekor seorang gadis lebih pendek bersurai pink. Momoi Satsuki, sahabat kecil Aomine sekaligus manager tim basket sekolah mereka, SMA Teikou.
"Ki-chan!"
"Aominecchi! Momocchi!"
Momoi berlari kecil mendahului Aomine dan duduk di dekat Kuroko dan Kise. Sementara itu, Aomine duduk disebelah Kagami.
"Ki-chan! Coba lihat apa yang Dai-chan beli tadi!" Ucap Momoi sambil merogoh kantong plastik yang ia bawa. Ia kelihatan girang.
"Oi satsuki!" Aomine panik, berusaha merebut kantong pelastik itu dari genggaman si surai pink. Tapi ia terlambat. Momoi sudah berhasil mengeluarkan benda yang disebut-sebut.
Sebuah majalah dengan wajah Kise terpajang di bagian cover-nya.
"Tada~ Majalah yang baru terbit minggu ini! Ada Ki-chan di bagian covernya!" Momoi memperlihatkan majalah tersebut. Spontan semuanya—kecuali aomine—melongo menatap Momoi dengan majalah digenggamannya. Aomine cuma memalingkan wajah. Semburat merah tampak terlihat samar-samar di pipi.
.
.
.
Hening sejenak.
.
.
.
"srrrup.." Suara sedotan dari vanilla shake yang diseruput Kuroko.
.
.
.
Kagami tersedak hamburger. "Air... uhuk... air!" Tangannya menyambar minuman soda Aomine dan menegaknya sampai habis.
"...Aominecchi..." Kise masih melongo manatap wajahnya sendiri dimajalah.
"I-itu b-bukan seperti yang kau pikirkan! Aku beli karena ada Mai-chan di dalamnya!" Aomine berusaha berdalih. Wajah tannya semakin memerah, menyaingi warna rambut Kagami.
"Ah sudahlah, Aominecchi... Tak kusangka ternyata kau penggemar beratku. Sini, biar kuberi tanda tangan khusus untuk penggemarku yang spesial ini~" Kise merogoh sakunya untuk mengambil pulpen. Ia mengambil majalah dari tangan Momoi dan membubuhkan tanda tangan di cover tersebut. Majalah itu diberikan ke Aomine. "Ini untuk fansku yang nomor satu~" ucapnya sambil mengedipkan mata.
"Sialan kau, Kise!" Aomine menggulung majalah itu dan memukul kepala Kise.
"Aduh! Sakit, Aominecchi!" Kise meringis kesakitan sambil memegang kepalanya.
"Bodo amat!"
"Yaampun... kalian keliatan mesra." Momoi tertawa.
"Berisik kau Satsuki!" Pipi Aomine makin merah.
"Oh, ngomong-ngomong, Kise... bagaimana pemotretan hari ini?" tanya Kagami mengalihkan pembicaraan. "Bukankah kau bilang akan pulang larut?"
"Ah... soal itu..." Kise tetingat ucapan ibunya. "Pemotretan selesai lebih awal. Sebenarnya sih itu semua salahku. Hari ini aku tidak begitu fokus bekerja."
"Tumben, gak biasanya kau begitu kalau kerja," komentar Aomine. Komentarnya disahut oleh anggukan kepala Kise.
"Tadi ibu meneleponku. Katanya, ia bersama ayah akan pergi ke Kyoto. Aku tidak tahu ada tujuan apa mereka kesana, tapi yang jelas mereka tidak akan pulang untuk sementara ini... sepertinya," ujar Kise.
"Lalu? apa hubungannya dengan pekerjaanmu, Kise-kun?" tanya Kuroko.
"Saat itu, ibu berpesan padaku supaya berhati-hati pada pria bertopi hitam. Suara ibu terdengar seperti orang ketakutan. Dan sampai sekarang aku masih tidak mengerti. Siapa dia? Kenapa aku harus hati-hati kalau bertemu dengannya? Gara-gara itu, aku jadi tidak fokus kerja deh," ucap Kise sambil menghembuskan nafas panjang.
"Pria bertopi hitam? Mungkinkah..." Kuroko menyipitkan matanya, berusaha untuk berpikir dan mengingat kembali sesuatu.
"Ada apa Kurokocchi?"
"Sebenarnya Kise-kun, aku pernah melihat orang seperti itu di suatu foto. Hmmm... foto apa ya..." Kuroko masih berusaha mengingat.
"Oh! mungkin maksudmu foto kita semua ketika training camp?" tebak Kagami.
"Ah! Ya, yang itu." Kuroko sekarang ingat. "Entah apakah orang yang dibicarakan oleh ibumu itu benar yang ini atau bukan, aku tidak tahu. Aku melihat sosok dirinya di beberapa foto saat kita training camp."
"Mata Kuroko sangat jeli. Aku bahkan tidak akan tau kalau dia tidak cerita," tambah Kagami.
"Dia mengikuti kita!?" Kise tampak kaget tidak percaya.
"Bukan 'kita', tapi lebih tepatnya 'kau', Kise-kun." Kuroko menatapnya. Ekspresinya tak terbaca. "Aku melihat sosoknya di beberapa foto yang terdapat dirimu. Awalnya, kupikir itu hanya kebetulan. Namun, ketika aku melihat foto di hari kedua sampai ketujuh training camp, sosok itu tetap ada. Berdiri jauh dibelakangmu, memperhatikanmu."
Ucapan Kuroko membuatnya merinding. "Kurokocchi... jangan menakutiku... aku jadi takut-ssu..."
"Aku tidak menakutimu, Kise-kun. Jika kau tidak percaya, aku akan menunjukan fotonya padamu nanti," ucap Kuroko datar.
"Stalker?" gumam Aomine.
"Mungkin... entahlah... Sebaiknya kau turuti apa kata ibumu, Kise-kun. Kurasa beliau mengetahui siapa dia," saran Kuroko.
Kise mengangguk pelan. "Baiklah."
..:::====:::..
Setelah keluar dari restoran, Kise dan yang lainnya memutuskan kembali ke rumah. Kuroko dan Kagami pulang bersama karena rumah mereka satu arah.
Sementara itu Kise, Aomine, dan Momoi pulang bersama. Kebetulan rumah mereka satu arah juga.
"Satsuki kau pulang duluan saja," ucap Aomine ketika mereka sampai di sebuah pertigaan yang salah satu jalannya merupakan arah menuju rumah Momoi dan Aomine.
"Eeh? Kenapa? Kau mau kemana lagi, Dai-chan?" tanya Momoi, mengerucutkan bibirnya.
"Basket," jawab si pemuda remang itu singkat.
"Oh."
"Kise," Aomine kini mengalihkan pandangannya ke pemuda blonde yang sedari tadi cuma diam. "Ayo main basket. One on one?"
Mendengar kata 'one on one', mata pemuda bersurai kuning itu berkilat. "Tentu saja-ssu! Kapan lagi Aominecchi mengajak ku one on one! Biasanya kan aku yang minta!" ucapnya penuh semangat.
"Kau dengar kan, Satsuki? Sekarang pulang sana! Hush! Hush!" Aomine mengibaskan tangannya, mengusir gadis bersurai pink itu.
Momoi hanya mengembungkan pipinya, lalu melangkah pulang. Aomine dan Kise memperhatikannya dari ujung jalan. Memastikan agar gadis itu selamat sampai rumahnya. Setelah merasa Momoi sudah masuk kerumahnya, kedua pemuda itu kembali melanjutkan perjalanan mereka. Menuju lapangan basket terdekat.
Mereka bermain sampai beberapa ronde. Aomine menang seperti biasa. "Kau masih payah, Kise."
"Hah... hah... lihat saja, suatu saat nanti aku akan mengalahkanmu!" Kise rebahan di tengah lapangan. Nafasnya masih terengah-engah.
"Ya, dalam mimpimu," sahut Aomine. Ia membelakanginya, masih mendrabel bola di depan ring basket. Kise cuma cemberut dan Aomine tahu tanpa perlu melihat kebelakang.
"Kise..." Aomine memasukan bola kedalam ring.
"Hmm?"
Pemuda tan itu datang menghampiri dan duduk disebelah Kise yang masih rebahan. "Ada yang ingin kukatakan padamu."
Kise menoleh. Dari bawah sini, ia bisa melihat wajah tan Aomine. Semburat merah tampak samar menghiasi pipinya. Perasaan ini...
Kise dapat merasakan jantungnya berdebar-debar.
Apakah Aominecchi akan manyatakan cinta padaku?
Kise dapat menebak itu. Sebenarnya ia tengah menunggu Aomine untuk mengucapkan kata tersebut sejak dulu. Namun si pemuda tan tersebut tak pernah melakukannya.
Kise selalu memperhatikan gerak-gerik dan sikapnya. Aomine begitu perhatian padanya akhir-akhir ini. Yang lainnya tidak menyadarinya. Hanya Kise. Sikapnya memang agak tsundere—walau tidak separah Midorima—tapi Kise dapat merasakannya dari cahaya di bola matanya.
Kise tidak ingin menyangkal. Ia juga menyukai Aomine. Jatuh cinta pada pandangan pertama, ketika Aomine memperkenalkannya pada suatu permaian olahraga yang bernama basket. Awalnya ia hanya menganggap Aomine sebagai idola yang selalu ia kejar, namun perlahan-lahan rasa cinta itu muncul dan semakin tumbuh seiring dengan berjalannya waktu.
Kise pernah berencana untuk mengungkapkan perasaannya, namun gagal. Ia terlalu takut. Takut jika Aomine akan menolaknya, membuat ikatan persahabatan mereka hancur. Jadi Kise lebih memilih menunggu. Tanpa ia sadari pipinya juga ikut merona merah.
Aomine menggaruk-garuk tengkuknya nervous. "Kise aku-"
RRRRR...
Ponsel Kise bergetar, mengganggu suasana romantis diantara mereka.
'Uh... kenapa disaat seperti ini, sih...' Itulah yang ada dipikiran kedua pemuda itu.
"Uhhh... maaf Aominecchi. Aku angkat teleponnya dulu," Kise mengambil ponsel dan memperhatikan layarnya. Nomor tak dikenal tertera di layar.
"Halo," Ucap Kise. Ia bangkit duduk dari posisi rebahannya.
"Halo, apakah ini salah satu anggota keluarga dari tuan dan nyonya Kise?" ucap seseorang dari seberang telepon.
"Ya, saya anaknya. Ada apa ya?"
"Ah, kami dari pihak rumah sakit Takeda Kyoto, ingin memberitahukan bahwa orang tua anda..."
Mata Kise terbelalak setelah mendengar penjelasan dari seseorang tersebut. Wajah memucat dan tangannya gemetar. Ponsel nyaris jatuh dari genggamannya.
"Kise?" Aomine menatapnya bingung.
"B-baiklah, saya akan segera kesana," ucap Kise pada si penelepon. Suaranya gemetar. Telepon kemudian ditutup.
Air mata mulai mengalir dari sudut matanya.
"Kise, apa yang terjadi?" tanya Aomine khawatir. Tangannya memegang kedua bahu Kise yang gemetar.
"A-ayah... dan... Ibu..." ucapan Kise terputus-putus oleh isak tangisnya. "Mereka... hiks.. mengalami kecelakaan.."
..:::====:::..
23.35
Rumah Sakit Takeda, Kyoto.
Kise duduk menunggu di ruang tunggu UGD. Aomine dan Akashi menemaninya.
Saat itu, sebelum Aomine dan Kise berada di Kyoto, Aomine menelepon Akashi untuk memberikan tumpangan untuk kerumah sakit. Akashi segera menyanggupinya. Dengan mobil limo pribadi keluarga, Akashi mengantar mereka. Yah, setidaknya begitulah kenapa Akashi kini bersama dengan mereka.
Setelah menunggu sekitar kurang lebih 1jam, dokter yang menangani orangtua Kise akhirnya keluar. Dari raut wajahnya, Kise dapat menebak kalau akan ada berita buruk.
"Diantara Kalian bertiga, yang mana yang merupakan anggota keluarga Kise?" tanya sang dokter.
Kise langsung segera berdiri. "Saya! Saya anaknya! Bagaimana kondisi ayah dan ibuku?"
Sang dokter menatapnya sejenak. "Soal itu, maafkan kami, kami sudah melakukan sebaik yang kami bisa... Tuan dan Nyonya Kise tidak bisa terselamatkan akibat luka yang mereka terima." Ia menepuk bahu Kise, menatapnya dengat sorot mata simpati. "Kami turut berduka cita."
Berita itu begitu mengagetkannya. Tubuhnya mulai gemetar tak sanggup menahan air mata.
"Tidak..." kedua tangan menutipi mulutnya. Kakinya yang mulai terasa lemas, membuatnya jatuh berlutut.
"Ryouta!" Akashi segera membantunnya berdiri.
"Ibu.. hik.. ayah..." Kise melepaskan diri dari pegangan Akashi dan berlari menuju ruangan tempat orang tuanya berada. Aomine dan Akashi mengikutinya.
Sekarang disinilah ia berada, di sebuah ruangan serba putih. Kedua orang tuanya terbujur kaku bersebelahan di ranjang rumah sakit. Kain putih menutupi wajah dan seluruh tubuh mereka.
Dengan Kaki gemetar, Kise mendekat dan membuka kain penutup itu perlahan. Ayahnya.
"Ayah... hiks... jangan tinggalkan aku..." Air matanya menetes membasahi wajah mayat ayahnya.
Kise beralih, membuka kain penutup wajah sosok tanpa nyawa yang terbujur disebelah ayahnya. Ibunya.
"Ibu... hiks... " Kise terjatuh. Menangis dan berteriak semampu yang ia bisa sampai tenggorokannya sakit. Padahal baru tadi siang ia berbicara dengan ibunya.
"Ryouta!/Kise!" Akashi dan Aomine menghampirinya. Tubuh Kise gemetar luar biasa. Ia mendekap Aomine yang lebih dulu sampai.
"Hiks... Aominecchi... Hiks..."
"Tenanglah Kise..." Aomine mengantarnya menuju kursi terdekat. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggunnya. Mencoba untuk menenangkannya.
"Ryouta..." Akashi mendekat dan mengusap air matanya. "Aku ikut berduka cita atas kepergian kedua orang tuamu. Jangan menangis."
"Akashicchi..." Kise menatapnya. Ia mulai tersenyum tipis. Akashi membalasnya dengan senyuman yang serupa.
..:::====:::..
Upacara kematian orangtuanya diadakan keesokan harinya di kediaman Kise. Semua teman-teman, rekan kerja sesama model, dan kolega orangtuanya turut hadir dalam acara tersebut.
"Kise-kun, aku turut berduka cita. Semoga kau tetap tabah dalam menghadapi cobaan ini," ucap Kuroko.
"Terima kasih, Kurokocchi."
"Ki-chan!" Momoi datang memeluknya. Gadis itu menangis.
"Momocchi..." Kise mengusap pelan kepala gadis bersurai pink tersebut.
"Aku tidak menyangka mereka akan pergi secepat ini... hiks.." isak gadis itu. Kise hanya tersenyum getir.
Hari menjelang sore dan suasana di kediaman kise semakin sepi. Satu persatu sahabatnya mulai pergi. Awalnya Kuroko dan Kagami, disusul oleh Midorima, dan terakhir Akashi. Aomine dan Momoi masih tinggal.
"Kise..." Aomine menghampiri Kise yang tengah memandangi foto orangtuanya di altar.
Kise tak menjawab. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya. Aomine kemudian menepuk bahunya pelan. Menyadarkan Kise dari lamunannya.
Pemuda pirang itu menoleh. Bibirnya membentuk sebuah senyuman. Senyuman ala model miliknya—yang Aomine tau itu adalah senyuman palsu.
"Oh! Aominecchi... Ada apa?" tanyanya.
"Aku dan Satsuki mau pamit pulang." Sesungguhnya ia tidak ingin melakukannya, tapi orangtua satsuki terus menghubungi gadis itu untuk pulang. Daiki sebagai laki-laki, sahabat kecil, dan tetangga dekatnya, tidak bisa membiarkan Satsuki pulang sendirian.
"Dai-chan! Kau tidak perlu melakukan itu! Aku bisa pulang sendiri!"
"Ha? Aku gak percaya. Ingat waktu kita SMP? Kau hampir dicegat oleh om-om hidung belang! Jika aku tidak ada disana, mungkin kau sudah diapa-apain!" sahut aomine.
Satsuki hanya diam. Ucapannya itu memang benar.
"Momocchi, sebaiknya kau pulang dengan Aominecchi." ujar Kise.
"Tapi, Ki-chan jadi sendirian..."
"Aku tidak apa-apa, Momocchi." Kise menyunggingkan senyum terbaiknya—yang justru membuat Aomine makin khawatir.
"Kise..." Aomine ingin angkat bicara, namun di potong oleh anggukan kepala pemuda blond tersebut. Mengisyaratkan kalau ia akan baik-baik saja.
Aomine hanya menghela napas pelan. "Baiklah, kalau bagitu kami pulang."
"Ya, hati-hati, Aominecchi, Momocchi!" ucap Kise sembari mengantar si surai biru dan pink itu ke pintu depan rumahnya.
Ketika dirasa mereka berjalan sudah cukup jauh, Kise kembali masuk. Belum berselang lama, terdengar suara pintu rumahnya diketuk.
Aominecchi-kah? Mungkin ada sesuatu yang tertinggal, sehingga pemuda tan itu kembali. Kise segera datang membuka pintu.
"Aominecchi, apa ada sesuatu yang ter-" Ucapannya terhenti, ketika ia menyadari sosok yang ada dihadapannya bukanlah Aominecchi yang ia duga.
Seorang pemuda yang sebaya dengannya. Rambutnya berwarna abu-abu dengan style acak-acakan.
"Yo, Ryouta. Maaf aku baru bisa datang sekarang," ucap pemuda itu sembari menggaruk punggung lehernya.
"... Shougo-kun..."
TO BE CONTINUE
Fic pertama saya. Masih agak kaku gimana gitu... ;;_;;
Saya gak tau ini akan ada yang baca atau nggak. Gak adajuga ga papa. Buat latihan nulis aja.
Kritik dan sarannya ditunggu (Tapi jangan pedas-pedas ya, kokoro saya gak kuat T^T
SAMPAI JUMPA DI CHAPTER BERIKUTNYA!~~~~
