Twinkle Little star
Cast: Baekhyun
Genre : Horror, Mystery
(All Baekhyun POV)
Aku menatap tulisan di jendela yang kutulis dari uap panas mulutku. Titik-titik
hujan di luar yang menetes ke jendela seolah memberi latar yang suram untuk tulisan itu. Menambah suram suasana hatiku.
Aku menatap ruang putih yang mengurungku selama seminggu terakhir ini.
Dinding-dindingnya pucat, hanya berhias jam besar dari besi yang
mengeluarkan satu-satunya bunyi di ruangan ini dan TV yang jarang
kunyalakan. Beberapa sofa di simpan di dekat pintu masuk, yang berukuran
sedang cukup besar untuk seorang dewasa tidur.
Aku menoleh, dan menatap tirai berwarna hijau muda yang mengelilingiku,
kadang ditutup kalau sudah malam dan dibuka pada pagi hari. Tak terlalu
berpengaruh menurutku, karena toh tak ada yang ingin kulihat, atau kudengar.
Di hadapanku berdiri tegak sebuah pintu yang menuju ke kamar mandi. Untuk
alasan yang aku sendiri tak mengerti, aku tak menyukai keberadaan pintu itu.
Apalagi letaknya tepat di depan tempat tidurku. Kurasa kau mengerti
maksudku.
Intinya tempat ini hanyalah sebuah ruang kosong yang bersih, bahkan terlalu
bersih sampai nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Kecuali aku,
itupun kalau aku masih hidup beberapa hari lagi.
Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku. Dengan cepat kuhapus tulisan
suram di jendela tadi, dan dengan enggan menatap wanita berbaju putih yang
kini memasuki kamarku sambil tersenyum.
"Selamat pagi Baekhyun. Bagaimana keadaanmu hari ini?"tanyanya sambil
meletakkan baki abu-abu kecil yang sedari tadi ia bawa.
Aku memaksakan diriku untuk tersenyum, "Baik" jawabku singkat.
Bohong, aku tidak baik-baik saja. Napasku agak sesak ketika bangun tadi,
dan kepalaku pening sekali. Tapi aku tahu, kalau aku mengakui itu, mungkin
hari ini akan aku habiskan dengan selang-selang yang nyaris melilit seluruh
tubuhku dan beberapa tes lagi.
Pandanganku beralih ke piring putih mini yang berisi pil dan tablet berwarnawarni di atas baki abu-abu tadi. "Masih belum dikurangin ya,
jumlahnya?"tanyaku sambil mengernyit.
Suster itu tersenyum pahit.
"Kan biar cepat sembuh".
Setelah sarapan pagi yang luar biasa hambar tadi, rasanya sepasukan obatobatan ini bisa kuanggap sebagai pencuci mulut. Setidaknya obat yang
berwarna merah itu rasanya mirip-mirip stroberi. Atau aku ingin
menganggapnya begitu. Entahlah.
Aku adalah seorang pengidap jantung koroner. Sejak kecil aku memang sudah
terbiasa bolak balik rumah sakit untuk perawatan, dan sampai sekarang aku
belum menemukan donor yang tepat. Jadi beginilah nasibku, istirahat di rumah
kalau aku berbohong tentang sesak yang semakin sering aku rasakan, dan
kembali masuk rumah sakit kalau aku bahkan sudah tak sanggup lagi
berbicara.
3 w eeks ago
Setelah memastikan aku menegak semua obat yang diberikan, suster itu
membuka tirai hijauku lalu membuka jendela. Katanya cuaca sedang bagus,
dan aku perlu menghirup udara segar. Sebenarnya aku lebih suka menghirup
udara rumah sakit yang bau alkohol. Tapi setelah udara berbau pinus dan air
hujan itu menghambur masuk kamarku, kurasa aku akan membiarkannya
sebentar lagi.
Tak lama kemudian suster itu memeriksa temperaturku, dan akhirnya keluar
dari kamar setelah untuk keseribu kalinya mengingatkanku untuk menekan
tombol darurat kalau aku merasa ada yang salah. Iya, ada yang salah dengan
TV-nya. Tidak ada saluran TV kabel. Dan koki rumah sakit ini jelas bermasalah
dengan indra pengecapnya. Apa mereka mau membereskan itu?
Aku menegakkan sandaran dudukku dan mengambil novel fantasi yang
kemarin diberikan oleh temanku yang sudah keluar dari rumah sakit. Dengan
bosan kuperhatikan sampul plastiknya yang masih mengkilap dan judulnya
yang dicetak besar dengan huruf menonjol
Aku menarik napas dan mulai membuka halaman pertama ketika sesuatu
menggelinding masuk ke dalam kamarku, bergulir ke dekat tempat tidur.
Benda itu adalah sebuah bola pastik berukuran sedang berwarna kuning cerah
dan bergambar matahari yang tersenyum.
Aku melihat ke arah pintu kamarku yang ternyata terbuka sedikit, menunggu
seseorang untuk masuk dan mengambil bola itu.
Benar saja. Ujung sepatu berwarna putih muncul di sudut pintu yang tertutup tak
lama kemudian. Dilihat dari modelnya, itu sepatu milik anak perempuan.
Sepertinya anak ini anak yang pemalu. Aku menunduk sedikit untuk mengambil
bola itu dan memanggilnya.
"Ini bolamu kan?" panggilku.
Tak ada jawaban.
"Ambillah, nanti kau tak punya mainan lagi"
Sepatu itu masih tetap berada di tempatnya, di sudut bawah pintu yang
tertutup.
Aku memutar bola mataku. Sungguh aku sedang malas beramah
tamah dan meladeni siapapun untuk bermain apapun.
Dengan tidak sabar ku lempar bola itu ke luar ruangan, dan seketika itu pula
sepatu itu menghilang.
Aku mendengus kesal dan kembali membaca novelku. Lain kali akan kuminta
susternya untuk menutup pintunya rapat-rapat.
Aku membuka mataku perlahan dan berusaha melihat jarum jam di hadapanku
yang kini masih berbayang. Aku menyipitkan mataku agar bisa lebih fokus, dan
akhirnya berhasil melihat waktu saat ini: jam 11 lewat 15 menit.
Aku membuka tirai jendelaku dan melihat langit yang sudah gelap. Aku baru
tersadar kalau aku sudah tertidur selama 7 jam. Nanti malam mungkin aku
akan terjaga sampai lewat tengah malam.
Aku menguap lebar dan tiba-tiba merasa lapar. Kuambil biskuit yang tadi sore
dibawakan Mom. Ia begitu terburu-buru sehingga hanya sempat setengah jam
menjengukku dan membawakan beberapa kantong makanan. Aku sih sudah
terbiasa, tapi mau tak mau aku merasa kasihan juga padanya.
Sejak bercerai dengan Ayah, ia harus berjuang habis-habisan untuk
menghidupi keluarga. Aku tahu persis itu, karenanya aku tak pernah protes
kalau waktu beliau untukku harus dibatasi porsinya.
Remah-remah biskuit bertaburan di bajuku. Kutepuk-tepuk pelan agar remahremah itu jatuh dengan sendirinya, ketika lagi-lagi sesuatu menggelinding ke
dekat tempat tidurku.
Bola kuning cerah yang sama dengan yang tadi siang kulihat.
Jengkel, kulihat ke arah pintu, dan kudapati pintu itu tertutup dengan rapat.
Dahiku mengerut. Darimana datangnya bola itu kalau begitu?
Dengan mengerahkan sisa energi yang bisa kukumpulkan, aku berusaha
memanjangkan lenganku untuk mengambil bola kuning cerah yang kini berhenti
menggelinding tepat di sebelah kananku.
Tanganku akhirnya berhasil menggapai bola itu (walau dengan sedikit
gemetar).
Rasanya dingin dan lentur, tekstur khas bola plastik.
Tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan, dan sesosok tangan mungil putih
pucat keluar dari bawah tempat tidur dan mengenggam pergelangan tanganku.
Aku menjerit keras dan menarik tanganku secepatnya. Lalu kembali membuka
mataku.
Mimpi.
Mimpi?
Mimpimimpimimpi!
To be Continued.
GIMANA? ._. RnR ya ^^) /
