Hidup sebagai perasan kentang terakhir tidak sekonyong-konyong membuatku nikmat untuk disantap. Tidak ada bumbu balado yang melumuriku, tidak juga garam, ataupun saus barbeque. Ya... aku cuma setetes kentang panas yang hampir basi. Mahasiswi semester delapan yang tengah berjuang menuntaskan skripsi. Ah, my... rasanya aku ingin menenggelamkan diri ke samudera pasifik saja. Berjuanglah, potato. Berjuanglah! Jangan berjualan.
Sejak hari Senin lalu, aku jadi sering pergi ke warnet untuk browsing referensi. Minggu kemarin laptopku sukses rusak terinfeksi virus tempelan games yang kuunduh dari internet secara sembrono. Aku ingin mengutuk orang yang bertanggung jawab atas semua itu. Gara-gara dia, aku harus merelakan laptopku diservis untuk beberapa pekan ke depan. Alhasil untuk menyelesaikan skripsi, mau tidak mau aku kini menjelma sementara jadi anak warnet. Untung saja data skripsiku ada di flashdisk dan CD. Kalian bisa bayangkan tidak, kalau file sakral ini kuletakkan di harddisk laptop? Satu kesimpulan: aku akan mati.
"Oey, potato! Billingmu sudah habis! Bayarlah lagi untuk satu jam ke depan atau komputermu akan kuputus!" Suara dingin itu menghampiri telingaku lagi. Oh, Sehun si OP warnet. Ganteng, sih. Tapi galak.
"Sebentar lagi, Hun! Aku ngutang dulu," jawabku sekenanya. Yah, aku tidak bawa uang lagi. Mau bagaimana terus?
"Tidak bisa! Cepat bayar, atau kau pergi dari sini!"
Kenapa sih Sehun itu selalu marah-marah padaku? Padahal aku cuma mau berutang sebesar 24.000 saja –ah, ya wajar dia marah padaku. Uang sejumlah segitu sudah lebih dari cukup untuk beli nasi bungkus tiga biji. By the way, itu jumlah utangku hari ini. Tidak termasuk utang di hari-hari sebelumnya.
"Kau ini kok suka sekali ngutang, sih? Nanti kalau tidak dibayar, bisa masuk neraka, loh! Mau kamu jadi ahli Jahannam?" Sehun meninggikan nada suaranya. Ia lantas berjalan ke arahku.
"Kau kok ngomel-ngomel terus, sih? Santai, dong! Skripsiku tidak bakal selesai kalau kau ngoceh terus!"
"Ngenet enam jam, teh botol dua, susu kotak dua, kacang sebungkus, permen, dan roti pizza lima buah, ditambah ngeprint dua puluh lembar. Utangmu itu sangat banyak, tahu! Lebih dari 50.000!" Sehun menempelkan kertas bon di dahiku. Aku diam saja. apa yang bisa dilakukan oleh tersangka pelaku perutangan?
Mendadak OP warnet itu kemudian menarik kerah bajuku. "Ingat ya, kentang! Camkan dan pikirkan ini baik-baik. Kalau kau ngutang terus, bisa-bisa aku dipecat dari sini. Mencari pekerjaan zaman now itu susah, tahu! Aku tidak mau kelaparan hanya gara-gara kau ngutang dan tidak mau bayar!"
"Uhuk, uhuk! Eh, kau mencekikku!" Aku ingin mati. Sehun terlihat serius kali ini. "Kau tidak bisa santai, ya? Daripada marah-marah, lebih baik kau bantu aku mengerjakan skripsi biar cepat selesai."
"TIDAK MAU! Sekarang, kau cepat cukupkan kerjaanmu itu untuk hari ini. Aku mau menutup warnet."
Sehun melepaskan cengkeramannya. Aku terbatuk kecil. "Dasar OP warnet!"
"Hah?! Apa kau bilang?! Katakan sekali lagi!"
"Nggak..."
Aku lantas segera mengetik beberapa bagian yang kurang dan menyimpannya. Sehun sepertinya sudah sangat lelah. Aku jadi kasihan. Dia sampai harus memolorkan waktu jaga warnet hingga pukul satu dini hari begini untuk menungguku bikin tugas. Padahal, dia sudah melek memelototi layar komputer terhitung sejak pagi jam delapan kemarin. Aih, daripada marah... aku selalu lebih tersentuh oleh sikapnya. Dingin tapi sebenarnya peduli sekali.
Kutatap lagi pada Sehun yang saat ini sedang duduk-duduk di kursi tunggu tengah. Dia menguap untuk yang ke sekian kali. Gigi-gigi kecilnya terlihat sangat lucu-menggemaskan. Kantung matanya hitam, tetapi tidak semena-mena membuat wajahnya tampak tua. Malah, dia terlihat lebih cool, tajam, dan menyengat.
"Sudah dimatikan komputernya?" tanya Sehun.
Aku menjawab, "Belum..."
Hening sejenak.
"BODOH! Matikan cepat! Aku sudah tidak tahan lagi- ingin tidur!" sembur Sehun kemudian.
"Duh! Muncrat, bodoh!"
"Bagaimana bisa muncrat?! Aku di sini, sementara kau di sana! Jarak yang lumayan jauh!"
"Tapi ludahmu itu kan juara lompat jauh? Ya meskipun berjarak seberapa pun, tetap sampai-lah!" Aku berbalik, buru-buru mematikan komputer. Sehun sudah seperti orang gila. Bisa-bisa aku mati kalau tidak menuruti perintahnya.
Sembari menunggu komputer lemot yang tengah men-shut down-kan diri, aku mengambil –mencoba mengulum- sebiji permen chewy dari kantong. Aku yakin sekali tidak ada yang aneh sebelum tiba-tiba lampu ruangan padam disusul suara derik pintu yang menyambangi indera pendengaranku. HAH? Detik itu juga aku jantungan.
"SEHUUUUNN! BUNTUT JAHEEE! Berani-beraninya kau tinggalin aku!" Secepat kilat aku berlari ke arah pintu keluar. Kugedor-gedor dari dalam hingga bising. Sial, Sehun mengunciku! Ahh... aku tidak mau tidur di sini lagi. Menyeramkan, tahu!
"Tidak!" Terdengar suara si OP warnet laknat dari luar. "Ini karena kau lama dan terus menerus berutang tanpa mau ingat berapa banyak utangmu di masa lalu."
Aku melongo. Sehun lalu berjalan santai meninggalkan aku yang terkurung di dalam warnet. Aku bisa melihatnya karena bagian depan warnet ini terbuat dari kaca transparan. Yah, menurutku semua warnet juga seperti itu sih bentuknya.
"Tega sekali... Huwaaa~" Tak lagi bisa menahan diri, aku pun menangis. Sehun sangat jahat. Sampai hati dia mengunci aku untuk yang ke-dua kalinya di sini. Aku takut. Tidak ada penerangan, banyak nyamuk, udaranya juga dingin. Dan yang paling penting: aku sendirian. Tidak ada yang menemani aku.
Tenggorokanku mendadak sakit. Oh, tidak. Aku tersedak permen yang tadi kukulum. Bagaimana mau tidak tersedak kalau makannya sambil nangis?
"Uhuk! Uhuk! Aku akan mati! Seseorang, siapapun, tolong aku!" Tapi anehnya, aku masih bisa bicara.
Aku tidak tahu pasti. Sekitar lima detik kemudian, aku yang sedang berjongkok di balik pintu- terpental hingga jatuh tersungkur. Ada yang membuka pintu. Siapa lagi kalau bukan Sehun? Cuma dia yang punya kunci kerajaan internet fast speed ini.
"Duhhh... kenapa lagi kau ini?" Datang kembali bukannya menolong, Sehun malah ngomel-ngomel.
"Ahak- ku terse-huk-dag!"
Tanpa ancang-ancang, Sehun kemudian menepuk keras punggungku sampai permen yang tadinya sudah jatuh ke tengah tenggorokan meloncat keluar ke pangkal mulut. Aku memekik. Sakit sekali rasanya! Semacam sensasi kerokan pakai balsem: membunuh.
"Bagaimana? Sudah keluar kan?" Sehun mengusap-usap leherku sesaat sebelum aku berlari menuju tempat sampah untuk membuang permen.
"UH!" Aku terbatuk kecil tak habis-habis setelahnya. Tersedak lagi, namun dengan benda yang berbeda. Ludah. Air mataku sampai keluar.
"Ini, minum dulu." Sebotol teh manis bersemayam di tangan Sehun. Aku menyambarnya cepat- meneguk hingga ludes setengah. Haahh... akhirnya aku bisa bernapas.
"Kupikir aku akan mati tadi..." Aku meletakkan botol teh di meja kecil di sebelahku, diteruskan dengan menepuk-nepuk dada . Kejadian yang sangat mengerikan. Nyaris terlintas semua dosa yang telah kuperbuat seumur hidupku untuk direnungi tadi.
"Kau ini...! Bersikaplah yang normal sedikit! Tiap hari kerjanya bikin onar, membuatku jengkel saja!"
"Ehhh..."
.
.
.
.
.
.
.
Tidak begitu mengerti sesungguhnya aku akan apa yang Sehun lakukan. Kalimatnya bernada offense, tetapi yang dia perbuat selanjutnya malah memelukku.
"Kalau kau mau mati, matilah bersamaku..."
O.M.G. That was so cute!
"Hun, kau membuatku malu..."
Sehun sepertinya tidak mau mendengar perkataanku. Ia malah menempelkan bibirnya ke pipiku yang notabene masih basah akibat menangis tadi. Ciumannya sangat hangat dan menentramkan. Ada selaksa rasa yang hendak ia sampaikan lewatnya. Aku tergugah. Dia sedang mengutarakan cinta.
"Maaf... Kau tahu, sejengkel apapun aku padamu, aku tetap tidak bisa membiarkanmu mati apalagi cuma gara-gara tersedak sebiji permen." Hidungnya ia dekatkan ke pelipisku. "Juga maaf sudah membuatmu menangis. Aku tidak suka lihat pipimu dikotori jejak air mata, tapi aku malah membuatmu menangis."
Kini giliran jemari lentik Sehun yang beraksi. Diusapnya hangat dengan jempol kedua pipiku. Aku diam saja. Aku tak bisa menolak perlakuannya yang seperti ini. Merasa terlindungi adalah satu-satunya ungkapan yang bisa kujelaskan.
"Maaf, ya...," tambah Sehun lagi.
"Hun, kau lebay."
"Sudahlah. Jangan banyak omong kau. Mari pulang. Kau harus tidur. Aku tidak suka matamu punya lingkar hitam." Perkataan terakhir Sehun diucapkan sembari mengecup singkat bibirku.
Aku lantas sumringah. "Benarkah? Kenapa?"
"Kau itu sudah jelek seperti kentang. Kalau punya mata panda bisa jadi lebih jelek lagi."
"Oh..."
.
.
.
.
.
.
Namaku Jang Han Byul. Julukanku kentang atau potato -diberi oleh Kim Sehun, kekasihku. Aku sendiri menjuluki Sehun 'ginger' atau 'jahe' jika diterjemahkan dengan tambahan kata: buntut. Itu karena sifatnya. Kami berdua sudah agak lama menjalin hubungan- mungkin satu sampai dua tahun jalan. Pribadiku yang terlalu santai bertolak belakang sekali dengan Sehun yang dingin tapi galak.
Sehun sering memarahiku. Tiada hari tanpanya mengomel. Ia bekerja sebagai seorang operator warnet di dekat rumah. Dia bilang, bayarannya tidak seberapa, tetapi paling tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mengenai latar belakangnya... aku tidak begitu tahu. Sehun sangat sensitif dan tertutup. Dia bakal mendampratku bila aku membahas perkara tersebut.
Emm... mungkin kalian akan bertanya: kenapa jahe? Yah, kurasa itu sangat cocok dengannya. Sehun itu pedas namun tidak berapi. Dingin tapi membakar. That's so "ginger", right? Bagiku yang kadang-kadang telmi ini, sungguh indah rasanya hidup bertemankan Sehun di setiap tanggal-bulan-tahun. Dia lelaki kedua paling berharga setelah ayahku.
"Hun, besok kau mau sarapan apa?" tanyaku.
"Telur mata sapi saja dengan sosis."
"Oke! Besok aku buatkan."
"Terima kasih, potato!" Sehun mengecup dahiku. "Jangan lupa utangmu itu dibayar, yah. Biar berkurang segala tanggunganmu di akhirat nanti."
Aku tersenyum seraya menaikkan alis. "Iya, terima kasih juga karena sudah mau mengingatkan. Kau OP warnet yang baik..."
