[REMAKE 'Cinta Paket Hemat' by Retni SB]
Chapter 1
.
CINTA PAKET HEMAT
.
Main Cast :
Park Chanyeol (GS), Kris Wu, Oh Sehun/Wu Sehun
.
Other Cast :
Shim Changmin, Byun Baekhyun (GS), Xi Luhan, Kim Suho, Amber, Henry, Zhang Yixing (GS), and others.
.
Genre :
Family, Romance, Hurt/Comfort, Autisme, Genderswitch for Uke, dll.
.
.
LET'S GET STARTED ^^
Aku tercekat menatap TV. Lalu melotot. Mulut ternganga selebar yang kubisa. Dan tubuh pun lebih beku dari batu es. Tapi hanya kurang dari sepuluh detik. Sebab di detik kesebelas, aku sudah menyala! Terbakar oleh kengerian dan kecemasan gila-gilaan.
"...Gempa dengan kekuatan 5,9 skala richter ini telah meluluhlantakkan Provinsi Gangwon-do yang terletak di sebelah timur Korea Selatan dan sekitarnya. Kota Sokcho mengalami kerusakan paling parah, sebagian besar bangunan ambruk dan korban jiwa pada hari ini diperkirakan lebih dari 300 jiwa. Masyarakat yang selamat mencoba melakukan evakuasi dengan peralatan seadanya. Korban luka memerlukan penanganan segera, tetapi rumah sakit sudah kehabisan obat-obatan dan peralatan medis. Pihak pemerintah belum bergerak, justru masyarakat yang lebih cepat tanggap memberikan bantuan secara swadaya. Mungkin akan terjadi lagi gempa susulan. Sungguh bencana ini di luar perkiraan..."
Gemetar kucari penselku yang entah bersembunyi dimana. Selalu begitu. Benda kecil itu memang punya hobi menyebalkan, selalu menghilang saat dibutuhkan.
"Aduuuh, kemana sih? Dasar bego, nggak ngerti apa aku lagi panik..."
Aku mengaduk-aduk kamar apartemenku yang meski ukurannya cukup luas, tapi tetap saja terlihat sumpek. Barang-barang besar atau kecil, seperti sepakat untuk tumpang tindih, berlomba mencari daerah kekuasaan masing-masing. Ini jadi menyulitkanku untuk mencari benda-benda kecil seperti remote, kacamata, bolpoin, dan tentu saja ponsel.
"Sapiii, dimana kau?"
Untunglah, setelah mengaduk-aduk isi kamar dan mengomel panjang-pendek dengan materi yang makin tidak sopan, ponsel tak berperasaan itu kutemukan dalam keranjang pakaian kotor. Entah bagaimana caranya sampai bisa bersembunyi disitu.
Tanganku gemetar. Juga berkeringat dingin. Aku mencoba menghubungi ponsel Jaejoong eonni, kakakku satu-satunya. Tapi tak ada sambungan. Juga nomor Yunho oppa, suami Jaejoong eonni. Sama tidak ada sambungan. Berkali-kali kucoba menghubungi mereka tapi hasilnya tetap nihil.
Aku makin cemas. Kuputuskan mengirim pesan. Tapi tak terkirim. Kucoba berkali-kali tetap tidak ada pesan yang terkirim ke ponsel mereka.
Aku marah, putus asa, sebal dan kesal, pada apa saja yang membuat hubungan selular tak bisa dilakukan pada keadaan gawat darurat! Mestinya perusahaan telekomunikasi punya alat yang bisa mengantisipasi segala gangguan alam!
Kuhempaskan tubuhku di sofa kuning kesayangan yang kubeli di garage sale di Dongdaemun. Kutatap lagi layar TV. Rumah-rumah runtuh, orang-orang melolong histeris, rumah sakit sibuk, darah, air mata...
Ya Tuhan! Mudah-mudahan semua itu tidak benar-benar terjadi. Oh, semoga saja semua itu Cuma adegan di sinetron (tapi rasanya kehebatan setting dan aktingnya tak mungkin bisa dihasilkan PH manapun di negeri ini!).
Oh! Oh! Semoga saja Jae eonni dan Yunho oppa tidak benar-benar datang ke Provinsi Gangwon-do, mengambil cuti bersama selama tiga hari guna men-charge energi mereka yang mulai drop!
Siapa tahu, setibanya di stasiun Cheongyangni kemarin, Jae eonni dan Yunho oppa salah naik kereta ITX yang seharusnya berhenti di stasiun Gapyeong, malah naik kereta api ITX menuju stasiun Yongsan.
Atau bisa saja saat ini mereka sama sekali tidak keluar Seoul. Tapi bersembunyi di hotel, memperbarui rasa cinta yang mungkin sedang ngambek gara-gara sering dinomor seratuskan. Makan malam dengan aroma lilin. Minum kopi sambil saling menggenggam tangan, menggali kenangan saat pertama kali bersentuhan. Lalu berbaring berpelukan, saling membisikkan kata-kata purba seperti aku sangat mencintaimu.
Ah!
Aku mencoba lagi menghubungi pensel mereka. Tetap saja nihil.
Aku jadi semakin deg-degan. Tak ada informasi apapun dari pasangan suami-istri itu membuatku panik tak keruan. Aku sangat-sangat ingin tahu. Tapi tak bisa.
KBS TV terus-menerus menayangkan bencana gempa bumi di Provinsi Gangwon-do. Membuat kepanikanku semakin meningkat.
Oh! Aku memang tolol. Mengapa aku baru tahu berita soal musibah ini saat Headline News jam tujuh malam? Padahal peristiwanya jam 05.50! kemana saja aku selama itu?
Hari ini memang luar biasa tolol. Aku sengaja bermalas-malasan di bawah selimut, makan nasi dan kimchi, minum ramuan kesehatan yang khusus kupesan dari Seoyoong eonni, menggosok tubuh satu senti demi satu senti dengan lulur tradisional yang warnanya kuning dan baunya khas zama Joseon, memijat kepala dengan inyak cem-ceman, merapikan bulu alis, menjahit beberapa baju yang robek... mengistirahatkan telinga dari televisi, radio, ipad bahkan ponsel.
Tolol! Apa jadinya? Mungkin aku satu-satunya orang yang baru tahu kalau di Provinsi Gangwon-do ada bencana. Terlalu. Superkuper.
Maka aku pun menelepon Kris, satu-satunya adik Yunho oppa yang tinggal di Seoul. Siapa tahu monyet sableng itu sudah dapat kabar. Meski aku tak mau berharap banyak. Hari sabtu seperti ini, jika sedang tak ada kerjaan reportase, mustahil dia masih ada di permukaan bumi. Pasti dia sedang asyik berkubang di dalam gua-gua bau entah di perut bumi sebelah mana, berhubungan baik dengan para sahabat seperti kelelawar, kelabang, kalajengking, ular, drakula, dll.
Tapi sebelum aku menekan nomor Kris, ponselku sudah berdering lebih dulu.
Eomma!
Aku tidak boleh membuat eomma cemas, sebelum aku mendapatkan info yang paling valid. Eomma orang yang mudah histeris.
"Halo, eomma?"
"Halo, sayang! Eomma dengar di Gangwon-do ada gempa. Bagaimana keadaanmu dan eonnimu, baik-baik saja kan?"
"Baik, eomma. Gempanya kan di Gangwon-do bukan di Seoul. Disini sih tidak terasa apa-apa. Eomma tenang saja.."
"Oh, syukurlah. Habis eomma lihat di TV kok kayaknya serem banget. Bagaimana kabarmu sayang? Jaejoong dan keluarganya sehat jugakah?"
"Sehat. Sehat. Eomma dan appa sehat juga, kan?"
"Iya kami disini juga sehat.."
"Oh, baguslah...hehehe"
"Yeol, kapan kamu mau menikah? Appamu sudah menyiapkan biayanya tuh..."
"Santai saja, eomma. Tunggu saja tanggal mainnya. Eh, eomma sudah dulu ya? Aku sudah gak tahan mau pipis!" langsung saja kumatikan ponselku tanpa menunggu balasan dari eomma.
Kalau saja saat ini aku tidak sedang panik soal jae eonni dan Yunho oppa, pasti obrolanku dengan eomma bisa seru sekali. Sudah disiapkan biaya menikah.
Aish! Boro-boro mau menikah. Punya pacar satu aja, susah betul diajak bicara soal komitmen. Tapi sekarang, hal itu tidak penting. Untuk sementara biarkan si Jongin bebas dari segala tuntutan perempuan yang sudah gatal ingin mengajaknya ke toko perhiasan. Membeli cincin pernikahan!
Sekarang, kabar soal Jae eonni dan Yunho oppa adalah nomor satu!
Belum sempat aku bernafas tenang gara-gara menahan perasaan selama berbicara dengan eomma, ponselku berbunyi lagi.
Dari Kris! Pucuk dicinta ulam tiba!
"Halo, Kris?! Kamu tahu Jae eonni dan Yunho oppa di Provinsi Gangwon-do? Disana kan gempa!"
"Sekarang aku juga lagi di Gangwon-do. Sudah seminggu meliput aktifitas Gunung Seoraksan."
"Ha?! Kamu selamat? Jae eonni dan Yunho oppa gimana?! Kamu sudah ketemu mereka?"
"Soal Jaejoong noona dan Yunho hyung... ya... tidak terlalu baik sih..."
"Tidak terlalu baik gimana?! Jangan bercanda Kris! Gak lucu!"
"Rumah tempat mereka menginap runtuh..."
"APA! Terus, mereka luka-luka? Parah tidak? Kalau sekedar lecet-lecet saja suruh mereka balik ke Seoul. Aku takut ada gempa susulan! Gila aja, gempanya serem banget!"
"Iya, ini juga mau aku bawa balik."
"Ya, kamu temenin mereka balik kesini. Tugas liputan, kamu serahin ke temanmu yang lain deh. TV kamu kan punya banyak reporter!"
"Iya, tapi aku perlu bantuan kamu nih."
"Bantuan apa?"
"Berjanjilah untuk bergerak cepat, efisien, efektif dan hati-hati. Berjanjilah kamu bisa diandalkan."
"Kenapa sih?"
"Kamu telepon semua temanmu biar nemenin kamu di rumah Yunho hyung. Lalu telepon keluargamu di Busan. Kita akan mempersiapkan pemakaman di Seoul..."
"K-r-i-s...?" jantungku rasanya berhenti berdetak.
"Yunho hyung dan Jaejoong noona. Mereka meninggal yeol."
"K-r-i-s...?!"
"Kamu harus janji, yeol. Kamu jangan histeris. Jangan pingsan. Kita punya tanggung jawab buat menyempurnakan proses pemakaman Yunho hyung dan Jae noona..."
Ponsel yang kupegang terjatuh ke lantai.
Aku menangis. Rasanya seperti tidak memijak bumi. Melayang-layang di tengah ruangan. Menyaksikan semua benda di kamar yang rasanya seperti blur, tak lagi punya sisi dan sudut.
Bukan hanya itu. Aku merasa yakin, paru-paruku sudah pecah. Aku sesak nafas. Mungkin sebentar lagi aku akan koma.
"S-e-h-u-n..."
Suaraku tertahan. Terperangkap dalam badai hebat di tubuh dan perasaan.
Padahal, sungguh, aku ingin sekali berteriak sekeras-sekerasnya dan berkata "Sehun jangan khawatir! Semua akan baik-baik saja!
.
Malam ini aku merasa aneh. Sangat aneh.
Aku seperti bukan diriku sendiri. Park Chanyeol, staf marketing di perusahaan perangkat keras komunikasi seluler, yang menurut teman-teman kantor punya mulut sepuluh, kaki sepuluh, tapi tangan Cuma satu (maksudnya rajin bicara, hobi kesana-kemari, tapi tangan tidak digunakan maksimal untuk bekerja). Tentu saja itu julukan dari orang sirik, orang yang tidak mampu mengekspresikan kegembiraan dalam bahasa dan tawa.
Sudah berjam-jam aku gagu begini. Kaki juga seperti lumpuh. Duduk diam di sofa. Memperhatikan orang-orang mondar-mandir dirumah Jae eonni.
Aku mengelus sofa milik Jae eonni yang bermotif batik cokelat. Tentu saja itu motis jadi-jadian alias palsu. Sebab aslinya sofa ini berwarna putih polos. Tapi karena terlalu sering ketumpahan susu, sirup, cokelat, pipis, dan entah cairan apa lagi, warna putihnya jadi benar-benar tertutup. Katanya sulit dibersihkan, karena lapisan luar sofa ini terbuat dari bahan suede. Ah, pasti bukan karena tak bisa. Tapi karena tak sempat mengurus. Padahal, banyak juga penyedia jasa cuci sofa di luar sana.
Tapi ya, perempuan mana sih yang masih cukup punya banyak waktu untuk mengurus soal noda yang menempel di sofa, jika perempuan itu punya kehidupan seribet Jae eonni? Jangankan urusan sofa. Urusan merapikan rambut di salon pun sering terlambat sampai berbulan-bulan. Sampai model rambut tak lagi berbentuk. Berutungnya dia masih bisa mengamankan penampilannya dengan menguncir rambutnya tinggi-tinggi dengan memakai ikat rambut yang cantik.
"Yeol, kamu tidur aja dulu. Istirahat. Biar kita-kita yang jaga disini. Lagian, semuanya sudah beres kok."
Pak Changmin, manajerku. Sahabat-sahabatku yang membawanya kemari. Mereka bilang, untuk situasi seperti ini, diperlukan senior yang akal sehatnya masih bisa tetap stabil, tempat meminta saran atau mengambil keputusan. Sebab, kami semua belum pernah terlibat urusan pemakaman. Jadi bawaannya panik. So, kalau ada senior yang sudah kita kenal dengan baik dan kapabilitasnya oke, tentu sangat membantu banyak. Setidaknya kami semua tidak merasa terlalu gamang.
Ya, sebab Jae eonni dan Yunho oppa tidak punya keluarga lain di Seoul, selain aku dan Kris.
Keluarga besarku dari Busan, mungkin baru datang besok. Sedangkan keluarga Yunho hyung ada di Cina.
"Yeol, mata kamu sudah bengkak lho. Kasihan kalau disuruh melotot terus sampai pagi.," bujuk Pak Changmin lagi.
Aku melenguh. Bagaimana aku bisa tidur dengan mata terpejam? Aku sedang menunggu dua jenazah! Jenazah orang-orang yang punya arti besar dalam hidupku. Orang-orang yang membuatku tak merasa sebatang kara di Seoul.
"Iya, yeol. Aku temenin yuk..."
Baekhyun. Sahabatku di kantor. Dia orang yang pertama melesat pergi ke apartemenku begitu aku mengabari tragedi Jae eonni dan Yunho oppa. Padahal apartemennya jauh dari apartemenku.
Sahabat-sahabat yang lain, Henry, Luhan, Amber, dan Suho juga bermunculan. Menemaniku. Menguatkanku. Membantu mengurus segala sesuatu.
"Ayu," ajak Baekhyun, menarik lenganku.
Aku menurut. Bukan karena aku ingin, tapi karena aku sedang kurang sadar. Aku seperti sedang terpental ke dunia lain, yang belum kukenal, karena aku tidak lagi mencium aroma akrab hidupku sehari-hari.
Kami memasuki kamar. Ini kamarku tiap menginap di rumah Jae eonni, minimal satu hari dalam dua minggu.
Tapi, dulu aku memang tidur disini setiap hari. Itu setelah aku menyelesaikan kuliahku. Sebelum aku diterima bekerja di kantorku sekarang. Sewaktu aku masih jadi pengangguran dan tidak malu-malu minta uang jajan pada Yunho oppa (karena Jae eonni selalu bokek). Sewaktu mereka masih hangat-hangatnya jadi pasangan hidup.
"Aku ingin menemani Sehun, Baek," bisikku setelah merebahkan tubuh di atas tempat tidur.
Baekhyun tersenyum. Menepuk-nepuk punggung tanganku. Persis gaya ibu-ibu yang sedang menenangkan anaknya. Dia memang begitu. Jiwa keibuannya selalu muncul ke permukaan setiap melihat keresahan.
"Sementara, biarkan Sehun berada di tangan yang tepat."
"Gimana caranya aku bilang ke Sehun, Baek?"
"Ssshh. Sudah, jangan berpikir lagi. Ayo, tutup matamu. Baca doa sampai mulut capek. Pasti tidurmu nanti nyenyak."
Begitu, ya? Aku sudah berdoa daritadi. Berdoa yang benar-benar berdoa. Doa yang fokus dan tulus dari dalam hati. Rasanya belum pernah aku berdoa seserius ini. Karena sebelumnya, aku tidak pernah berhadapan dengan situasi yang benar-benar sulit dan menyedihkan seperti sekarang.
"Bagaimana nanti Sehun melanjutkan hidupnya?" bisikku.
Baekhyun memijat-mijat bahuku. Si cabe itu tidak bisa bilang apa-apa. Pasti karena tidak bisa menjawab. Ya, siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah? Untuk urusan Sehun, yang dibutuhkan bukan hanya kecerdasan, keterampilan, kesabaran, keuletan, kestabilan, dan kemauan. Ada banyak sekali faktor yang mungkin tak terfikirkan.
Baekhyun terus memijat-mijatku dengan tekanan yang makin lama makin tak menentu. Perlahan, aku menggeser tubuhku merapat kearah dinding. Di tengah kesedihan, aku tak mau menerima gempa kedua, yang mungkin akan membuatku ikut mati.
BRUUUK!
Baekhyun tersungkur disebelahku. Dia sudah mendengkur. Dan kini, tanpa saksi mata, aku bebas menjatuhkan air mata sampai berliter-liter. Sebab aku bukan nabi, apalagi malaikat. Aku punya hak untuk menangis.
.
Kutepekur di dalam VW Combi yang ku pinjam dari Minho. Malam ini aku bukan sedang berjuang dalam urusan mencari berita. Tapi berjuang supaya aku tetap bisa tegak dan tegar menghadapi cobaan.
Kupandangi jenazah Yunho hyung dan Jae noona. Tuhan tahu, aku mencintai mereka berdua. Mereka bagian hidupku.
Aku tak ingin percaya. Aku tak pernah membayangkan kemungkinan buruk semacam ini akan menimpa Yunho hyung dan Jae noona. Begitu banyak harapan dan impian yang sedang mereka kejar. Usaha mereka belum selesai...
Aku membayangkan wajah-wajah di seputar kehidupan kami.
Tapi hanya dua orang yang memenuhi benakku. Sehun dan Chanyeol. Dua orang yang mungkin paling bermasalah akibat kepergian Yunho hyung dan Jae noona. Chanyeol sangat dekat dengan Jae noona. Dan Sehun, oh... apa yang bisa kukatakan tentang Sehun?
.
.
.
TBC...
.
.
A/N : aku kembali dengan cerita remake. Maaf bila banyak typonya dan bahasa yang acak adut. Mohon di maklumi...hehehe karena masih belum bisa menereuskan 'Cheer Up' jadi aku update cerita ini. Semoga kalian suka. Ditunggu review dan commentnya ^^
