Don't Touch My Moyashi!

A/N: Fic kedua dari saia!

Silakan menikmati!

Disclaimer: Bukan watashi, percaya!


"Inikah kota tempat tinggal paman Cross? Wah, kotanya bagus sekali."

Seorang gadis berdiri di depan pintu gerbang stasiun kereta api. Tangannya menenteng koper besar berwarna merah dan sangkar burung kecil.

Gadis ini bernama Allen Walker. Dia dikirim oleh ayahnya, Mana Walker ke kota pamannya, Cross Marian, untuk bersekolah SMP di salah satu sekolah di sana.

Allen berambut putih sebahu, lurus menjuntai dengan halus di bahunya. Meski mata dan tangan kirinya agak bermasalah, Allen tetap mempesona dan banyak lelaki yang ingin jadi pacarnya. Semua disebabkan bukan hanya wajah Allen yang cantik, tapi perilakunya juga cantik, sehingga banyak orang dekat dengannya.

Kulitnya pucat, tetapi bersih. Usianya baru 15 tahun, tetapi lekuk-lekuk tubuhnya sudah membentuk dengan sempurna, hingga tak sedikit orang berdecak kagum melihat kesempurnaan Allen.

"Hooi, Allen!" Panggil seorang pria berambut merah panjang yang acak-acakan.

"Paman Cross! Heei, aku disini!" Seru Allen sambil melambaikan tangannya dan pamannya segera menghampirinya.

Cross menepuk bahu keponakannya. "Lama tidak bertemu, Allen! Makin cantik saja kau!"

"Ahaha…. Terimakasih, paman."

Cross melihat ke sangkar burung yang dibawa Allen. "Hei, Timcanpy sudah besar. Kau merawatnya dengan baik, Allen!"

"Aku dan Timcanpy sudah dekat, paman. Jadi aku membawanya kemari." Jelas Allen.

"Begitu? Baguslah! Ayo, Allen, akan kuajak kau melihat sekolah barumu."

Allen mengangguk dan mengikuti pamannya ke mobil.

"Jadi, Allen! Mana baik-baik saja?"

"Iya, paman. Ayah baik-baik saja. Ayah titip salam buat paman."

Cross tertawa.

"Kau sudah siap, Allen? Sekolah barumu adalah salah satu sekolah terbaik disini, dan aku mengajar disana juga. Kau akan mendapatkan banyak teman baru disana! Dan penggemar baru, pastinya! Disana juga ada klub musik, kau bisa bergabung disana. Kau bisa main piano dan menyanyi, kan?"

"Tapi, paman…. Aku gugup sekali." Ucap Allen agak gemetar. "Kalau mereka tidak menyukaiku karena mata kiriku dan tangan kiriku, bagaimana?"

"Kau tak perlu memikirkannya. Pihak sekolah sudah mengerti keadaanmu. Mereka akan memberi sarung tangan, tentunya, agar tangan kirimu tidak terlihat. Yang penting, kau bersikap biasa saja, seperti kau di sekolahmu dahulu." Balas Cross menenangkan Allen.

Mobil berbelok ke parkiran sebuah SMP swasta.

"Nah, Allen, kita sampai." Kata Cross. "Ayo turun."

Allen membuka pintu mobil dan turun.

"Selamat datang di SMP Black Order."

Allen terkagum melihat gedung sekolahnya yang megah.

"Ayo, kita masuk!"

Allen mengikuti pamannya masuk. Saat itu sedang istirahat, jelas saja kedatangan Allen bersama Cross menarik perhatian semua murid.

"Hei, lihat gadis itu!" Tunjuk seorang murid kelas 2.

"Itu yang bersama guru Cross?" Tanya temannya.

"Iya, itu! Manis, ya."

"Imut sekali!"

Semua murid mengoceh melihat Allen.

"Kau lihat mata kirinya? Seperti bekas luka."

"Ah, itu tak masalah! Tak mengurangi imutnya!"

"Iya, ya, tetap imut!"

Beberapa anak kelas 1 dan 2 menyiuli Allen. Gadis itu hanya tersenyum malu-malu saja dan merapat ke pamannya.

"Paman, aku malu…. Tadi anak-anak itu menyiuli aku."

"Biarkan saja, mereka itu anak-anak nakal. Aku sudah tahu mereka."

Allen menggenggam erat lengan baju Cross. Saat melewati kantin, anak-anak kelas tiga menggoda Allen.

"Suit suit! Cewek, kesini dong!"

"Hei, imut! Kenalan, dong!"

"Manis sekali. Anak baru, ya?"

Kemudian Cross mengusir anak-anak itu. "HEI! Jangan berani menggoda keponakanku, ya! Apalagi di depanku! Akan kukurangi nilai kalian nanti!!"

Anak-anak kelas tiga tadi kabur sambil tertawa. Bahkan ada yang mengedipkan mata nakal ke arah Allen.

"Dasar mereka itu! Tapi jangan dipikirkan, Allen! Cuek saja, laporkan padaku jika mereka macam-macam."

Allen hanya mengangguk saja.

Akhirnya mereka sampai ke ruangan Kepala Sekolah.

"Permisi, tuan Tiedoll."

"Cross! Jadi, mana anak baru itu?" Tanya Kepala Sekolah, Tiedoll.

"Ini dia, keponakanku tercinta!"

Allen membungkuk hormat.

"Nak Allen, benar? Kau akan masuk besok, di kelas 2-A ya. Seragammu dan perlengkapan tambahan sudah diurus oleh bagian Tata Usaha. Bisa ambil sendiri, kan, nak Allen?" Tanya Tiedoll.

"Dimana letaknya?"

"Kau lurus saja, setelah melihat kapel, belok kanan, pas di sebelah kapel." Jelas Cross. Allen mengangguk. Kemudian dia keluar dari ruang Kepala Sekolah.

"Hmm…. Lurus, ketemu kapel, belok kanan…." Gumam Allen sambil berjalan.

"Ini kapel." Gumam Allen setelah sampai di depan kapel. "Terus belok kanan…. Ah, itu dia!"

Allen berlari menuju ruang TU.

BRUUK!

"Adauw!" Allen menabrak orang dan terjatuh.

"Kalau jalan, lihat-lihat, dasar anak bego."

"Siapa yang bego! Aku tidak…."

Allen kehilangan kata-kata setelah mendongak. Di hadapannya, berdiri seorang pemuda berambut biru kehitaman yang panjang terikat. Wajahnya tampan. Tapi matanya menyiratkan rasa sebal pada Allen.

"Sakit nggak, anak bego?"

"Dibilangin aku nggak bego! Baka!"

Anak itu mengulurkan tangannya. "Berdiri."

"Eh?"

"Cepat berdiri! Rokmu itu kebuka, tahu! Anak-anak belakang pasti ngelihatin!"

Cepat-cepat Allen meraih tangan pemuda itu dan berdiri.

"Terimakasih."

Pemuda itu mengamati Allen. "Kamu anak baru, ya? Boleh kutahu namamu?"

"Aku…. Allen Walker."

"Allen…. Hmm, oke."

Pemuda itu beranjak pergi.

"Tunggu!" Tahan Allen. "Boleh kutahu namamu?"

"Yuu Kanda." Jawabnya singkat, lalu pergi begitu saja dari pandangan Allen.

"Orang yang aneh…."

-X-X-X-

Keesokan harinya, Allen berangkat sekolah bersama Cross.

"Oke, Allen. Selamat berjuang, ya." Cross menyemangati keponakannya.

"Iya, paman. Aku akan berjuang."

Allen melangkah menuju ruang kelas 2-A.

'Tenang, Allen. Kau bisa!'

Kebetulan di dalam ada guru yang sedang menjelaskan tentang murid baru.

"Kalian tunggu sebentar, ya. Murid barunya pasti sudah datang, akan Ibu cek dahulu."

Guru itu membuka pintu dan melihat Allen.

"Oh, nona Walker! Teman-teman barumu sudah menunggu, mari masuk!"

"Ah, iya, bu…."

Guru itu menuntun Allen masuk. "Nah, anak-anak, ini dia murid barunya. Dia ini keponakan dari guru Cross." Jelasnya. "Ayo, perkenalkan dirimu."

Allen berusaha menghilangkan kegugupannya. "Halo semua. Namaku Allen Walker, tapi silakan panggil aku Allen saja. Aku pindahan dari kota Liverpool. Mohon bantuannya di kelas ini."

Beberapa anak kasak-kusuk melihat Allen, beberapa terang-terangan bersiul ke arahnya, beberapa kentara sekali ingin dekat dengannya.

"Allen, selamat datang di kelas ini. Kau akan duduk di antara Yuu Kanda dan Lavi, ya. Di sebelah sana."

Guru itu menunjuk tempat duduk di pojok yang penuh anak putra.

'Eh! Yuu Kanda?'

"Ada apa, Allen? Ayo, cepat duduk."

"Eh, ah, iya…."

Allen berjalan menuju tempat duduknya. Dia agak kesusahan saat hendak menaruh buku-bukunya.

"Hei! Sini kubantu!" Kata anak berambut merah dengan eyepatch ala bajak laut sambil mengambil buku-buku di tangan Allen.

"Terimakasih." Kemudian Allen masuk dan duduk di tempatnya.

"Baiklah, sekarang kita mulai pelajarannya."

Setelah guru itu berbalik menghadap papan tulis, anak di sebelah kiri Allen mulai berisik.

"Hei, Allen! Kenalkan, namaku Lavi!"

"Hei, Lavi." Sahut Allen tanpa mengalihkan pandangannya.

"Itu tuh, yang di sebelah kananmu, namanya Yuu-chan!"

TOK!

"Aduhh…."

"Jangan berani panggil aku Yuu-chan lagi! Namaku Yuu Kanda, baka usagi!" Kanda sewot. Allen menahan tawa.

"Eh, eh, eh, Allen-chan! Nanti istirahat, kita ke kantin bareng, yuk! Mau nggak?" Tawar Lavi.

"Ah, aku sih mau saja, tapi aku harus ke ruangan paman dulu. Tidak apa-apa, kan?"

"Tentu tidak apa-apa! Yuu-chan, kau juga ikut, kan?" Tanya Lavi.

"Untuk apa aku ikut?" Tanya Kanda cuek beibeh.

"Pokoknya kau ikut! Sudah diputuskan!"

"Hei, baka usagi, aku kan tidak bilang mau ikut!"

Kanda memukul kepala Lavi lagi dengan penggaris. Lavi hanya tertawa saja.

"Yuu-chan ini gimana, sih? Kan biar bisa kenal sama Allen-chan!"

Kanda menggumam tak jelas. Dan Lavi menafsirkan kalau Kanda mau ikut.

"Hore! Yuu-chan ikut!"

Allen tertawa pelan. Dan Kanda hanya melirik saja ke arahnya dengan sembunyi-sembunyi.

'Cewek ini manis juga.'

-X-X-X-

Waktu istirahat tiba. Setelah Ms. Cloud keluar, Lavi bersorak kencang sekali.

"YUUHHUU!! Ayo Allen-chan, kita segera ke kantin!" Ajak Lavi yang sudah tidak sabar.

"Tunggu dulu. Aku mau ke ruangan paman, ngasihkan bekal makan siangnya." Allen mengambil kotak bekal dari tasnya.

"Uokey! Pertama, ke ruangan Cross-sensei! Ayo, Yuu-chan!"

"Che."

Dengan malas-malasan, Kanda mengikuti Lavi dan Allen.

Di koridor, banyak sekali gadis yang memperhatikan Allen. Ada yang bilang dia beruntung, ada yang iri padanya, ada yang menangis pula. Allen jadi keheranan.

"Kenapa mereka semua menatapku seperti itu?" Tanya Allen kepada Lavi.

"Mereka? Biarkan saja mereka. Jangan dipikirkan. Kau santai saja Allen-chan!" Jawab Lavi santai.

"Iya, tapi mereka itu siapa?"

"Mereka fans Yuu-chan dan aku!"

Allen diam. Jadi sekarang dia menuju ruangan pamannya bersama dua cowok idola sekolah dan diiringi berpuluh pasang mata yang iri?

"LAVI-KUUN!! BONJOUR!!"

Allen melihat ke arah suara. Dia melihat gadis manis berambut panjang warna biru langit yang ber-highlight perak yang berkilau. Langkahnya cepat dan anggun. Matanya berwarna merah membara, kulitnya putih susu, dan tubuhnya ramping nan seksi.

Dia memakai seragam yang agak nge-press.

"He, bonjour, Akira darling!" Lavi nampak senang. Dia membalas sapaan gadis tadi.

"Lavi-kun, mau kemana?" Tanyanya.

"Mau ngantar Allen-chan ke ruangan Cross-sensei, lalu ke kantin! Akira mau ikut?"

"Allen-chan? Siapa?"

"Ini lho, cewek ini!"

Allen merasa gugup saat ditatap gadis itu.

"Jadi kamu Allen," Katanya kemudian. "Ah, salam kenal! Aku Akira Tendouji. Silakan panggil aku Akira saja."

Allen menahan nafas. "Akira Tendouji? Supermodel muda itu?"

"Iya, itu aku!" Jawab Akira sambil tertawa.

'Di sekolah ini banyak orang terkenal!' Batin Allen.

"Aku ikut, dong. Boleh kan, Allen-chan?"

Allen mengangguk. Kemudian mereka berjalan berempat ke ruang guru.

"Paman Cross! Ini makan siangnya."

"Hee, terimakasih, ya!"

Cross mengambil kotak bekal di tangan Allen. "Nampaknya kau sudah dapat teman, ya."

Lavi dan Akira senyum. Kanda cemberut.

"Iya, paman. Aku baru bertemu dan mereka sangat baik padaku."

Cross tersenyum pada tiga anak muda itu. "Kalian orang-orang terkenal, tularkan sifat baik kalian pada Allen, ya!"

"Siap, sensei!" Sahut Lavi sigap.

"Of course!" Balas Akira.

"Hn."

Allen dan teman-teman barunya pamit untuk ke kantin.

"Eh, kita ke kantin atas, yuk!" Ajak Lavi. "Males makan di bawah!"

"Hmm, aku sih oke-oke saja. Kamu, Yuu-chan?"

"Terserah."

'Kantin atas?'

"Allen-chan, kamu ikut, kan?" Tanya Akira.

"Eh, enggak, aku di bawah saja." Tolak Allen.

"Ikut saja, moyashi. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada lokermu nanti." Kata Kanda sedikit mengancam, dan Allen pun ikut. Mereka naik lift ke lantai empat.

"Akira-san, memang bedanya kantin atas dan bawah apa?" Tanya Allen sedikit bisik-bisik.

"Nanti kau lihat, deh."

Mereka sudah sampai dan keluar dari lift.

"Selamat datang di Black Order Lounge."

Allen menelan ludah. Ruangan itu lebih pantas disebut kafe daripada kantin.

Ruangan itu luas, dengan beberapa kursi panjang di sudut. Ada meja bar juga, vending machine, arcade games, dan rak-rak buku.

Tetapi ruangan itu agak sepi. Hanya ada beberapa orang di dalam.

"Ngomong-ngomong, apa semua yang datang kesini itu orang terkenal?" Tanya Allen kaku.

"Sebenarnya sih tidak. Kepala Sekolah membuat ini untuk semua murid, tapi entah siapa yang menyebar rumor kalau Black Order Lounge hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang terkenal dan punya popularitas di masyarakat. Jadinya sepi, deh." Papar Akira.

Allen manggut-manggut kaku.

"Ayo Allen-chan, masuk! Kukenalkan pada teman yang lain!"

Lavi langsung masuk ke dalam, diikuti Akira, Kanda, dan Allen.

"HALOO SEMUAA!!!" Sapa Lavi dengan suara toa-nya.

"Halo, Lavi! Pesan apa?" Tanya pelayan di meja bar.

"AKU MAU STEAK DENGAN EKSTRA SAYUUR!!"

"Oke! Kalau Kanda-kun?"

"Aku mau soba." Jawab Kanda enteng.

"Baik! Nona Akira? Porsi diet lagi, nona?"

"Nggak ah, aku mau bento yang biasanya, ukuran ekstra, ya!"

Pelayan di meja bar melirik Allen. "Nona yang keponakan Cross-sama, ya? Mau pesan apa?"

Allen gugup. "Aku mau…. Aku mau mitarashi dango saja."

"Oke! Steak dengan ekstra sayur, soba, bento ukuran ekstra, dan mitarashi dango! Semua sudah?"

"SUDAAAH!!!" Lagi-lagi Lavi dan suara toa-nya. "Oya, aku mau hot cappuccino!"

"Aku mau teh saja." Kanda menunjuk teh di meja.

"Aku mau orange float, es krimnya yang banyak ya!" Akiar meminta dengan riang.

Allen diam.

"Nona?"

"Aku…. Sama seperti Akira-san saja, deh."

"Baik, semua sudah dalam genggaman, silakan duduk!"

"YEEEIII!!!"

Lavi berlari ke arah tempat duduk di pojok.

"Allen, kita ke WC dulu, yuk." Ajak Akira. Allen mengangguk.

"Hooi, kita berdua ke WC dulu, ya!" Seru Akira yang disambut anggukan dari Lavi dan Kanda.

Di WC, Akira langsung mengeluarkan peralatan dandannya dan berdandan dengan lincah. Allen hanya memperhatikan.

"Allen, kamu nggak biasa dandan, ya?" Tanya Akira sambil memulas lipgloss warna pink cerah ke bibirnya.

"Aku berdandan kalau ada acara penting saja. Kau sendiri?"

"Kau tahu kan, kesibukanku sebagai model. Aku harus pintar berdandan dan tahu dandanan apa yang harus kupakai saat pemotretan. Repot jadinya. Maka aku kadang-kadang bereksperimen di sini." Jelas Akira.

"Oh, begitu."

"Ngomong-ngomong Allen, kenapa tangan kirimu selalu bersarung tangan? Ini kan musim panas."

Allen terdiam. Akira melambaikan tangan di depannya.

"Haloo, holaa, Allen!"

"Eh?"

"Emmh…. Tadi aku tanya nggak didengerin, ya?" Akira cemberut.

"Aku dengar, kok. Aku dengar apa yang kau tanyakan."

Akira kembali ceria. "Oke! Bisa kau buka sarung tanganmu?"

"Eh, jangan ah, nanti kau jijik, lagi…." Tolak Allen.

"Enggak apa-apa lagi, Llen! Ayo, buka."

"Jangan, ah, aku malu."

"Allen, ayo!" Paksa Akira.

"Iya, iya…. Tapi kau yang maksa, ya."

"He-eh!"

Allen membuka sarung tangannya, dan terkejutlah Akira.

Tangan kiri Allen berwarna merah membara, seperti pernah terbakar.

"Allen, tanganmu…. Kenapa?"

"Tangan kiriku disiram air keras oleh bibiku yang iri karena menurutnya, aku akan menyaingi anaknya yang sama-sama satu tingkat denganku."

"Tapi kenapa? Apa mungkin…. Karena kau lebih cantik dari anak bibimu itu, Allen?" Tanya Akira. Allen mengangguk.

"Lalu mata kirimu?"

"Ini…. Sepupuku yang membuatnya."

Akira jadi merasa kasihan pada Allen.

"Akira…. Kau tidak jijik padaku?"

Akira tertawa. "Kau ini ngomong apa, sih? Masa cuma karena hal ini aku tidak mau jadi temanmu lagi? Kau ini bodoh, Allen. Tentu saja aku akan tetap jadi temanmu! Teman terbaik, pastinya."

Allen tersenyum mendengar kata-kata Akira.

"Nah, sekarang, pakai lagi sarung tanganmu, kita makan! Aku sudah lapar sekali."

"Iya, kita makan!"

Sekeluarnya dari WC, dua gadis itu melihat Kanda dan Lavi sedang makan. Lavi iseng-iseng mencomot bento milik Akira.

"LAVIIII!!!! NGAPAIN KAMU NYOMOT BENTOKU? BALIKIN!!!"

"HYAAA!!"

Akira menggelitik pinggang Lavi.

"Cepat balikin ke tempatnya!" Paksa Akira.

"Tidak…. hahaha…. mau…. hahaha…."

"LAVI! Cepat balikin atau aku akan terus menggelitikmu sampai kau minta ampun!"

"WA…. HAHAHA…. AKIRA, AMPUN, AMPUUUNNN!!!"

"Kalau gitu, cepat balikin!"

"Iya, iya…. hh, hh, capek…."

Lavi menyerah dan dia mengembalikan bento Akira ke dalam kotaknya.

"Dasar Lavi."

Akira duduk di kursi lalu mulai makan. Demikian pula Allen.

Sekali lagi, Kanda melirik diam-diam ke arah Allen.


REVIEW! Onegai!