Batas Takdir

Disclaimer:

Masashi Kishimoto

Pair: SasoSaku slight SasuSaku

Genre: Romance dan Angst(?)

Rate: T-semi M

Warning: Au, ooc, typo dkk

Summary:

Aku hanya percaya kalau aku hanya milikmu. walau harus menentang takdir yang ada aku pasti hanya akan kembali padamu, sayang. Walau berapa kali pun takdir memisahkan kita. Bahkan jika aku harus kehilangan nyawa ini. Aku pasti kembali. Padamu.


Gadis berambut bak bunga musim semi dengan mata emerald tengah duduk di salah satu kursi menghadap ke luar sana. Salah satu tangannya menopang dagunya, menatap jauh ke lapangan yang ada di bawah. Bukan tanpa alasan gadis cantik pemilik nama sama dengan bunga paling cantik seantero jepang; Sakura itu melamun dan terdiam tanpa suara. Sedari tadi dirinya sedang menunggu seseorang yang berjanji akan menjemputnya. Seseorang yang membuatnya menunggu sekian lama.

Kelas sudah usai sejak satu jam yang lalu, namun seseorang yang ditunggunya belum jua menampakkan batang hidungnya. Padahal seingat Sakura dia bukanlah orang yang akan membuat siapa pun menunggu. Setidaknya kali ini harus ada alasan yang bagus kalau tak ingin kepalan tangan Sakura melayang kewajahnya.

Matahari di atas sana sudah mulai bergerak ke ufuk barat, sejenak hendak turun kembali keperaduannya. Menandakkan hari sudah hendak berganti, pergantian warna kemerahan mulai tampak dan sedikit menyilaukan matanya, karena posisinya yang menghadap langsung. Emerald itu masih saja menantang cahaya mentari berniat menyaksikan sang mentari menghilang di ufuk barat sana.

"Kau lama, Sasori." Sebait kalimat berbisik dari bibir merah mudanya terdengar. Tersebut nama seseorang yang sedari tadi ditunggunya. Tangannya kemudian bergerak menjangkau sebuah tas kecil berwarna peach dan menyampirnya di bahu. Beranjak hendak pergi. Niatnya sudah menghilang untuk menunggu siapa pun lagi. Terlalu lama.

Digesernya pintu ruang kelasnya perlahan dan melangkah pelan. Tak lupa ditutupnya pintu berwarna putih itu sebelum beranjak pergi. Dilangkahkannya kaki jenjang berwarna putih miliknya tanpa ragu sepanjang lorong-lorong kelas. Kakinya kemudian terhenti di sebuah mading sekolahnya yang entah sejak kapan bertransformasi menjadi pengirim pesan, melihat begitu banyak pesan yang tertulis di sana. Sejenak ragu gadis tinggi semampai itu melaksanakan niatnya. Rambut panjang sepinggangnya sedikit bergoyang saat tangannya membungkuk dan mengambil sebuah spidol menuliskan sebuah kalimat untuk seseorang. Berharap setidaknya pemuda tersebut membacanya. Nanti.

"Kutunggu di rumah dengan sup wortel kesukaanmu, Sayang."

Seulas senyum tampak dibibirnya saat sepenggal kalimat berhasil ditulisnya pada bidang putih dihadapannya. Menutup spidol tersebut dan meletakkannya kembali pada tempatnya. "Sampai jumpa di rumah, Saso …," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan halaman sekolah.


Seorang pemuda berambut warna merah tampak berlarian sepanjang lorong sekolah. Mata kecoklatan miliknya terus saja menatap ke depan. Berharap langkahnya bisa dipercepat dan sampai ketujuannya. Keringat tampak bercucuran diwajahnya dengan pakaian sudah setengah basah. Kekuatan fisik bukanlah bagiannya, itulah mengapa pelajaran olahraga di sekolah ini sangat dibencinya. Dengan napas yang sedikit tersengal pemuda berusia delapan belas tahun itu menggeser pintu sebuah kelas dengan sedikit kasar.

"Sakura?"

Matanya tak menemukan siapa pun itu yang barusan dipanggilnya. Sedikit kecewa menyeruak saat tak menemukan seorang gadis berambut merah muda di dalam sana. Menunggunya. Memang semua salahnya, tapi tak semudah itu pemuda yang kini tengah menyelaraskan detak jantungnya mengaku. Salahkan semua kegiatannya di luar sana.

Dengan sedikit lunglai pemuda pemilik lengkap Akasuna Sasori ini menyusuri kembali jalanan yang tadi dilaluinya barusan. Menyeka aliran air yang turun di dahinya. Digerakkannya kepala bersurai kemerahan tersebut dengan sedikit gerakan memutar berniat mengurangi bebannya karena tumpukan keringat.

Manik kecoklatan miliknya tak sengaja menangkap sebaris kalimat yang tertinggal disebuah benda di depan pintu keluar. Mading sekolah. Sebuah garis lengkung tercipta diwajahnya saat dengan pasti sadar siapa pemilik tulisan tersebut. "Tentu saja, sayang."


Haruno Sakura, seorang gadis berusia enam belas tahun Konoha High School. Tak ada yang tahu identitas aslinya yang seorang tunangan dari Akasuna Sasori seorang model baru yang kini tengah naik daun. Sakura sedikit terkikik geli bila rahasia besarnya diketahui semua orang apa yang terjadi ya? Mungkin seluruh sekolah akan menerornya habis-habisan karena sudah mengambil idola mereka. Tangannya bergerak lincah memotong-motong wortel berniat membuat sup wortel kesukaan Sasori. Kekesalannya tadi sedikit menghilang, memaklumi mungkin alasan Sasori kali ini karena kerjaan mendadak.

Memasak sebenarnya bukanlah bagian Sakura. Membuat semangkuk sup dengan rasa yang layak untuk dinikmati butuh usaha keras. Hampir tiga bulan dirinya belajar memasak pada Temari—kakak kekasih sahabatnya—agar bisa menyajikan untuk disantap orang yang sangat disayanginya. Apa pun akan dilakukan Sakura dari pada harus membuat seseorang yang mencicipinya menikmati rasa neraka dan berakhir di rumah sakit.

Pip … pip …

Suara dari mesin penanak nasi miliknya mengalihkan Sakura dari lamunan sesaatnya. Berarti hanya tinggal memasak sup ini dan menunggu Sasori pulang sehingga mereka bisa menikmati makan malam bersama. Sakura memasukkan berbagai bahan yang sudah dipotongnya ke dalam wajan yang sudah mendidih berisi air berbumbu. Seulas senyum tipis tampak di bibir merahnya, gadis ini yakin Sasori pasti akan menyukai masakannya.

Ting … tong

Suara deringan bel di depan rumah semakin merekahkan senyum di wajah gadis bermata emerald ini dengan segera di basuhnya tangan dan menyekanya pada sebuah kain lap di samping wastafel lalu bergerak menuju pintu depan rumahnya. Melangkah ringan tanpa melepaskan keriangannya.

"Sebentar."

Sakura memutar lubang kunci dengan perlahan, menyambut bahagia seseorang yang sedari tadi ditunggunya, namun senyum di wajahnya berakhir dengan segera saat melihat sosok yang berdiri dihadapan pintu rumahnya. Wajah gadis yang tadinya tersenyum senang berganti dengan sebuah raut marah dan kesal. Benci dan kecewa.

"Kenapa kau, kemari?" tanya Sakura tak suka pada sosok pemuda yang tengah berdiri di hadapannya.

Terkekeh pelan pemuda berkulit putih itu, menatap Sakura lembut. "Begitukah sambutan yang kau berikan padaku saat aku kembali, Sakura? Tak ada pelukan hangat?"

Kepalan di tangan Sakura mengeras mendengarnya. Tak cukupkah semua yang sudah terjadi. Hingga ia harus kembali ke haddapannya. "Lebih baik kau pulang, Sasuke. Aku tak mau kalau—"

"Kekasih barumu melihat kekasih lamamu datang berkunjung begitu?" Pemuda pemilik mata sekelam malam itu berujar datar dengan raut wajah dingin. Tak menyukai penolakan Sakura padanya. Setelah semua usahanya mencari gadis berambut merah muda ini.

"Kita sudah lama berakhir, Sasuke. Jadi jangan pernah temui aku lagi. Selamat malam."

Sakura yang berniat menutup pintu rumahnya terpaksa membantalkan niatnya saat melihat tangan yang mengganjal laju pintunya. Tangan Sasuke yang terjepit diantara daun pintu dan mulai memerah karena terpaksa menahan benturan keras saat Sakura menutupnya. Dengan segera Sakura mengendurkan pegangan pintu dan beralih pada tangan Sasuke yang terluka karena ulahnya.

"Kau tak apa, Sasuke?" Seraut wajah cemas tampak diwajah Sakura, mengusap pelan tangan berkulit putih dan meniupnya dengan perlahann. Sejenak menghilangkan rasa sakit yang ada. Tak sadar dengan tindakannya sendiri yang sempat memberikan senyuman tipis di bibir pemuda berambut biru tua itu.

Tersadar Sakura segera melepaskan tangan Sasuke. Menyalahkan reaksi spontan yang diberikannya pada pemuda yang pernah hadir dalam kehidupan cintanya—dulu. Cinta yang sudah lama hilang dan beralih pada pemuda lainnya yang kini berstatus tunangannya.

Namun sebuah kenyataan lain mampir dalam sekejab. Sakura tak menyadari entah sejak kapan Sasori sudah berdiri di pagar rumah mereka. Raut wajah pemuda itu tak bisa terbaca. Pemuda dengan surai kemerahan itu hanya melangkah masuk ke dalam rumah. Mengacuhkan keberadaan Sakura. Sakit rasanya dada Sakura saat melihat mata kecoklatan itu tak menatapnya malah memancarkan raut kesedihan dan kekecewaan yang teramat sangat saat melewatinya.

Sasuke yang masih berdiri dihadapan Sakura tak pernah menyangka kalau gadis yang pernah menjadi kekasihnya itu akan menampakan raut wajah bersalah yang teramat dalam. Kekecewaan pada dirinya sendiri. Bahkan saat bersamanya tak pernah gadis ini menampakkan raut wajah begitu. Apa hatimu benar-benar sudah beralih, Sakura?

"Maaf, Sasuke … kumohon … pulanglah." Sakura berujar lirih sembari menundukkan kepalanya. Perasaanya campur aduk saat ini antara rasa bersalah dan kecewa. Tak menunggu jawaban Sasuke, Sakura menutup pintu rumahnya perlahan membiarkan Sasuke yang masih berdiri menatapnya tak percaya. Menahan kecewa pada Sakura. Membiarkan penerus Uchiha itu terpaku penuh tanya.


Akasuna Sasori, pemuda dari Suna yang sudah menetap di Konoha sejak lima tahun yang lalu. Berprofesi sebagai seorang model baru sejak setahun yang lalu. Berniat ingin segera pulang dan menemui tunangannya dengan harapan bisa menghabiskan waktu setelah sekian lama sibuk dengan semua jadwal pemotretannya. Meminta maaf karena tak sempat menjemput gadisnya di sekolah. Salahkan managernya yang begitu banyak menerima pekerjaan untuknya dengan dalih selagi masih muda. Namun sebuah pemandangan lain menyambutnya sebagai ganti senyum dan pelukan hangat milik Sakura. Tunangannya yang sedang memegang erat tangan pria lain. Pria yang diketahuinya sebagai mantan kekasih Sakura.

Dari mana Sasori mengetahuinya padahal Sakura tak pernah menceritakannya? Sebuah foto yang masih tersimpan manis di laci kamar Sakura yang tak sengaja ditemukannya sebulan yang lalu lengkap dengan nama dan tempat foto itu diambil itulah jawabannya. Tergambar dengan jelas sepasang kekasih yang sedang berpelukan erat. Dengan aura kebahagiaan yang memancar luas. Apa kau masih belum bisa melupakannya, Sakura?

"Sasori, kau di dalam?"

Tak ada sahutan, Sakura yang tengah berdiri di depan pintu memutuskan untuk masuk. Membuka pelan kamar Sasori. Melihat Sasori yang tengah berbaring terlentang di atas kasur dengan sebelah tangan yang menutupi matanya. Beringsut naik Sakura duduk di samping pemuda berambut merah itu. Menarik pelan tangan Sasori, menampakkan wajah Sasori yang sangat disukainya. Wajah berkulit putih tanpa cela ukiran milik Kami-sama yang begitu sempurna. Tangan Sakura terulur menyentuh pipi milik Sasori membelainya pelan, tak ingin mengganggu waktu istirahat sang empunya yang tengah tertidur pulas—dengan dada Sasori yang turun naik perlahan seirama dengan aliran napasnya.

"Gomen ne, Sasori." Sakura berujar lirih tanpa menghentikan tangannya dari penelusuran wajah milik Sasori hingga sebuah suara mengiterupsi perjalanannya.

"Bisa kau jelaskan siapa tadi, Saku?"

Kaget Sakura tak menyangka kalau Sasori terbangun. Kelopak mata Sasori terbuka menampakkan iris kecoklatan yang menatap langsung pada Sakura. Sebuah cengkeraman erat ditangan Sakura juga menjadi petunjuk kalau pemuda berstatus tunangannya marah walau tak tampak dari raut wajah yang tetap terkesan datar itu. Menatap tajam emerald milik Sakura.

Menggigit bibirnya pelan, Sakura mencoba untuk tidak menumpahkan cairan bening miliknya. Mencoba mencari sebuah jawaban yang tak salah dan membuat semua berantakan. Bukan salahnya yang sempat terbawa. Bukan salahnya menyakiti hati Sasori secara tak langsung. Itu semua karena hatinya yang terlalu lemah. Tak bisa menjaga ikrar janji miliknya pada pemuda Akasuna itu.

'Ini semua tak boleh begini,' bathin Sakura. Menarik napas perlahan sebelum mulai berbicara pada Sasori. "Dia teman lamaku, Sasori." Memilih sebuah kebohongan sebagai ganti harga kejujuran dan kelanjutan hubungannya. Nanti, di saat yang tepat Sakura pasti akan memberitahu Sasori. Semuanya.

"Begitukah?" tanya Sasori tak mengiyakan atau menyangkal jawaban Sakura. Tangannya melepaskan tangan Sakura yang sedikit membiru karena cengkeramannya. Sembari meminta maaf pelan yang hanya dibalas gelengan pelan kepala Sakura.

"Benar. Aku tak sengaja menjepit tangannya pada pintu." Sakura berujar sembari tersenyum berharap Sasori percaya. Dadanya berdegup kencang tak biasa melakukan hal bodoh begini. Kadang sebuah kebohongan lebih baik baik dari kejujuran bukan.

Pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah itu mencoba untuk tidak bertanya lebih lanjut, walau masih begitu banyak yang ingin ditanyakannya pada Sakura. "Ya sudah. Lebih baik kau kembali ke kamarmu, Saku. Atau kau ingin menemaniku di sini malam ini?" tanya Sasori menggoda Sakura membuat gadis miliknya itu merona merah. Biarlah nanti Sakura sendiri yang menjelaskannya padanya. Suatu saat nanti. Pasti.

"Dasar mesum. Terima kasih. Aku mau tidur di kamarku saja." Sakura baru saja hendak beranjak turun saat sepasang tangan menahannya. Melingkari pinggangnya. Tangan milik Sasori.

"Sasori … ada apa?" bisik Sakura pelan pada Sasori yang kini tengah memeluknya erat dari belakang. Helaian merah yang ikut tersampir di pundaknya. Menambah beban di sana. Kepala milik Sasori yang bersandar pada bagian belakang tubuhnya.

"Kau tak akan pernah meninggalkanku bukan, Saku?"

Sakura melebarkan matanya tak pernah terpikir kalau Sasori akan berucap demikian. Perasaan bersalahnya semakin menjadi, mungkinkah Sasori tahu semua kebohongan yang tadi dikatakannya. "Tidak. Selamanya aku akan tetap di sampingmu …, Sayang." Sakura melepaskan tangan Sasori, membalikkan tubuhnya pada sosok pemuda yang sangat dicintainya itu. Menangkup kedua sisi pipi Sasori sembari memberikan sebuah senyuman hangat. Menjelajah di dalam manik milik Sasori, menyalurkan perasaan di hatinya. Menjanjikan sebuah kepercayaan.

"Kau tahu, Sasori. Sejak aku memutuskan untuk meng-iyakan ajakanmu untuk bertunangan, aku sudah memilihmu bukan siapa pun juga. Termasuk saat kita memutuskan untuk tinggal bersama—walau berbeda kamar." Sakura menyentuhkan keningnya pada kening Sasori, membuat hidung keduanya bertemu. Merasakan hembusan napas milik Sasori yang menggelitik hidungnya, menyesapnya pelan. "Aku milikmu, Akasuna Sasori."

Bibir keduanya bertemu memberikan sebuah perasaan yang saling mengalir diantara mereka. Mengecap setiap rasa milik keduanya. Merasakan kalau keduanya saling memiliki sekarang dan selamanya. Sasori semakin mendorong kepala Sakura mendekatinya, melingkarkan tangan gadis itu pada lehernya, memperdalam sebuah ciuman panas milik mereka. Membelit dan menghisap lidah milik gadisnya yang mulai terengah dan mengerang keras karena ulahnya. Sasori menghentikan pergulatan panjang itu saat sebuah kebutuhan vital mendesak untuk segera terpenuhi.

"Tinggal-lah malam ini," ujar Sasori membelai wajah Sakura yang memerah membangkitkan keinginannya untuk memeluk gadis—wanita—miliknya untuk malam ini. Menyampirkan anak rambut Sakura pada belakang telinganya. Cantik, Sakura benar-benar cantik di matanya. Membuat Sasori tak bisa menahan untuk menyentuhnya dan menandainya sebagai miliknya untuk yang pertama kali. Walau selama ini ia selalu menunda menyentuh Sakura, namun kali ini Sasori benar-benar menginginkannya, menginginkan Sakura. Apa lagi setelah kejadian tadi. Sedikit merasakan perasaan tak enak—cemburu— saat melihat tangan gadisnya disentuh oleh pemuda mantan kekasih Sakura dengan tatapan penuh kasih yang tak jujur ditunjukkan wajah datar pemuda itu.

Gadis pemilik emerald itu memejamkan matanya sesaat. Sebuah senyuman hangat menjadi sebuah jawaban akan permintaan Sasori. Jika ini yang diinginkan Sasori dan bisa membuatnya percaya, akan ia lakukan.


Pagi baru saja tiba saat silauan cahaya matahari masuk ke dalam melalui jendela yang ternyata sejak semalam tak di tutup. Sepertinya baik Sasori atau Sakura melupakan keamanan rumah, untung saja tak ada maling yang membobol rumah mereka saat keduanya tengah asyik bermain semalaman. Keduanya masih tampak tertidur pulas dengan selembar selimut putih menutupi tubuh polos mereka.

Sakura yang terlebih dahulu terjaga, menggeliat pelan di dalam pelukan Sasori. Berusaha melepaskan tangan tunangannya agar bisa segera bangun. Namun dengan sengaja pemuda berambut merah itu malah memerangkap tubuh Sakura erat tak mengizinkannya untuk pergi.

"Sasori, aku tahu kau sudah bangun. Bisa lepaskan sebentar. Kita akan terlambat sekolah kalau kau masih begini, sayang."

"Nghhh … Sasori masih tidur, Saku."

"Benarkah? Lalu siapa yang barusan menjawab?" tanya Sakura sambil terkikik pelan. Memukul pelan dada Sasori lalu memencet hidunnya pelan hingga akhirnya manik kecoklatan itu terbuka dan terengah karena kehabisan napas.

"Jangan usil, Saku."

"Habisnya, kau tak bangun-bangun." Sakura mencoba duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Menarik selimut untuk menutupi bagian atas tubuhnya. Sedikit menahan nyeri pada bagian bawah tubuhnya karena pergulatan mereka semalam. Sakura membelai kepala Sasori pelan, mengurai helain merah milik pemuda Akasuna itu. "Apa hari ini kau bisa pulang cepat, Saso?"

"Sepertinya tapi entahlah. Aku tak tahu juga. Manager sialan itu selalu saja menambah jadwalku setiap hari. Dipikirnya aku boneka apa?"

"Hihihi … kalau fansmu tahu kau bisa berujar sekeras itu mereka pasti kaget."

Sasori tak menanggapi ucapan Sakura malah duduk dan ikut menyandarkan tubuhnya di samping Sakura, menarik pelan kepala Sakura dan menyampirkannya di bahunya. "Kau tahu, Sakura. Aku ingin memberi tahu semua orang kalau kau milikku. Persetan dengan kontrak atau apalah itu."

"Aku sudah jadi milikmu, Saso …, semalam …, jika kau lupa itu," ujar Sakura pelan membuat wajahnya kembali memerah. Pemuda itu hanya menyeringai tipis saat merasakan panas tubuh Sakura yang naik, terasa langsung di tubuhnya sendiri. Panas dari tubuh polos Sakura yang bersinggungan langsung dengan kulitnya.

"Aku hanya menginginkan pengakuan dari semua orang tentang hubungan kita, Saku."

"Bersabarlah. Semua juga untuk kita bukan?" ujar Sakura berusaha menenangkan emosi yang mungkin akan memuncak dari Sasori karena hal yang sama untuk kesekian kalinya. Masalah hubungan mereka yang tak boleh diketahui oleh publik. Walau terkesan diam, bila sudah meledak Sasori bahkan lebih mengerikan dari hantaman kepalan tangan Sakura. Tak segan mengeluarkan kata keras.

"Ya. Kau benar. Untuk kita." Sasori mengecup pelan puncak kepala Sakura. Ikut menyenderkan kepalanya pada helai merah muda itu.

Sakura memejamkan matanya sejenak. Seandainya mereka berdua memiliki orang tua yang utuh. Tentu Sasori tak perlu bekerja sekeras ini dalam usianya yang masih muda. Namun nasib berkata lain. Baik orang tua Sasori maupun Sakura sudah tak ada lagi di dunia ini. Hanya mereka berdua. Saling memiliki sejak mereka bersama.

Sakura melihat jam dinding yang tergantung manis di depannya. Pukul 06.30 pagi. Dan itu berarti sekolah akan dimulai satu jam lagi. "Sepertinya kita akan terlambat, Saso."

"Tidak akan, Sensei ubanan itu selalu terlambat hingga satu jam ke depan," ujar Sasori tenang ikut memejamkan matanya. Baginya menikmati wangi cherry dari rambut Sakura lebih baik dari pada harus ke sekolah dan kemana pun juga. Untuk hal ini Sasori betah melakukannya berjam-jam.

"Lebih baik kita mandi sekarang." Sakura mendorong pelan kepala Sasori. Menggulung tubuhnya dengan selimut dan turun dari tempat tidur dengan perlahan tanpa melihat ke belakang pada Sasori yang kehilangan penutup tubuhnyanya, beranjak menuju keluar kamar.

Sasori hanya tersenyum kecil melihat Sakura berjalan seperti boneka salju karena selimut tebal ditubuhnya. Terbersit ide jahil dalam otaknya untuk mengganggu Sakura lagi. "Tak berniat mandi bersama Sakura?"

Gadis berambut merah muda itu menghentikan langkahnya persis di depan pintu. Menatap tajam pada manik ekcoklatan milik Sasori memberikan senyuman termanis yang dimilikinya. Membuat Sasori sedikit merinding melihatnya. Brak.

Bantingan pintulah menjadi jawaban Sasori.

"Kutunggu lima belas menit. Terlambat kuhancurkan semua koleksi mainanmu, Sasori."

Sasori hanya terkekeh pelan mendengar suara teriakan Sakura dari balik pintu. Salahnya yang menggoda gadis itu pagi-pagi begini. Salahkan sifat usilnya yang tak pernah tahan untuk tidak membuat wajah putih itu bersemu merah. Hanya pada Sakura ia bisa bernapas lega dan jadi diri sendiri tanpa harus memikirkan apa pun lagi. Pada gadis keras kepala sekaligus rapuh di dalamnya. Gadis miliknya.


Uchiha Sasuke, pemuda berusia delapan belas tahun yang kini tengah duduk di balkon kamarnya. Ia masih tak menyangka kalau keinginannya untuk kembali ke kota ini dan mencari gadis miliknya berakhir tanpa hasil, apa lagi setelah kemarin ditinggalkan paksa oleh Sakura di depan pintu membuat Sasuke berdecih kesal. Seandainya saja saat itu dirinya tak melepaskan uluran tangan gadis Haruno itu mungkin semua kan terasa berbeda.

Seperti orang bodoh yang kehilangan pegangan. Padahal dulu gadis merah muda itu yang bersikukuh mengejarnya hingga tak perduli rasa sakit yang diberikan Sasuke pada perasaan tulus miliknya. Sasuke menatap datar pada bekas luka di jari tangannya yang sudah berubah warna—membiru. Walau sekejab, sesaat Sasuke masih bisa merasakan kelembutan gadis itu memperlakukan dirinya. Reaksi spontan yang begitu jujur. Sasuke tersenyum tipis, tak menyesal dengan sengaja menjepitkan tangannya pada daun pintu. Namun saat melihat gadis itu memandang pria lain membuat kekesalan dihatinya membucah. Ia sangat tidak suka saat mata emerald itu tak lagi melihatnya. Apa lagi saat Sakura menyusulnya masuk ke dalam rumah. Berarti pemuda itu bukan hanya sekedar kenalan biasa. Paling buruk mereka berdua sudah menikah. Padahal Sasuke pikir Sakura masih tinggal senditi di kediaman milik orang tuanya itu. Menunggu dirinya sampai kapan pun.

Penyesalan itu memang selalu datang terlambat, namun sang Uchiha bungsu tak akan pernah mengakui perasaan satu itu. Tak akan pernah. Baginya miliknya tetap miliknya hingga kapan pun juga.

Sasuke tak sengaja melihat sebuah majalah remaja yang tergeletak di meja samping kursinya. Majalah bercover seorang pemuda berambut merah yang baru saja dilihatnya semalam. Sebuah ide cemerlang baru saja terlintas dipikirannya untuk kembali merebut apa yang menjadi haknya.

"Che! Lihat saja, Sakura … semua masih belum berakhir. Uchiha tak menerima penolakan."


A/N: Hola≈ ketemu lagi sama Mizu setelah sekian lama menghilang. Bukannya update fict malah bawa fict multichapter baru. Tapi mau gimana lagi, ide fict ini tak tahan banget buat diketik#dicekekreader. Tapi Mizu janji kalau tak ada halangan minggu depan semua fict Mizu bakal update barengan. Do'ain ya minna supaya gak ada halang merintang lagi^^

Kritik, Saran, dan Konkrit silahkan tekan tombol biru di bawah. Tapi Mizu tak menerima Flame y, Minna.

Arigatou Udah Mampir

Salam Manis

Sabaku 'Mizu' Akumu

Ps: Gomen ne, Hana-chan … Fictnya belum bisa publish karena harus diketik ulang, datanya hilang gegara laptop Mizu nge-hang. Hontouni gomenasai. But Otanjoubi omedetto ne Hana-chan.