Title : Weeks of Love
Pairing : NamGi / SugaMon
Genre : Fluff ; Romance
Rate : T
Lenght : Mini Series
Disclaimer : I own nothing but the plot
Foreword : My First Fiction in BTS Fandom, Please enjoy and I hope you'll like it ^_^
.
.
.
...oOOo...
.
.
.
Entre deux qui s'aiment, nul besoin de paroles. [ Two hearts in love need no words ] –Valmore, Marceline Desbordes.
.
.
C'est Lundi –Senin
.
Namjoon, Kim Namjoon, kembali berdiri tepat dihadapan sebuah cermin setengah badan yang tergantung pada dinding kamar pucat membosankan itu untuk yang –sepertinya- keseratus kalinya dalam dua jam terakhir. Memeriksa kembali perpaduan warna antara kaus berwarna hitam yang dia padukan dengan cardigan putih ber-stripe biru gelap. Tulisan RAP MONSTER yang tercetak cukup besar pada bagian belakang kausnya kini sudah tertutup sempurna.
Dibuka dan dikencangkannya ikat pinggang yang menahan jeans hitam yang memeluk sempurna kedua kaki panjangnya sekali lagi, memastikan agar tidak ada kejadian memalukan jika tiba-tiba saja celana panjang yang paling tidak disukainya itu memilih untuk tidak bekerja sama.
Kacamata dengan bingkai hitam itupun sudah bertengger sempurna pada hidungnya. Jam tangan sudah terpasang pada pergelangan tangan kirinya. Namjoon menoleh kekanan dengan mata yang masih terfokus pada cermin, mencoba untuk merapihkan kembali anak rambut diatas telinga kirinya, sebelum menoleh kekiri untuk melakukan hal yang sama dengan sisi lain rambutnya.
Hari ini dia sedang mencoba cara berpakaian baru yang sedikit berbeda dengan selera fashion-nya. Jika biasanya Namjoon lebih menyukai gaya gothic dan vintage dalam memilih outfit of the day andalannya, kali ini dia memilih selera fashion yang lebih umum untuk anak-anak seumurnya. Dan sepertinya tidak terlalu buruk juga, disaat seperti inilah Namjoon sangat bersyukur dengan proporsi tubuhnya yang seperti model majalah terkenal –hanya badannya, untuk wajah, Namjoon sedikit tidak yakin meskipun menurut kakak dan adiknya dia memiliki karisma yang membuatnya terlihat menarik dimata orang lain.
Gel rambut yang dia pinjam –dengan tidak meminta izin terlebih dahulu- pada kakaknya, sepertinya sudah bekerja dengan baik pada rambut cokelatnya. Tersenyum, Namjoon mencoba untuk merenggangkan otot-otot wajahnya. Hanya untuk sekedar berjaga-jaga agar dia tidak mengalami kram otot saat mencoba sesuatu yang jarang sekali dia lakukan untuk orang lain itu.
Melihat sejenak ke arah meja belajarnya, Namjoon mengambil ransel hitam dan memasukan beberapa barang kedalamnya. Laptop yang setiap hari menjadi penghuni tetap ransel itu kini telah digantikan oleh iPad dan sebuah Playstation Portable. Tidak lupa dengan iPhone dan earphone kesayangannya yang tidak pernah lepas dari tangannya juga dia masukan kedalam ranselnya –karena Namjoon takut celana yang sedikit terlalu ketat ini akan menggores permukaan layar telepone genggamnya.
Dengan langkah sedikit ringan akhirnya Namjoon memutuskan untuk meninggalkan kamarnya setelah sebelumnya tersenyum kecil pada pantulan dirinya sendiri dihadapan cermin yang sama. Dia hanya berharap permulaan minggu ini akan berjalan seperti apa yang dia harapkan minggu lalu. Ransel hitamnya pun mengalung nyaman dipunggung ketika Namjoon memutuskan bahwa sudah saatnya dia keluar rumah.
.
..oOOo..
.
Hari ini langit cerah.
Awan-awan putih mulai beriringan membentuk gugusan dengan berbagai macam variasi yang unik. Latar belakang langit biru seolah menyempurnakan suasana musim semi yang sudah mulai terasa diberbagai tempat. Salju-salju telah mencair dan berbagai bunga mulai bermekaran ditaman-taman kota.
Namjoon berjalan menyusuri jalan kecil dengan berjalan kaki. Menurutnya dengan berjalan kaki, udara pagi yang masih segar jauh lebih terasa dan dia bisa dengan seksama menikmati perubahan musim disekelilingnya. Rumah-rumah yang berderet disepanjang jalan inipun sudah mulai memasang berbagai macam bunga dijendela-jendelanya, seolah meneriakan bahwa musim semi memang sudah benar-benar datang. Namjoon hanya berdoa agar hari ini tidak turun hujan.
Sudah hampir tiga tahun Namjoon menetap di Perancis. Setelah perceraian kedua orang tuanya hampir sepuluh tahun yang lalu, Namjoon merasa senang setelah akhirnya sang ibu akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dengan atasannya dikantor. Awalnya Namjoon memang merasa kesal dan tersisihkan karena kasih sayang sang ibu yang semula hanya untuknya kini terbagi. Tapi Namjoon yang saat itu berumur enam belas tahun akhirnya menyadari bahwa ibunya juga membutuhkan seseorang untuk menjaganya. Dan Namjoon memutuskan untuk mencoba mempercayai ayah tirinya.
Lalu tiga tahun lalu, ayah tirinya dipindah tugaskan ke Perancis untuk beberapa bulan. Namun karena perkembangan bisnis di negara ini bagus, akhirnya mereka sekeluarga memutuskan untuk pindah dan menetap disini.
Negara ini memang indah. Bunganya, musimnya, bangunannya, penduduknya, bahkan bahasanya meneriakan keromantisan yang tiada henti. Untuk orang-orang yang sedang jatuh cinta, Perancis adalah negara yang tepat untuk meneriakan apa yang mereka rasakan pada satu sama lain.
Tiba-tiba dahi Namjoon berkerut. Pria dengan tingi seratus delapan puluh satu centimeter itu menghentikan langkahnya dan menghela nafas panjang. Namjoon baru teringat dengan rencananya. Apa yang hendak dia lakukan hari ini membuat jantungnya terasa berdetak dua kali lebih cepat dari ritmenya yang biasa.
Membuat telapak tangannya berkeringat dan terasa dingin. Seperti orang bodoh, suara teriakan kakak tirinya sebulan yang lalu kembali berdengung ditelinganya. Namjoon sendiri heran bagaimana bisa pria itu membacanya seperti sebuah buku yang terbuka begitu saja. Seingat Namjoon, dia sudah berusaha membuat cover terbaik untuk mengamankan rahasianya ini.
Ah, Namjoon lupa bahwa kakaknya itu adalah seorang calon psikolog yang saat itu sedang mempelajari ilmu face reading. Tapi tetap saja Namjoon ragu, kakaknya itu memang berhasil mengaplikasikan ilmnunya atau hanya sekedar melakukan keisengan yang berhadiah?
Okay, lupakan soal kakaknya yang sedikit sok tahu itu. Saat ini Namjoon kembali menghirup udara pagi ini dalam-dalam, mengikat beberapa oksigen untuk kelancaran peredaran darahnya, kemudian mengeluarkan karbondioksida didalam tubuhnya untuk membantu tanaman-tanamanhijau melakukan proses photosintesis.
Dan dengan langkah pasti akhirnya Namjoon berjalan menelusuri tiga blok gang sebelum akhirnya sampai ditempat tujuannya. Dengan jantung yang masih berdegup kencang, akhirnya Namjoon memutuskan bahwa hari ini dia tidak akan terlihat seperti orang yang mencurigakan seperti minggu-minggu sebelumnya.
.
..oOOo..
.
Bunyi kerincing bel yang dipasang diatas pintu kayu dengan empat kaca transparan berukuran lima belas kali lima belas sentimeter dibagian atasnya membuat suasana cafe yang masih sepi pagi itu sedikit terusik. Beberapa detik kemudian terdengar suara berisik dari ruangan kecil dibelakang kasir lalu diikuti dengan teriakan 'Bienvenue' –selamat datang, yang berasal dari seorang pria.
Nafas Namjoon tercekat ketika pria dibelakang mesin register itu tersenyum lebar kepadanya. Mata sang pria yang kecil –namun entah kenapa Namjoon dapat melihat jelas binar dimanik itu- memandang lurus kearahnya, membuat sesuatu dalam perut Namjoon tiba-tiba saja bergejolak. Shit! Kenapa disaat seperti ini aku selalu merasa mual tiba-tiba? Maki Namjoon pada dirinya sendiri.
"Ah, Namjoon-ah! Selamat pagi!" Sapa pria itu lagi ramah. Lagi-lagi tersenyum dengan senyuman palin indah yang pernah dilihat oleh Namjoon. Seolah matahari pagi ini sedang berpindah pada wajah pria dihadapannya. Mungkin besok Namjoon harus menggunakan sunglass untuk melindungi matanya dari pancaran sinar pria dihadapannya ketika dia berkunjung lagi ke cafe ini.
"Lebih pagi dari biasanya." Tambah pria itu, masih dengan senyum yang sama. "Croisant dan black coffee, seperti biasa?" tanya pria yang kini mulai sibuk dengan mesin registernya untuk mencatat pesanan Namjoon yang hanya bisa menunjuk canggung. Detik saat pria itu mempersilahkan Namjoon menunggu dengan menunjuk sebuah kursi yang terletak dipojok cafe dengan sebuah jendela besar disisi kanannya, Namjoon mengumpat pelan dalam hatinya. Sepertinya aku benar-benar mual!
.
..oOOo..
.
Tiga jam sudah berlalu sejak saat Namjoon datang. Croisant ketiganya sudah habis sejak setengah jam yang lalu sedangkan black coffee yang dipesannya untuk sarapan tadi sudah berubah menjadi orange juice dan mata Namjoon terfokus pada layar iPad-nya.
Okay,sebenarnya mata Namjoon tidak sedang terfokus pada layar iPad-nya, tapi pada seorang pria yang sejak tadi berdiri dibelakang mesin register sedang memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan seolah jiwanya sudah merasa lengkap. Tatapan yang membuat Namjoon merasa iri setiap kali dia menyadari arti dari tatapan pria itu.
Min Yoongi, adalah nama yang selama hampir empat bulan ini bergema didalam kepalanya –atau mungkin sudah mulai membuat kerangka ukiran dihatinya, Namjoon mulai mempercayai hal ini- dan membuat Namjoon merasakan berbagai perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Bahkan perasaan ini tidak sama seperti saat dia mendekati Jullie, pacar pertamanya di Perancis dua tahun yang lalu.
Namjoon hanya berharap bahwa pemilik cafe ini tidak –atau tidak mempunyai rencana- mengunjungi cafenya, atau Namjoon akan mengalami peristiwa tidak mengenakan seperti yang dialaminya seminggu lalu.
Dicurigai sebagai stalker bukan hal yang menyenangkan apalagi jika orang yang menjadi object of affection-mu sedang berada ditempat yang sama saat peristiwa itu terjadi. Hey, Namjoon doesn't stalk, he investigates.
Mungkin setelah orange juice-nya habis, Namjoon akan pergi dari cafe ini.
Eummm...mungkin.
.
.
.
..oOOo..
.
.
.
Le coeur a ses rainsons que la rainson ne connait point. [The heart has its reasons which reason knows nothing of] –Blaise Pascal
.
.
.
C'est Mercredi –Rabu
.
Namjoon tidak tahu mengapa dia ada disini lagi. Entah sudah berapa pagi dia melewati cafe ini. Tidak ada yang istimewa pada cafe ini kecuali fakta bahwa Yoongi selalu mengambil shift paginya setiap hari senin, rabu dan jumat. Fool in love, kakaknya selalu membisikan kata itu pada Namjoon setiap pagi ketika dia hendak menghabiskan waktunya di The Min's.
Cafe kecil dipinggir kota Colmar, Perancis itu sendiri bukan cafe yang terkenal. Lagi, hanya sebuah cafe biasa dengan penjaga cafe-nya yang luar biasa –setidaknya itu menurut Namjoon. Tapi justru suasana tenang dan nyaman yang diteriakan oleh tembok-tembok cokelatnya inilah yang menarik beberapa pengunjung tetap bertahan menghabiskan waktu disini.
Sandwich isi tuna yang dipesan Namjoon baru saja datang bersamaan dengan caramel machiato dingin untuk sekedar mengisi perutnya yang sengaja dikosongkannya setiap pagi. Tentu saja itu adalah alasan utama Namjoon datang kesini. Sarapan, sekaligus memandang Yoongi dengan segala detail gerakannya. Okay, mungkin saat ini Namjoon harus mengakui bahwa dia adalah benar seorang stalker.
Ya Tuhan! Namjoon merasa dia sudah benar-benar menjadi orang yang menyedihakn. Selama dua puluh tahun hidupnya, tidak pernah dia segugup ini hanya karena berada dalam satu ruangan dengan orang yang disukainya. Sepertinya, jantungnya yang malang itu sudah siap meledak kapan saja. Dan perutnya yang belum menunjukan tanda-tanda six-pack walaupun hampir setiap malam dia diam-diam ke gym, selalu menunjukan reaksi kimia yang aneh.
Campuran antara geli, diremas, diputar, entahlah Namjoon sendiri sudah tidak bisa menjelaskan rasanya. Atau mungkin hanya kadar asam lambungnya yang sedang tinggi? Karena setiap kali Yoongi tersenyum kearahnya, rasa mual yang tiba-tiba juga rasa pusing dikepalanya seolah terasa semakin nyata. Sebaiknya akhir minggu nanti dia harus membuat janji dengan dokter Fraincais, takut-takut ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya.
Atau apakan semua orang yang sedang jatuh cinta mengalami hal yang sama seperti Namjoon ketika bertemu dengan orang yang disukainya? Jika memang begini rasanya, mungkin orang-orang yang mengantri di klinik dokter Franicais memiliki gejala yang sama dengan yang Namjoon alami?
"Kau benar-benar seperti penguntit, Namjoon!" sapa Jimin –yang entah dari mana munculnya- sukses membuat Namjoon hampir saja tersedak tomat cherry yang baru saja dia masukan ke mulutnya. Pria dengan tampang boyish itu kini duduk dihadapannya sambil mengangkat sudut kiri bibirnya. Bahasa tubuh yang Namjoon yakini Jimin pelajari dari dirinya.
"Shut up, Jimin! Just shut up." respon Namjoon sambil memukul pelan dadanya dan meminum caramel machiato-nya perlahan. Jimin, pria dengan rambut brunette yang berasal dari Ilsan –kota di Korea, tempat Namjoon berasal- ini hanya melipat kedua tangannya diatasnya meja kayu sambil tertawa.
"Sebentar lagi shift Yoongi akan selesai, jadi aku bisa menebak bahwa setelah inipun kau akan pergi dari sini, ya kan?" Tanya Jimin lagi. Kali ini tangan kanannya sibuk menopang dagunya dan sebelah alisnya terangkat menunggu sanggahan dari pria teman satu sekolahnya ini.
Namjoon hanya memandangnya dengan tatapan sinis yang biasa dia berikan pada semua orang –kecuali Yoongi tentunya. "Tentu saja, algipula makan siangku sudah hampir habis. Dan bertemu denganmu dikampus sepertinya sudah lebih dari cukup bagiku, jadi berada ditempat kerjamu bukan hal yang bijaksana untukku."
"Auuchh! Sepertinya kau tidak berfikir seperti itu ketika aku masih satu shift dengan Yoongi." Balas Jimin dengan ekspresi yang seolah kesakitan sambil memegangi dada tepat dimana jantungnya berada. Lagi, Namjoon hanya memandangnya dengan tatapan sinis.
"Bukankah lebih baik jika kau mulai mengambil tindakan? Sebelum pria dengan rambut pirang mempesona itu diambil oleh sahabatmu ini?" Goda Jimin sambil mengedip-ngedipkan matanya kearah Namjoon. Jika saja Namjoon sedang minum, mungkin tanpa pikir panjang dia akan langsung menyemburkannya ke wajah Jimin. Sayangnya, didalam mulutnya saat ini sedang tidak ada apa-apa, jadi tidak ada alasan untuk menyembut atau melempar Jimin dengan apapun. Meskipun itu adalah hal yang sangat ingin dilakukan oleh Namjoon.
"Dalam mimpimu, Jimin!"
"Oh, kau tahu aku bisa kalau aku mau, Namjoon-hyung."
"Don't you dare, Park Jimin!" Ancam Namjoon. Matanya memandang Jimin marah, sementara otot-otot tubuhnya menegang sempurna, tapi anehnya rasanya tidak sama dengan yang dia alami ketika melewati cafe ini tiap pagi. Rasanya semua badannya sakit dan keinginan untuk mengepalkan tangan dan menghadiahkannya pada wajah Jimin sangat besar sekali.
Dan sebelum Namjoon melakukan apa yang dipikirkannya –melayangkan kepalan tangannya, Kyuhyun beranjak dari kursinya dan meninggalkan cafe itu tanpa kata. Membuat Jimin bersandar sempurna pada sofa cokelat dibelakangnya, menyilangkan kakinya dan tersenyum lebar sambil memutar-mutar gelas ditangannya.
Namjoon. Sahabatnya yang genius dan bodoh dalam waktu yang bersamaan.
.
..oOOo..
.
Malam ini dingin.
Penghangat ruangan yang dipasang dengan kadar sedang pada kamar bernuansa cokelat pucat milik Namjoon itu sepertinya tidak bisa membuat tubuh pemiliknya merasa hangat. Anehnya, Namjoon sama sekali tidak merasakannya. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah percakapannya dengan Jimin siang tadi. Meskipun Jimin sering bergurau dengannya, Namjoon tidak berfikir bahwa pria itu sedang bercanda tadi.
Matanya memandang Namjoon dengan tatapan yang berbeda. Seolah menantang. Bukan berarti Namjoon takut dengan tantangan Jimin siang tadi, hanya saja Namjoon merasa bodoh karena terpancing dengan perkataan Jimin.
Meskipun mereka bersahabat, Namjoon tidak pernah menceritakan tentang apa yang dia rasakan terhadap Yoongi pada Jimin. Seharusnya tidak ada yang tahu soal ini, kecuali bahwa kehadirannya setiap pagi di The Min's dan kenyataan bahwa dia memperhatikan Yoongi dari balik laptop atau iPad-nya disadari oleh orang lain.
Sialnya, kenapa harus Jimin yang menyadarinya? Kenapa bukan Yoongi sendiri yang menyadari bahwa Namjoon sudah sejak lama memperhatikannya? Cih, kau pengecut Namjoon, makinya pada diri sendiri. Dihempaskannya nafas yang entah sejak kapan ditahannya.
Menyedihkan! Kenapa kehidupan cintanya harus semiris ini?
Pertama, orang tuanya tidak tahu bahwa dia menyukai seorang pria. Namjoon baru akan mengatakannya jika dia sudah berhasil menyatakan perasaannya pada penjaga mesin register itu nanti –tak lama lagi.
Kedua, object of affection-nya benar-benar tidak menyadari perasaannya. Tapi jika difikir kembali, Namjoon dan Yoongi tidak pernah melakukan percakapan selain ketika si pirang bertanya apa pesanan Namjoon dan dia hanya menjawab dengan apa yang ingin dipesannya. Selebihnya? Tidak ada! Nihil!
Ketiga, sahabat yang selama ini dia fikir 'straight' karena berhasil mengoleksi lebih dari dua puluh gadis –yang semuanya sudah resmi menjadi mantan pacarnya- hanya dalam waktu setahun, ternyata memiliki minat yang sama dengannya. Damn, that stupid gym maniac! Bukan, yang bodoh bukan Jimin, tapi dirimu sendiri! Sepertinya belakangan ini Namjoon sering sekali memaki dirinya sendiri.
Aish! Lagipula ada apa dengan hati Namjoon?
Dari ribuan gadis cantik yang ada di kota ini, dari ratusan gadis yang ada disekolahnya, dari puluhan gadis yang mengambil mata pelajaran sama dengannya, dari lima gafdis yang pernah menyatakan cinta padanya, dari Jullie, Diane, Michelle yang dekat dengannya, tidak ada satupun yang membuatnya merasa seperti ini. Sebingung ini, sepenakut ini, semenyedihkan ini.
Arrrrrggghhhh! Namjoon mengacak rambutnya kesal. Mungkin dengan mengacak rambutnya, jaringan-jaringan yang ada di dalam otaknya ikut bergeser ketempatnya semula dan mengembalikan Namjoon seperti dulu.
Besok, Namjoon akan mulai memberanikan diri untuk berbincang dengan si pirang yang menggemaskan itu. Dan itu pasti! Fool in love, kata-kata kakaknya itu kembali berulang dikepalanya. Namun, kali ini Kyuhyun tidak menangkapnya sebagai ejekan, tapi sebagai pujian.
Kadang, memang orang menjadi bodoh ketika mereka jatuh cinta.
.
.
.
... To be continue
Hi, this is my first NamGi / SugaMon Fanfiction in this site.I start Weeks of Lovebecause currently I am so in love with NamGi –Please do love them so much.
For the maintime, please anticipate more NamGi / SugaMon from me. ^_^
So, tell me what you think about this?
.
Au revoir,
Zen.
