ALWAYS YOU
Disclaimer : J. K. Rowling
Pairing : Roxanne Weasley & OC
Genre : Romance & Drama
Rate : T
Summary : Aku mencintainya, sangat mencintainya. Tapi apa yang harus aku lakukan, jika pada akhirnya aku hanya bisa menjadi bayang-bayangnya dan mencintainya dari jauh?
Kisah ini berawal saat aku pertama kali bertemu dengannya. Yeah, seperti kisah klasik lainnya. Bertemu, jatuh cinta pada pandangan pertama, dan bersatu dalam kisah cinta indah. Tapi, lupakan bagian akhir. Aku hanya melewati dua tahap saja. Bertemu dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku belum bisa bersatu dalam kisah cinta indah, atau bahkan tidak akan pernah merasakannya.
Karena sejujurnya, hanya aku yang jatuh cinta padanya. Hanya aku yang memujanya. Hanya aku yang mengharapkannya. Dan bahkan, hanya aku yang tahu tentang semua perasaan ini. Tidak ada teman berbagi, tidak ada sama sekali.
Jujur selama ini aku tidak pernah berfikir bahwa mencintai seseorang akan sebahagia, sesakit, dan semenyedihkan ini. Aku bahkan tidak pernah berpikir bahwa aku akan merasakan mencintai seorang pemuda. Karena aku bibesarkan diantara para pria. Aku mempunyai seorang saudara kembar laki-laki, 4 sepupu laki-laki yang tumbuh bersama, dan 6 sepupu perempuan. Bahkan aku punya 9 paman sekaligus.
Jadi bisa dibilang aku sudah terbiasa hidup dengan para pria. Dan untuk apa aku membutuhkan pria lain untuk mengisi hidupku? Itulah pemikiran awalku, tapi tidak setelah bertemu dengannya. Aku seperti kehilangan arah sejak bertemu dengannya. Aku seperti sebuah layang-layang tanpa benang saat tidak melihatnya. Benar-benar konyol bukan? Tapi yeah, aku bahkan terkadang merasa bahwa aku sudah gila, benar- benar gila. Aku memang sudah gila.
Aku adalah tipe orang yang hanya bisa berteman dengan keluarga sendiri. Jadi bisa dibilang temanku adalah seluruh keluargaku. Dan aku pikir, seluruh keluargaku juga sama. Atau mungkin hanya aku yang merasa begitu, ah entahlah. Yang pasti aku sangat mencintai keluargaku melebihi apapun. Ehhm, terkecuali pemuda itu.
Chapter 1
Aku berjalan sendirian di lorong menuju perpustakaan, aku harus menyelesaikan tugas liburanku yang belum sempat aku kerjakan. Hah, seharusnya aku bisa sedikit bersantai sambil membaca buku yang baru saja aku beli, bagaimana aku bisa lupa kalau ada tugas Ramuan, benar-benar memalukan. Karena terburu-buru menuju perpustakaan dan segera ingin mengerjakan esai-ku sebelum jam pelajaran ke-5, aku tidak memperhatikan jalanku dan menabrak seseorang. Semua buku-buku yang tadinya bertengger aman dipelukanku sudah bertebaran di lantai karena tabrakan tadi.
Aku mengumpat pelan, karena aku harus menyusun kembali buku-buku itu, menunduk mengawasi buku-buku yang sudah berantakan dibawah, menarik nafas dalam-dalam dan mulai memungut semua buku itu dalam diam. Benar-benar menyebalkan, si penabrak bahkan tidak berusaha membantuku. Karena jengkel aku menaruh kembali buku-buku yang sudah aku susun dan menengadah ke atas untuk melihat siapa yang telah menabrakku. Dan tahukah siapa yang baru saja aku tabrak? Dia adalah Scorpius Malfoy si cowok paling menyebalkan diseluruh wilayah sekolah ini. Dan aku sudah bisa menebak apa yang akan dia katakan.
"Apakah semua cucu dari keluarga Weasley selalu ceroboh seperti ini?" katanya dengan nada mengejek.
"Jangan memulai Malfoy, aku sedang tidak ingin berdebat," jawabku tak perduli. Lalu melanjutkan memunguti buku-bukuku yang masih berantakan.
"Siapa yang mau berdebat? Tidak ada gunanya. Ayo cepatlah, aku tidak punya banyak waktu!" katanya tiba-tiba dan memandangku dengan pandangan meremehkan. Itu benar-benar membuatku kesal.
"Apa…?" tanyaku masih tidak mengerti dengan kata-katanya.
"Minta maaf, cepat!"
Anak ini benar-benar menjengkelkan. Darahku sepertinya sudah naik sampai ke ubun-ubun, ingin rasanya aku meninjunya tepat di mukanya yang menyeramkan itu. Tapi aku mencoba untuk bersabar, dan berdiri dari tempatku berjongkok tadi dan memandangnya dengan ingin tahu.
"Minta maaf? Untuk apa?"
"Karena kau telah menabrakku dan menyia-nyiakan waktuku. Cepat, aku masih menunggu!" perintahnya, seolah-olah dia sedang memerintah anjing peliharaannya. Aku tersenyum sinis dan memandangnya dengan menantang.
"Siapa kau, sampai aku harus meminta maaf pada orang sepertimu? Bahkan kalau dipikir-pikir kau lah yang harusnya meminta maaf kepadaku," jawabku mantab.
"Untuk apa?" tanyanya mengankat alis, dan itu membuatku semakin sebal dengan tampangnya yang sok blo'on itu.
"Untuk semuanya, untuk kesalahan karena telah menabrakku, karena tidak membantuku memungut buku-buku yang tanpa kau sadari ada tepat di bawah kakimu, karena telah menghina keluargaku, karena telah memaksaku meminta maaf untuk kesalahan yang tidak aku perbuat, dan…" aku berhenti sejenak dan menarik nafas lalu memandangnya yang melongo, dan itu membuatku ingin tertawa. "Ah, sudahlah Malfoy! Aku sedang buru-buru, jadi jangan memulai lagi. Anggap saja aku sudah melupakannya. Permisi…"
Aku segera merangkul kembali buku-buku itu dengan rapi di pelukanku. Aku hendak melangkah pergi saat si Malfoy kecil itu menarik tanganku dengan keras sampai tumpukan buku yang sudah susah-susah aku tata sekarang berantakan kembali di lantai. Sekarang aku merasakan gelora darah menderu-deru di otakku, dan aku yakin sekarang wajahku sudah berubah merah karena marah. Aku menatapnya dan melihatnya sedang nyengir, lalu berkata.
"Nah sekarang baru impas, Weasley."
Aku sudah ingin mengumpat tepat di mukanya, ketika terdengar suara seorang pemuda yang terdengan lembut dan menentramkan dari belakangku.
"Jangan ganggu dia Scorpius, atau kau ingin aunt Astoria tahu bahwa seperti ini kelakuanmu di sekolah?" kata pendatang itu mengancam. Dan saat aku menoleh untuk menatapnya, aku sedikit tersentak kaget karena ternyata dia adalah – entah siapa, aku lupa namanya – anak Ravenclaw juga.
Dia berjalan dengan santai kearah kami – si Malfoy ini dan aku – dan memandang Malfoy dengan pandangan yang sangat tajam.
"Jangan ikut campur, Willy," Willy? Malfoy memanggilnya Willy? Nama yang aneh. "… ini urusanku dan si nona Weasley ini," katanya menantang
"Memangnya apa urusan kita Mr. Malfoy?" kataku sengit.
"Menyingkir Scorpius, berlakulah sopan kepada seorang gadis," kata pemuda itu lagi.
Berlakulah sopan kepada seorang gadis? Kata-katanya membuatku terharu, baru kali ini ada yang membuatku bahagia hanya dengan kata-katanya selain keluargaku. Aku tersenyum penuh arti kepadanya. Ah, sekarang aku ingat. Dia adalah Willy Wood, iya benar, emm, paling tidak itulah namanya. Dia anak Ravenclaw juga, tapi aku tidak bisa mengingat dia di tingkat berapa, maklum otakku tidak secemerlang Molly dan Rose.
"Buat apa berlaku sopan kepada…," kata-kata Malfoy tiba-tiba terhenti dan tergantikan dengan suara "Buuuk" keras.
Pandanganku yang tadinya tertuju untuk Wood langsung teralihkan ke arah Malfoy. Aku langsung terkejut karena ternyata Malfoy sudah terkapar di atas lantai seperti buku-bukuku tadi. Dan di sampingnya berdiri dengan terengah-engah menahan marah, sepupuku Al.
"Kau…" Malfoy ingin menyusun kata-kata makian tapi tidak akan dibiarkan oleh Al.
"Pergi dari sini Brengsek, dan jangan berani-berani mengganggu sepupuku lagi kalau kau tak ingin mukamu rusak karena pukulanku!"
Malfoy segera berdiri dari tempatnya terjatuh, dan melangkah meninggalkan kami. Sekarang ada gelak rasa kasih sayang yang sangat mendalam di dalam hatiku untuk Al. Aku segera berlari memeluknya, begitulah cara kami menunjukkan rasa sayang kami, dan menurutku itu wajar. Oh, aku melupakan Willy Wood – bagiku itu masih nama yang aneh. Saat aku memandang wajahnya, dia terlihat shock dengan kejadian-kejadian tadi yang terjadi secara bersamaan. Mungkin juga karena melihat Al yang telah memukul telak Malfoy.
Kelihatannya dia sadar bahwa aku mengawasinya dengan curiga. Dengan kelihatan sangat gugup dia berdeham dan dengan cepat memunguti buku-bukuku yang masih berserakan dan hampir terlupakan. Lalu mendekatiku dan menyerahkan tumpukan buku itu kepadaku.
"Er… ini. Aku minta maaf untuk kelakuan Scorpius yang tidak sopan. Yeah… akan aku pastikan dia tidak akan mencari masalah lagi dengan kalian," katanya meyakinkan.
Dan itu semakin membuatku terpesona dengan karismanya. Tapi ada yang aneh. Kenapa harus dia yang meminta maaf untuk kelakuan Malfoy? Dia kan tidak ada hubungannya. Keningku mengeryit sempurnya. Dia juga bilang akan memastikan kalau Malfoy tidak akan melakukannya lagi? Ada apa ini? Apakah dia telah menjadi malaikat pelindungku? Tiba-tiba wajahku memerah saat memikirkan itu.
"Bagus, katakan padanya jangan cari mati dengan kami para Weasley/Potter." Mendengar itu aku langsung mendelik kearah Al. "Apa….?" tanyanya dalam bisikan, bingung. Aku berusaha tidak menghiraukannya dan berpaling menatap Willy – nama yang aneh – Wood.
"Kenapa harus kau yang meminta maaf untuknya?" tanyaku tanpa basa-basi.
Dia menatapku dengan keheranan. Aku menoleh ke arah Al, dia bahkan juga menatapku seakan-akan aku baru saja mengucapkan sebuah kata ajaib yang aneh.
"Apa?" aku berbisik pada Al, dan melotot kearahnya.
"Oh, itu. Mungkin karena aku merasa bertanggung jawab karena sikapnya yang kurang baik itu." Willy – nama yang aneh – Wood tersenyum ramah kepadaku. Senyum yang sangat mempesona. Dan sekali lagi aku mendapati wajahku memerah, hah, gen Weasley yang sedikit merugikan.
Kali ini aku bisa mengerti kalau dia menganggap Malfoy berkelakuan kurang baik, karena itu benar. Tapi, kenapa harus dia yang bertanggung jawab atas sikap kurang baik Malfoy? Ini semakin membingungkan.
"Sekali lagi aku minta maaf atas nama sepupuku." Dia sedikit membungkuk di depanku.
Aku tersentak mendengar kalimat terakhirnya. Apa? Sepupu? Malfoy sepupunya? Mulutku terbuka lebar membentuk huruf "O" sempurna. Sekarang aku baru paham, dia tadi sempat menyebut ibu Malfoy dengan aunt Astoria, dan betapa bodohnya aku yang tidak menyadarinya sama sekali.
"Ah, i-iya. Tentu saja aku memaafkannya." Aku mencoba memberikan senyum terbaikku, tapi gagal.
Dia adalah sepupu Malfoy? Dan aku hampir saja terpesona oleh karismanya yang tak tercelah? Aku menatap Al dengan tatapan pasrah, tapi Al malah melotot kearahku.
"Baiklah, sampai jumpa lagi, Roxanne." Dia memandangku dan tersenyum kearahku. Aku sedikit terkejut saat dia menyebut nama depanku seolah-olah kami sudah saling mengenal dengan akrab sejak lama.
"Er… terima kasih." Senyumannya membuatku sedikit gugup.
Dia melenggang pergi, tapi mataku masih menatap punggungnya. Dan entah kenapa aku terpesona hanya dengan menatap punggungnya, benar-benar aneh. Tiba-tiba Al mendengus kearah Willy – nama yang aneh – Wood, membuat lamunanku buyar.
"Jangan terlalu berharap, Roxy! Dia sudah berpacaran dengan Angelina Zabini, anak Slytherin."
"Siapa yang berharap? Aku tidak perduli dengan siapa dia berpacaran." Aku mengerjap, menyangkal perkataan Al. "Oh, aku harus ke perpustakaan untuk mengerjakan esai Ramuanku. Aku akan terlambat masuk kelas kalau aku tidak segera menyelesaikannya."
Aku bergegas membopong buku-buku itu dan hendak melangkah cepat ke perpustakaan saat Al mengatakan sesuatu.
"Ya, mungkin itu bisa membuatmu melupakan si William Wood itu. Kau benar-benar seperti cacing kepanasan saat di depannya tadi." Al mendengus.
"Apa? Siapa?"
"Apanya yang apa dan siapa?"
"Itu tadi. Ah, jadi namanya William Wood. Haha, aku malah menyebutnya Willy – nama yang aneh – Wood." Al mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Kau menyebutnya apa?"
"Hahaha, bukan apa-apa. Sampai jumpa saat makan malam, Al."
Aku berlari menjauhi sepupu tampanku itu sambil tersenyum lebar. Melambai dengan bersemangat saat dia masih terbengong-bengong dengan pernyataan terakhirku. Ternyata namanya William Wood, bukannya Willy Wood. Tentu saja orang tuanya tidak akan memakai nama Willy untuk anak setampan dia.
Beberapa hari ini aku benar-benar tidak bisa konsentrasi. Aku sudah seperti ini selama 5 hari, kalau terus seperti ini aku bisa-bisa frustasi. Konsentrasiku telah meninggalkanku akhir-akhir ini. Kata Rose dan yang lain aku lebih parah dari Roxanne yang dulu. Sekarang kebiasaanku adalah menyendiri untuk membaca buku, tapi juga lebih sering menghabiskan waktuku untuk melamunkan hal-hal yang aku sendiri tidak begitu mengerti.
Dan siang ini aku sedang duduk sendiri di perpustakaan, memilih tempat yang sepi dan dekat dengan jendela. Buku Sejarah Sihir sudah siap di depanku, tapi perhatianku teralihkan dan memandang ke arah lain. Sejak masuk ke sini dan memutuskan untuk duduk di meja ini mataku sudah tertuju ke meja dekat rak buku ke-3.
Dia di sana, William Wood tengah duduk sambil menunduk dengan serius di atas bukunya. Di sampingnya ada anak ravenclaw juga, pemuda yang aku ingat sebagai teman sekelasku, tapi aku tidak terlalu ingat namanya. Kalau tidak salah nama Alehandro Goldstein atau siapalah. Pemuda itu sesekali menatap ke arahku, dan akan langsung membuatku menunduk dengan terburu-buru. Sedangkan Wood, jangankan menatapku, melirikku saja dia tidak pernah. Aku menghela nafas.
Aku masih asik dengan fikiranku yang tak karuan, ketika Rose, Lily, Al, James, Fred dan Hugo dengan cepatnya sudah bergabung di meja tempatku duduk. Aku tersentak kaget saat tiba-tiba mereka menyapaku.
"Hai, Roxy…" sapa mereka semua.
"Hai…" aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku dari sumber lamunanku. Dan menatap mereka dengan menyunggingkan senyum palsu.
"Kau di sini juga?" Tanya Rose ingin tahu.
"Emm, ya. Sedang mengerjakan tugas." Aku mengangkat buku Sejarah Sihir di depanku untuk aku tunjukkan pada mereka.
"Oh…" Rose mengangguk dan mulai menekuni bukunya.
"Tapi tadi sepertinya kami tidak melihatmu sedang membaca, Roxy." Fred mengedarkan pandangannya ke arah aku menatap tadi. Mataku membelalak terbuka.
Oh, tidak. Fred tidak boleh tahu apa yang aku perhatikan tadi. Aku cepat-cepat menarik tangannya sampai dia menghadapku lagi sebelum dia berhasil mengetahui apa yang aku perhatikan tadi.
"Ah, Fred!" Sial suaraku terlalu keras untuk ukuran orang yang seolah tidak menyembunyikan apapun. Fred dan lainnya menatapku dengan penasaran.
"Ada apa?"
"Apa kau sudah mengerjakan tugas Arithmancy-mu? Aku bersedia membantumu kalau kau mau." Dia menaikkan alisnya dengan kaget.
"Kau mau membantuku dengan suka rela, Roxy?"
"Er, ya…"
"Tanpa imbalan apapun?" James menyahut dari samping Fred. Hah, akhirnya aku bisa mengalihkan mereka.
"Ya, tentu saja." Aku berusaha tersenyum lebar.
"Waow, ini benar-benar seperti bukan kau, Roxy. Biasanya kau kan akan meminta sesuatu dari kami kalau kami memintamu untuk membantu kami dalam mengerjakan tugas," kata Fred bingung sekaligus senang. Aku memasang wajah datar.
"Anggap saja hari ini aku sedang berbaik hati," tukasku.
Aku melirik sekilas ke arah William Wood dari balik bulu mataku. Aku harap dia tidak memperhatikan kegaduhan yang dibuat keluargaku. Aku menghela nafas panjang saat mataku bertemu dengan mata Al. Dia mengangkat sebelah alisnya tanda ingin tahu. Aku cepat-cepat menunduk, tapi aku tahu dia bisa menangkap ke arah mana aku menatap tadi. Dan aku pun yakin, kalau sekarang wajahku sudah berubah pucat.
Oh, Demi Rambut Gondrong Merlin, aku benar-benar seperti seorang anak kecil yang tertangkap mencuri permen dari anak lain.
"Roxy, kau sedang sakit?" tanya Lily tiba-tiba, kecemasan terpampang jelas di wajahnya.
"Tidak, aku baik-baik saja, Lils," kataku meyakinkan, memandang mereka bergantian. Aku memang tidak pernah bisa terbuka kepada siapapun.
"Kau tidak terlihat baik saat ini, Roxy. Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya," sambung Fred penasaran.
Memangnya aku kenapa?
"Aku seperti apa…?" tanyaku heran sambil memandang mereka bingung.
"Demi Merlin, Roxy. Kau membaca buku di perpustakaan. Kau benar-benar berbeda," ungkap Rose terlihat shock.
Memangnya kenapa kalau aku membaca buku di perpustakaan? Aku rasa tidak ada yang aneh dengan itu. Benar kata mereka, ini memang bukan aku yang biasanya. Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku hanya untuk membaca sebuah buku, apalagi di perpustakaan. Itu kan kebiasaan Rose, bukan aku. Apa benar aku berbeda dengan Roxanne yang seperti biasa?
"Er… yeah, memangnya ada yang salah dengan membaca buku di perpustakaan? Yeah, aku kan sudah tingkat 7, sudah sewajarnya kalau aku belajar lebih giat agar lulus dengan nilai yang memuaskan." Aku salah tingkah, membuat mereka semakin curiga.
Lalu dengan cepat aku mengalihkan pandanganku ke arah James dan Fred yang menatapku dengan tajam.
"Kalian seharusnya juga melakukan hal yang sama denganku. Dan kau Fred, jangan hanya mengandalkanku saat kita belajar di rumah. Kau harus berusaha sendiri mulai sekarang!" aku melotot ke arah mereka.
Aku tahu wajah Fred dan James langsung merah karena malu. Mereka pasti tidak pernah menyangka aku akan berbalik menyerang mereka. Great, Roxy! Aku tersenyum puas pada diriku sendiri. Aku semakin pandai saja mengelabui para sepupu dan saudaraku. Tapi tidak sepenuhnya itu salah. Aku mungkin memang tak sepandai Rose, tapi setidaknya otakku beberapa tingkat lebih tinggi dari James dan Fred. Mungkin karena itulah aku masuk asrama Ravenclaw.
"Sebenarnya, Roxy, akhir-akhir ini kau membuat kami khawatir. Yeah, kami pikir sekarang kau lebih sering melamun dan menyendiri," ucap James tiba-tiba. "Apa kau masih marah karena kelakuan kami waktu itu, tentang Gillyweed itu…?" James tiba-tiba mendapat gagasan itu, dan itu membuat Rose, Lily dan Hugo langsung melotot ke arah Al, Fred dan dirinya.
Aku jadi ingat, waktu musim panas lalu saat kami sekeluarga berlibur ke Hawai. Mereka bertiga – James, Fred dan Al – membuat rencana untuk menenggelamkanku ke laut. Er, mungkin terlalu berlebihan kalau mengatakan mereka ingin menenggelamkanku, bagaimanapun mereka kan sepupu dan saudaraku sendiri. Bisa dibilang mereka hanya ingin menakut-nakutiku saja. Dan itu behasil.
Aku hampir saja kehabisan nafas di dalam air, kalau saja Dad dan uncle Harry tidak segera menolongku. Mungkin sekarang aku sedang mengawasi mereka dari atas sana. Pemikiran itu membuatku bergidik, membayangkan jauh dari mereka dan keluargaku yang lain sudah cukup membuatku sengsara.
"Oh bukan, tentu saja bukan karena itu, James. Bahkan aku sudah melupakannya. Kalian semua terlalu berlebihan, aku tidak apa-apa," kataku meyakinkan sekali lagi, tapi sepertinya mereka masih tidak puas dengan penjelasanku. " Oh ayolah, kalian tidak mau kan menghabiskan waktu kalian hanya untuk menginterogasiku?"
Mereka semua secara bersamaan mengangkat alis masing-masing, seakan-akan mereka bisa menebak penyangkalanku. Aku menarik nafas panjang, tak sabar.
"Aku hanya stres memikirkan tugas Sejarah Sihirku ini, aku harus menyalin tema pengajaran di halaman 158 sebanyak 5 kali, dan jujur saja itu membuatku frustasi." aku langsung melirik mereka setelah mengucapkan agumaen yang tidak masuk akal itu.
Mungkin aku memang tidak pandai berbohong, karena dari ekspresi mereka aku tahu bahwa mereka menyadari ada sesuatu yang tidak beres denganku. Aku mengalihkan pandanganku dan mencoba mencari alasan yang tepat untuk menghindari mereka. Tapi sebelum aku mendapatkannya, Al sudah memulai lagi.
"Atau ini semua gara-gara kelakuan Malfoy waktu itu…?" tanya Al tiba-tiba mengambil kesimpulan.
Aku tersentak saat mendengar kata "Malfoy" keluar dari mulut Al. Nama itu secara otomatis membawa pikiranku kepada nama lain yang akhir-akhir ini sering membuatku stress, William Wood. Aku dengan cepat mengedarkan pandangan ke seluru sepupu dan saudaraku, ingin mengukur reaksi mereka saat mendengar nama itu. Dan ternyata bukan hanya aku yang terlihat kaget dengan kalimat itu, karena semua sepupu dan Fred langsung memandang Al dengan pandangan bingung.
"Memangnya apa yang dilakukan si muka mayat itu pada Roxy?" tanya Fred masih menatap Al.
"Jangan menyebutnya seperti itu, Fred! Lagipula dari mana kau tahu kalau yang dimaksud Al adalah Scorpius Malfoy?" tanyaku, tapi mata Fred langsung melotot menatapku penasaran.
"Memangnya ada berapa Malfoy di sini yang suka cari masalah dengan keluarga kita?" Fred memandang berkeliling meminta dukungan dari sepupunya yang lain. "Ya, hanya satu Malfoy yang seperti itu. Ya si muka Mayat itu," tambahnya meyakinkan.
Ah, benar. Memang hanya ada satu Malfoy di sekolahan ini. Apa yang sedang aku pikirkan? Kami sedang membahas Scorpius Malfoy, tapi aku merasa seolah-olah mereka sedang membahas Wood.
"Apa yang dia lakukan kepadamu, Roxy?" tanya Rose mengulangi pertanyaan Fred, tapi ditujukan lebih-lebih kepadaku.
"Yeah, dia hanya tidak sengaja menabrakku waktu itu…" aku belum selesai bercerita tapi Al sudah menyelaku.
"Bukan, bukan hanya itu. Jangan menutupinya, Roxy, bahkan dia menghinamu. Ingat?"
Oh, tutup mulutmu, Al! Kau memang tidak bisa dipercaya. Aku mendelik kepadanya.
Aku sebenarnya tidak mau menyulut kemarahan saudara-saudaraku, tapi yah begitulah mereka, selalu mempedulikan satu sama lain. Al menceritakan kejadian waktu itu secara detail, sampai pada akhirnya dia memukul telak si Malfoy itu dan menyuruhnya meninggalkan kami. Dan cerita itu membuat Rose menggebu-gebu, dia memang punya dendam pribadi dengan pemuda dari asrama Slytherin itu. Tapi entah dendam seperti apa itu, aku pun tidak mengerti.
"Bagus Al, dia memang pantas mendapatkan pukulan itu. Berani-beraninya dia menghina keluarga kita." Rose memandang Al bangga, lalu melanjutkan. "Kalau aku yang ada disana aku lah yang akan memukulnya untukmu, Roxy," katanya lagi sambil mengepalkan tangannya rapat-rapat.
"Oh, terima kasih, Rose, kau sangat baik. Tapi aku rasa pukulan dari Al sudah cukup membuatnya jera," kataku menenangkan.
"Anak itu tidak akan pernah jera, sebelum ada yang merubahnya menjadi musang." Mendengar kata-kata James, semuanya langsung tertawa sampai membuat Mrs. Pince – penjaga perpustakaaan – mendelik kearah kami, menyuruh kami diam dengan tatapannya.
Lalu aku berbicara lagi dengan berbisik.
"Dia sangat berbeda dengan sepupunya, William Wood, dia sangat baik."
Mendengar kata-kataku tadi James, Fred, Rose, Lily dan Hugo mengangkat alis mereka secara bersamaan, kecuali Al.
"Roxy mengaguminya, karena waktu itu William Wood membantunya memunguti buku-bukunya yang terjatuh karena ulah Malfoy."
Al mengatakannya dengan sangat santai, seolah-olah dia bisa membaca apa yang dipikirkan para sepupu. Sedangkan aku, tidak tahu kenapa tiba-tiba wajahku terasa sangat panas memdengar kata Al yang "Roxy mengaguminya". Apa benar aku mengaguminya…?
Selanjutnya aku mendapat tatapan aneh dari James, Fred dan Hugo. Dan itu membuatku salah tingkah.
"Apa…? Kenapa kalian menatapku seperti itu?"
"Jangan coba-coba, Roxy," kata Fred mengancam.
"Apa sih…?" aku membuang muka, tak mempedulikan pandangan mereka yang siap menikamku.
"Oh, Roxy, jangan pura-pura tidak tahu, wajahmu merah," tuding Rose.
"Me – memangnya kenapa ka – kalau wajahku merah, aku hanya merasa ruangan ini sangat panas, itu saja." Aku memberi pandangan menantang kepada mereka.
"Kami tidak merasa panas sama sekali," kata Lily tegas.
Oh, bahkan anak kecil pun tidak bisa ku bohongi.
"Kami tidak akan mentolerir jika kau berkencan dengan William Wood itu, Roxy," kata James tajam sambil menunjuk Fred dan Al sebagai perumpamaan "kami".
"Siapa yang…? Memikirkannya saja tidak pernah, aku bahkan tidak mengenalnya, bagaimana mungkin aku berkencan dengannya…?" aku menatap mereka yang masih menatapku dengan tajam.
"Tidak mungkin kau tidak mengenalnya, Roxanne, dia kan teman sekelasmu," tuntut Rose.
"Oh sudahlah, jangan menekanku terus!" Aku langsung berhenti, seolah-olah ada yang menghentikanku secara tiba-tiba. "Tunggu…, apa katamu tadi? Dia teman sekelasku…?"
"Kau tidak tahu…? Oh syukurlah, Roxy, berarti kau memang tidak mengenalnya." Rose terlihat lega setelah mengetahui fakta bahwa aku tidak mengenali teman sekelasku sendiri.
Great, Roxanne Weasley, bagaimana kau bisa jadi siswa terpintar di kelas kalau bahkan teman sekelasmu sendiri kau tak tahu….? Benar-benar memalukan. Aku memaki diriku sendiri, kenapa aku tidak pernah menyadari ada pemuda seperhatian itu di kelas yang sudah hampir 7 tahun aku tempati? Samar-samar aku mendengar Rose berbicara tentang kebenciannya dengan semua keluarga Malfoy termasuk Scorpius. Itu membuatku menarik fikiranku kembali ke dunia nyata. Dan aku menatapnya sedang berbicara sambil menunjukkan kemarahannya setiap menyebut nama Malfoy. Terkadang aku merasa bosan karena sepupu-sepupu dan kembaranku selalu ikut campur urusan pribadiku, walaupun sebenarnya maksud mereka baik.
"Ok, aku harus kembali ke kelas. Dan sepertinya kalian juga harus kembali, karena tinggal 10 menit lagi pelajaran akan dimulai." Aku berusaha mengalihkan perhatian mereka dari keluarga Malfoy, mengedip pada mereka dan membereskan bukuku lalu melenggang pergi. Dan aku tahu bahwa mereka saling berbisik di belakangku. Aku tahu mereka selalu seperti itu, tapi aku sudah terbiasa. Mereka selalu ingin tahu apa yang dilakukan sepupu-sepupu mereka, katanya itu karena mereka saling peduli satu sama lain, tapi menurutku mereka terlalu posesif dalam menyingkapi masalah satu sama lain.
