Soulmate Timer

A Kagerou Project / Mekakucity Actors fanfiction by Chikara Az

KagePro / MekakuCA © Jin

This fanfiction © Me

Rating : T untuk amannya uwu

Warning : ShinKono, possibly (very) OOC, slash/BL/shounen-ai dan semacamnya, mengikuti route di novelnya

Happy ShinKono Day! \ ;w; /

Enjoy~


Pria berjas putih itu menyeringai puas saat memandang tangki kaca di depannya. Tepatnya, ke arah tubuh lelaki bersurai putih yang dipasang berbagai selang di dalam tangki itu. Cairan kuning kehijauan yang mengisi tangki bersama lelaki itu bergolak, gelembung-gelembung kecil terbentuk. Perlahan, mata lelaki itu terbuka—menampakkan warna pink kemerahan yang mencolok.

"Tinggal sebentar lagi, dan kau akan bebas, Konoha." Ujar pria berjas putih tersebut.

Tak lama setelah mengatakan itu, pria tersebut menoleh ke tangki di sampingnya. Seorang gadis berambut panjang yang diikat dua ada di sana, dan cairan kuning kehijauan yang sama memenuhi tangki itu juga. Mata pria itu terarah ke pergelangan tangan kanan sang gadis, di mana sebuah jam dengan banyak angka nol berada.

Pria itu mengernyitkan dahi.

Setelah memastikan penglihatannya, ia menoleh kembali ke lelaki muda di tangki di depannya. Matanya mengincar pergelangan tangan kanan lelaki itu, dan jamnya terus berdetak. Angka di jam tersebut terus berkurang seiring detik-detik berlalu.

Setahunya, saat mereka berdua masih menjadi muridnya di kelas khususnya, jam di tangan mereka sama-sama menunjukkan angka-angka nol saat mereka pertama bertemu, menandakan bahwa mereka ditakdirkan untuk berpasangan di kemudian hari.

Tapi, sejak lelaki itu "meninggal" beberapa waktu lalu, dan tubuhnya diawetkan segera sesuai rencana pria berjas putih itu, jamnya berubah. Angka nol itu berubah—menunjukkan lagi waktu yang tersisa baginya untuk menemukan "soulmate"-nya.

"Mungkin karena jiwa yang mendiami tubuh ini nantinya sama sekali berbeda dari yang dulu..." gumam pria berjas putih pelan.

Ah sudahlah. Ini bukan urusannya. Lagi pula, ia tidak yakin lelaki muda di depannya ini akan bertahan lama untuk hidup bersama "soulmate"-nya.


.

.

Jam ini jelas-jelas berbeda dari jam di dinding yang menunjukkan waktu itu. Yah, jam ini juga menunjukkan waktu, namun sejauh yang Konoha tahu, jam digital seperti ini normalnya hanya akan menunjukkan 4-6 angka. Tapi angka-angka yang terus berubah ini ada banyak, membuatnya bingung.

Jam yang katanya sejak lahir sudah terpasang di tangannya itu membuat Konoha penasaran.

"Jam itu untuk menunjukkan waktu yang tersisa hingga kau menemukan soulmate-mu, Konoha." Ujar Kenjirou-sensei suatu hari, ketika dirinya bertanya. Saat itu, Kenjirou-sensei sedang sibuk membaca di sofa, sementara Konoha duduk di sampingnya tanpa berkata-kata. Setiap harinya, tidak banyak yang dilakukan Konoha di rumah ini. Kenjirou pun jarang pulang, dan ini kesempatan langka yang segera ia manfaatkan untuk memenuhi keingintahuannya.

"'Soulmate'?" Konoha tidak mengerti.

Menghela napas, pria berambut coklat itu meletakkan bukunya di meja dan meneruskan penjelasannya. "Pasangan hidup, dengan siapa kau akan jatuh cinta dan menghabiskan sisa hidupmu. Seperti itulah."

"Oh... lalu, um, berapa lama yang tersisa bagiku sampai aku bertemu... soulmate-ku ini?"

Kenjirou-sensei terdiam. Dia mengamati Konoha seolah pemuda itu hal paling menarik di dunia. Keheningan pun mau tak mau mengisi rumah yang hanya dihuni oleh dua orang itu. Konoha sejenak mengira bahwa ia sudah menanyakan hal yang salah, tapi kemudian Kenjirou-sensei menarik tangan kanannya dan mengamati jam di sana.

"Hm... wow, kau akan bertemu dengan soulmate-mu kurang lebih setahun lagi." Kata Kenjirou-sensei akhirnya.

"Tahun depan? Berarti... musim panas tahun depan...?" Konoha memastikan.

Kenjirou-sensei mengangguk kecil sambil mengambil bukunya kembali. Konoha mengamati jam di tangan gurunya yang memegang buku, semua angka di jam itu adalah nol. Berarti, gurunya ini sudah bertemu dengan soulmate-nya bukan...?

"Bagaimana rasanya saat kau bertemu soulmate-mu, Sensei?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Konoha, dan ia melihat gurunya berjengit mendengar pertanyaannya.

Hening lagi, dan ketika ia melihat ekspresi muram di wajah gurunya, kesadaran bahwa kali ini dia benar-benar telah salah bicara menghantamnya. Sejenak ia merasa takut. Gurunya pernah marah padanya, dan ia sama sekali tidak mau mengingat-ingat maupun mengulang kejadian itu.

"Kau akan tahu nanti."

Konoha diam, ia merasa setengah lega karena gurunya tidak marah, dan setengah penasaran karena pertanyaannya belum terjawab.

Beberapa saat kemudian, Kenjirou-sensei pergi lagi. Meninggalkan Konoha sendiri di rumah lagi.

Kenjirou-sensei tidak memperbolehkannya keluar rumah sendiri, dan juga selalu tidak bisa menemaninya jika ia ingin keluar. Yah, Konoha tidak mempermasalahkannya sih, toh Kenjirou-sensei selalu memenuhi kulkas dengan rutin setiap harinya dan itu sungguh sangat cukup bagi Konoha.

Namun, jika dirinya di rumah terus, bagaimana bisa ia akan bertemu soulmate-nya nanti?

Pertanyaan itu ia pendam jauh-jauh di kepalanya. Ia akan tahu jawabannya setahun lagi. Yang perlu dilakukannya saat ini adalah menunggu.

.

.


Musim panas, setahun kemudian

Hari itu, Konoha masih bergelung di kasur. Mengabaikan cahaya matahari yang menembus jendela kamarnya yang tidak tertutup gorden, android bersurai putih itu menutup wajahnya dengan selimut. Sekalipun cahaya matahari yang menyilaukan itu seolah berkata "Bangun!" padanya, Konoha tidak peduli.

Sampai ia mendengar suara bel rumahnya ditekan berkali-kali.

Terlonjak bangun, Konoha nyaris terjatuh dari kasur. Dengan terburu-buru dia menyambar karet di meja dan mengikat rambutnya seperti biasa. Dia setengah berlari ke wastafel di dapur untuk mencuci muka dan kemudian berlari lagi menuju pintu rumah.

Dikunci.

Argh.

Meredamkan rasa panik di dadanya, ia berusaha membuka kunci pintu itu. Selama ini jika gurunya pulang ke rumah, beliau selalu membuka pintu dengan kunci cadangan yang ada padanya. Itu membuat Konoha belum pernah membuka kunci rumah seorang diri.

Ia mendengar suara anak kecil, mungkin lelaki dan perempuan, dari luar. Sepertinya kali ini yang datang memang bukan gurunya.

Di percobaan kesekian, akhirnya Konoha berhasil membuka pintu. Dia merasakan keringat mengalir di dahinya ketika ia membuka pintu itu.

"Huh. Aku tak tahu apa yang terjadi tapi akhirnya pintu ini terbuka juga. Yang bener aja, kakak ipar, kamu ini kena—"

Benar, ada dua orang anak kecil di depannya kini. Seorang anak perempuan berambut hitam yang diikat dua dan anak lelaki berambut coklat. Sepertinya umur keduanya tidak berbeda jauh.

"M-maaf, aku tak tahu caranya membuka kunci pintu..." ujar Konoha pelan.

Wajah anak lelaki di depannya membelalak ketika melihat ke arahnya. Untuk sejenak Konoha merasa pasti ada yang aneh pada dirinya.

"K-kakak iparmu masih muda ya, Hiyori..."

"Kerennya..."

Wajah gadis itu merona dengan mata yang berbinar ketika memandang ke arahnya, membuat Konoha agak kebingungan tapi tidak bereaksi. Alih-alih, anak lelaki di sampingnya terlihat tidak percaya dan panik seketika.

"Kenapa Hiyori?! Eh?! Dia keren!? B-bukannya dia itu kakak iparmu?!"

"Bukan. Aku baru melihatnya sekarang. Ganteng banget..."

Baru kali ini ada seseorang yang memujinya, dan Konoha merasa senang dalam hati, sekalipun rasa senang itu tidak nampak di wajahnya.

"K-kubilang, siapa kau!? Ini rumah kakak iparnya Hiyori kan?! Kenapa kau di sini?!"

Nada dan suara anak lelaki itu terdengar sangat kasar, dan Konoha semakin bingung. Namun, ingatannya memberitahukan kalau "Hiyori" adalah nama seseorang yang akan datang hari ini, berdasarkan informasi dari Senseinya.

"Eh? Hiyori itu... ah, Sensei pernah bilang..."

Dia pun mengerti dan segera mendekati gadis bernama Hiyori itu. Senseinya selalu bilang kalau bertemu orang baru, ia harus mengenalkan diri dengan sopan. Namun ini pertama kalinya ia bertemu orang baru, dan ini pertama kalinya ia akan mengenalkan diri...

"Senang bertemu denganmu. Namaku, um... kurasa namaku itu Konoha..."

"Ah, ya ampun, umm! Senang bertemu denganmu juga! Ah, namaku Asahina Hiyori! "Sensei", kau bilang... jadi kau itu murid kakak iparku?"

"Eh? Um, bisa dibilang begitu..."

"Sudah kukira! Jadi kau di sini untuk menjaga rumah selama kakak iparku pergi ya? Berarti dia sibuk banget..."

"Begitulah. Um, karena kau di sini, silahkan masuk..."

Konoha merasa senang. Akhirnya, akhirnya ia mendapat teman baru. Tapi, saat Hiyori ingin melangkah masuk, anak lelaki di sampingnya mencegahnya. Kemudian anak itu berbisik ke Hiyori dengan cepat, yang dibalas secara ketus oleh Hiyori. Konoha tetap menunggu keduanya untuk memasuki rumah.

"Kamu ini bego apa?!"

"Eeeehh—"

Hiyori memalingkan wajahnya dari temannya dan mengubah ekspresi judesnya dengan senyum cerah ketika ia memandang Konoha lagi.

"Hey Konoha, cuekin aja anak lelaki ini, ayo masuk?"

"Ah, aku juga diminta buat menyambut anak lelaki itu dengan baik..." jawab Konoha pelan sambil mendekati anak lelaki itu, yang memandangnya dengan ekspresi aneh. "Um, namaku Konoha. Salam kenal...?"

"...Aku Amamiya Hibiya! Salam kenal."

Suara anak itu terdengar sangat enggan.

"Whoa, bagus kan, Hibiya, dia sangat ramah padamu! Nah, ayo masuk, ya? Benar kan, Konoha-san!"

Hiyori mendorong punggungnya dengan penuh semangat memasuki rumah. Konoha menahan senyum ketika ia merasakan tangan kecil yang hangat itu di punggungnya. Terdengar suara debam pintu yang keras dan ia tahu kalau Hibiya sudah menutup pintu di belakang mereka.

Teman baru. Kata itu terasa asing bagi Konoha, begitu pula perasaan antusias yang kini merayapi dadanya. Selama ini ia hanya sendiri bersama gurunya, dan memiliki dua orang teman baru sekaligus terasa sangat menyenangkan.

Namun, jam di tangan Konoha masih terus berdetak, belum mau mencapai angka nol sebelum waktunya. Menandakan kedua anak ini bukanlah soulmate-nya.

.

Malamnya, Hiyori sudah menerangkan kalau dia akan menginap di sini selama ia berada di kota bersama Hibiya, dan Konoha tidak keberatan. Matahari semakin tergelincir di arah barat ketika Konoha mendengar suara yang berasal dari perutnya. Saat itu mereka bertiga sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.

Hibiya mengeluarkan suara mencela sementara Hiyori mengabaikannya dan berkata pada Konoha.

"Konoha-san lapar ya?!"

Konoha mengangguk kecil sambil berdiri. "Masih ada makanan di kulkas... kalau mau, um, aku akan membuat sesuatu... kalian lapar?"

"Tidak usah! Hibiya, sana buat makanan! Kau lumayan bisa masak kan?" perintah Hiyori pada teman lelakinya. Hibiya mengeluarkan suara protes yang tak diacuhkan oleh Hiyori. "Sana buat! Kasihan Konoha-san lapar gitu!"

"Eh... tapi—" ujar Konoha.

"Tak apa Konoha-san! Aku pernah mencoba masakan Hibiya dan rasanya tidak buruk kok!"

Pujian secara tidak langsung yang diucapkan Hiyori itu sepertinya membuat Hibiya berubah pikiran dan tersenyum sumringah. Anak lelaki itu pun berdiri dan bergegas menuju dapur.

Konoha duduk kembali. Ia memandang Hiyori dengan penuh minat. Hiyori adalah gadis yang terlihat bersemangat dan walau terkadang suka bertindak kasar pada Hibiya, Konoha merasa kalau Hiyori tidak benar-benar tidak menyukai anak lelaki itu.

Sebuah senyum terpatri di bibir Konoha, senyum langka yang sangat tipis.

"E-eh, Konoha-san? Ada apa? Apa ada yang salah dengan wajahku?" Hiyori rupanya menyadari pandangan Konoha yang sedari tadi terarah padanya. Gadis itu terlihat salah tingkah dan pipinya bersemu merah.

"Ah, tidak..."

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Televisi di depan mereka menampilkan seorang idol yang sedang naik daun, idol tersebut adalah seorang gadis berambut oranye dengan mata menyala merah. Hiyori menonton acara itu dengan penuh minat, sesekali bertepuk tangan ceria. Konoha mengambil kesimpulan kalau Hiyori menyukai idol itu.

Aroma masakan yang sedap menelusup ke indra penciuman Konoha, membuat suara keroncongan di perutnya terdengar lagi.

"Hibiyaa sudah selesai belum?" kata Hiyori setengah berteriak ketika mendengar suara perut Konoha.

"Eee sebentar lagi!"

Hiyori mendesah kesal. Gadis itu kembali fokus ke tayangan televisi dengan kepala ditopang kedua tangan. Konoha melirik ke arah tangan Hiyori itu dan melihat jam di sana, angka-angkanya nol.

Tunggu,

Semua angkanya nol...?

"Hiyori... kau sudah bertemu soulmate-mu?"

Gadis itu terkesiap. Secara terburu-buru ia menyembunyikan tangannya dari pandangan Konoha. Ketika pemuda itu memandang wajah Hiyori, gurat kesedihan terpatri jelas di sana.

"Siapa? Hibiya?" Konoha memancing lagi dengan penasaran.

"B-bukan! Mana mungkin soulmate-ku itu orang seperti dia?!"

Suara Hiyori bergetar. Dan Konoha menyadari kalau ada airmata yang memenuhi manik obsidian gadis itu.

"Konoha! Bantu aku di sini!" seru Hibiya dari dapur.

Konoha mematung. Ia setengah ingin menenangkan Hiyori yang kini duduk dengan kepala tertunduk, namun nada yang digunakan Hibiya saat memanggilnya tadi sepertinya tidak menerima penolakan. Lagipula Hiyori tidak berkomentar apa pun tentang permintaan Hibiya tersebut.

"T-tunggu sebentar!"

Ketika ia meninggalkan ruang keluarga, ia melihat punggung Hiyori bergetar.

.

Hibiya memintanya untuk menata piring di meja makan yang terletak tak jauh dari dapur. Dengan patuh Konoha melakukan tugasnya. Begitu ia kembali ke dapur, Hibiya terlihat sedang meniriskan tempura dari minyaknya.

"Oi."

Konoha terlonjak ketika mendengar panggilan dingin Hibiya itu.

"Kau tahu, jangan pernah bicara soal soulmate timer dengan Hiyori, oke?"

Ia mendengar kesedihan di suara Hibiya. Mata pink pucat Konoha menilik ke jam di tangan kanan Hibiya, masih berdetak. Memang bukan Hibiya orangnya.

"Kenapa...? A-aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya bertemu soulmate-mu—"

"Karena," suara Hibiya mengintimidasi. Kegetiran dari suara itu terdengar jelas. "sejak lahir, jam Hiyori memang sudah seperti itu. Kau tahu artinya kan? Ia tidak ditakdirkan bertemu dengan soulmate-nya. Ia tidak akan memiliki soulmate!"

Konoha mematung. Kaget mendengar kenyataan itu.

"Aku—aku menyukai Hiyori, kau tahu? Tapi menyadari kalau gadis sepertinya tidak memiliki soulmate sangat menyakitkan—dan kini kau baru saja mencuri hatinya, sekalipun ia tahu dirinya tidak akan berakhir denganmu!"

Konoha diam. Ia melihat bahu Hibiya kini agak bergetar—sama seperti Hiyori tadi.

"Memang bukan salahmu karena kau tidak tahu, tapi lain kali jangan pernah membicarakan soal soulmate timer dengannya, oke?"

Hibiya mengakhiri ucapannya sambil menyodorkan sepanci sup pada Konoha, tanpa kata menyuruhnya menaruh sup itu di meja makan.

Ketika mereka makan, Hiyori sepertinya sudah kembali ceria. Bahkan gadis itu sudah bisa tertawa, sekalipun ia tadi terlihat sangat depresi karena pertanyaan Konoha. Konoha bersyukur karena ternyata Hiyori tidak benci padanya.

.

.


Keesokan harinya, Konoha terbangun dan tidak menemukan kedua anak itu di rumah.

Setengah panik, ia mencari-cari ke semua sudut rumah. Kamar tidur, dapur, ruang tamu, ruang keluarga, kamar mandi, gudang. Tidak ada.

Kemudian ia berpikir, keduanya datang dari desa. Pasti ada yang ingin dilakukannya di kota ini, dan—apa yang akan dilakukannya jika dia berasal dari desa dan pergi ke kota? Tentu saja kemungkinan besar itu pergi ke pusat perbelanjaan, untuk membeli oleh-oleh—misalnya.

Konoha tidak yakin ia bisa meninggalkan rumah begitu saja, padahal Sensei sudah berpesan untuk tetap menjaga rumah hingga ia pulang, namun keselamatan kedua teman barunya menjadi prioritas.

Akhirnya, setelah memantapkan diri, ia mengenakan sepatu, mengunci pintu rumahnya, dan pergi mencari kedua anak itu.

.

Ia merasa sangat lelah dan peluh mengalir di pelipis dan lehernya ketika ia menemukan mereka. Namun, kelihatannya mereka berdua sedang bertengkar. Hiyori berteriak-teriak dengan kesal pada Hibiya dan wajah gadis itu terlihat ingin menangis. Hibiya sesekali mencoba berbicara, namun menciut karena teriakan Hiyori.

Suara serangga-serangga musim panas terdengar memekakkan telinga.

Konoha berhenti sekitar tiga meter di dekat keduanya dan mengendalikan nafasnya yang terengah. Sepertinya baik Hiyori maupun Hibiya tidak menyadari keberadaannya.

"Aku mau pulang. Jangan ikuti aku."

Suara Hiyori sedingin es. Kemudian gadis itu berbalik dan akhirnya menyadari keberadaan Konoha di depannya.

"Kau... sejak kapan kau di sini?"

"Eh, sejak awal?" Konoha menegakkan tubuhnya. "Tadi waktu bangun aku tidak menemukan kalian di rumah... jadi, kurasa aku harus mencari kalian..."

"...Apa kau mendengar pembicaraan kami tadi?"

Konoha menaikkan sebelah alis dengan bingung. "Eh? Ya, aku dengar."

Dan setelah itu, Hiyori berlari meninggalkan Konoha, membuat android berambut putih itu kebingungan sejenak. Cukup untuk membuat Hibiya mengejar Hiyori mendahuluinya. Begitu Konoha menyadari apa yang terjadi, ia pun berbalik dan ikut mengejar Hiyori.

Atau setidaknya itu yang akan ia lakukan.

Baru saja ia berbalik, sebuah truk melaju kencang ke arah seorang gadis berambut hitam yang diikat dua, menabraknya telak.

.

.


Tangannya menggapai, mencoba meraih gadis yang berlari ke tengah jalan itu, berusaha mencegahnya tertabrak kendaraan yang melaju kencang tak jauh darinya, siap menabraknya kapan saja...

Namun, rasanya ada perisai tidak terlihat yang mencegahnya mendekati gadis itu. Dengan putus asa, ia berusaha lagi dan lagi namun semuanya sia-sia.

Ia mendengar suara jeritan putus asa seorang anak lelaki yang meneriakkan nama gadis di depannya, dan gadis itu tertabrak lagi untuk kesekian kalinya.

Hentikan.

Lagi-lagi ia hanya bisa mengamati, kali ini sebuah tiang terjatuh begitu saja dan menembus tubuh gadis itu. Darah muncrat ke mana-mana dan ia hanya bisa mengamati.

Hentikan.

Tangisan dan teriakan anak lelaki yang ada di samping gadis itu seolah menulikannya.

Kumohon hentikan.

.

.


Jam Konoha terus berdetak, hanya beberapa menit tersisa hingga angka-angka di jam itu berubah menjadi angka nol.


.

.

Panas matahari sangat terik, seolah-olah terik itu mengejek dirinya yang baru keluar rumah setelah sekian lama. Kakinya menjerit protes akan setiap langkah yang dia ambil, dan peluh mengaliri pelipisnya. Dia butuh soda—atau apa pun, tapi diutamakan sih soda— untuk membasmi dahaga ini.

"Goshujin! Kenapa lemas gitu! Semangat dong semangat!" ujar gadis berambut biru di ponselnya. Gadis itu berkacak pinggang sambil menggeleng-geleng. "Inilah akibat dari menjadi seorang HikkiNEET! Baru jalan sedikit sudah kayak yang sedang menjelajahi padang pasir!"

"Diam kau." Suara Shintarou terdengar serak. Ia mengambil nafas dengan terengah. Kata "CAPEK" memenuhi kepalanya dan berputar-putar riang. Apa pun akan ia berikan dengan imbalan ia bisa kembali ke kamarnya yang nyaman saat ini juga. "Lagipula sedikit darimananya—"

Ya, dia baru saja berjalan dari rumah menuju mall (di mana ia bertemu dengan teroris yang memilih hari yang salah untuk menyerang), markas Mekakushi Dan (di mana ia dinobatkan sebagai anggota ketujuh mereka tanpa persetujuan darinya), taman hiburan (di mana ia muntah-muntah dan pusing tujuh keliling setelah menaiki wahananya), dan kini Ene—gadis sialan di ponselnya itu—memintanya untuk pergi ke suatu tempat.

'Sedikit' katanya.

Ia terus melangkah, karena tidak mungkin ia boleh jatuh begitu saja di tengah jalan—lagipula tidak ada tempat di mana ia bisa istirahat sejenak sejauh mata memandang. Jika ada pun, Shintarou tidak yakin Ene akan membiarkannya istirahat barang sedetik saja.

"Ah! Goshujin!"

"Aku bilang diam—"

"Jam! Soulmate timer-mu!"

Mata Ene berbinar ketika melihat jam di tangan masternya, tangan kanan Shintarou yang menggenggam ponsel. Waktu yang tersisa tidak lebih dari dua puluh menit.

"Ah—" Shintarou tertegun.

"Whoaaa ternyata seorang perjaka sepertimu akan mendapat soulmate juga ya? Bagaimanakah soulmate-nya nanti?! Yang jelas aku merasa kasihan padanya karena mendapat soulmate sepertimu, Goshujin!" seru Ene ceria.

"Berisik!" wajah Shintarou terasa menghangat. Ia sudah lama tidak memerhatikan soulmate timer-nya, dan sama sekali tidak menyadari kalau waktu yang tersisa sesingkat itu. Pengasingannya benar-benar membuatnya tidak yakin ia akan bertemu dengan seorang "soulmate" baginya.

Dalam hati Shintarou juga bertanya-tanya, seperti apa soulmate-nya nanti?

"Kau sendiri—aku tidak memperhatikan, apa kau memiliki soulmate timer?"

"Eh?" Ene tercengang. Ia lalu mengangkat tangan kanannya yang tertutup jaket berlengan panjangnya sambil nyengir lebar. Shintarou merasa melihat kilatan kesedihan di mata biru elektrik itu, tapi—dia pasti berhalusinasi.

"Ra-ha-si-a!"

Shintarou menggerutu.

Tiba-tiba, matanya menangkap kerumunan orang-orang di tengah jalan. Sebuah ambulan terparkir tak jauh dari kerumunan itu, orang-orang berseragam putih mengangkat anak lelaki berambut coklat ke tandu. Tak jauh dari mereka, seorang lelaki jangkung—berambut putih—berdiri sambil memandang anak kecil itu dengan cemas.

Sengatan listrik kecil serasa merambati kepala Shintarou.

Sepertinya ada kecelakaan, tapi Shintarou sungguh tak mau tahu. Sambil memegangi kepalanya yang mendadak nyeri itu, ia ingin segera menjauh dari sana. Namun, ia mendengar jerit tertahan dari ponselnya dan Ene terlihat membekap mulut dengan mata membelalak ke arah ambulan itu.

Pintu belakang ambulan menutup dan tak lama kemudian ambulan itu melaju. Mengangkut anak berambut coklat dan pemuda jangkung tadi di dalamnya.

"Goshujin, bisa kau ikuti ambulan itu?"

"Hah?"

"Ikuti saja!"

"Enak saja! Kau pikir berapa waktu yang diperlukan kakiku untuk pulih jika aku harus berlari mengikuti—"

"Oh. Jadi kau ingin folder pornomu kusebarkan di internet dan diketahui oleh Imouto ya?"

Nada Ene sangat serius dan wajahnya datar ketika mengatakan itu. Tidak ada cengiran jahil atau seringaian penuh arti, dan ancamannya terdengar lebih mengerikan dari biasanya bagi Shintarou.

"Sialan—"

Kembali mengabaikan protes nyaring yang disuarakan kakinya, Shintarou berlari sekuat yang ia bisa mengikuti ambulan itu. Sumpah serapah di hatinya yang semuanya ditujukan pada Ene tidak terucap. Ia lebih dari tahu jika ia menyumpahi sambil berlari, tenaganya akan terkuras lebih lagi.

Ambulan itu sudah mencapai rumah sakit—yang sangat Shintarou syukuri, letaknya tidak terlalu jauh—ketika jarak Shintarou dengan ambulan tinggal 5 meter lagi (suatu keajaiban ia bisa mengejar ambulan hingga sedekat itu). Dengan terengah ia terus berlari.

Tanpa sepengetahuannya, jam di tangannya menunjukkan angka 0000000:30.

30 detik lagi.

Ene diam saat masternya terus berlari. Dirinya sendiri merasa gelisah.

20 detik.

Manik obsidian Shintarou menangkap sosok pemuda jangkung turun dari ambulan, dan sengatan listrik lagi-lagi seakan menyerang kepalanya.

15 detik.

Ia sampai—akhirnya, di depan rumah sakit. Kakinya yang terasa remuk mendekati ambulan yang sedari tadi dikejarnya. Hell, apa maunya si Ene ini? Ia bahkan tidak mengenal anak lelaki yang diangkut tandu tadi!

10 detik.

"Goshujin! Bisa kau serahkan aku ke lelaki itu? Berdua saja?" Ene menunjuk ke arah lelaki jangkung di dekat ambulan.

9 detik.

"Apa-apaan kau ini? Aku tidak mungkin menyerahkan ponselku ke orang yang tidak kukenal!" kaki Shintarou terus melangkah.

8 detik.

"Ayolah Goshujin! Kau ingin folder rahasiamu tetap aman kan?"

7 detik.

"Apa sih rencanamu?!"

6 detik.

Kaki Shintarou sudah mencapai tepat di depan ambulan. Jarak antara dirinya dan pemuda jangkung bersurai putih itu hanya sekitar satu meter.

4 detik.

Pemuda bersurai putih itu menatap lelaki di depannya dengan bingung. Siapa lelaki ini?

Atau itulah yang sempat ia pikirkan sebelum sengatan menyakitkan menyerang kepalanya.

3 detik.

"GOSHUJIN!"

2 detik.

"Argh! Baik-baik!" Shintarou menengadahkan kepalanya.

1 detik.

Ia melihat sosok jangkung itu, bajunya seperti karakter game. Kulitnya sangat pucat, seperti orang sakit.

0.

Manik kecil obsidian bertemu dengan iris merah pucat.

Shintarou tertegun.

Secara serentak, jam di tangan kedua lelaki itu menunjukkan angka-angka yang sama.

Nol.


~ TBC ~


A/N :

HOHOHO BERES- /darimananyabego

Sekali lagi, happy ShinKono Day minna! Saya sungguh bahagia menyambut hari ini! ;w;

Saya baru dapat ide buat bikin fanfic ini dua hari yang lalu, dan saya tidak yakin saya bisa menyelesaikannya tepat waktu agar bisa dipublish hari ini juga, jadi saya pecah. Rencananya bakal jadi 3 chapter, tapi belum pasti juga sih. :'3

Oh ya, kemungkinan fanfic ini sebagian besar akan mengikuti route novelnya. Saya ada rencana bikin sequel yang routenya ngikutin anime, Cuma ga tahu bakal bikin atau nggak. Lha yang ini juga belum beres ;3; /slappu

Ya segitu aja deh—kritik sarannya ditunggu!

Azu.