GOOD FATHER

Main Cast : Lee Donghae, Lee Hyukjae, Lee Jeno, Lee Jisung

Genre : Romance

WARNING!

BOYS LOVE

DON'T LIKE? DON'T READ PLEASE!

THE STORY IS MINE

Typo may applied, don't be silent reader please. NOT ALLOWED TO COPY PASTE WITHOUT MY PERMISSION!

TIDAK MENERIMA BASH DAN KAWAN-KAWANNYA. KRITIK DAN SARAN SANGAT DIBUTUHKAN.

THANK YOU ^^


Memiliki ayah yang usianya masih sangat muda bukanlah hal yang membanggakan bagi remaja seperti Lee Jeno. Sumpah, itu bahkan sangat memalukan. Apalagi ketika Jeno mengingat tahun ini ia berulang tahun yang ke delapan belas. Ya, Jeno berulang tahun yang ke delapan belas dan sang ayah, Lee Donghae, akan berulang tahun yang ke tiga puluh enam. Demi Tuhan, tiga puluh enam tahun dan anak laki-lakinya sudah remaja. Jeno benci melihat reaksi orang-orang ketika mengetahui jarak usia sang ayah dengannya. Tatapan mereka mengejek dan tak jarang Jeno melihat orang-orang itu membicarakan mereka di belakang, mencibir masa lalu ayahnya.

Saat pertemuan orang tua di sekolah, misalnya. Jeno tidak suka saat ayahnya datang ke sekolah dan semua orang memandang ke arah mereka. Bergunjing, membicarakan usia ayahnya. Setelah pertemuan itu berakhir, maka akan ada dua atau tiga orang yang menghampiri Jeno dan tanpa basa-basi menanyakan usia ayahnya. Atau kadang, ada yang tanpa tedeng aling-aling bertanya ke mana ibu Jeno. Bertanya macam-macam, ingin tahu urusan orang lain. Benar-benar bikin muak.

Sesungguhnya, secara fisik sang ayah memang tidak memalukan. Di usianya yang memasuki pertengahan tigapuluhan, Donghae bisa dibilang seperti wine yang makin tua usianya, makin baik pula kualitasnya. Singkatnya, Donghae adalah laki-laki yang tampan dan penuh kharisma. Buktinya adalah bentuk fisik Jeno sekarang. Nyaris sembilan puluh persen mereka mirip. Jeno memiliki mata sendu yang ia yakini didapatkan dari sang ayah, hanya saja mata Jeno lebih tegas dan ketika tersenyum kedua matanya akan membentuk menyerupai bulan sabit. Mata ayahnya tidak seperti itu ketika tersenyum, jadi Jeno mengambil kesimpulan bahwa matanya adalah kombinasi dari ayah dan ibunya—yang entah siapa dan entah ada di mana. Hidung Jeno mancung, lebih mancung dari ayahnya jika boleh berbangga hati. Dan terakhir, Jeno memiliki bibir tipis yang serupa dengan sang ayah. Dan ya, Jeno bukanlah anak angkat atau semacamnya. Lee Jeno adalah anak kandung Lee Donghae.

Ke mana ibu kandung Jeno dan bagaimana dia bisa lahir ke dunia ini? Mungkin ceritanya cukup panjang. Sebuah cerita dengan plot yang sudah dapat Jeno tebak akhirnya, sehingga membuatnya tidak tertarik sama sekali untuk mendengar cerita memalukan itu. Ya, sekali lagi, cerita di balik kelahiran Jeno adalah hal yang memalukan. Tidak pantas dikenang, apalagi dijadikan cerita menjelang tidur. Jeno lebih suka mimpi buruk ketimbang harus mendengarkan cerita masa lalu ayahnya. Oh, yang benar saja, menghamili teman sekolahnya dan terpaksa menjadi ayah di usianya yang ke delapan belas. Memalukan.

Mengenai ibunya, wanita yang seharusnya Jeno panggil ibu itu pergi entah ke mana setelah melahirkannya. Well, itu yang diceritakan Donghae ketika Jeno iseng bertanya mengapa dirinya hanya memiliki seorang ayah. Sebuah pertanyaan yang muncul karena dorongan rasa ingin tahu seorang anak laki-laki yang sedang bertransisi menjadi remaja tanggung. Jawaban Donghae saat itu tidak memuaskan rasa ingin tahu Jeno, tetapi ia memilih mempercayai jawaban absurd sang ayah. Karena bagaimanapun Jeno tidak benar-benar penasaran. Sudah bisa ditebak, bukan? Wanita muda menghilang setelah melahirkan anak diluar nikah, tentu alasannya karena malu dan menganggap anak yang dilahirkannya adalah aib. Mungkin sekarang ibunya ada di luar negeri menikmati hidup barunya tanpa memikirkan anak yang pernah dia lahirkan ke dunia, karena dia pasti hanya menganggap kelahiran anaknya adalah sebuah kesalahan yang menodai jalan hidupnya. Jadi biarlah, mungkin ini jalan yang terbaik untuk semua orang yang terlibat dalam situasi rumit ini.

Sejak Jeno berusia dua belas tahun, ia tidak pernah lagi bertanya atau menyinggung soal ibunya. Serius, kisah masa lalu ayahnya saja sudah bikin pusing, Jeno tidak mau menambah rasa sakit di kepalanya hanya karena penasaran dengan kisah ibunya. Cukup ayahnya saja yang membuatnya malu, jangan ibunya juga. Kalaupun ibunya memang memalukan juga, Jeno hanya berharap wanita itu tidak pernah muncul di hadapannya dengan alasan apa pun. Lebih baik dia terus bersembunyi seperti sekarang.

Jeno juga tidak berniat membuat melodrama dengan mendesak sang ayah dan mencari ibunya sendirian. Tolonglah, Jeno bahkan ingin muntah setiap kali menonton televisi dan menemukan drama semacam itu. Hidup Jeno tanpa ibunya sudah cukup sempurna. Memiliki ayah kaya raya yang siap memenuhi kebutuhan finansialnya, status sosial yang diakui, wajah yang tampan, dan bersekolah di tempat bergengsi. Semua itu sudah lebih dari cukup. Meski tidak memiliki ibu, Jeno menjalani hidup yang enak. Terima kasih pada sang ayah yang meski nakal saat remaja hingga menghamili teman sekolahnya, tapi sukses dan kaya raya saat dewasa.


.·:*¨¨* ≈≈ *¨¨*:·.


"Ayah ada rapat pagi ini, jadi tidak bisa mengantarmu ke sekolah. Dan yang seperti kau tahu, Kang ahjussi sedang berada di tempat kakekmu mungkin selama sebulan ke depan. Kau bisa berangkat sendiri menggunakan bus, 'kan?" Kalimat panjang lebar Donghae menyambut Jeno yang baru keluar dari kamarnya dan berjalan menghampiri meja makan.

Mendengar itu, Jeno hanya menatap Donghae sejenak dan mengangguk sebelum menarik kursi dan duduk di meja makan yang sudah tersaji hidangan sarapan. Roti bakar dan segelas susu. Seperti biasanya. Apa yang bisa diharapkan dari ayah tunggal yang hanya tahu cara memasak ramen dan membuat kopi? Disiapkan sarapan seperti ini saja Jeno sudah sangat bersyukur. Harus bersyukur, jika tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di dapur.

"Kau dengar ayah, Lee Jeno?" tanya Donghae yang tidak mendengar jawaban dari anak semata wayangnya.

"Hmm," jawab Jeno akhirnya.

Sebenarnya Jeno bisa naik bus sendiri, dia bukan anak kecil lagi yang harus di antar-jemput, tapi entah mengapa ayahnya lebih suka meluangkan waktu untuk mengantar atau menjemputnya di sekolah. Dan Jeno cukup senang jika ayahnya mendadak sibuk seperti hari ini. Itu artinya, Jeno bisa naik bus sendirian dan menikmati waktunya.

"Atau, kau bisa naik taksi." Donghae menambahkan, kemudian ia duduk di hadapan Jeno tanpa melepaskan apron berwarna biru cerah yang melekat di tubuh atletisnya. "Uang sakumu masih ada, 'kan?"

Jeno meneguk susunya hingga menyisakan setengah gelas, lalu mengangguk sambil mengambil sepotong roti bakar yang sudah diolesi selai stroberi. "Hmm," jawabnya yang lagi-lagi dengan gumaman.

Uang saku yang diberikan oleh ayahnya tentu masih tersisa banyak. Jumlahnya lebih dari cukup. Lebih dari yang seharusnya diterima anak remaja delapan belas tahun. Jadi, tidak mungkin Jeno menghabiskannya kurang dari waktu seminggu. Lagi pula Jeno bukan anak yang suka menghamburkan uangnya untuk hal yang tidak penting.

"Atau, kau bisa berangkat dengan Jaemin." Donghae memberikan pilihan yang lain lagi, lalu melirik jam tangannya. "Jaemin pasti masih belum berangkat."

Mendengar nama sahabat yang juga tetangganya itu disebut, Jeno hanya mendengus. Tentu Na Jaemin belum berangkat, dia bahkan mungkin belum bangkit dari tempat tidurnya. Berangkat bersama Jaemin sama saja dengan menjadi sukarelawan untuk berbagi hukuman akibat kesiangan. Jeno tidak suka hukuman, apa pun bentuknya.

"Aku lebih baik naik bus." Jeno menggeleng membayangkan Jaemin yang saat ini masih belum beranjak dari tempat tidurnya. "Jaemin pasti masih belum bangun."

"Saat berulang tahun yang ke delapan belas nanti, kau bisa mendapatkan SIM dan mengendarai mobilmu sendiri." Donghae bicara lagi sambil tersenyum sumringah saat menatap anak laki-lakinya yang sudah tumbuh menjadi remaja. "Tidak perlu lagi mengandalkan ayah atau Kang ahjussi."

"Hm, aku tahu." Jeno membalas singkat ocehan Donghae tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang kini berada dalam genggamannya. "Kakek sudah menjanjikan sebuah mobil untukku jika ujian kenaikan kelas nanti aku juara kelas."

"Jangan lupakan ujian SIM-nya, jagoan." Donghae mengingatkan sambil menatap bangga anak laki-lakinya.

"Ya, aku juga tahu itu."

Seperti pagi-pagi yang sudah berlalu, Donghae menjalankan perannya sebagai ayah tunggal sebelum berangkat ke kantor. Donghae bangun lebih dulu dari Jeno dan menyiapkan sarapan. Meski sibuk di dapur, tapi pakaian Donghae sudah setengah rapi. Setelan kantor yang membosankan seperti biasanya. Kemeja putih dengan dasi hitam yang melilit tidak rapi di lehernya, serta celana bahan yang berwarna senada dengan dasinya. Jas yang seharusnya Donghae kenakan tergeletak di sofa ruang tengah bersama mantel musim dingin dan tas kerjanya. Sebagai gantinya, Donghae memakai apron. Pasti berjaga-jaga agar kemeja atau jasnya tidak terkena noda. Jeno tahu, ayahnya kadang ceroboh.

"Ayah akan berangkat sekarang." Donghae bangun dari kursi dan melepaskan apronnya dengan terburu-buru setelah melirik jam tangan Rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Jangan nakal atau membuat masalah di sekolah."

Tentu saja Jeno tidak akan nakal atau membuat masalah. Meski lahir karena ketidaksengajaan dan dibesarkan oleh ayah tunggal yang masih sangat muda, Jeno tumbuh wajar seperti anak-anak lainnya. Terima kasih pada kakek dan nenek yang turut serta membesarkan Jeno. Bahkan Jeno berprestasi di sekolah dan jago berolahraga. Berbagai piagam penghargaan dan medali saat mengikuti olimpiade sekolah yang menjadi hiasan kamarnya menjadi buktinya. Tidak menyukai masa lalu ayahnya, bukan berarti Jeno harus menjadi anak pemberontak dan jadi nakal 'kan? Lagi pula, menjadi pembuat masalah bukanlah gayanya. Tidak elegan sama sekali dan tidak menunjukkan sifat lelaki dewasa.

"Ayah menyayangimu, jagoan." Donghae mengecup puncak kepala Jeno dan mengelusnya, membuat Jeno meringis tidak suka.

Jeno tidak tertarik membalas ucapan manis Donghae, tapi dasi yang menggantung tidak rapi di leher sang ayah membuatnya gusar. Jeno memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, lalu ikut bangun dari kursi dan tanpa kata menghadang langkah ayahnya yang baru saja akan meninggalkan meja makan.

"Apa?" tanya Donghae dengan alis yang terangkat.

Lagi-lagi Jeno tidak menjawab, ia berdiri di hadapan Donghae yang hampir sama tinggi dengannya, lalu merapikan dasi yang melilit tidak rapi itu.

"Anak manis." Donghae mengelus rambut hitam Jeno dan tersenyum lebar saat menyadari apa yang dilakukan anak laki-lakinya itu.

"Ayah sudah membawa dompet?" tanya Jeno yang masih saja bersikap dingin.

Donghae meraba saku belakang celananya, tapi tidak menemukan benda yang disebutkan Jeno tadi. "Pasti ada di saku jas," kilahnya sambil tersenyum.

"Di kamar. Ayah meninggalkannya di atas meja kerja." Jeno memang tidak menyukai interaksi yang berlebihan dengan Donghae, tetapi ia sangat perhatian pada ayahnya yang sedikit ceroboh dan kadang pelupa itu.

"Ah, benar!" Donghae menepuk keningnya. "Ayah memang tidak bisa hidup tanpamu," katanya sambil berjalan terburu-buru ke kamar dan mengambil dompetnya.

"Sudah saatnya ayah mencari istri," kata Jeno saat melihat ayahnya keluar dari kamar. Sengaja tidak menambahkan kata 'lagi' karena ia tidak yakin ayahnya sudah pernah menikah sebelumnya.

Aku 'kan lahir karena ketidaksengajaan, Jeno membatin miris.

"Kau tidak keberatan jika ayah menikah?" tanya Donghae sambil memakai jasnya. "Kau akan memiliki ibu tiri nanti."

"Tidak," jawab Jeno singkat.

Sebenarnya Jeno tidak keberatan ayahnya menikah dan memiliki istri untuk mengurusnya. Tapi kemudian Jeno memikirkan hal-hal tidak wajar. Seperti yang terjadi di kebanyakan drama, bagaimana kalau ternyata ibu tirinya jahat? Lebih dari itu, Jeno sangat membenci perempuan yang cerewet dan banyak aturan. Satu-satunya perempuan yang tidak membuat Jeno pusing, hanyalah neneknya. Jika memang ayahnya mau menikah lagi, akan lebih baik jika dengan perempuan yang seperti neneknya.

"Benar ayah boleh menikah?" tanya Donghae memastikan.

Jeno mengangkat bahu sambil menatap lurus mata sendu Donghae. "Asal tidak dengan wanita yang cerewet dan banyak aturan, aku tidak masalah."

Tidak ada jawaban, Donghae hanya tersenyum misterius. Benar-benar tidak jelas. Jeno merasakan ada yang aneh dari senyum ayahnya, tetapi ia tidak begitu peduli.


。・:*:・゚ ,。・:*:・。D&E。・:*:・゚ ,。・:*:・。


Hai, ini chapter baru...

Tenang aja, udah beres kok tinggal publish-publish aja.. jadi gak gantung...

Bakal publish kl ada jaringan internet heheheh

.

.

With Love,

Milkyta Lee