.
Ada dua orang pria yang mencari jawaban dari kepingan masa lalu. Fotografi hitam-putih menunjukkan jalan menuju abad kelabu. Alam semesta memang tidak mengenal hitungan waktu.
Terakhir kali mereka berpegangan tangan adalah pada akhir tahun sembilanbelas-empatpuluh , ketika cinta menjadi sekutu, kepercayaan runtuh, dan ingatan manis mengabur menjadi abu.
.
.
Pernahkah kau merasakan gezellig?
.
ABAD by Raputopu
Hetalia Axis Powers © Himaruya Hidekaz
Percakapan dengan format italic merujuk pada penggunaan bahasa asing.
.
"Gezellig(1)"
.
Blue Pepper, Amsterdam 2016
Vader Jacob, vader Jacob
Slaapt gij nog? Slaapt gij nog?
Alle klokken luiden, alle klokken luiden.
Bim bam bom, bim bam bom(2)
.
Van der Decken pergi meninggalkan segalanya di Belanda.
Suasana abad ke-17. Patung alien bersama rokok. Perkotaan sejarah yang berbaur dengan sistematika urbanisme modern.
Ia dan rokoknya terbiasa mengawali rutinitas dengan berjalan di sekitar Prinsegracht pada pagi hari, kemudian mendengar lonceng sepeda bersahut-sahutan dari kejauhan. Tertawa geli melihat pedagang bunga yang tenggelam dalam lelap di selimut bunga aneka warna. Kemudian menghabiskan sisa matahari pagi dengan duduk di seberang sungai Jordaan dan memotret rumah kayu terapung di atas perahu tua.
Namun, tidak ada gezellig.
Tuhan sangat bermurah hati. Setiap kilometer adalah gedung museum megah. Ia pernah masuk ke dalam museum Van Gogh yang menggantung koleksi terbesar di dunia, dididirikan oleh anak Vincent yang tersiksa. Beberapa blok jauhnya, berdiri panggung Vermeer, pameran Rembrandt, dan galeri lukisan dari abad keemasan yang berkumpul dalam satu paket Rijksmuseum.
Namun, tidak ada gezellig.
Dan kepuasan yang menggugah ketika melihat gelas-gelas cappucino hilir-mudik di dalam Café Pieper yang berusia 350 tahun, sembari mencari waktu untuk meregangkan sendi setelah seharian menelanjangi jalan De Baarsjes hingga Zeeburgerpad dengan berjalan kaki.
Namun, tidak ada gezellig.
Selama satu minggu berpetualang mandiri di Amsterdam, kakinya selalu berakhir menuju taman tersembunyi, tersesat di toko kecil yang menjual pita beludru, menghirup jenever dari tempat penyulingan, atau berteduh di biara tua klasik. Ke manapun kakinya melangkah, pasti akan berujung di kanal, atau sebuah kafe cokelat.
Namun, tidak ada gezellig.
Sang calon astronot Belanda menegak float buatan Blue Pepper terakhirnya, sebuah restoran Indonesia satu-satunya di jalan Nassaukade 336. Tak sabar ingin segera menonton pertunjukkan akustik terakhirnya di bawah lampu kelap-kelip Tolhuistin saat malam tiba, sebelum ia berangkat esok pagi menuju gugusan pulau hijau yang menduduki khatulistiwa, bersama foto-hitam putih seorang pemuda berpakaian Jawa.
Mencari gezellig.
.
"Hey, Alfonso. Kau yakin dia benar-benar bisa melihat masa lalu dari sebuah foto?"
.
.
.
Lawang Sewu, Semarang 2016
Cublak cublak suweng
Suwenge ting geletek
Nganggo kepudung solek
Tak ijo royo-royo
Sopo gelem delekak(3)
.
Semarang yang terpanggang matahari, ramai dan aneh. Peta hijau raksasa dengan bukit-bukit tinggi. Lahir dari sejarah dan tumbuh berkembang menjadi kota makmur dengan beragam populasi.
Bila dilihat dari udara, maka akan nampak seperti bayang-bayang skizofrenia, penuh warna dengan gradasi abu-abu oleh kota tua, dibalut limpahan galeri seni yang indah. Dan daya tariknya adalah arsitektur lawas dengan atmosfer kolonial yang megah. Tentu saja dibumbuhi cita rasa Belanda.
Namun, ironi yang tercipta saat membuka luka lama adalah ketika mendapati kenyataan bahwa kau mencintai sang penjajah. Darah kita adalah warna yang terbalur dalam kuas yang tergores menyapukan lukisan raksasa, peluru-peluru yang membuat palet menganga di tubuh mereka. Merah tua, terburai, tanpa nyawa. Dan karya seni itu akan berada di setiap buku sejarah.
Ketika pada abad itu kita harus hidup di dalam dua dunia. Bermandikan rempah-rempah di pagi buta, lalu malamnya menghirup wangi tubuh pria Eropa. Terlahir untuk melantunkan keroncong, namun hanya jazz yang terdengar di seluruh penjuru kota. Kios-kios Belanda dengan seluruh karyawan dari Jawa. Pilih Pancasila atau Ratu Wilhemina Pilih hidup atau mati.
Namun, kita bukan amfibi, kita punya warna sendiri.
"Dan dia adalah merah putih."
Pemuda berambut hitam itu menurunkan kamera polaroidnya, memandang foto-foto pengurus Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij di ruangan berwarna cokelat muda. Kemudian, matanya turun ke potret pria Belanda yang sedang berdiri kaku. Mistis dan membuat penasaran. Dia berlagak seperti akan diinterogasi polisi nasional.
Matanya sedikit berkaca-kaca.
Ruangan itu hening. Sehening ketika orang-orang hidup yang pernah bekerja di sini menjadi daging tanpa jiwa di bunker neraka.
Ia menutup matanya perlahan.
Dalam satu tarikan napas panjang, udara dingin tiba-tiba melilit tubuhnya seperti sulur mematikan. Telinganya mendenging dengan cara yang menyakitkan. Sendi-sendinya lemah seperti kayu tanpa sanggah. Jemari itu meremat erat di depan dada.
Lantainya berputar-putar seperti kapal di tengah badai, sebelum akhirnya aroma dinding-dinding tebal yang berdebu menguasai atmosfer di sekitarnya, dan sayup-sayup suara pria-pria Eropa yang saling bercakap menabuh telinga.
Lambat-laun mulai merebak bunyi peluit kereta api entah dari mana, suara derap langkah kaki sepatu kulit di lorong-lorong, dering-dering telepon logam dari kejauhan, perbincangan bahasa Belanda di mana-mana, bunyi mesin kereta api meraung di balik punggungnya, dan matahari hangat yang membungkus tubuhnya.
Hatinya belum siap, tapi ia mencoba membuka mata perlahan dan melihat ke sekelilingnya hati-hati.
Gradasi warna jingga menyihirnya seakan seperti terperangkap di dalam foto tua yang menguning. Gambarnya pun pecah-pecah seperti foto kakek di rumah.
Segalanya sibuk. Orang Belanda memang selalu sibuk. Lihatlah wajah kemerahan mereka yang kaku. Ia melihat mereka berjalan cepat di sekitarnya seperti atom-atom yang bergerak di lintasan alami yang tak beraturan. Tubuh mereka tegap, baju lurus tanpa lipatan, rambut emas yang tersisir licin ke belakang, dan masing-masing nampaknya membawa pekerjaan penting. Penarik karcis pun sama sibuknya melayani pembeli yang sesungguhnya jauh lebih sibuk pada hari itu. Kereta uap terus singgah dan berlalu dari pagi hingga sore hari. Pekerjaan tak pernah berhenti.
Foto pria misterius itu yang membawanya ke sini. Baginya, fotografi adalah mesin pembawa kenangan, peristiwa, dan memori.
Airlangga termangu melihat kalender yang tergantung di dinding. Nederlands-Indië. Dinsdag, 16 Juni 1912.
Orang-orang melintas cepat di sebelah bahunya, segera ia membuat dirinya terlindungi dari pandangan siapa pun. Ia tak menoleh. Hanya ingin menikmati suasana siang terik di kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia pada hari itu.
Ketika ia mengangkat kamera polaroidnya, berbalik badan, matanya menemukan seorang pria Belanda sedang berdiri di belakangnya, memandanginya.
Pandangan dari mata elang itu menahan tarikan napasnya. Dan entah kenapa mata itu memberinya rasa deja vu yang aneh. Kamera polaroid di tangannya turun perlahan.
Distraksi mata berwarna biru lautan itu nampak berusaha merasuki apa yang ada di balik bola mata hitamnya. Alis pirang itu membentuk kurva sempurna saat ia mengerutkan mata. Kepala pemuda Jawa itu menengadah dalam keterpanaan, kemudian menyadari bahwa ia bukanlah sang objek utama yang sedang diperhatikan.
Apa yang dipandang oleh Belanda itu adalah peta kereta api di balik tubuhnya yang transparan.
Tubuh tinggi itu berdiri saja di sana tanpa melakukan apa pun. Posisi itu seakan meminta Airlangga untuk memotretnya.
Airlangga mengangkat kamera polaroidnya tanpa sadar, membingkai wajah simestris maskulin itu ke dalam kotak kacanya, dan menarik napas dalam-dalam.
Bunyi tembakan terdengar dan sosok di hadapannya menghilang dari pandangan.
Tiba-tiba puluhan voltase listrik mengejutkan tubuhnya. Kedua kakinya mundur dua langkah, bergetar hingga tubuhnya limbung dan visual di hadapannya menjadi abstraksi tak berpola.
Orang-orang di sekelilingnya meleleh seperti boneka lilin terbakar. Ketakutan Airlangga tercekat di dalam lehernya. Dinding-dinding berputar seperti cat air tumpah. Angin mengaduk-aduk segalanya, menarik ke dalam lubang hitam. Suara bising teredam dan menghilang menjadi denging. Keramaian menyusut menuju sunyi.
Dan gelap total.
Tangannya berusaha memegang apa pun di sekitarnya ketika berat tubuhnya jatuh ke tanah. Jantungnya berderap seperti kuda yang dilepaskan ke medan perang. Napasnya patah-patah dan menggumpal di paru-parunya.
Membuka mata menjadi amat menguras tenaga. Pandangan yang mengabur berangsur terang. Butuh lima detik sampai ia bisa beradaptasi. Ritme napasnya turun lebih tenang.
Sayup-sayup terdengar suara masjid dari kejauhan. Gemerisik dedaunan pohon akasia besar tedengar berisik dari tengah lapangan. Hembusan angin panas siang hari menenangkan. Sunyi dan sepi.
Bayang-bayang burung pipit nampak menari di ventilasi. Memegang ubin, jemarinya nyaris membeku. Aroma rangka-rangka kayu pintu dan jendela memberi kehangatan. Hanya ada suara gema napasnya yang terpantul di dinding marmer berwarna gading.
Dia telah kembali ke ruangan foto-foto lama di salah satu bilik Lawang Sewu.
Pemuda itu mendorong tubuhnya dari lantai, berusaha bangkit berdiri, ketika selembar kertas foto milik pria museum itu jatuh dari kuncian jemarinya.
Memungutnya dengan pandangan penuh tanya, alis Airlangga mengernyit.
Itu adalah foto hitam-putih pria Belanda dari tahun 1912 yang tadi berdiri di belakangnya.
.
.
.
Spiegel Bar Bistro, Semarang, 2016
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken e
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij(3)
.
Dengan nada ceria, Alfonso bilang Spiegel Bar Bistro adalah satu-satunya restoran di Semarang yang pantas menyambut kedatangan teman Belandanya hari ini. Kayu-kayu tua di sana telah berdiri sejak tahun 1895 hingga sekarang. Meja marmer adalah tapas bagi vegetarian untuk menikmat brokoli dengan lemon atau parmesan. Dia juga bisa memesan koktail, ayam tikka taco dan mocqueca, atau sup seafood Brazil. Dan yang pasti, menonton pertunjukkan atraktif dari bartender. Sangat bernuansa Eropa klasik.
Mereka memilih duduk di bar counter. Sang bartender pria menyambut dengan ramah. Alfonso memesan dua gelas minuman bernama Cocktail After Sunset.
Dengan cekatan ia langsung menyiapkannya. Gerakan tangannya cepat, mengambil gelas dari rak, menuang minuman dari botol, mengupas buah, semua sangat cepat. Paling menarik saat ia harus mencampur semua bahan dalam sebuah botol tertutup dan melakukan shaking. Ia mengocoknya dengan gerakan yang khas dengan kedua tangan ke kanan dan kiri sisi badan, cukup atraktif dan menghibur.
"Haruskah mengocoknya dengan cara seperti itu?" Airlangga iseng bertanya, karena ia baru pertama kali melihat pertunjukkan bartender secara nyata.
Sang bartender yang menjawab sambil tertawa, "Memang begitu tekniknya." Sembari terus menyiapkan cocktail pesanan mereka.
Tubuh Alfonso mendekat dan berbisik di telinga Airlangga. "Kau harus mempelajari cara mengocok yang benar dari dia."
Airlangga spontan memukul dada Alfonso. Kekasihnya tertawa.
"Temanku akan tiba sebentar lagi." Alfonso mengecek arlojinya, lalu kembali mendekatkan wajahnya dan berbisik. "Dia tidak sabar ingin bertemu dengan 'si cenayang' ini." Tangannya mengacak-acak gemas rambut hitam itu.
"Jangan cerita yang aneh-aneh, Alfonso." tegas Airlangga.
Alfonso tertawa. "Tentu tidak. Aku menceritakan apa yang aku lihat."
Airlangga tersenyum pahit.
"Nanti antarkan ke meja kita, ya." Pria Portugal itu memukul-mukul pelan pundak Airlangga. Remaja itu mengangguk pelan.
Alfonso adalah pria bule yang dalam beberapa bulan ini dekat dengannya. Mereka pertama kali bertemu di Taman Sari Yogyakarta ketika lelaki Portugal itu meminta tolong untuk mengambil potretnya di gerbang pintu masuk. Alfonso adalah traveller nekat yang memburu foto dari seluruh dunia hanya untuk popularitas akun Instagram. Hobi yang sama menyatukan pikiran keduanya. Dan di samping itu, Alfonso adalah pria yang kharismatik.
Dari Thailand, Maladewa, hingga Malaysia, Alfonso akhirnya kembali lagi ke Indonesia, membawanya pada ciuman pertama dengan pria Asia. Dan Airlangga tidak bisa memberi jawaban lain selain 'ya'.
Lagu-lagu jazz dengan tempo sedang menyihirnya. Entah siapa yang bertugas memilih dan menyusun daftar lagu yang diputar di tempat ini. Siapa pun dia, Airlangga harus akui seleranya tinggi sekali.
"Blackforrest Martini."
Bahana bariton terbit dari sebelah kursinya.
Jantungnya berdetak sekali. Dunianya berhenti.
Kepalanya berpaling pada tubuh yang dua kali lipat lebih tinggi darinya, sedang merunduk rileks di dalam mantel hitam tebal dan melamun. Pria Amsterdam itu ada di sini. Jabrik emas yang lebat semuanya rebah seperti gandum kering, memayungi kening bergaris penuaan dengan alis rimbun yang mengerut. Tulang pipi tinggi membentuk paras adam tegas. Bibir tipis terkatup menenggelamkan kata. Hingga akhirnya sepasang netra biru lautan itu berlayar dan berlabuh pada dua manik mata yang menatapnya terpana.
Keduanya sama-sama tertegun.
Hanya melalui pandangan mata, mereka terbelenggu di dalam lautan nostalgia yang sama.
Entah kenapa dua mata hitam itu seperti menguncinya. Membuatnya tidak mampu berpaling ke arah lain. Ketika bibirnya terbuka, suarnya terdengar seperti dari tempat yang sangat jauh, datang seperti angin semilir yang aneh. Dan keduanya sama-sama merapalkan istilah yang sama.
.
.
.
"Gezellig..."
.
.
.
Untuk apa merangkai masa depan, bila kau memilikinya di masa lalu?
tbc
1 Gezellig adalah istilah dari Dutch yang menggambarkan perasaan menggelitik yang nyaman dan memberi kehangatan, yang membawamu ke tempat penuh kasih sayang, bahagia, dan rileksasi, serta perasaan santai ketika bertemu kekasih.
2 Vader Jacob adalah lagu anak-anak 'Are you sleeping?' versi Dutch
3 Cublak-cublak adalah lagu tradisional anak-anak dari Jawa
4 Geef mij maar nasi goreng adalah lagu Belanda dengan varian masakan Indonesia di dalamnya
A/N: Iya iya saya tau ini aneh banget. Mau bikin sebagus Batavia tapi ku tak bisa. Dan entah kenapa Airlangga buatan saya selalu freak. Saya pernah berkunjung ke Lawang Sewu satu kali. Berawal dari uji nyali, berakhir dengan fangirling-an. Bayangin. Gerbong kereta api yang artistik, foto-foto bestuur yang klasik, miniatur kantor kereta api, foto hitam-putih Indonesia zaman dahulu, pakaian masinis di tahun 1920. Bayangkan seratus tahun yang lalu orang-orang Belanda berpijak di tanah yang kita juga pijak. Maka dari itu, salah satu impian saya untuk traveling keliling dunia tidak boleh hilang. Untuk berpijak di suatu tempat baru dan ikut menjadi bagian dari sejarah. Dan masa depan yang kita tinggali, suatu saat juga akan menjadi sejarah.
Sign, Rapuh
