Disclaimer : Naruto milik Sasuke dan Masashi Kishimoto-sensei [saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun. Cerita ini dibuat hanya sebagai penyalur rasa cinta kepada OTP dan terapi menulis]
Warning : au, miss typo(s), and other stuffs.
a/n : ditulis sambil mendengarkan Lovely Day milik Super Junior. Terima kasih yang sudah mampir. Selamat membaca!
p.s: cerita ini pernah di publish Juni 2017, yep ini REPOST. saya lagi kangen narusasu fluff btw
.
genitive
[jenitiv; menunjuk milik (dalam tata bahasa)]
a Naruto fanfiction, written by Rou
.
Ini adalah apa yang Sasuke temukan di antara suhu malam yang meluncur ke titik minus nol derajat, lengang pejalan kaki, dan temaram lampu stasiun: Naruto berlindung di bawah kanopi kedatangan, kedua tangan menampung udara keperakan dari mulut, menjemputnya.
Sasuke amat yakin di antara deadline artikel-artikel dan laptop yang menyala di atas meja kerjanya hari ini, ia telah menelepon Naruto dan mewanti-wanti supaya lelaki itu tidak datang.
"Oi, Sasuke! Di sini!" suara Naruto menyinggahi telinga, memudarkan impulsifnya yang sempat diadopsi geming. Sasuke mengayun langkah, menaikkan simpul syal dan berterima kasih kepada fabrik berbahan wol yang membantu menyembunyikan rona merah di pipi.
"Apa yang kau lakukan di sini?" teknisnya, Sasuke sudah bisa menebak, namun ada hal-hal yang apabila didengar langsung akan menghasilkan kelegaan dua kali lipat.
Naruto masih mengenakan kemeja di balik mantel selutut; suatu hal yang tidak biasa walau jas putih dokter sudah dilepaskan. Lalu, ada kurva lebar yang memantul di kelereng sebiru lautan itu ketika menjawab,—seakan udara menusuk sama sekali tak mengganggunya—ini sudah terlalu larut untuk pulang sendirian, Sasukeeeee. Senyum yang menubruk iris kelam Sasuke membuat napasnya sejenak berhenti mengombak.
Sekilas melihat pun, Sasuke tahu Naruto telah mencampakkan sarung tangan begitu saja. Bisa-bisanya lelaki itu tidak berpikir untuk pulang sebentar dan berganti baju—melakukan perjalanan usai operasi berturut-turut pasti rasanya mengerikan, walau yah, pendapatnya takkan berguna kalau Naruto sudah memutuskan—tas kerjanya saja terlihat sama berat dengan kedua bahu itu.
Sasuke membuang napas untuk kemudian mengurai lilitan syal di lehernya dan memindahkannya ke Naruto. Berusaha tak peduli dengan uap hangat Naruto yang menerpa kulit wajahnya—seberapa keras pun Sasuke berusaha meredam degup jantungnya yang menggila, gugup itu tetap mampir.
"Di mana sarung tanganmu?"
Seringai Naruto meluncur, "Untuk apa? Sudah tidak kubutuhkan lagi."
Ramalan cuaca yang berkoar-koar tentang salju lebat malam ini agaknya diragukan. Sasuke melirik apa saja—selain tawa lepas Naruto, yang Sasuke hapal mati di kepala karena diam-diam ia menyukai (walau tak akan pernah mengakui)—ketika mendapati jari Naruto yang jauh, jauh lebih besar dan kasar mengisi ruang kosong jemarinya.
"Nah, sekarang sudah hangat."
Cincin Sasuke sempat bersinggungan dengan cincin di jari manis Naruto, cincin yang sama. Sementara lelaki itu mulai melangkah di sampingnya, dan Sasuke masih beku akan jemarinya yang tersimpan bersama jemari Naruto di dalam ceruk saku mantel lelaki itu.
Ada senyum yang diam-diam terkulum di bibir, dan Sasuke mestinya sudah terbiasa, ia ingin terbiasa. Dengan segala kejujuran itu, bagaimana mungkin ia tidak jatuh pada seorang Uzumaki Naruto?
(end)
