Chapter 1

.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : High School love,drama, friendship

Rated : T

Warning :

AU!, Typo(s)

.

Present~

.

.

Seorang perempuan bersurai kebiruan berkali-kali menatap lelaki di hadapannya, ia menahan air mata yang sudah siap tumpah kapan saja. Tapi ia tidak akan melakukannya, karena itu terlalu lemah. Ia tidak ingin lemah di hadapan Gaara.

Orang bilang perpisahan adalah awal dari perpisahan baru, jadi sebaiknya jangan terlalu lama terpuruk pada masa lalu. Tapi apa yang harus Hinata lakukan agar ia tidak ingin kembali lagi ke sana? Masa lalu menyimpan banyak hal, baik kebahagiaan maupun rasa sakit, semuanya ada di sana.

Mau tidak dipikirkan pun, Hinata tetap memikirkannya hingga saat ini.

"Apa kabar, Hinata?"

Hinata tidak pernah berharap hari ini akan datang.

"Aku tidak mengerti kenapa semudah itu bagimu mengucapkan apa kabar."

Gaara tidak menjawab, ia membuang muka. Bunga yang ia siapkan dibalik tubuhnya ia pegang erat. Mungkin ide memberi bunga di pertemuan pertama bukan pilihan yang bagus.

"Aku minta maaf."

"Sudah ku bilang tadi malam, aku tidak menerima maafmu."

Gaara meraup wajahnya, ia benci pada situasi ini. Tapi untuk beberapa alasan, ia tetap diam, karena ia tahu siapa yang salah di sini.

"Kenapa? Boleh aku tahu alasannya?"

Hinata membalik tubuhnya, bersiap pergi. "Kalau kau sendiri tidak tahu salahmu dimana, lantas untuk apa kau minta maaf? Bukankah itu tidak ada gunanya sama sekali?"

Gaara mengernyitkan dahi, bingung. Pesan yang ia terima malam tadi berbunyi 'Kenapa minta maaf? Memangnya apa salahmu?'

Gaara salah sangka, ia pikir pertanyaan itu berarti tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Ia pikir Hinata perlahan bisa memaafkan kesalahannya di masa lalu.

Terlalu lama berpikir, Gaara mendapati dirinya berdiri di bawah pohon sendirian. Ia duduk sendiri di taman kota yang ramai ini.

.

.

.

Hinata membuka pintu rumahnya sempoyongan, ia bahkan hampir terduduk di depan pintu tadi kalau saja kunci yang ia cari-cari di dalam tas tidak segera ketemu.

Masuk ke dapur, Hinata segera meneguk air mineral sebanyak mungkin. Ia sesak napas, ia tidak mengharapkan Gaara akan benar-benar nekat untuk mendatanginya di taman kota. Hinata sedang melukis tadi, ia berharap bisa membuang jauh-jauh rasa bosan yang tiba-tiba melanda. Tapi dengan kurangajarnya Gaara menemukannya, lelaki itu masih bisa melacak lokasinya lewat gps.

"Aku benci sekali padamu, Gaara-kun."

Hinata tiba-tiba terduduk, tangannya menyentuh lantai keramik yang dingin. Memori lama menguar di kepalanya, ingatan yang sudah ia atur dengan segala daya upaya, bahkan ia sudah memohon untuk dibantu dengan hipnosis, tapi dokter tidak menyarankannya sama sekali.

Anehnya, lelaki itu justru datang dengan kepercayaan diri yang membuncah hingga menghancurkan Hinata.

Ingatan itu datang kembali, tentang Gaara yang memarahinya karena ia mengira lelaki itu menjelek-jelekannya di hadapan semua temannya. Hinata kira, Gaara selalu menertawakannya ketika ia tidak ada.

Ya memang sih, Hinata sendiri tidak tahu apa yang membuat berpikir demikian.

"Kenapa kau harus mempermalukanku begitu di depan teman-temanmu?" Gaara berteriak di muka Hinata.

"Apa? Aku tidak melakukan apapun."

"Telingaku masih bekerja dengan baik, aku dengar kau bilang ke mereka kalau aku hobi mengumbar aib orang lain, bukan? Itukah kenapa mereka takut saat aku duduk di dekat mereka?"

"Kau sendiri memang tidak berpikir punya salah? Kau memang menjelekkanku di depan semua orang yang kau temui, bukan?" Hinata balik membentak Gaara.

Hati Gaara mencelos. "Atas dasar apa kau menuduhku begitu, Hinata?"

"Aku melihatnya! Aku lihat kau selalu tersenyum mengejek ke arahku ketika aku baru saja kembali dari toilet, atau darimanapun, entahlah." Hinata mengacak rambutnya.

"Tidakkan kau pikir sudah seaneh apa dirimu ini? Cobalah bercermin sekarang." Gaara menarik tubuh Hinata ke depan cermin yang berada di ruang tamu rumahnya.

"Lihatlah seperti apa orang gila ini sedang menatap hidupnya yang suram. Rambut kusam, kantung mata terlalu gelap, dan wajah yang berjerawat."

Gaara melepaskan cengkeramannya dari pundak Hinata. "Uh, dasar gila. Sebenarnya kau pernah mandi atau tidak sih?"

Hinata masih memandangi pantulan dirinya di depan cermin. "Aku semakin percaya kau benar-benar menjelekkanku ke temanmu, sama seperti yang kau lakukan sekarang."

Gaara tiba-tiba saja tertawa. "Wah, benar-benar." Tangannya ia letakkan tepat di depan wajah.

"Dasar perempuan maniak halusinasi. Aku hanya ngobrol biasa dengan teman-temanku, tidak sekalipun membicarakanmu."

Hinata menangis kala Gaara menatapnya remeh. "Perempuan sakit sepertimu harusnya dirawat, bukannya berkeliaran seorang diri."

Hinata juga akhirnya mengingat kembali hari dimana ia mencoba melakukan percobaan bunuh diri di masa mengerjakan bab terakhir tugas akhirnya kala itu. Orang-orang benar, mahasiswa tingkat akhir itu tidak sebaiknya mempunyai pacar, karena stress yang didapatkan pasti dua kali lipat.

Itu sudah berlalu 2 tahun, tapi Hinata tidak akan pernah lupa. Ia tahu ia sakit, depresi sejak kedua orang tuanya bercerai dan memilih untuk memiliki pasangan baru masing-masing. Di sini, di rumah ini hanya tinggal Hinata seorang yang tersisa.

Walaupun uang bulanan masih rajin kedua orangtuanya transfer, tapi fakta bahwa Hinata hidup seorang diri tidaklah mudah. Ia butuh dorongan agar tetap hidup, ia butuh pegangan. Tapi, saat dimana ia membutuhkan semua itu, semua orang menghilang satu persatu.

10 tablet obat yang entah sejak kapan ada di atas kulkas Hinata buka satu persatu, ia menaruh semuanya itu dalam satu genggaman tangan. Dengan gemetaran, ia terus-terusan memandangi obat-obatan itu.

Ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan "aku tahu kau tidak punya keberanian sebanyak itu untuk mati". Bukannya takut, Hinata justru emosi mendengarnya, ia bahkan hampir membalas makian pada suara tanpa wujud itu.

"Aku berani melakukannya, aku tidak takut. Aku akan menelan semua ini sekaligus. Lihatlah!"

.

.

.

Gaara memandangi Hinata yang sekarang terbaring koma di rumah sakit. Hatinya sakit melihat apa yang terjadi di hadapannya. Orang yang ia cintai, orang yang menderita sendirian, kini semakin sengsara karena tak ada satupun yang menolongnya.

Tadi Gaara berrencana mengejutkan Hinata dengan datang ke rumah gadis itu, karena mungkin membobol rumah orang tidak terlalu salah, apalagi kalau itu rumah mantan pacarmu sendiri. Iya, itu yang diyakini Gaara. Tapi begitu membuka pintu, ia justru menemukan Hinata terkapar di lantai.

Sungguh, Gaara masih lebih baik melihat Hinata memukulnya atau meneriakinya berkali-kali daripada seperti ini.

Dulu Hinata pernah bercerita padanya bahwa dua bulan belakangan ia rajin konsultasi ke psikiater. Gadis itu bilang setiap malam bermimpi buruk hingga selalu merasa ingin kabur ketika akan tertidur, juga kerap kali merasa bersalah atas perceraian orang tuanya.

Tapi Gaara yang bodoh dan tidak tahu apa-apa justru memaki Hinata bahkan sampai mengungkit lukanya. Bodoh sekali Gaara ini, akan lebih baik kalau saat ini dialah yang terbaring tanpa kesadaran total di ranjang rumah sakit.

Jangan Hinata.

Dia sudah sangat menderita.

Tapi apa yang bisa Gaara lakukan sekarang? Selain menatapi Hinata, tidak ada yang bisa ia perbuat. Bahkan ibu Hinata yang kini tengah menangis meraung di sebelah ranjang sambil menggenggam erat tangan putrinya tidak bisa ia tenangkan.

"Gaara, sebaiknya kau pulang. Ini sudah malam. Besok kau kerja, kan?" Ayah Hinata menepuk bahunya pelan.

"Sebentar lagi, paman. Saya ingin melihatnya bangun."

Ayah Hinata menggeleng keras. "Tenang saja. Kalau dia bangun, kami akan langsung meneleponmu. Lagipula mana mungkin kami tidak mengabarimu, kau pacarnya kan?"

Gaara tersenyum kikuk mendengarnya, bingung harus menjawab apa.

Bilang iya, tapi nyatanya sudah putus. Mau bilang tidak, tapi Gaara belum siap digebuki paman paruh baya ini.

"Eh, ya… baiklah saya permisi pulang dulu. Besok saya ke sini lagi."

.

.

.

TBC

Halo, lama tak jumpa. Apa kabar kalian?

Maaf aku belum lanjutin 2 fanfik yang masih on-going. Maaf sekali, aku bukannya lupa, tapi aku lagi sibuk skripsi, hehehe. *padahal ngoceh mulu di wp*

Karena ada yang ngingetin untuk update, aku pikir memang sebaiknya segera meng-update fanfik yang terlantar itu. But, karena aku belum ada ide, aku kasih yang baru dulu deh. :)

Doakan semoga tidak terlalu lama updatenya, dan fanfik lain juga selesai. :)

See ya cinta-cintaku :*