Si stoik Sasuke bersikap sok cool. Padahal jantungnya berdetak cepat layaknya pompa air kosan. Pounding and rustling. And he didn't know his chest could makes that sounds. Cintanya bersemi di kosan sederhana ini. | Setting: kosan di Indonesia. Just bear with me. BL, Ame Pan's.

=====sweet=====

I Just Wanna

By: Ame Pan

Genre:

Romance FTV dan humor krispi bumbu micin

Rate: T

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning! OOC karena kebiasaan (?)

Keterangan: Setting kehidupan anak kosan di Indonesia, jadi mungkin kalian akan menemukan beberapa kearifan lokal (?). Diusahakan bahasa tidak 4L4y, tapi dijamin menggunakan kamus-lengkap-bahasa-kotor-untuk-menghujat edisi terbaru. Pfft. Agar lebih menghayati silahkan dengarkan lagu I Just Wanna – Amber ft. Eric Nam… tapi nanti, kalau sudah ada scene romance-nya *insert nasty laughing meme here*

Chapter 1

.

.

.

Terkadang ia berpikir lahir dan besar di keluarga kaya tidak melulu membuatnya jadi hidup seperti pangeran layaknya apa yang kakaknya –Itachi tonton di FTV setiap hari. Heran juga ia mengapa pria gondrong pegawai kantoran itu masih saja doyan menonton drama picisan yang plotnya dapat ditebak dari hanya melihat judul. Tidak hanya di televisi rumah, bahkan ia pernah lihat history pencarian You*ube di Tablet abangnya itu berisi judul-judul tidak kreatif seperti "Cintaku Ketabrak Bajaj".

Kembali pada keluhan awalnya. Menurutnya keluarga konglomerat tidak sama dengan hidup enak. Lihat saja betapa menderitanya ia, jalan 1,2 kilometer demi mencari sesuap nasi. Bukan, bukan karena lembaran di dompetnya tidak mencukupi, lebih kepada faktor eksternal. Semua warung makan disekitar kosannya tutup. Brengsek. Bisa kalian bayangkan betapa tidak tampan wajahnya yang baru saja pulang kuliah setelah menghadapi kuis level setan dari dosen setan, dan sekarang kulit putihnya berkeringat, perih dan memerah, terpapar terik Matahari siang yang juga seperti setan. Entah apa salah makhluk astral bernama Setan hingga Sasuke begitu dendam padanya. Tapi melihat beberapa gadis dan ibu-ibu sepanjang jalan masih melirik genit padanya, nampaknya wajahnya masih masuk kategori tampan walau keadaaan jujurnya tidak etis dijabarkan.

Dude, ada teknologi bernama ojek online. Ya, Sasuke sudah mencobanya sejak 3 jam yang lalu, memesan makanan agar langsung diantarkan ke depan pintu kosan-nya. Dan sejak 3 jam itu pula tidak ada satupun Driver yang menerima pesanannya. Kalau begitu kenapa tidak mengendarai motor sendiri? Well, Sasuke memang orang kaya, membeli motor bukanlah perkara. Yang jadi bahan pertimbangan adalah ia TIDAK BISA MENGENDARAI MOTOR. Puas kalian? Salahkan ia yang lahir di keluarga kaya dan selalu dimanja karena Sasuke kecil sangat menggemaskan –oke bukan itu. Intinya ia tidak pernah belajar mengendarai motor, mobil, bus, bajaj atau apapun jenis kendaraan bermotor karena tidak merasa butuh. Mobil mahal brand ternama berjejer di bagasi rumah dengan supir-supir setia memfasilitasi tiap anggota keluarga. Ojek biasa juga nggak ada, Mas? Sasuke punya dendam kesumat dengan ojek pangkalan di belokan dekat kosannya, jadi pilihan itu di blacklist dari awal.

Setelah petualangan panjang mendaki gunung melewati lembah, dikedipi gadis perawan hingga mbah-mbah, Sasuke mendapatkan satu bungkus nasi dan dua telur dadar seharga lima belas ribu rupiah. Kembali diingatkan lembaran di dompet Sasuke cukup banyak untuk membeli beberapa stel baju brand ternama, pun kalau kurang nominal di dalam kartu debitnya masih cukup untuk membeli ponsel, motor, atau apapun. Tinggal gesek. Perkaranya memang sisa menu yang tersedia di warung makan (yang akhirnya ketemu, Puji Tuhan) itu memang hanya telur dadar dan sambal terasi, dan Sasuke sudah kepalang lapar untuk gengsi dan mencari restoran cepat saji (yang menurut Goo*gle Maps masih ada 600 meter lagi dari warung makan itu). Dengan peluh mengalir seksi dari dahi, ke leher, dan terserap ke kaus Polo miliknya ia menghela napas lega sambil memutar kunci kamar kosannya. Mengernyitkan dahi ketika hidung bangirnya mencium aroma masam menjijikan. Kepalanya menoleh kanan-kiri mencari, dan mengerang lemas kala melihat segumpal cokelat di dekat pintu kamarnya. Hasil defekasi makhluk lucu namun kurang ajar. Pup kucing milik sang ibu pemilik kosan. Sang pelaku bahkan mengeong sok polos tak jauh dari kakinya. Sasuke pemuda tampan yang cinta kebersihan. Jadi dengan rajinnya (dan terpaksa) ia mengambil pengki entah milik siapa dan menyerok kotoran itu lalu membuangnya ke selokan. Sasuke berani bersumpah kucing milik ibu kosan itu tadi menyeringai sadis, menertawakannya.

Gila, hari ini kenapa sih? Kenapa hidupnya mendadak jadi bad luck Bryan begini? Lagipula kenapa warung makan di sekitar kosannya mendadak tutup semua? Tanggal berapa ini? Ia yakin Bulan Puasa masih 2 bulan lagi, kok. Batin Sasuke sambil membanting bungkusan nasinya ke meja kecil di lantai kamarnya. Baru saja lega karena akhirnya perut keroncongannya dapat terisi, ia baru ingat galon air di dispensernya sudah kosong. Air minum habis, kawanku.

"Tuhan," ujar Sasuke antara ingin berdoa dan mengumpat. Warung yang menjual air minum isi ulang ada 200 meter dari kosannya, tapi pantat Sasuke rasanya sudah menempel di lantai, malas kalau harus keluar lagi. Persetan lah, masa bodoh kalau nanti ia merasa seret saat makan telur dadar yang seperti dimandikan minyak itu.

"DOK DOK DOK!"

"Ohok!" sepotong cabai hijau yang menjadi ranjau di hamparan telur dadar masuk ke saluran yang salah. Pedas, anjir! Perih pula. Mata merah penuh amarah memandang sadis pada pintu kamarnya yang masih digedor dengan tidak elit.

"Sasukeeee!" suara cempreng mendayu menjijikan menjawab pertanyaan tak terucap dari kepala Sasuke tentang siapa mahkluk kurang ajar yang menambah daftar kejadian sial di hidupnya. "Bantu ibu bersih-bersih kamar sebelahmu dong. Mau ada yang isi." Ah, ibu kos.

"Sebentar, bu," ujar Sasuke dengan nada patuh, kontras dengan batinnya yang sudah mengabsen semua penghuni kebun binatang. Mulut masih mendesis kepedasan, panik. Sialan, tidak ada setetes air minum kecuali ia mau minum air dari kamar mandi.

Pemuda 180 sentimeter itu membuka pintu kamarnya setelah merapikan bungkus nasinya, ditutup rapat agar tidak ada serangga yang mampu mencicipi makan siangnya. Sudah muak dia, tidak mau menambah kejadian sial lainnya.

Dibalik pintu kayu itu, berdiri wanita tambun dengan 8 rol rambut menggulung tidak simetri di sepanjang kepalanya. Sasuke bukan seorang OCD sih, tapi rasanya gatal juga ingin menarik lepas rol-rol rambut itu. Wanita ini memang settingan penampilannya begini atau bagaimana? Sudah siang kenapa masih pakai rol rambut? Supaya apa? Keriting indah ala Iggy Azalea? Bleh.

"Sasuke, kamu bantu ibu, tolong angkat kardus-kardus di kamar sebelahmu itu ya. Yang ingin sewa kamar mau datang, katanya sampai 3 jam lagi."

Patuh, karena Sasuke anak teladan. Ia mengangguk paham saat ditinggal sang ibu kos. Lah, dia kerja sendirian, nih? Setelah menimbang kemungkinan lain kalau ia ditemani ibu kos yang tingkat genitnya setara dengan om-om pelaku sekuhara kereta di Jepang sana, rasanya Sasuke lebih rela kerja sendirian. Dalam hati merutuki jadwal kelasnya yang hanya ada satu tadi pagi, menyisakan ia sendirian di kos, sedangkan kawan-kawan kosan lainnya masih bersemayam di kampus.

Sasuke menoleh pada kamar kosong sebelahnya. Pintunya sudah dibuka oleh sang pemilik kos, dan isinya jelas lebih mirip gudang dibanding kamar tidur. Walau tidak begitu banyak, namun tumpukan kardus bekas di dalam sana jelas berselimut debu. Setelah menggunakan sandal kulitnya, ia melangkah masuk. Melepas jam tangan Rolex-nya dan memasukkannya ke kantong celana. Setelah memilah mana kardus yang lebih ringan, ia mulai mengangkat satu persatu keluar. Baru terangkut 3 kardus, ibu kos muncul di pintu kamar kosong itu.

"Sasuke, ibu mau beli cairan pembersih lantai sama parfum ruangan di warung depan, ya. Kamu kalau sudah selesai memindahkan kardusnya, tolong sekalian disapu."

Sasuke menggangguk paham.

"Bu!" sang ibu kos berhenti berjalan dan menoleh dengan tampang yang kelewat berbinar dan penuh harap saat Sasuke muncul dari kamar dan memanggilnya. Di otak wanita itu berputar adegan romantis antara dirinya dan Sasuke yang saling menatap. Benar saja, Sasuke berjalan mendekat padanya, menggapai jemari tebalnya. Perlahan namun pasti, Sasuke membawa tangannya mendekat. Membalik telapak tangannya, dan dengan tatapan agak ragu, pemuda tampan itu berucap. Mengungkapkan perasaannya pada sang ibu kos.

"Bu, saya titip beli Aku*a galon, ya?" Dan di telapak tangannya kini terdapat selembar uang lima puluh ribu agak lecak. Tidak tahu saja si ibu kos, Sasuke sudah expert dengan adegan picisan seperti yang ada di FTV langganan Itachi.

Wajah berbinar itu seketika berubah galak. Tapi tidak bisa marah juga, wong ganteng. Wanita itu menarik tangannya dari Sasuke dengan kasar, lalu melengos pergi.

Sasuke mengangkat bahu, lalu kembali masuk untuk melanjutkan tugasnya. Tak butuh waktu yang lama, delapan kardus ukuran sedang itu sudah berada di luar kamar. Ia menggapai sapu di samping pintu yang sudah disediakan ibu kos disana –tiap kamar kosan difasilitasi satu sapu. Sasuke menaikkan kerah kaus Polo-nya hingga menutupi hidung, dan mulai menyapu. Suara ibu kos kembali terdengar. Namun kali ini ada dua suara lain yang menyahuti.

"Ya, kamar mandi di dalam, Bu, Pak. Sudah tersedia ranjang, namun kalau ingin kasur yang lebih bagus sih memang lebih baik membawa sendiri. Ada lemari juga, ada meja belajar."

"Ruangannya yang ini?" tanya lawan bicaranya. Terdengar agak lucu, karena seperti ada logat asing disana.

"Iya. Karena kemarin Bapak minta yang ada AC, jadi saya siapkan yang tersedia," jawab ibu kos.

Sasuke diam-diam menguping sambil menyapu. Menebak kalau yang akan menyewa kamar ini pasti tipe 'anak mamih'. Lihat saja bagaimana yang datang survey adalah kedua orangtuanya. Bahkan ia yang masuk kategori dimanja saat di rumah dilepas begitu saja, disuruh mencari tempat kos sendiri. Macam anak Macan yang dilempar dari tebing. Sok mirip adegan Simba, padahal Itachi juga datang saat ia akan menyewa kamar di kosan ini.

"Are you sure, you want to live here, Sweetheart?" tanya seorang wanita, nampaknya ibu dari calon penyewa. "Benar, nggak mau di asrama kampus saja?"

"Yes Mommy, I've told you, right? The room's too small, I prefer here."

Kedua alis Sasuke naik saat mendengar suara agak tinggi untuk ukuran laki-laki tapi terlalu berat untuk perempuan –menurut pengetahuannya. Kenapa ngobrol pakai Bahasa Inggris? Itu penyewanya? Penasaran, Sasuke menyelesaikan kegiatan menyapunya yang sebenarnya sudah selesai –sok menyapu agar ada alasan untuk menguping, dan mengintip dari balik jendela.

"Sasuke," panggil ibu kos, membuat Sasuke agak terlonjak kaget, mengira ia ketahuan mengintip. "Sini."

Sasuke lalu keluar, dengan aura anak teladan dan tampang menawan. Di hadapannya kini ada seorang wanita bersurai kemerahan panjang dengan pakaian rapi ala kantoran, dan pria pirang berwajah bule bermata biru juga dengan jas putih ala businessman. Diantara keduanya seorang pemuda dengan rambut pirang dan bermata biru seperti pria disebelahnya, namun dengan garis wajah cetakan persis wanita berambut merah, memandangnya lekat. Blasteran toh? Sebelah alis Sasuke terangkat. Apa mereka pernah bertemu? Anak itu terlihat seperti kenal dengannya. Sasuke mencari di antara katalog orang-orang yang dikenalnya di dalam otak, namun tidak menemukan seorangpun yang berciri seperti pemuda itu.

"Ini Sasuke, kamarnya tepat disebelah kamarmu. Ini anak favorit Ibu, hohoho…."

Dan empat orang sisanya tertawa ill feel.

"Alright, boleh kami lihat kamarnya?" tanya pria bule itu memotong suasana awkward. Yang pertama masuk adalah sang pria lalu disusul wanita berambut merah. Sang anak ikut masuk setelah melirik ragu dan mengangguk permisi pada Sasuke.

"Not bad. Just need another clean up, right?" tanya sang pria pada kedua anggota keluarganya. Anggukan setuju sebagai jawaban.

"Kalau begitu kami mungkin akan mulai pindah besok pagi. Anak kami belum selesai membereskan barang-barangnya di asrama, dan besok kebetulan dia tidak ada jadwal kelas," layaknya dua pihak yang baru saja membicarakan bisnis bersama, pria bule itu menjabat tangan ibu kos dengan erat dan mengayunkannya mantap. "I'll transfer the money as soon as possible."

Wajah ibu kos mencerah saat mendengar kata 'transfer'.

=====sweet=====

Sasuke berjalan dengan mata setengah tertutup di koridor gedung B fakultasnya. Sepanjang jalan orang-orang yang mengenalnya menyapa dan menanyakan apa gerangan yang terjadi pada pemuda hits itu. Para adik tingkat bergender wanita mengangguk sambil mengatakan 'selamat pagi, kak' lalu buru-buru lari sambil memekik kecil ala fangirl. Padahal yang disalami saja tidak bereaksi, apalagi membalas. Begini Sasuke hanya menjadi mahasiswa tingkat 3 dengan tambahan wajah lumayan, loh. Bagaimana kalau ia jadi anggota boyband? Bisa-bisa yang memekik girang termasuk dosen.

"S'up my man!" sebuah bayangan hijau melesat di depan matanya, dan berhenti tepat disebelah dengan sebuah tepukan terlampau semangat di bahu kiri. Pemuda macam Hulk kurang gizi memamerkan gigi cemerlang hasil bleaching saat Sasuke membalasnya dengan tatapan (sangat) tidak bersahabat. "Pagi-pagi sudah murung kawanku. Ada apa gerangan?"

"Bcd," gumam Sasuke tanpa membuka bibir, malas melihat wajah terlampau cerah kawan satu fakultasnya.

"Hah?"

Lalu Sasuke melengos pergi.

"Wait! Sasukeeee!"

Sasuke yang berjarak lima langkah dari pemuda serba hijau itu langsung berbalik kalut dan membekap mulut kawannya itu saat sadar volume yang ia gunakan berhasil membuat orang-orang di sepanjang koridor itu menoleh pada mereka. Masalahnnya hampir semua yang ada disana kenal siapa 'Sasuke' yang dimaksud.

"Apaan, sih, Lee?! Nggak usah sok meniru Anime Ninja-ninjaan itu deh! Nggak jelas, teriak-teriak manggil nama teman sendiri." Muak juga Sasuke kalau ingat adegan dua tokoh anime yang saling meneriakkan nama masing-masing di atas patung yang dipisahkan oleh air terjun itu. Mana nama salah satu tokoh itu sama pula dengan namanya. "Kayak homo tahu nggak."

"Lah, kamu kan memang homo," ucap Lee setelah mulutnya lepas dari bekapan.

Tangan Sasuke yang tadi digunakan untuk membekap mulut Lee, ia gunakan untuk memukul belakang kepala dengan model rambut bob itu. Keras. "Yang teriak-teriak elu, berarti elu yang homo."

"Ih, No lah! Aku masih suka sama Sakura anak Psikologi," balas Lee. Sasuke memutar bola matanya malas saat Lee melanjutkannya dengan menceritakan betapa cantik gebetannya itu. Pemuda yang mengaku keturunan China itu –walau heran juga bagian mana dari mata bulat bakso-nya yang bisa menjadi bukti kalau orang ini Chinese- mulai memeragakan betapa perempuan yang ia taksir begitu elegan saat berjalan dengan meniru gerakan melenggak-lenggokkan pinggulnya. Jijik, Sasuke memutuskan untuk segera meninggalkan makhluk ajaib itu di koridor dan berjalan menuju kelasnya sebelum Lee sadar ia ditinggal dan mulai meneriakkan namanya lagi.

"Bad mood, bro?" tanya Neji saat Sasuke sudah sampai di kelas dan mengambil tempat duduk disebelahnya. Pemuda berambut panjang itu membalas sapaan gadis di kelasnya sebelum akhirnya kembali memandang kawannya.

"Nggak bisa tidur semalam," jawab Sasuke sambil menyandarkan puggungnya pada kursi.

"Pent up?" Sasuke balas memandang Neji, yang menaik-turunkan alisnya, dengan pandangan 'serius lo?'. Pemuda gondrong itu berhenti memainkan alisnya saat dia sadar gadis yang duduk di depan mereka menoleh kebelakang dengan wajah jijik padanya. "Ya sudah, terus kenapa?" tanya Neji lagi dengan kesal.

"Si Kiba pasang lagu keras banget pakai sound system. Kayaknya putus lagi sama cewek baru-nya,"

Kali ini gantian Neji yang memasang tampang 'serius lo?'. "Baru 3 bulan, kan?" Sasuke menjawab dengan mengangkat bahu tak peduli. "Bakat banget diputusin, sih, anak itu." Dalam hati Neji bersyukur pada yang Maha Kuasa karena rumahnya dekat dengan kampus dan tidak perlu kos, apalagi se-kos dengan Kiba. Bisa stress dia kalau harus kena imbas pemuda yang galaunya rutin itu.

Sasuke meletakkan kepalanya di meja yang menyambung pada kursinya. Menghela napas lalu diikuti dengan kuapan lebar. Harusnya dia mengikuti jejak kawan-kawan kosannya untuk mengungsi kala Kiba sedang dalam 'siklus'-nya. Namun hati kecil Sasuke merasa peduli pada pemuda itu. Bagaimana kalau saat semua penghuni kosan pergi Kiba depresi dan bunuh diri? Kan repot kalau kosannya jadi bahan sorotan media nanti. Nggak deh, Sasuke tidak ikut mengungsi karena alasan simpel berupa dia tidak tahu harus mengungsi kemana. Teman-teman yang cukup dekat dengannya semua ke kampus pulang-pergi dari rumah keluarga. Lagipula ia tidak akan bisa tidur kalau tidak di ruangannya sendiri. Jadi, ya ujung-ujungnya sama saja, begadang.

Sasuke baru akan tidur kala kelasnya yang ramai berubah sepi karena dosen yang mengajar di kelasnya sudah hadir. Selesai kelas pokoknya ia mau langsung pulang, lalu tidur. Persetan dengan paperwork-nya yang menumpuk. Deadline masih 3 hari lagi. Semakin kepepet seseorang, otaknya akan semakin kreatif. Batin Sasuke nekat.

.

.

.

Entah sudah kuapan yang keberapa sejak ia naik ojek online dari kampusnya. Sasuke mengangkat tangannya untuk melihat jam tangan Rolex-nya yang menunjukkan pukul 7 malam. Kalau tadi ia tidak dicegah Neji untuk langsung melesat pulang selesai kelas, mungkin ia sudah bablas kelas selanjutnya karena benar-benar lupa dengan jadwal. Ia baru ingat pula kalau jatah membolosnya sudah digunakan semua di kelas itu. Alamat tidak bisa ikut UTS kalau sampai bolong lagi.

Setelah menyerahkan helm pada driver ojek online itu, Sasuke langsung menyelonong masuk gerbang kosan.

"Mas!" Kepala Sasuke memutar malas pada sang driver. "Maaf mas, tapi tagihannya belum dibayar."

Sasuke baru akan protes kala ia ingat kalau saldo pre-pay-nya memang kosong. Suara tertawa yang ditahan menghentikan Sasuke yang membuka dompetnya. Matanya menangkap sosok asing yang datang dari arah warung kelontong dekat kos. Pemuda itu panik, dan diam kaku saat sadar kalau aksinya diketahui Sasuke. Ah, itu anak yang menyewa kamar disebelah kamarnya. Ia baru ingat kalau anak itu pindah hari ini.

"Nih bang, ambil saja kembaliannya," ujar Sasuke, dan driver itu berlalu pergi. Dahinya agak mengernyit kala sadar ia malah berdiri memandang pemuda pirang yang kini salah tingkah. Mungkin malu dan bersalah. Yang manapun tak penting lah. Sasuke mengantuk. Ia memutar badannya dan membuka gerbang kosan ketika lagi-lagi kegiatannya terhenti.

"Maaf ya, kak," ucap pemuda pirang itu takut-takut. Kepalanya tertarik ke arah kaki dengan jemari yang memilin plastik bening di tangannya.

Alis Sasuke terangkat. Ho, adik tingkat? "Hmm," gumam Sasuke menjawab, tak begitu peduli, dan kembali melanjutkan masuk ke kos. Pemuda pirang itu sadar kalau orang yang ia ajak bicara beranjak pergi, tambah panik dan mengejar.

"Kak, maaf, saya bukannya bermaksud tidak sopan. Tapi tadi spontan saja, karena memang lucu."

'Lalu apa bedanya, bodoh,' batin Sasuke. Mengabaikan pemuda itu sambil terus berjalan. Pemuda pirang itu masih berisik meminta maaf hingga Sasuke sampai di depan kamar, seakan kalau tidak dimaafkan ia akan langsung masuk Neraka atau semacamnya.

"Sungguh deh, kak, saya nggak sengaja. Saya mesti apa supaya dimaafkan? Saya lakukan apa saja deh."

Tangan Sasuke yang membuka pintu terhenti. The f*ck? What kind of suggestion was that? Kenapa terdengar salah di telinga Sasuke? Wah, benar-benar parah pengaruh FTV langganan Itachi pada otaknya. Kepala Sasuke menoleh, memandang horor pada pemuda pirang yang masih memasang tampang anak kucing di sebelahnya.

"Gimana maksudmu?" tanya Sasuke. Ada sensasi menyenangkan di perutnya, mungkin efek dari sifat diktaktornya muncul karena menemukan mangsa untuk di-bully. Hush! Sasuke, ingat, kamu mahasiswa teladan. Walau lumayan sering bolos, tapi kamu masih teladan (?).

"Kalau disuruh sesuatu akan saya lakukan. Yang penting kakak jangan dendam sama saya ya? Ya? Please! Pleaaaaaaaase…." Ujar pemuda itu sambil memelas. "Oh! Kakak sudah makan? Saya buatkan mi instan, ya? Saya baru beli tadi," lanjutnya sambil menunjukkan kantong plastik bening di tangannya.

Sasuke rasa itu bukan ide buruk. Ia memang belum makan sejak tadi siang. Tapi setelah menimbang dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja, dengan pertimbangan kebutuhan tidur, ia memutuskan memberi permintaan lain.

"Saya ngantuk, kalau kamu bersikeras, besok pagi pukul 6 masakkan saya mi instan goreng 2 bungkus." Tidak meminta, tapi memerintah. Tipikal Sasuke. "Kalau kamu punya nasi, lebih bagus lagi." Nambah porsi pula.

"Siap kak!" dan (bodohnya) dengan patuh pemuda pirang itu mengiyakan penuh semangat. Ia bahkan melambai dengan tidak pentingnya saat Sasuke menghilang masuk ke kamarnya.

.

.

.

Bersambung.