Disclaimer : Naruto and all characters belong to Masashi Kishimoto
Rating : R – Restricted
Genre : Romance, Hurt/Comfort, Crossgender
Sasuke x female Naruto and another pair
"Summer Desire"
(remake from Bring You Back to Summer)
Happy reading!
.
.
.
Musim kali ini terasa sangat hampa, hingga hawa yang ia tawarkan mampu menembus menyakiti tulang yang terlapis oleh dinding kulit tebal sekalipun. Namun, bukan hal itu yang membuat dirinya sepi, dia sangat tahu bahwa musim-musim seperti ini telah banyak dilewati olehnya, tetapi untuk kali ini terasa sangat menyiksa.
Naruto menengadahkan kepalanya ke langit, menatap hamparan keabuan yang tak lagi terlihat cerah. Rambut panjang keemasannya yang tak terikat kini terlambai kasar oleh angin musim dingin bulan ini. Naruto tetap bergeming meski helaian rambutnya jatuh diatas wajahnya yang pucat, tak berniat sama sekali untuk merapikannya.
Suara ketukan pintu terdengar menyambut lamunan kosong Naruto.
"Naruto?"
Sebuah tuturan lembut dari sang ibu berhasil membangunkannya dari aktivitas bawah sadarnya yang panjang. Naruto mengusap wajahnya pelan dan berusaha memanipulasi ekspresinya di hadapan ibunya.
"Masuklah, ibu." Naruto berdeham pelan sebelum berujar singkat.
Kushina tersenyum lembut pada Naruto yang dibalas dengan hal serupa. Naruto segera merendahkan wajahnya, dia tahu ibunya tidak akan mudah dibohongi, sangat sulit bagi Naruto untuk bersikap kuat disaat batinnya terasa remuk. Hanya dirinya yang mengerti perasaannya, hanya dirinya yang tahu rasanya dan dibalik kebohongannya hanya orangtuanya yang mampu membongkarnya.
Naruto hanya perlu waktu, ya, hanya waktu yang bisa membantunya.
"Kenapa jendela balkonmu terbuka?" Kushina berjalan kearah jendela balkon sembari mengeratkan pelukannya, "Dingin sekali."
"Aku tetap ingin pindah, bu …" Keputusan Naruto dengan tiba-tiba tersuarakan, tangan Kushina yang tengah sibuk menutup jendela balkon sempat terhenti mendengar penuturan dari Naruto. Sebenarnya, jauh dalam hati Kushina, dia tidak ingin membahas tentang hal ini, tentu dia menginginkan anaknya tetap tinggal walau dia tahu akan terasa sulit bagi Naruto untuk menjalani kehidupannya sebagaimana biasa.
Kushina tersenyum kecut. Tatapannya mengarah pada Naruto yang tampak masygul, bola matanya masih tak berani melakukan kontak dengan ibunya.
"Naruto …" Kushina berjalan perlahan dan meraih putri sematawayangnya itu. "Ibu sangat menyayangimu."
Kalimat Kushina tersebut berhasil memecah tangis Naruto yang telah ia tahan sedari tadi, "Maafkan aku, bu … sungguh aku tidak akan bisa bertahan jika tetap disini." Suara Naruto terdengar bergetar ketika mengucapkannya.
Kushina mengangguk dalam diam, dia tak bisa ikut bersedih, sebagai seorang ibu tentunya dia dituntut untuk lebih tegar dan bisa lebih menguatkan disaat kondisi Naruto tak memungkinkan lagi untuk bangkit.
Mataharinya tak mungkin seperti ini …
"Turunlah. Kita akan membicarakan hal ini dengan ayahmu."
.
.
.
Suasana hening meliputi kediaman Namikaze saat ini. Usai makan malam, Naruto lebih memilih abstain dan menunggu hingga ayahnya membuka suara. Helaan napas kasar datang dari pria yang memiliki ciri fisik hampir sama dengan Naruto. Minato menatap Naruto lekat, "Jadi, katakan pada ayah, Naruto …"
Naruto bergerak gelisah ditempat duduknya saat ini, matanya berlari tak tentu arah, dia sedang mencoba memilih kata yang tepat untuk diutarakan pada ayahnya, "Aku tetap ingin pindah ke Konoha, ayah … Bisakah aku?"
Minato menghela napas kembali, ini bukan kali pertama Naruto meminta untuk pindah ke Konoha, bahkan bisa dikatakan hampir tiap bulan selalu ada pembahasan tentang hal ini, namun yang dilakukan Minato hanya diam dan mengulur waktu lebih lama agar Naruto tetap tinggal di Suna.
"Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, Naruto." Ucapan sang ayah berhasil menarik garis bibir Naruto keatas, dia merasa lega dalam hati, akan tetapi kata-kata Minato setelahnya membuat raut wajah Naruto kembali murung, "Tapi kau akan tinggal bersama keluarga Uzumaki di-"
"Tidak!" cepat-cepat Naruto memotong ucapan ayahnya yang membuat alis Minato berkerut, "aku ingin tinggal sendiri,"
Minato menyandarkan punggungnya sembari memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri.
"Please …" Naruto memohon dengan mengatupkan kedua tangannya. Dilihatnya sang ayah akan kembali bersuara, namun kalimatnya terhenti diujung tenggorokan ketika sebuah tangan lain menepuk pundaknya pelan.
"Sudahlah, Minato … Dengarkan keputusan putri kita, kita tidak bisa memaksanya," giliran wanita disamping Minato yang angkat bicara. Kushina berusaha melerai perdebatan antara ayah dan anak itu.
Minato sungguh tak tahu apa yang ada di pikiran anaknya sehingga dia memutuskan untuk pindah dan hidup sendiri setelah kematian suaminya. Mereka ingin menjaga Naruto, bukan karena dirinya yang terlampau overprotective, tetapi hal ini ia lakukan demi kebaikan putri sematawayangnya.
"Baik, akan tetapi ayah yang akan memilih tempat tinggal itu untukmu, hingga tempat itu telah benar-benar siap, kau masih wajib tinggal disini. Kau bebas mengatur suasana tempat tinggalmu nanti," ujar Minato yang sedetik kemudian pergi meninggalkan dua wanita yang tengah menatapnya berlalu.
.
.
.
Naruto membaringkan tubuhnya diatas ranjang miliknya. Beban pikirannya kembali menyerap tenaganya yang memang tak seberapa. Ya, kejadian dimana nyawa suaminya melayang, hingga merampas seluruh kebahagiaan darinya secara paksa. Dia tidak menampik kenyataan bahwa dirinya pun memiliki banyak kekurangan yang bisa saja membuat suaminya berpaling. Tetapi, itu tidak pernah terjadi. Selama tiga tahun pernikahannya dengan sang suami, dia tidak pernah mendengar keluhan yang terlontar dari mulut suaminya. Lelaki yang tidak pernah menuntut dirinya apapun, lelaki yang bahkan tidak henti-hentinya menyunggingkan senyum tulus kearahnya, lelaki yang …
"Maafkan aku," lirihan Naruto kian terdengar rintihan. Isak tangisnya kembali menggema di ruangan pribadi miliknya –dan sang suami yang bernuansa cerah itu.
Musim kali ini membawa suasana duka dihati Naruto, tidak seperti yang pernah ia lewati dengan mendiang suaminya dahulu. Jiwanya beku, tak ada kehangatan yang tertinggal dari balik tubuhnya, sorot netra safirnya menyendu, cahayanya tenggelam bak surya yang tersembunyi dibalik mega kelabu. Asa yang dulu sempat tersemat dalam kerinduan mereka, kini melebur bersama pembaringan terakhir suaminya disana.
Raganya mungkin akan berpindah, tapi jiwanya terkurung di tempat ini. Jiwa yang tak pernah redup kala suaminya mendengungkan kata-kata romantis untuknya, namun jiwa itu kini seakan-akan mati, tidak lagi terpancar berbagai emosi yang menghangatkan. Suaminya …
Lelaki yang menerima Naruto apa adanya.
Kini dia harus menelan hidup-hidup kenyataan pahit. Seseorang yang amat dicintainya telah pergi, tanpa meninggalkan sebuah kata, hanya menyisakan kenangan yang mungkin akan Naruto tinggalkan untuk selamanya.
"Naruto?" terdengar suara ketukan pelan dibalik pintu jati tersebut.
"Masuklah, ibu!" sang empu kamar mempersilahkan satu-satunya wanita yang dikasihinya.
"Kau belum tidur?" tanya Kushina dengan nada penuh kelembutan. Sebagai seorang Ibu, dia tahu betul bahwa anaknya tengah dihadapkan pada masa-masa sulit. Dia memang tidak pernah mengalami kejadian seperti yang Naruto alami, tapi percayalah bahwa batin seorang ibu terhadap anaknya sangatlah kuat.
Kushina mendudukkan dirinya di sisi ranjang, berhadapan dengan Naruto yang kini juga memposisikan diri disamping ibunya.
"Kau wanita yang sangat kuat, Naruto. Apapun yang terjadi padamu, ibu tahu bahwa Tuhan sedang mengujimu. Yakinlah bahwa Tuhan tengah menyiapkan sesuatu yang lebih indah," Kushina menggenggam jemari tangan kanan Naruto dengan erat. Dia mengelus pelan cincin yang bertengger di jari manis anaknya. "Berjanjilah tidak ada raut kesedihan yang terpancar dari wajahmu lagi. Kau wanita yang sangat hebat. Suamimu akan sangat bahagia bila melihatmu tersenyum tulus, sayang."
Naruto memandang ibunya lekat. Naruto tahu bahwa Kushina sangat mencemaskannya. Dipandanginya wajah teduh ibunya, dia menyadari bahwa belakangan ini dia selalu membebani kedua orangtuanya dengan terus-menerus tenggelam dalam keterpurukan. Dia sadar bahwa ini bukanlah jalan yang benar. Dia berani bertaruh bahwa suaminya pun tidak akan suka melihatnya seperti ini.
Lihatlah! Badannya sangat kurus, kulitnya kering dan rambut jarang tersisir rapi. Naruto mengingat-ingat sudah berapa bulan dia seperti ini semenjak kematian suaminya.
Lima bulan. Waktu yang cukup lama, setidaknya terlampau lama untuk Naruto lewati tanpa eksistensi suaminya.
"Ibu jangan khawatir lagi. Aku baik-baik saja. Aku akan memulai semuanya kembali," tanpa sadar airmata Naruto meleleh membasahi pipinya yang kering. Naruto tidak ingat seberapa sering dirinya menangis dalam kurun waktu lima bulan ini, yang dia tahu adalah perasaannya telah menjebaknya dalam keegoisan.
Naruto pun tidak akan menyadari bahwa kalimat terakhirnya akan membawa semua dalam dirinya berubah. Hanya saja butuh waktu untuk memprosesnya, karena waktu juga tidak akan serta-merta memberi celah kita mengintip rahasia masa depan.
.
.
.
Naruto memandangi pusara yang tak pernah absen ia kunjungi setiap akhir pekan. Dia selalu membawakan bunga lily segar untuk ia sematkan dalam pot didepan nisan suaminya. Naruto tersenyum perih menatapnya.
"Dasar suami bodoh." Jika saja suami Naruto masih hidup dan mendengar kata kasarnya tersebut, sudah bisa dipastikan suaminya akan menertawainya, bukan malah mengumpat Naruto balik. Hal itulah yang membuat Naruto merasa nyaman dan diterima seberapapun buruk kelakuannya.
Naruto berjongkok seraya memegang batu nisan yang terasa dingin menggerayangi telapak tangannya, dia mengusapnya pelan, "Sebentar lagi aku akan pindah ke Konoha. Kuharap kau bisa mengerti keputusanku."
Entah apa yang membuat Naruto bertindak seolah dia sedang berkomunikasi dengan mendiang suaminya. Naruto hanya yakin bahwa suaminya akan mendengar apa yang ia ucapkan saat ini.
"Jaa ne." Naruto beranjak meninggalkan pusara tersebut dengan hati yang sedikit tenang. Jiwanya tak lagi berat, setelah ini ia akan membulatkan kemauannya untuk hidup seperti biasa, ada atau tidak adanya suaminya itu, karena dia tahu Tuhan telah mencatat kebahagiaan untuknya, dia hanya perlu untuk meyakini itu.
Naruto menatap langit yang tak lagi menunjukkan sisa-sisa fajar, dilihatnya awan hitam yang masih menutupi cahaya matahari hingga membuat udara disekitarnya terasa dingin dan lembab. Naruto merapatkan syal merah yang melilit dileher jenjangnya. Dia sedikit meniup-niupkan tangannya untuk mengalirkan rasa hangat yang keluar dari napasnya. Sepertinya dia harus lebih menyegerakan langkah kaki agar lekas tiba dirumahnya, sebelum orangtuanya mencari keberadaannya lebih lama.
"Dimana Naruto?" Minato bertanya pada Kushina yang tengah sibuk menyiapkan menu untuk sarapan.
"Mungkin ke pusara suaminya. Kau tahu kan ini akhir pekan," jawabnya sebelum mencicipi sup ayam jahe yang sengaja ia buat disaat cuaca dingin.
"Duduklah, sebentar lagi juga akan datang." Kushina tersenyum dan mematikan kompor. "Dengar, rambutmu akan berubah jadi putih jika kau terus mencemaskan Naruto seperti ini." Setelahnya Kushina tak ambil pusing dengan helaan napas Minato, dia meletakkan beberapa helai roti gandum dan selai kacang diatas meja lantas kembali ke dapur untuk menyiapkan air jahe merah sebagai penghangat.
"Tadaima …"
Suara Naruto membuat kedua mata yang mengkhawatirkannya menoleh, mendapati anaknya yang tersenyum, si pemilik mata mendesah lega. Kushina hanya bisa geleng-geleng kepala melihat respon suaminya melalui ekor matanya.
"Okaeri, Naruto. Kemarilah, ibu membuatkan jahe merah hangat untukmu."
Mata Naruto berbinar mendengarnya, dia lekas menghampiri kedua orangtuanya dan mencium pipi ayah serta ibunya bergantian. Setelahnya, ia melepaskan syal merahnya dan menyampirkannya di kursi makan.
Kushina menyerahkan segelas air jahe merah yang masih mengepul. Naruto membiarkannya sejenak agar mendingin tanpa meniupnya.
"Ayah memasrahkan tempat tinggalmu kepada Karin, dia yang akan mencarikannya untukmu," Minato mengangkat pandang pada anak sematawayangnya, dia menangkap ekspresi Naruto yang terlihat jenaka di matanya. Anak kesayangannya yang kini telah berusia dua puluh delapan tahun itu masih saja memasang air muka yang menggemaskan.
"Umm … Apa lusa bisa Naruto tempati?"
Alis Minato sedikit menukik mendengar pertanyaan Naruto, sedangkan Kushina masih tetap mempertahankan kegiatannya.
"Kau ingin cepat berpisah dengan Ayah?"
Naruto terdiam, dia memainkan bibir gelas dengan jemari tangannya. Kushina yang sedari tadi hanya menyimak obrolan antara ayah dan anak itu kembali melerai suasana yang sedikit canggung, "Kakak iparmu menanyakan kabarmu kemarin malam, Naruto." Kushina mengoles sedikit mentega diatas roti gandumnya untuk kemudian mengolesinya lagi dengan selai kacang, "Dia juga bertanya mengenai kepindahanmu." Setelahnya Kushina menangkupkan roti selai itu dengan roti gandum lain diatasnya dan meletakkan di piring yang tersaji untuk menyodorkannya pada Naruto.
Naruto menerima sarapannya dan memakannya pelan, "Apa kakak keberatan dengan kepindahanku, bu?"
Kushina menatap Minato yang tengah menyeruput minumannya. Lantas dia menyiapkan lembaran roti lain, "Awalnya iya, tapi setelah ibu menjelaskan semuanya, dia mulai mengerti." Kushina tersenyum kearah Minato dan menyerahkan dua lembar roti yang ia siapkan tadi.
Naruto mengatur napasnya, agaknya merasa lega. Namun dia juga merasa bersalah, rasa-rasanya dia seperti wanita jahat yang berniat memutus kekerabatan setelah kepergian suaminya. Apakah benar seperti itu? 'tentu saja tidak!' batin Naruto menjerit. Naruto tetap memperhatikan keluarganya, meskipun dari jauh. Karena dia tahu, akan sangat sulit untuk menjalani kehidupannya disini, bayang-bayang suaminya dan tentunya kenangan manis yang pernah mereka lakukan bersama meskipun diantara kenangan manis itu pastilah ada bermacam-macam hal buruk yang menimpa. Banyak sekali, hingga hemisfer otak prefrontal Naruto tak kuasa mengingatnya kembali.
Naruto menggeser piring sarapannya yang telah kosong. "Kau bisa mengambil sup ayam jahe didapur, Naruto." Naruto hanya mengangguk sekilas menjawab ucapan ibunya, dia mengambil segelas jahe merah yang sesaat lalu dituangkan oleh Ibunya. Setelah satu tegukan, Naruto mengingat sesuatu.
"Ano ... Ayah, apa kakak akan menggantikan jabatan suamiku segera?"
Minato mengangkat kedua alisnya, "Tentu saja. Apa jadinya sebuah 'desa' tanpa seorang pemimpin, Naruto?"
"Musim ini juga?" Naruto bertanya tanpa menjawab pertanyaan dari ayahnya sebelumnya.
"Iya. kakakmu dan ayah tidak bisa tinggal diam. Harus ada seseorang yang menggantikan posisi suamimu segera. Jika tidak, mungkin saja pejabat lain akan bertindak sewenang-wenang." Minato menarik napas sebentar sebelum mengembuskannya kembali, "Kau tahu suamimu adalah seorang yang bijak dan kompeten, kita tidak bisa mengambil keputusan bodoh, karena itu kepemimpinan selanjutnya akan diambil alih oleh kakakmu."
Naruto menghela napas. "Apakah itu berarti kakak tidak akan langsung diterima oleh penduduk desa?"
Minato hanya menjawabnya dengan gelengan. Naruto menghela napas lagi.
"Ayah akan berusaha meyakinkan penduduk bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan mendiang suamimu masih tetap berjalan."
Naruto ingat. Selama pernikahannya, suaminya selalu pulang larut malam. Tak jarang dia mendapati suaminya menginap di kantor untuk menamatkan tugasnya kala itu, meskipun ia tahu tugasnya tidak akan pernah berhenti satu waktu dan selalu ada tugas lain yang 'meminta' untuk diselesaikan.
Naruto tahu suaminya adalah pemimpin yang menomorsatukan rakyatnya, hingga suaminya sering terlupa kewajibannya sebagai seorang suami. Sebenarnya Naruto tidak terlalu mempermasalahkan itu. Ayahnya seringkali menasehati suaminya untuk tidak terlalu 'lepas' dalam bekerja, dengan mengendalikan batasan-batasan yang ada pada dirinya, dalam tubuhnya.
Lagi-lagi mata Naruto mulai memanas.
Ayahnya bukan bermaksud mengendalikan suaminya atau apa, tapi ayahnya selalu meminta suaminya untuk mengerti batasan dan mengingatkan untuk kembali bertugas esok hari. Setidaknya sebagai seorang advisor, ayahnya juga adalah mertua suaminya, kan? Wajar apabila ayahnya bersikeras untuk menunda pekerjaan suaminya, alasan utamanya adalah karena Naruto.
"Ayah, ibu …," Naruto mulai membuka suara.
Minato dan Kushina menatap Naruto secara intens. Sepertinya ada sesuatu yang penting, batin mereka berdua.
"Apa setelah kepindahanku, aku tetap melakukan cek kesehatan rutin?"
Ternyata benar, batin Minato dan Kushina bersamaan. Naruto pasti akan menanyakan itu lagi.
"Iya, sayang ..." Kushina menjawab, "Kau tetap akan melakukannya. Demi kebaikanmu sendiri," sambungnya.
"Tapi bu, jika aku tetap melakukannya, berapa banyak manusia lagi yang akan mengetahui kekuranganku?"
Minato memandang Naruto dengan tatapan sendu. "Naruto ... Kau pikir sebenarnya orang-orang tidak akan tahu dengan kau yang hanya diam?"
Naruto mengepalkan kedua tangannya, tatapannya ia alihkan kebawah. "Mereka tahu dalam kebisuan, Naruto. Bagaimana mungkin ini akan menjadi sebuah rahasia?"
.
.
.
to be continued
Saya ingin mengucapkan beribu maaf kepada pembaca jika ada diantara kalian yang merasa kecewa dengan cerita saya kali ini. Saya lama menjalani hibernasi dan sempat mengalami down untuk melanjutkan cerita ini. Daaaan, saya seperti remaja labil pada umumnya (padahal umur udah bukan lagi remaja, hehe) pen name saya yang sebelumnya "Shinju Yuna" saya ubah lagi menjadi "Rossidania". Sangat mengecewakan memang, jika menjadi seorang pembaca yang hanya bisa menunggu up dari fiksi-fiksi penulis yang kita nantikan, terlebih penulis itu mengalami hiatus (saya pernah merasakan itu T_T).
Ah, jika ada dari kalian yang bertanya akun Wattpad saya, silahkan search "Rossidania", disitu kalian akan temukan profile picture dewa Yato, wkwk.
Info sebelumnya yang sudah pernah saya umumkan, saya menghapus seluruh cerita saya, tentunya bukan permanen tapi hanya akan saya remake untuk selanjutnya tetap saya publish, di Fanfiction maupun Wattpad.
Maaf untuk ketidaknyamanan dari kalian. Semoga dosa saya termaafkan, Amiin. hehe
