Prolog

Kakiku terlalu lelah untuk berlari lagi, paru-paruku terlalu lelah untuk memberiku nafas lagi, mataku terlalu berair untuk melihatkanku jalan labirin hitam dengan gelap tanpa akhir ini, jemariku telah mati rasa seperti halnya bibirku yang terbuka masih terisak dan mencoba meraup udara rakus, dadaku terasa menghianatiku dengan pilu darah tak terlihat namun menyiksa raga batin fanaku, dan mungkin pula jantungku telah lama berbohong padaku bahwa ia masih berdetak bersama otakku yang trauma sebab ketakutan.

Rasanya peluh di pelipisku telah bergabung dengan air mata. Mataku perih, maka mungkin pelopak mataku telah kehabisan air bening transparan itu dan menggantinya dengan darah hangat. Karna, aku dapat merasakan kehangatan mengalir pelan munuruni pipiku. Isakanku bukan lagi sekedar suara menangis, tapi permohonan untuk hidup, permohonan untuk keluar dari labirin beratap merah darah menyeramkan ini. Aku membenci awan hitam diatas yang bergerak kesana-kemari tanpa penghalang, tak sepertiku yang terpaksa membawa kedua kakiku berlari dan berbelok kesana-kemari karna tembok penghalang hitam yang menjulang tinggi.

Apakah ini mimpi? Kenapa perihnya nyata? Kenapa sakit di dada ini sangat familiar? Jika bukan mimpi, bagaimana aku kemari? Kemana semua cahaya yang selalu menemaniku kala kututup mata sebelum tidur? Kemana segala kehangatan yang selalu dapatkan dari gemgaman tangan mereka?

Kenapa hanya aku sendiri?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jika ini bukan mimpi,

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Apa aku memang

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sudah

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mati

?

.

.

.

.

.

.

.

.

?

Tidak! Aku tidak mati! Aku masih bisa merasakan nyeri disekujur tubuhku, aku masih bisa merasakan sakit tanpa sebab yang menusuk-nusuk dada kiriku, masih bisa mengusap air mata darahku dengan jemari kakuku, masih bisa terisak dengan gilanya, maka dari itu,

Aku Masih Hidup!

Aku ingin keluar dari segala merah dan hitam ini, aku menyukai biru dan hijau, bukan warna gelap penuh kengerian seperti ini! Kenapa labirin ini menguras tanagaku dan memberiku rasa nyeri yang semakin menjadi-jadi? Apa aku harus berhenti sejenak? Istirahat sejenak dari lari yang seakan menguras pasir di jam hidupku?

Tapi, aku takut jika aku berhenti maka hitam akan meraupku bulat-bulat. Hanya cahaya merah darah dilangit lah yang membuatku sadar aku mengenakan celana kain dan kemeja polos berlengan panjang, namun karna langit merah itu pula aku melihat diriku berwarna merah dan hitam.

Seseorang selamatkan lah aku, jika memang aku bisa diselamatkan.

?.?, ?

"AAA!"

Sebuah teriakan melengking penuh histeris menggema di sebuah ruangan yang dijadikan kamar, setelah teriakan itu terdengar sebuah nafas yang memburu, tak selang beberapa detik, sebuah isak tangis meliar dalam terangnya kamar itu. Kamar bercorak hitam putih serta abu-abu itu berisi ornamen dengan warna serupa. Hanya rak buku saja yang memiliki beberapa warna. Furniturenya pula diberi warna hitam, seperti tempat tidur ukuran king sizednya, lemari lima pintunya, meja beserta nakas dan kursi, kursi duduk, komputer, televisi, lampu, bahkan vas bunga yang diletakan pada nakas dekat tempat tidur yang juga tergeletak gadget hitam-silver, bunga liliy air putih seorang diri terdiam menghadap ke arahnya.

Seorang pria, bersurai hitam, sehitam iris matanya, meringkuk kedalam pelukannya sendiri sambil bersembunyi di balik selimut putih dan abu-abunya, air matanya menyelinap keluar kelopak matanya dengan gerombolan kepedihan dan kesedihan dari hatinya, tangisnya pecah dalam heningna malam tak berbulan dan tak berbintang itu, kuku-kukunya menancap tajam ke permukaan kemeja putih polos berlengan panjangnya, matanya memejam erat, enggan melihat apa-apa.

Beberapa orang berombol, 6 lelaki, masuk berbondong-bondong mendekati tempat tidur yang berada di tengah ruangan ini. Semuanya membuang tatapan panik bingung terhadap satu-sama lain. Hingga yang paling dekat dengan pria yang tengah meringkuk bersembunyi itu memberanikan diri menarik selimut.

Pria itu masih setia menutup matanya, bahkan bibirnya telah berdarah karena ia gigiti. Sontak orang lainnya membalikkan badannya terlentang di atas kasur dan memaksanya membuka matanya sambil terus berkata, "hyung kenapa?", atau , "hyung, bangun, kumohon!".

Namun, meski mata itu telah terbuka, memamerkan bertapa hitam irisnya dan betapa merahnya putih matanya, serta sebuah ketakutan yang memancar dari mata milik lelaki yang kini mulai berusaha tenang dan menahan tangisnya bersama 6 lelaki lainnya.

Pria itu duduk, dan memeluk lututnya sendiri, 6 lainnya sendiri mengambil posisi nyaman masing-masing untuk duduk menghadapnnya. Isakannya sudah berhenti, jadi hanya jam putih metalik saja yang berbicara mengenai waktu di sana.

"A-apa," pria itu mengeluarkan suara, dan berhenti sejenak untuk mengangkat wajahnya menatap 6 lainnya dengan seksama.

"A-apa a-aku," bibirnya mulai bergetar dan matanya mulai berair lagi, ia menarik nafas tercekat dan mencoba membaca arti pandangan 6 lainnya, "apa," sebuah jeda nafas, "aku masih," air mata pria itu memenuhi kelopak matanya, "hidup?" kedua matanya kembali mengeluarkan air mata.

Ke enam lelaki itu sontak memeluknya erat sambil berusaha menahan air mata masing-masing sambil terus berkata perkataan yang sama, "tentu saja" , " Hyung hidup" , "hyung hanya bermimpi buruk" .

Maka karna tak ingin merelakan sang pria tidur sendirian dan mengalami mimpi buruk itu lagi, entah bagaimana ke tujuh tubuh lelaki itu bisa tidur nyaman di temat tidur itu.

Tak terdengar lagi suara isakan, hanya nafas tenag yang saling bernyanyi dengan detak jam, hingga sebuah suara memecah keheningan itu. Membuat 6 yang sejak awal hanya menutup mata tak tertidur itu tersenyum lebar seperti anak kecil yang mendapatkan permennya kembali setelah diambil dan disembunyikan orang tuanya.

Kalimat dari salah satu mereka ber enam, kalimat riang tanpa dosa, sambil menatap langit-langit kamar lalu beralih ke pria yang tertidur tenang diantara mereka.

"Kita berhasil mengembalikannya."


Maka ini lah hasil kebaperan atas MV Blood Sweat and Tears...