Disclaimer : I don't own Naruto, all character belong to Masashi Kishimoto, but this story is mine.
Pairing : ItaHina
Warning : AU, OOC, typo, etc. Terinspirasi dari novel Jodoh untuk Naina.
.
.
Hyuuga Hinata menunduk dia tidak berani menatap wajah Sang Ayah, ataupun memotong perkataan Beliau. Pikirannya kacau setelah mendengar apa yang disampaikan Ayahnya tadi.
"Jadi bagaimana pendapatmu, Hinata?" Suara berat Ayah Hiashi kembali menarik perhatian Hinata yang sempat teralih.
Hinata masih bingung menjawabnya. Dia tahu umurnya yang hampir masuk kepala tiga sudah tidak bisa dibilang muda lagi untuk menyandang status sebagai perempuan lajang, dan anggota keluarganya yang lain juga sudah lama mendesak agar dia segera menentukan pilihan dan menikah. Supaya Hinata tidak dicap sebagai perawan-tua-tak-laku oleh sebagian warga. Tapi untuk gadis kampung sepertinya, mendapatkan jodoh di usia dua puluh delapan tahun, dan dengan kondisi ekonomi keluarga Ayah Hiashi yang mumpuni, tidaklah mudah.
Sahabatnya, Hanare, pernah bercerita,kalau para laki-laki di desa segan melamar Hinata, karena Hinata adalah anak dari Pak Hiashi, salah satu Tuan Tanah terpandang di Desa Konoha. Para laki-laki itu takut, jika mereka melamar dan memperistri Hinata, dia akan menuntut hal berlebihan—berkaitan dengan materi—yang macam-macam dari mereka.
"Hinata?" Ayah Hiashi kembali menegur.
Hinata menatap Ayahnya, "Iya Yah?"
"Kamu belum menjawab pertanyaan Ayah tadi," ucap Ayah Hiashi kalem, "bagaimana pendapatmu tentang perjodohan ini, Hinata?"
Hinata mendesah. Ayah masih bertanya mengenai kesediaan dia untuk dijodohkan dengan anak salah satu temannya dari Kota. Bukannya Hinata tidak bersyukur dengan perjodohan ini, dia hanya kaget. Dan menurutnya ini terlalu mendadak. Dan lagi, Hinata pikir … apa laki-laki kota, anak teman Ayah itu bersedia dijodohkan dengan perempuan desa sepertinya? Setahu dia, seperti yang dialihat di tivi-tivi perempuan kota memiliki paras yang jauh lebih cantik dari perempuan desa.
"Hinata terserah Ayah saja," hanya itu jawaban terbaik yang bisa dia ucapkan. Lagipula Hinata percaya, Ayahnya tidak akan memilih calon suami yang buruk untuk dia, "Kalau menurut Ayah, dia laki-laki baik, Hinata bersedia," ucapnya pelan.
Ayah Hiashi tersenyum, "Dia laki-laki baik, Nak. Dia dewasa, bertanggung jawab,dan punya pekerjaan bagus. Ayah yakin dia bisa menjadi pemimpin rumah tangga yang baik untukmu."
"Apa Ayah pernah bertemu dengan dia?" Tanya Hinata lagi, sedikit ingin mendapat gambaran mengenai laki-laki yang ingin dijodohkan Sang Ayah.
"Tentu saja Nak. Malah kalian juga pernah bertemu."
Oh ya? Kening Hinata berkerut mendengar perkataan Ayah Hiashi. Dia dan laki-laki kota anak teman Ayahnya ini pernah bertemu? Mengalihkan pandangan dari wajah Ayah Hiashi ke televisi yang menyala tanpa ditonton, di depan mereka, Hinata memutar otak, coba mengingat beberapa anak teman Ayah yang pernah bertemu dengannya.
"Waktu kalian kecil tapinya," Ayah terkekeh melihat raut wajah penasaran Hinata berubah cemberut, "dia anaknya Paman Fugaku. Yang dulu tinggal di sebelah rumah Kakek Tazuna."
Jadi dulu Teman Ayah dan anaknya yang dari kota itu pernah tinggal di desa ini? Batin Hinata.
"Waktu kecil kamu paling takut sama Paman Fugaku, karena dia seorang Dokter gigi. Setiap kali ketemu Paman Fugaku, kamu selalu nangis dan kabur," nostalgia Ayah Hiashi sambil tersenyum kecil. "Dan dua anaknya dulu sering main kemari. Yang sulung sepantaran dengan Abangmu, Neji, dan yang bungsu seumuran sama kamu."
Hinata meringis masam,"Maaf Yah, Hinata nggak ingat." Dia sudah coba mengingat tentang Paman Fugaku ataupun kedua anaknya, tapi gagal. Mungkin karena sudah terlalu lama.
"Wajar kalau kamu nggak ingat Nak. Umur kamu waktu itu masih sekitar enam tahunan."
"Oh," Hinata mengangguk, lalu keningnya berkerut lagi saat menyadari sesuatu, "Tapi Ayah, aku akan dijodohkan dengan anak Paman Fugaku yang mana? Yang sulung, atau yang bungsu?" Hinata tidak tahu Paman Fugaku punya berapa anak, tapi tadi Ayahnya bilang ada si sulung dan si bungsu.
"Yang sulung. Namanya Itachi. Beda umur kalian hanya lima tahun, dan dia sekarang bekerja sebagai Dokter anak. Mengikuti jejak Ayahnya."
Hinata mengangguk. Dan kemudian suasana hening. Ayah Hiashi tampak kembali fokus menonton acara siaran berita favoritnya, sementara Hinata terhanyut dalam lamunannya sendiri.
"Jadi Hinata? Bagaimana?" Ayah Hiashi kembali menanyakan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya di pagi ini.
Hinata menarik napas sejenak, lalu menatap Ayah Hiashi tepat di mata. "Karena menurut Ayah dia laki-laki baik, dan bisa menjadi calon kepala rumah tangga yang tepat untuk Hinata. Hinata bersedia menerima perjodohan ini," jawabnya mantab.
Mata Ayah Hiashi terbelalak, dan kemudian dia tersenyum senang. Beliau berkata akan segera menelpon Paman Fugaku, untuk menyampaikan bahwa Hinata sudah setuju untuk dijodohkan dengan anaknya. Tapi tiba-tiba raut wajah Ayah Hiashi berubah serius, dia seperti baru mengingat sesuatu.
"Tapi Hinata …," mendadak Ayah Hiashi terlihat gelisah, "ada yang lupa Ayah beritahukan padamu."
"Apa itu Yah?"
"Tentang status laki-laki yang akan Ayah jodohkan denganmu."
"Ya?"
Ayah Hiashi mendesah, "Dia seorang Duda. Memiliki satu anak laki-laki berusia lima tahun."
Mata Hinata terbelalak mendengarnya. Ayahnya ingin menjodohkan dia dengan seorang Duda?
"Jadi Nak, apa setelah tahu status calon jodohmu, kamu masih akan tetap memakai pendapat Ayah tentang pria itu sebagai pertimbangan?"
Belum sempat Hinata menjawab pertanyaan Ayahnya, terdengar suara salam dari arah pintu depan. Itu Ibu dan Kak Tenten, istri Bang Neji, yang baru pulang dari pasar.
.
.
Butuh waktu tiga hari bagi Hinata untuk berpikir mengenai perjodohannya dengan anak sulung Paman Fugaku. Hinata tidak bermaksud jual mahal atau meremehkan status pria itu sebagai duda satu anak, dia juga tidak bermaksud meragukan penilaian Sang Ayah terhadap laki-laki kota itu. Hanya saja, mendengar bahwa dia adalah duda yang memiliki anak membuat Hinata … takut. Hinata takut tidak bisa beradaptasi dengan anaknya, dan dia juga takut hubungan mereka—jika menikah nanti—akan dihantui oleh bayang-bayang mantan istrinya.
Yang Hinata tahu, dari cerita Ayah Hiashi, anak sulung paman Fugaku bercerai setelah istrinya melahirkan. Si istri tampaknya tidak siap memiliki anak. Istrinya itu masih sangat muda, dia memiliki ambisi untuk mengejar karir, menjadi seorang sosialita (yang Hinata tidak mengerti apa manfaatnya), dia juga masih ingin bersenang-senang dan berplesiran kemana pun dia mau. Menurut perempuan itu, memiliki anak akan menghambat karir dan ambisinya. Jadi saat umur si anak belum mencapai seminggu, dia mengajukan gugatan cerai.
Kak Tenten dan Ibu juga meyakinkan Hinata kalau memiliki anak tiri tidaklah buruk. Kata Ibu, anak yang akan masuk ke dalam kehidupannya setelah menikah nanti adalah seorang malaikat kecil, yang bisa menceriakan hari dan membuat ikatan hubungan Hinata dengan Itachi jadi makin erat.
"Ayah sudah menelpon Paman Fugaku dan keluarganya," beritahu Ayah Hiashi pada Hinata dan Ibu yang sore itu sedang menonton acara televisi di ruang keluarga. Beliau tampak sumringah. "Lusa mereka akan kemari untuk melamar."
Ibu tersenyum dan memeluk Hinata bahagia. Sementara Hinata hanya bisa menunduk malu-malu dengan jantung yang berdetak kencang.
.
.
Hinata berkali-kali menghela napas gelisah. Kak Tenten tersenyum saat melihat adik iparnya yang tak bisa tenang.
"Ada apa Dik?" Tanya Kak Tenten sambil menghampiri, dan ikut duduk di atas ranjang di samping Hinata. Malam ini Kak Tenten menemani Hinata di dalam kamar, sementara Ayah Hiashi, Ibu, dan Bang Neji ada diluar untuk menyambut para tamu yang datang.
Malam ini rumah keluarga Hyuuga memang ramai oleh para tamu undangan dan keluarga calon besan, karena akan diadakan acara lamaran. Walau ini hanya sekedar acara basa-basi sebelum pernikahan, tapi Ayah Hiashi dan Paman Fugaku bersikeras untuk mengadakannya. Karena menurut para orang tua itu adalah acara adat yang harus dilestarikan. Dan pernikahan keduanya akan dilaksanakan minggu depan, pukul delapan malam.
"Gugup Kak," sahut Hinata pelan. Tangannya gemetar dan dahinya juga mulai berkeringat.
"Gugup itu wajar Dek." Kak Tenten meraih tangan Hinata, kemudian meremasnya lembut, coba untuk menenangkan, "Asal nggak keterusan sampai di depan calon mertuamu. Nanti Ayah dan Ibu bisa malu kalau kamu sampai pingsan di depan mereka," candanya.
Hinata terkekeh. "Apa Kakak juga gugup sebelum menikah dengan Bang Neji?"
"Di acara lamaran seperti ini?" tanyanya balik.
Hinata mengangguk.
"Tentu saja gugup," jawab Kak Tenten, "tapi Kakak bisa mengatasinya. Dan Kakak bahkan bisa membuat Bang Neji juga seribu kali lebih gugup dari Kakak. Waktu kami pertama kali salaman, tangannya sangat dingin seperti es batu," ceritanya.
Mereka berdua tertawa bersama.
Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar, dan mereka berdua berpaling pada pintu yang terbuka. Ibu tersenyum lebar menghampiri Hinata dan Kak Tenten.
"Sudah waktunya calon pengantin keluar," kata Ibu sembari menuntun Hinata bangun dengan dibantu Kak Tenten.
Hinata menghela napas gelisah, jantungnya berdentum sangat kencang, dan perutnya mendadak mulas saat menyadari kalau dia akan segera dipertemukan dengan keluarga calon suaminya. Hinata harap mereka menyukainya, dan dia juga berharap, semoga anak Itachi—calon anak tirinya—bisa menerima dia sebagai ibunya.
Ibu membawa Hinata ke ruang keluarga yang cukup luas, setelah beberapa perabotan seperti sofa dan meja disingkirkan ke gudang untuk sementara. Di sana sudah berkumpul para perempuan yang sebagian besar Hinata kenal. Ada beberapa istri tetua desa, dan juga para bibi yang memiliki ikatan dengan keluarga Hyuuga.
Seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik, dengan rambut legam dan mata sekelam malam, tiba-tiba menarik Hinata dalam pelukannya. Beliau lalu memperkenalkan diri sebagai Uchiha Mikoto, Ibu dari Uchiha Itachi, calon suami Hinata. Sambil tersenyum lembut, Ibu Mikoto berkata kalau Hinata cantik, dan dia berharap Hinata bisa menjaga anak dan cucunya dengan baik.
Kemudian Hinata berkenalan dengan Sakura, adik Ipar Itachi. Dia perempuan yang sangat ramah dan humoris.
Keluarga Itachi menyambut Hinata dengan gembira dan ramah, mereka memperlakukannya seperti keluarga sendiri. Dan itu membuat rasa gugup Hinata perlahan hilang.
Saat Ibu dan Ibu Mikoto sedang menasehati Hinata tentang pernikahan, kewajiban seorang istri, dan juga kebiasaan Itachi, seorang laki-laki tegap berkemaja putih tiba-tiba datang dari arah ruang tamu, sambil menggendong seorang bocah laki-laki tampan berpipi gembul dengan rambut hitam cepak. Bocah itu terlihat mengantuk, dia meringkuk nyaman dalam pelukan si laki-laki—yang Hinata akui—berparas rupawan itu.
"Maaf Ibu-ibu," dia tersenyum canggung menyapa para Ibu yang berkumpul di ruang keluarga. Matanya tampak mencari-cari, sebelum akhirnya tertuju pada Ibu Mikoto dan Sakura. "Izuna mengantuk," beritahunya.
"Oh. Cucuku Sayang." Ibu Mikoto member isyarat pada Sakura untuk mengambil cucunya dari gendongan laki-laki itu.
Setelah menyerahkan anak bernama Izuna pada Sakura, laki-laki itu berpamitan pada ibu-ibu lain dan mengatakan bahwa dia akan kembali ke ruang tamu. Lalu dia menoleh ke arah Hinata, dan tatapan mereka bertemu. Dia kemudian tersenyum dan mengangguk, sebelum akhirnya kembali ke ruang keluarga.
"Nak Hinata tahu siapa laki-laki tadi?" tanya Ibu Mikoto sambil tersenyum-senyum. Dia sudah menimang sang cucu dalam pangkuannya.
Hinata menggeleng.
"Dia Itachi, Nak."
Mata gadis Hyuuga melebar.
"Dan yang ini Uchiha Izuna, panggilannya Zuna, anak Itachi dari pernikahan pertamanya," jelas Ibu Mikoto.
Oh ya ampun. Hinata menatap takjub anak kecil yang ada dalam pelukan Ibu Mikoto. Izuna balas memandangku dengan mata mengantuknya.
Anak yang menggemaskan.
Dan ayah yang tampan.
.
.
TBC
A/N : Saya bikin cerita ini dalam dua versi, Jodoh untuk Sakura, dan Jodoh untuk Hinata ^^ Enjoy.
