Jihoon x Seungcheol
Rating : K
.
.
.
.
.
.
01
Jadi begini, Jihoon itu suka Seungcheol, tapi Seungcheol temannya, lebih-lebih dia anggap sebagai kakak. Tapi saat cowok itu mengatakan cinta padanya -yang jelas saja membuat Jihoon kaget- dan meminta Jihoon untuk menjadi kekasihnya, dia tidak menolak.
Tidak mungkin juga dia menolak.
Jihoon tidak mau lagi mendengar senandung menjengkelkan Yoongi tentang kisah cinta pilu yang tidak dapat tersampaikan setiap kakaknya itu melewati kamarnya. Mengoloknya sepertinya.
Toh, dari awal ibunya kepincut berat dengan anak tetangganya itu. Jihoon juga tidak menampik kalau selera mereka kadang tidak jauh beda. Ibunya suka roti melon, Jihoon juga suka. Ibu tidak suka pedas, Jihoon juga tidak suka. Ibu suka Seungcheol, yah pasti Jihoon suka.
Lagipula siapa yang tidak jatuh hati dengan cowok yang selalu menghampirimu setiap pagi, memperhatikan mu dengan berlebih, dan kedapatan cemburu dengan hal-hal kecil yang kau lakukan bersama orang lain. Apalagi kalau cowok itu tampan, baik, dan dapat restu dari ibumu. Setidaknya itu yang Jihoon pikirkan saat menerima Seungcheol.
Dan semakin dijalani, Jihoon semakin mengerti kenapa Seungcheol tidak boleh ditolak.
Padahal Seungcheol telah lulus dari sekolah akhir setahun yang lalu, dan sedang sibuk menjalani hidup barunya sebagai mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua dan pacar, tapi sempat-sempatnya dia mengunjungi acara kelulusan Jihoon.
Jadi saat Seungcheol muncul di sekolah yang pernah menjadi almamaternya sebagai alumni untuk menemui pacarnya, dengan penampilan yang membuat mata siapa saja berhenti berkedip, Jihoon dengan tidak punya malu -kata Yoongi begitu, memeluk Seungcheol.
Mencubit perutnya saat cowok itu tidak mau berhenti menebar senyum hangat pada siapapun yang menyerukan namanya. Tipikal Seungcheol sekali.
"Selamat, ya. Maaf lupa membawa bunga. Sebagai gantinya kamu mau minta hadiah apa?" Bisiknya sambil membalas pelukan Jihoon.
Jihoon tersenyum dalam dekapannya. Berpikir keras. Es krim, Lotte world, roti melon, melayang-layang di kepalanya, tapi sebelum dia sempat menjawab tubuhnya di tarik ke belakang, Yoongi bersedekap di belakangnya.
Yoongi mengedikan dagunya ke arah fotografer sewaan sekolah. "Foto!"
Jihoon menurut saja saat Yoongi menyeretnya ke tempat yang lebih lapang untuk berfoto.
"Senyum!"
Jihoon tersenyum. Memeluk sebuket bunga di lengan saat kamera itu menyala di hadapannya.
"Kenapa telat?" Dia mendengar Yoongi bertanya.
"Maaf," suara Seungcheol menjawab. "Sudah coba untuk tidak melakukan nya tapi tetap saja tidak bisa. Ngomong-ngomong dimana bibi?"
"Mengurus sesuatu di toko jadi pulang lebih awal. Orang tuamu juga datang tadi."
Jihoon masih berdiri dengan senyum tiga jarinya, padahal gatal ingin menimpali pembicaraan mereka.
"Oh, kupikir aku tidak akan setelat itu." Seungcheol berkata. "Boleh aku ikut foto?"
Jihoon tidak mendengar Yoongi menjawab tapi merasakan Seungcheol berdiri di sampingnya, merangkul bahunya nyaman. Mereka tersenyum pada kamera hingga jepretan terakhir.
Kemudian setelah mengucapkan terimakasih Seungcheol -masih dengan merangkul Jihoon- membawanya menghampiri Yoongi yang berteduh di bawah pohon rindang di sisi lapangan.
"Kalian mau kemana setelah ini?" Kakaknya bertanya.
Jihoon mendongak, menatap Seungcheol dengan alis bertaut. Dia juga penasaran kemana pacar yang sekarang sudah jarang dia temui itu akan membawanya.
Tapi Seungcheol malah mengguncang bahunya. "Terserah dia saja." Dia itu Maksudnya Jihoon.
"Tidak peduli juga kalian mau kemana asal kau jaga dia baik-baik, mengerti?!"
Seungcheol terkekeh. Jihoon memutar bola matanya malas. Di bibir Yoongi bilang begitu tapi ponsel Jihoon selalu dipenuhi pesan darinya saat dia pergi dari rumah.
*
Saat Seungcheol bilang kalau semua terserah Jihoon, maka itu benar adanya.
Setelah kelulusan Jihoon mengganti pakaiannya dengan lebih nyaman, menyusuri hilir sungai Han dengan Seungcheol di genggaman. Hanya itu yang dia inginkan.
Seungcheol tinggal semakin jauh dan punya jadwal semakin padat dia pasti tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal seperti itu, Jihoon mengerti sekali. Dan saat Seungcheol tinggal semakin jauh dan punya jadwal semakin padat, Jihoon juga tidak punya waktu untuk menggenggam kekasihnya seperti ini. Jadi berhubung Seungcheol sedang dekat dengannya kenapa tidak mereka lakukan dua hal itu secara bersamaan?
"Kamu mau makan?" Seungcheol bertanya.
"Tidak lapar." Jihoon bohong, dia belum makan siang, dan belum minum susu untuk mengganjal perutnya, dia lapar.
"Jangan begitu." Seungcheol berujar. "Ayo makan. kita bisa tetap bergandengan tangan seperti ini, dan karena aku tidak bisa makan dengan tangan kiri jadi kamu bisa menyuapiku, atau sebaliknya, bagaimana?"
Jihoon tersipu. Dia malu sekali Seungcheol mengetahui keinginan tidak terucap -tapi dilakukan- nya yang itu.
Jihoon tidak ingin melepasnya. Apa itu kelihatan jelas?
"Sungguh tidak lapar, tapi kalau hyung memaksa sih tidak masalah."
Seungcheol mencubit pipi itu dengan gemas. Susah sekali membuat Jihoon mengatakan iya dan membuat semuanya lebih mudah. Berbelit dan membuat Seungcheol kesulitan menemukan gagasan ide untuk membujuknya sepertinya menjadi hobi Jihoon yang lain.
Padahal akhirnya, apapun yang dia katakan Jihoon iya-iya saja sebenarnya.
*
Walaupun pada akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke tempat makan, Jihoon justru makin lapar. Mereka mengunjungi setiap tempat makan tapi saat mendapati antrian penuh Jihoon langsung menolak untuk makan. Dia tidak mau salah satu dari mereka mengantri sendirian, yang artinya tidak ada gandengan tangan seperti janji Seungcheol.
Daripada membuat Seungcheol mengkhianati janjinya dia rela meluangkan waktu lebih lama, berlapar-lapar ria demi menemukan tempat yang sesuai.
Tapi akhirnya Seungcheol menyerah, mereka duduk di kursi taman dekat gedung apartemen --tempat dimana Seungcheol pertama kali menyatakan perasaannya.
Seungcheol merangkulnya, pipinya menempel pada surai Jihoon yang menguarkan harum buah-buahan. "Bagaimana ini? Masa aku tidak melakukan apapun sampai sini? Padahal aku memikirkan banyak hal yang bisa kita lakukan sebelum berangkat kemari."
"Kau memikirkan terlalu banyak hal." Jihoon menanggapi.
"--dan itu semua tentangmu." Seungcheol membumbui yang langsung mendapat sambutan berupa geplakan di paha dari sang kekasih.
"Kita belum makan." Jihoon masih memutar gambaran roti melon di kepalanya, dan segelas susu.
Jihoon merasakan Seungcheol mengecup kepalanya jadi dia tersipu. "Maaf. Mau ke dalam? Ibuku bisa buatkan sesuatu untukmu."
"Kue?" Tidak ada yang lebih baik dalam membuat kue coklat selain ibu Seungcheol. Dia punya taburan ajaib untuk setiap kuenya, yang orang lain sebut choco chips.
"Dan susu." Seungcheol menambahkan.
"Ayo masuk!"
*
Lagi-lagi tidak seperti janji, rumah orang tua Seungcheol kosong. Jihoon jadi merasa tidak enak karena ibu dan ayah Seungcheol menunda pekerjaan untuk meluangkan waktu menghadiri kelulusannya.
Mereka duduk di sofa, menyalakan tv, Seungcheol membawa sekardus kemasan susu dan mug untuk Jihoon bahkan menuangkannya.
"Minum dulu." Titahnya.
Jihoon menegaknya dengan haus, mendesah merasakan perutnya terisi. Dia mengusap sudut bibirnya dengan lengan sweater yang dia kenakan. Eomma akan marah jika melihatnya melakukan itu. Tapi karena dia sedang berdua saja dengan Seungcheol di rumah orang tuanya, maka Jihoon boleh jadi sedikit nakal.
"Mau makan apa?" Seungcheol menawari. Jihoon tidak yakin mereka punya setoples kue buatan rumah ala ibu Seungcheol di lemari penyimpanan. Roti melon juga sepertinya tidak ada mengingat ibu Seungcheol seorang pengacara, bukan ibu rumah tangga dengan bisnis toko roti.
"Yang ada saja." Akhirnya Jihoon menjawab begitu. Tidak mau menyusahkan Seungcheol.
"Aku pesankan pizza? Jjangmyun? Atau ayam?"
"Ketiganya boleh?"
Oke, lupakan argumen tentang 'Tidak Mau Menyusahkan Seungcheol'.
Lagipula Jihoon berpikir kalau menelpon tiga restoran cepat saji itu bukan hal yang merepotkan, hanya sedikit mengeluarkan uang berlebih.
Seungcheol mengacak surainya gemas sebelum memesan makanan mereka. Cowok itu kemudian bangkit, berjinjit untuk mencapai rak buku tertinggi di samping kabinet tv. Mengeluarkan sebuah dompet kuno dan berlembar-lembar uang untuk dimasukan ke dalam kantung celananya.
"Jangan bilang kalau kamu tidak punya uang."
Seungcheol meringis, duduk lagi di samping Jihoon. "Aku tidak bisa tidur karena memikirkan hari ini, dan malah ketiduran di kereta. Jadi aku harus beli tiket lagi karena salah turun stasiun, dan sisa uangnya untuk pulang."
Jihoon kaget mendengarnya. "Kamu menawariku makan di luar tadi."
Seungcheol itu nekad. Jihoon berpikir bagaimana bisa tadi cowok itu mengajak nya makan di luar padahal uangnya pas-pasan, bagaimana kalau Jihoon kelewatan tadi? Memesan makanan banyak-banyak agar bisa menghabiskan waktu lebih lama untuk menyuapi Seungcheol. Apa yang dia lakukan jika tidak bisa membayar?
"Tapi kamu menolak."
"Bagaimana jika tidak?"
"Yaaa kita makan berarti."
"Dan dengan apa kamu akan membayarnya?"
"Dengan cintaku padamu yang berlebih." Seungcheol mengerlingkan sebelah matanya yang langsung mendapat dampratan berupa bantal sofa dari Jihoon.
*
Ayam, pizza dan jjangmyun datang hampir bersamaan. Mereka makan dengan berantakan, menggigit ayam bersama jjajangmyun. Menggulung pizza bersama potongan daging ayam dan jjajangmyun. Mencoba hal-hal nyeleneh pada makanan mereka seperti yang Jihoon sering lihat di tv.
"Mayo, Hoon." Jihoon memberikan sebotol mayonaise pada Seungcheol.
"Enak tidak?" Dia penasaran dengan rasa mie kacang kedelai hitam mayonaise yang sekarang sedang Seungcheol nikmati.
Sepertinya agak aneh melihat raut wajah Seungcheol saat memakannya.
Tapi cowok itu malah berkata, "Omo! Kau harus coba ini, ji. Masterpiece!"
Jihoon mendekat dengan antusias, memasukan mie itu banyak-banyak ke dalam mulutnya hingga saus hitam dan mayonaise itu meninggalkan jejak berantakan di sekitar bibirnya tapi kemudian dia berlari terbirit-birit ke belakang untuk melepehkan makanan itu di kloset.
Rasanya tidak karuan. Jihoon heran bagaimana Seungcheol bisa keterlaluan seperti itu bahkan sampai tega menelannya demi membodohi Jihoon.
Saat Jihoon kembali ke ruang tengah, Seungcheol terpingkal-pingkal di karpet sambil memegangi perutnya yang berguncang.
Dia menunjuk Jihoon dan berseru, "kau memakannya!"
Jihoon diam saja.
"Hei, bercanda, jangan marah ah." Seungcheol membringsut mendekat. Dia takut kalau Jihoon diam karena biasanya Jihoon tidak pernah diam bahkan saat ngambek.
"Jihoonie... Maniss... Jangan begitu, Hyung bercanda tadi, maaf ya.." dia membelai sayang rambut Jihoon.
Jihoon memukul perutnya main-main yang Seungcheol artikan sebagai, "permintaan maaf diterima."
Jadi dia dekap kepala itu dan menciumnya. "Sayang kamu."
.
.
.
.
A/N
•jihoon disini childish bgt, tipe2 uke dalam imajinasi aku saat pertama kali liat dia ya gtu.
•cross publish dari WP. ada cerita sebelumnya disana. di akunku yg namanya sma
