Junai Bride

1st Chapter

*adaptasi dari manga berjudul sama*

Naruto © Masashi Kishimoto

Junai Bride © Kayoru

Warning: It's not perfect.

...

..

.

Happy Reading


"Hei, hei." Seorang bellboy buru-buru menepikan troli yang didorongnya. Tidak setiap hari ia melihat seorang gadis remaja dengan gaun pengantin berlari kencang, apalagi di dalam koridor hotel berbintang lima.

"Tenten-sama, tunggu!" Dua orang dengan setelan jas hitam menyusul tepat di belakang gadis itu.

"Apa yang harus kutunggu?" Gadis itu menoleh, iris cokelatnya menyiratkan ancaman sebelum akhirnya ia berlari ke arah balkon.

"Tenten-sama, menjauh dari situ. Ayo kesini," seorang dari pengejar itu membujuknya. Mengetahui temperamen gadis itu, ia tidak akan segan-segan untuk melompati railing yang memisahkan tubuh ramping itu dari udara bebas. Hal itu membuatnya merinding, mereka sedang berada di lantai enam dari hotel itu.

Seperti sengaja ingin makin memperkeruh suasana, sosok yang sedari tadi berdiri tepat disamping railing itu benar-benar menaiki pembatas yang tersusun kokoh. "Aku pergi dari sini, jangan halangi aku. Mendekat, dan aku akan lompat." Ia sudah berdiri sempurna, namun sejenak ia menoleh ke bawah dan mengumpat dalam hati, ia lupa melepas high-heels yang dikenakannya.

"Tenten-sama, kami mo…."

Kalimat itu tidak selesai, berganti dengan pekikan ketakutan oleh orang-orang yang berada disitu. Gadis bergaun putih itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan menghilang dari pandangan. Ia terjatuh.

Sepasang kelopak yang membingkai mata berbentuk almond itu menutup. Terlambat untuk berteriak, meski suara teriakan orang-orang memenuhi rongga telinganya. "Konyol sekali," batinnya, "besok akan ada headline tentang seorang gadis yang bunuh diri gara-gara perjodohan." Ia bersiap untuk rasa sakit yang akan menderanya.

"Eh?" Rasa sakit yang diprediksikannya tidak juga datang, yang ada malah sensasi hangat dimana ia merasa tubuhnya bersandar pada suatu bidang. Ia membuka matanya dan melihat satu lengan lagi melingkari bagian perutnya erat. Satu tolehan dan Tenten menemukan sepasang bola mata yang terlukis seperti langit malam tertuju ke arahnya.

"Ya ampun, tak hanya keras kepala, istriku ini nekat juga rupanya." Disaat yang bersamaan, deru helikopter menyadarkan Tenten tentang lokasinya saat ini dan mendadak seluruh tubuhnya seakan berubah lemas. "Ayo, kita pulang." Tenten melihat satu seringai sebelum lelaki yang menyelamatkannya itu menaiki tangga yang berayun.

Tenten mencubiti lengan yang makin erat di perutnya, "Aku hanya ingin pulang. Dan perhatikan baik-baik dimana kau menaruh tanganmu!" Hal itu malah dibalas dengan gumaman tak jelas.

"Ya, kau akan pulang. Ke rumahmu, rumah kita." Satu kalimat itu diucapkan dengan nada penuh wibawa, Tenten hendak membantahnya ketika angin bertiup makin kencang dan memaksanya untuk berpegangan erat pada lelaki itu.


Kombinasi antara marah, jengkel, dan kesal tidak cukup untuk menggambarkan apa yang Tenten rasakan saat ini. Betapa tidak, ia masih ingin menikmati masa remajanya, ia masih enam belas tahun dan belum pernah memiliki kekasih namun tiba-tiba ibunya mengatakan ia harus menikah, sebagai jaminan dengan seorang pengusaha yang bekerja sama dengan ayahnya.

Sedetik sebelum ia bertemu lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Uchiha Sasuke itu, Tenten mengira ia akan dijadikan istri muda oleh seorang pria paruh baya.

"Kau masih bangun? Ayo tidur." Suara berat itu menyadarkan Tenten yang termangu, ia masih belum mengatakan apa-apa karena ia masih yakin kalau ia cuma bermimpi. Sedikit lagi ia akan tertidur dan saat bangun nanti ia akan kembali berada di kamarnya.

"Eh?" Ia mengangkat wajahnya yang sedari tadi hanya menatap lantai. Setelah makan malam, seorang pelayan menyiapkannya baju tidur dan meninggalkan Tenten di satu kamar tidur bernuansa cokelat muda dengan tempat tidur king size beralas sutera. Sepasang iris yang menyerupai mutiara hitam itu seakan menawannya, Tenten harus mengakui kalau suaminya ini benar-benar enak dipandang. Postur yang tinggi, dada yang bidang -Tenten sudah merasakannya saat lelaki itu menolongnya-, tubuh tegap ditambah wajah yang bisa menyaingi model-model pria yang dilihatnya di majalah. Hidung mancung yang terpahat sempurna, rahang yang terbentuk halus dan tulang pipi yang menonjol tanpa cela.

"Kenapa kau seperti itu? Besok kau harus sekolah, bukan? Ayo tidur!" Lelaki itu menegaskan sambil berjalan mendekat ke arah dimana Tenten duduk. Rambutnya yang acak-acakan, berkilauan di bawah cahaya lampu. Ck, rumor tentang keluarga Uchiha hanya memiliki yang terbaik ternyata benar-benar terbukti.

Melihat orang yang sejak sore itu menjadi suaminya mendekat ke tempat tidur, Tenten berdiri dengan cepat, seolah-olah seseorang menaruh bara api di tempat itu. "Aaa, aku belum mengantuk, kau silahkan tidur lebih dulu, Uchiha-san." Ia berdiri dengan sedikit limbung dengan telapak tangan yang berkeringat. Bagaimana kalau ia dipaksa melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh pengantin baru kebanyakan? Bahunya menegang saat pikiran itu terlintas di kepalanya. Bahkan ciuman pun masih tabu baginya, apalagi...

Alih-alih mengambil posisi di ranjang, Uchiha itu malah berhenti tepat di depannya. Jemari panjangnya dengan lancar meraih dagu Tenten dan mengangkatnya, "Dengar istriku sayang, yang pertama, Sasuke, Sa-su-ke. Kau bukan pegawaiku, kenapa sekaku itu?" Tangannya berpindah ke rambut cokelat gelap Tenten yang dikepang dua. "Kedua, aku tidak akan memangsamu, tak ada yang perlu ditakutkan." Ia mengambil jeda sebentar dan memegang kedua bahu Tenten. "Yang ketiga, tidurlah. Kau boleh menggunakan kamar ini, aku tak akan mengambil kesempatan apapun karena aku akan ada di ruang kerjaku sepanjang malam." Sasuke mendudukkan Tenten kembali di tempat tidur, ekspresi wajahnya benar-benar lembut hingga membuat Tenten terpaku.

Perlakuan yang diterimanya dari lelaki itu membuatnya tercengang. Ada apa? Bukankah ia hanya jaminan?

Cup

Satu kecupan mendarat di dahi Tenten, senyuman kecil itu seperti mantra sihir yang mencuri suara dan sifat blak-blakan Tenten.

"Terakhir, cepatlah jatuh cinta denganku." Dengan itu ia berdiri dan berjalan menuju pintu, namun ia tidak keluar sebelum satu bantal mendarat dengan tepat di tengkuknya.

"Jangan harap!" Seru Tenten. Seperti dalam kisah dongeng, selalu ada satu hal yang bisa mematahkan mantra dan dalam kasus Tenten, ajakan untuk jatuh cinta itu-lah yang kembali membuat pita suaranya bekerja.

Tenten hanya melihat sosok yang masih berbalut kemeja dan celana panjang itu menghilang dari ambang pintu yang diikuti debaman pintu.

'Uchiha hanya memiliki yang terbaik.'

Kalimat itu terngiang di kepalanya lagi. Sekarang ia adalah istri dari seorang Uchiha, itu berarti ia yang terbaik. Ia menggeleng cepat, pasti ada kesalahan. Uchiha Sasuke pasti sudah salah memilih orang. Tenten melihat ke arah cermin di sisi kiri ruangan, dan tertawa. Ia hanya melihat bayangan dirinya yang biasa, rambut cokelat panjang yang nyaris tak pernah digerainya. Mata cokelat yang sering dikatakan seperti kolam cokelat oleh kawan-kawannya, dan perawakan yang sedikit lebih 'besar' dari gadis seumurannya.

Ia kemudian berbaring dan menarik selimut hingga menutupi dagunya. Memutuskan untuk tidur saat kantuk menggodanya.


Tenten sedang memimpikan croissant di kedai depan sekolah saat sesuatu menyapu kepalanya berulang kali.

"Tenten." Ah, suara siapa itu?

"Ten, sebentar lagi waktunya sarapan." Sepertinya ia pernah mendengarnya.

"Kau akan terlambat!" Dan itu membuatnya membuka mata.

"Hm?" Dengan wajah yang terpisah hanya beberapa detik, Tenten menatap wajah yang baru dilihatnya kemarin itu dengan mulut ternganga. "Uchi-Sasuke!" Ia mencicit. "Maaf." Ia menyibak selimutnya dan melompat dari tempat tidur dengan wajah yang terasa panas. Ia menutup pintu kamar mandi sebelum ia mendengar apapun dari lelaki itu. Sasuke sudah melihatnya seperti itu, memalukan sekali. Apa? Tenten terkesiap dengan sikat gigi di mulutnya. Kenapa dia jadi peduli tentang apa yang dipikirkan orang yang berstatus suaminya itu?

"Tenten-sama, kami sudah menyiapkan sarapan anda. Tapi karena kami khawatir anda akan terlambat, kami mengemasnya jadi anda bisa memakannya di perjalanan." Saat keluar dari kamar mandi, Tenten disambut senyum penuh pengabdian dari empat orang pelayan.

"Terlambat? Sekolah akan dimulai satu setengah jam lagi. Aku punya cukup waktu." Ujar Tenten.

Tiba-tiba seorang pelayan membawa setumpuk pakaian yang baru pertama kali dilihatnya.

"Ini seragam sekolah anda, Tenten-sama. Sesuai perintah Sasuke-sama, mulai hari ini anda akan bersekolah di SMA Puteri Minami."

"Apa?" Lengkingan Tenten seperti melukiskan seluruh kekagetannya. SMA Puteri Minami, terkenal dengan peraturan super ketatnya dan tingginya standar yang diterapkan disana. Dan lagi, jarak kesana sama dengan dua kali dari rute terjauh menuju sekolahnya. "Maksudku, ini mendadak sekali. Tak bisakah aku bertemu teman-temanku dulu?"

"Maaf, tapi ini adalah perintah Sasuke-sama."

Ia menarik nafas dalam-dalam, menenangkan diri. "Dimana Sasuke?"

"Sasuke-sama sudah berangkat ke kantor. Ia meminta kami untuk mempersiapkan semua kebutuhan anda." Ia bergerak maju, "maafkan kami," dengan itu ia mulai bekerja sesuai apa yang diperintahkan Sasuke. Memasangkan seragam, menyisiri rambut Tenten dan membuat konde dari kepangan yang dibuatnya, sampai merias wajahnya dengan polesan tipis.

Tenten membiarkan saja keempat pelayan itu mendandaninya. Jika ia membantah, bisa saja keempatnya akan kena marah. "Maaf, biar aku saja." Ia dengan pelan menarik kakinya, mereka bahkan berniat memasangkan sepatunya. "Apa kau tahu dimana ponselku? Tolong ambilkan." Pintanya yang dijawab dengan anggukan dan satu bungkukkan sebelum pelayan itu mengambil alat komunikasi berwarna tosca-nya. "Terima kasih." Ia lalu menoleh pada pelayan yang sedang menyusun isi tas sekolahnya, "apa kau tahu nomor ponsel Sasuke?"

Setelah mereka selesai, keempat pelayan itu pamit pada Tenten. "Terima kasih, aku akan turun sebentar lagi." Ia tersenyum, dan saat keempatnya menghilang dibalik pintu ia menggeram dan mengeluarkan ponselnya. "Mati kau." Ia mencari nama suami tersayangnya itu dan meneleponnya. Mungkin ia sudah mulai menerima kenyataan kalau sekarang dia sudah menjadi istri seseorang, namun ia tetap tak suka bagaimana kehidupan barunya menghapus satu-persatu bagian dari dirinya.

Klik

"Sa-" Ia baru saja membuka mulut ketika suara lain menimpali.

"Anda sedang dialihkan ke kotak suara. Silahkan tinggalkan pesan setelah nada tunggu."

Tenten memonyongkan bibirnya kesal, "Hei, aku memang istrimu tapi bukan berarti kau bisa mengaturku seenaknya. Dasar suami berkepribadian tyrant." Ia setengah berteriak pada benda kotak berlayar kaca itu. "Huff." Ia mengatur nafasnya kemudian mengecek penampilannya sekali lagi sebelum berangkat.


SMA Puteri Minami

Sesering apapun Tenten melihat video dan gambar dari sekolah elit itu, melihat langsung bangunan yang sebenarnya tetap saja mencengangkan. Gedung lima lantai dengan dinding berwarna pink pastel. Jejeran pohon sakura berderet di sisi depannya, sementara bunga berumpun beraneka warna tumbuh teratur di sela pohon satu dan pohon yang lain.

Setelah menemui kepala sekolah, Tenten menuju ruangan kelas 2-A. Saat ia masuk, suasana kelas yang berwarna kuning hangat itu seketika hening, yang beberapa detik kemudian mulai memperdengarkan bisik-bisik kecil dari beberapa siswi di dalamnya.

"Tenten-sama, selamat datang. Aku Sabaku no Temari, ketua kelas 2-A. Jika kau butuh sesuatu, kau bisa bertanya padaku atau pun yang lainnya." Seorang siswi menyapanya, sudut bibirnya sedikit melengkung ke atas.

"Aku Tenten, dan tolong, jangan panggil aku dengan embel-embel sama. Aku mohon bantuannya." Tenten gelagapan pada awalnya, namun mulai bisa menguasai dirinya.

"Baiklah, mari kuantar ke tempat dudukmu."

Tenten menundukkan kepalanya sedikit, "Terima kasih."

Kursi dan meja yang disediakan pun berbeda dengan yang ada di sekolah lamanya. Kursi dengan bantalan empuk untuk diduduki namun dengan sandaran tegap yang juga diberi bantalan empuk setinggi kepalanya saat ia duduk. Mejanya pun diukur sedemikian rupa sehingga mereka tak perlu membungkuk untuk menulis, tak hanya itu, permukaan mejanya pun dialasi dengan kain putih bermotif bunga sakura. Ruangan itu juga didekorasi dengan rangkaian bunga mini yang tertata di ambalan dekat jendela, tak hanya itu, pengharum ruangan beraroma floral pun melengkapi ruangan kelas itu.

Tenten melihat ke penjuru kelas, semuanya seperti menegaskan kesan mewahnya. Ia merasa asing dengan ini semua, tipikal hal yang akan dijalani para ojou-sama seusianya. Memang ia terlahir dari keluarga yang cukup berada, tapi ritual yang dijalani sebagian besar gadis dengan status sosial yang hampir sama atau diatasnya, tak pernah ia lakoni. Orang tuanya cukup memberinya kebebasan sampai akhirnya keluarga Uchiha, Uchiha Sasuke tepatnya dan kontraknya datang, membuatnya harus mengalami hal langka ini. Tidak semua orang tahu kalau ia akan menikah secara mendadak, diikuti dengan adegan yang melibatkan helikopter pula.

"Tenten-sama," suara riang itu membuyarkan lamunannya. Sosok siswi ramping berambut pirang panjang yang cantik berbalik dari bangku di depannya. "Nice to meet you," Ia menyapa Tenten dalam bahasa Inggris dengan sikap yang sangat elegan. "Aku Yamanaka Ino, kau boleh memanggilku Ino."

"Nice to meet you, too." Tenten balik mengangguk, diam-diam memperhatikan gadis itu. "Dan kau cukup memanggilku Tenten."

"Terima kasih, Tenten-sa-," Ia memotong kalimatnya saat melihat kerutan yang nampak di wajah Tenten. "Maksudku, kau sekarang istri dari Uchiha Sasuke. Sangat lancang hanya memanggilmu dengan nama saja."

Tenten berjengit, bagaimana bisa berita itu sampai ke telinga pemilik manik yang seperti memantulkan warna langit itu.

"Ino, jangan mengganggunya." Tegur Temari yang tiba-tiba sudah berada di samping Ino.

"Tapi Tema-chan, aku hanya ingin berkenalan dengannya. Ia jauh lebih imut dari foto yang kulihat di surat kabar pagi ini." Ino memonyongkan bibirnya dengan gaya kekanakan yang dibuat-buat, nyata untuk memprovokasi Temari. Tatapan tajam yang diterima Ino dari sang ketua kelas membuat gadis itu bungkam dan menghentikan aksi kekanakannya.

Melihat situasi yang agak canggung di depannya, Tenten akhirnya bersuara, "ah, tak apa. Aku tidak terganggu sama sekali."

"Ngomong-ngomong Tenten, aku ingin jujur. Aku iri sekali padamu." Ujar Ino, ia memberi penekanan pada kata iri.

"Maaf?" Sahut Tenten dengan dahi mengernyit.

"Kau dipilih Sasuke-kun untuk menjadi istrinya." Tutur Ino dramatis, helaan napas kasar dari Temari menyusul setelahnya.

"Maafkan dia, Tenten. Dulunya dia termasuk salah satu penggemar fanatik Uchiha Sasuke." Sela Temari saat melihat raut kebingungan Tenten.

"Dulu, sebelum aku bertemu dengan Sai-kyuuun." Celoteh gadis berkuncir kuda itu genit, membuat Temari menggelengkan kepalanya.

Senyuman gugup terpulas di bibir Tenten, "Um, tak apa. Aku pikir tak ada salahnya. Secara umum ia memang menarik." Ia menempelkan telapak tangannya ke mulutnya sendiri. Apa yang baru saja ia katakan? "Errr itu, maksudku, kau bebas mengagumi siapapun 'kan?" Ia mencoba menetralkan kalimatnya. "Dan lagi, kejadiannya baru saja kemarin, tapi kenapa kalian bisa tahu?" Tenten memandangi Ino dan Temari bergantian, sesekali ia juga menatap ke arah teman-teman lainnya yang sedang bergosip, berbisik.

"Ck, gadis ini." Ino merapikan poninya yang sudah tertata apik dengan jari. "Duduklah dengan nyaman." Ia duduk di bangkunya yang kebetulan berada di sisi kanan Tenten. "Kau tahu seberapa besarnya keluarga Uchiha itu 'kan?" Tenten menjawabnya dengan sekali anggukan. "Itu dia, Sasuke-kun adalah pemegang kendali kantor Uchiha Corp. yang berada di Jepang. Hebat, bukan? Semuda itu dan dia sudah memimpin perusahaan sebesar itu."

Dan sekarang Tenten terbeliak mendengarnya. "Tapi jika tidak salah, Sasuke mempunyai seorang kakak laki-laki. Kenapa bukan dia yang memegang posisi itu?" Janggal, tidak biasanya anak kedua dari satu keluarga yang berpengaruh memegang jabatan setinggi itu. Banyak hal yang ia tidak tahu dari keluarga barunya itu.

"Itachi-san sedang memimpin proyek ekspansi ke Eropa Barat." Ino menjawab sambil mengedikkan bahu. Melihat kedua alis Tenten yang terangkat, Ino terpekik, "kau tidak tahu?" Kali ini ia membelalakkan matanya tak percaya. "Tunggu, kau pasti belum bertemu orang tua Sasuke-kun? Mertuamu."

"Aku memang belum bertemu mereka." Jawab Tenten polos.

"Eeeeh?" Suara Ino meninggi.

"Pelankan suaramu, Ino." Perintah Temari, kondisi ini bisa membuat skandal yang menguntungkan pihak yang tak suka pada Sasuke. Ia tahu sejauh itu, setelah melihat bagaimana orang-orang memperlakukan adik termudanya. "Maafkan sepupuku yang lancang ini, Tenten." Ia meminta maaf.

"Tak apa. Tapi aku memang belum pernah bertemu mereka secara langsung."

"Tak usah kau pikirkan kata-kata Ino. Jika Uchiha Sasuke menikahimu, itu berarti ia sudah memperoleh restu orang tuanya." Bola mata berwarna teal itu mengarah pada Ino, kalau-kalau gadis itu menambahkan komentar aneh lagi. "Tapi Tenten, kau sudah menjadi istrinya sekarang. Kau harus lebih berhati-hati."

"Hati-hati?" Ia punya gambaran tentang ini. Ia pernah mendengar tentang seorang siswi yang dibully karena memacari siswa idola di sekolah. Penggemar fanatik Sasuke tidak akan melabraknya 'kan?

"Tentu saja kau harus hati-hati. Banyak orang yang menganggap Sasuke-kun belum pantas memegang kendali atas perusahaan itu karena ia masih sangat muda. Ditambah lagi pesaing perusahaan itu, ada beberapa yang jelas-jelas tak suka pada keluarga Uchiha." Jelas Ino sambil berbisik, badannya dicondongkan ke arah Tenten. "Bukan tidak mungkin kau akan dijadikan target mereka. Setelah aksi heroik Sasuke-kun menyelamatkanmu dengan helikopter kemarin, mereka pasti menyadari kalau Sasuke-kun sangat menyayangimu."

"Maafkan kami, Tenten. Kami tidak bermaksud menakutimu. Tapi berhati-hatilah." Temari menepuk pundak Tenten lembut, kemarikan ponselmu.

"Tenang saja, sekolah ini dijaga ekstra ketat. Jadi, kau aman disini." Ino mencoba mencairkan suasana setelah melihat betapa terkejutnya Tenten. Gadis itu tak berbicara sepatah kata pun setelah penuturan Ino dan Temari.

"Lihat," Temari menunjukkan layar ponsel Tenten pada istri Uchiha Sasuke itu. "Aku sudah menaruh namaku dan Ino disini, jangan segan-segan menghubungi kami, ya."

Tenten mengangguk dan mengingatkan dirinya sendiri untuk mencari informasi tentang keluarga Uchiha.


Hingga sekolah usai, Tenten masih memikirkan kata-kata dua orang gadis bersepupu itu. Ia jadi merasa bersalah sudah meninggalkan pesan bernada marah di voicemail Sasuke. Suami yang baru dinikahkan dengannya -bukan dinikahi, ia tidak melakukannya dengan sukarela- itu memikirkan keselamatannya.

Ia harus melakukan sesuatu untuk membalas perlakuan Sasuke. Karena setelah ia pikir-pikir, lelaki itu tidak pernah memaksanya. Kecuali soal sekolah, tapi itu demi kebaikan Tenten sendiri. Mengambil ponselnya, Tenten memutuskan untuk menelepon Ino.

"Ya?" Ino menjawab cepat. "Apa kau sudah merindukanku, Nyonya Uchiha?"

"Bukan itu, Ino. Apa kau tahu makanan kesukaan Sasuke?" Ino adalah mantan penggemarnya, ia pasti tahu.

"Huuuh Tenten, kau bisa saja mengatakan kau merindukanku." Ia bersuara seolah-olah sedang merajuk. "Dan untuk pertanyaanmu, tomat." Jawab si pirang dari seberang telepon dengan cepat.

"Ayolah Ino, aku serius. Kumohon."

"Aku juga serius, ia akan makan apapun. Asalkan itu menggunakan tomat."

Tenten memejamkan matanya, ini berat sekali. Ia benci sekali dengan buah yang sering dianggap sayuran itu. "Baiklah Ino, terima kasih."

"Terima kasih kembali, aku ingin berlama-lama bicara denganmu tapi Sai-kun sudah datang. Sampai besok."

"Sampai besok." Tenten mematikan panggilan dan menggelengkan kepalanya. Ia mulai bingung dengan niat yang dianggapnya aneh ini. "Baiklah Tenten, kau tidak punya pilihan lain." Bisiknya pada dirinya sendiri.


Thank you for reading...