My 4D Mom
Genre: family, romance, friendship, humor
Pairing: Yunjae (genderswitch)
Disclaimer:
Cerita ini hanya fiktif belaka. Saya hanya meminjam nama pemeran. Cerita dan kejadian hanya khayalan saya semata, tidak ada hubungannya dengan kejadian di dunia nyata.
Summary:
Shim Changmin, delapan belas tahun, seorang anak yang tumbuh dengan keluarga yang tidak lengkap. Kedua orang tuanya bercerai saat ia berusia dua tahun. Ia tinggal bersama ibunya yang berkepribadian absurd. Ia mengalami dilema antara memilih untuk mengejar cita-citanya atau menjaga ibunya.
Kim Jaejoong, 37 tahun, janda cantik berkepribadian absurd. Ia sangat mencintai toko kue miliknya, terobsesi untuk membuat kue yang sangat enak. Ia sudah merasa bahagia dengan toko kuenya dan tidak berminat untuk menikah lagi. Cintanya adalah toko kuenya itu.
Jung Yunho, 35 tahun, guru olahraga tampan yang belum menikah juga. Ia masih mencari sosok wanita yang sempurna untuk dijadikan istri.
Chapter 1
My Family
Seorang remaja laki-laki berusia enam belas tahun memandangi seorang gadis yang duduk di atas ayunan di taman yang berada di sebelah sekolahnya. Gadis itu adalah seniornya di sekolah.
Remaja laki-laki itu terus memperhatikan gadis itu. Tak pernah ia melihat gadis secantik itu. Jantungnya berdetak kencang setiap ia melihat gadis itu. Oh, ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Sepertinya ia telah jatuh cinta kepada gadis itu.
Semalaman remaja laki-laki itu mencoba untuk merangkai kata yang kemudian ia tulis di selembar kertas berwarna merah muda. Baru pada pukul tiga dini hari ia berhasil menulis surat cintanya. Alhasil ia bangun kesiangan dan datang terlambat ke sekolah. Ia mendapatkan hukuman berlari mengelilingi lapangan sekolah sebanyak sepuluh keliling. Untung saja ia memiliki fisik yang kuat, sehingga berlari sepuluh keliling lapangan sekolah bukanlah masalah besar.
Pada jam istirahat remaja laki-laki itu memasukkan amplop yang berisi surat cinta ke dalam loker milik gadis pujaan hatinya. Ia kemudian bersembunyi di balik tembok dan menunggu gadis itu menemukan suratnya.
Jantung remaja laki-laki itu berdetak kencang. Keringat dingin bercucuran di keningnya. Akankah gadis itu menerima cintanya?
Gadis itu akhirnya keluar dari kelasnya bersama teman-temannya. Ia membuka lokernya dan menemukan sebuah amplop berwarna merah muda. Ia pun membuka amplop tersebut dan membaca isi surat di dalamnya.
"Kau mendapatkan surat cinta lagi?" komentar salah satu teman gadis itu. "Kali ini siapa yang mengirimnya?"
Gadis itu mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Tidak ada nama pengirimnya."
"Bodoh sekali!" celetuk teman yang lain. "Bagaimana kau bisa mengetahui siapa dia jika ia tidak menuliskan namanya?"
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan! Buang saja surat itu! Ayo kita pergi ke kantin! Aku sudah sangat lapar," ajak teman lainnya.
"Sayang sekali jika dibuang. Aku bisa menggunakan bagian belakang kertasnya untuk catatan atau bisa juga dibuat origami." Gadis itu terkekeh. Senyumannya terlihat manis sekali.
Remaja laki-laki itu tidak bisa mendengar obrolan gadis itu dan teman-temannya karena tempat persembunyiannya cukup jauh dari tempat mereka mengobrol. Ia merasa sedikit lega karena setidaknya gadis pujaan hatinya itu tidak membuang surat cinta darinya.
.
.
.
Seperti biasa remaja laki-laki itu memperhatikan gadis pujaannya di taman. Gadis itu menaiki ayunan sambil memegang setangkai bunga.
"Dia mencintaiku. Dia tidak mencintaiku." Gadis itu mencabuti kelopak bunga yang sedang dipegangnya satu persatu. Ia memanyunkan bibirnya dan menggembungkan pipinya, lucu sekali.
Remaja laki-laki itu tersenyum melihat gadis pujaan hatinya. Hatinya terasa menghangat. Namun, senyumannya seketika memudar saat ia melihat seorang pemuda menghampiri gadis pujaan hatinya. Sepertinya pemuda itu seorang mahasiswa.
"Apakah kau sudah menunggu lama?" Pemuda itu bertanya kepada si gadis.
Gadis itu berdiri dari ayunan. Ia terlihat cemberut. "Ke mana saja kau? Aku sudah pegal menunggumu."
Pemuda itu hanya bisa tersenyum kaku. "Maafkan aku! Tiba-tiba saja dosen pembimbingku memanggil."
"Oh, jadi dosenmu lebih penting daripada aku!" Gadis itu marah.
"Maafkan aku!" Pemuda itu meminta maaf lagi. "Sebagai permohonan maafku, aku membelikan coklat untukmu."
"Coklat!" Gadis itu berteriak kegirangan. Ia langsung mengambil coklat itu dari tangan si pemuda.
"Cobalah!" pinta pemuda itu.
"Tidak, nanti saja." Gadis itu memasukkan coklat ke dalam tasnya. "Lain kali kau boleh menemui dosenmu terlebih dahulu, asalkan kau memberiku coklat. Jadi, kita akan pergi kencan ke mana hari ini?" Gadis itu terlihat sangat antusias.
Kencan? Seketika harapan remaja laki-laki itu runtuh. Gadis pujaannya ternyata sudah memiliki seorang kekasih yang lebih keren darinya, seorang mahasiswa.
Remaja laki-laki itu pulang ke rumah dengan hati yang hancur berkeping-keping. Langit bahkan ikut menangis untuknya. Ia pun memutuskan untuk melupakan gadis itu.
.
.
.
Bel sekolah sudah berbunyi. Para siswa berlarian ke kelas masing-masing karena pelajaran akan segera dimulai. Gerbang sekolah pun ditutup. Tampak beberapa siswa terjebak di luar gerbang dan memohon-mohon kepada guru piket agar mereka diizinkan untuk masuk.
Guru piket hari ini adalah Jung Yunho, guru olahraga yang tampan. Ia adalah guru yang baik dan penyayang, tetapi juga tegas.
"Pak Guru, izinkanlah kami masuk!" Para siswa yang terjebak di luar gerbang memohon belas kasihan Yunho.
Yunho menatap para siswa yang datang terlambat satu-persatu. Beberapa orang memang sudah menjadi 'pasien' tetap guru BK. "Kyuhyun, Minho, dan Jonghyun, kalian terlambat lagi. Sudah berapa kali dalam bulan ini kalian datang terlambat?" Kebetulan ia juga adalah wali kelas dari Kyuhyun dan Minho.
Ketiga anak itu saling pandang, saling menunjuk untuk menjawab pertanyaan Yunho. Tidak satu pun di antara mereka yang bersedia menjawab. Semalam mereka menginap di rumah Kyuhyun dan bermain game sampai pagi.
"Kalian tidak bisa menjawab karena kalian tidak ingat sudah berapa kali kalian datang terlambat," lanjut Yunho. "Sepertinya aku harus melaporkan hal ini kepada kepala sekolah agar orang tua kalian dipanggil untuk datang ke sekolah."
"Jangan, Pak Guru! Jangan laporkan kami kepada kepala sekolah!" Anak-anak itu berlutut di depan gerbang sekolah. "Kami tidak ingin orang tua kami dipanggil oleh kepala sekolah. Kami berjanji tidak akan terlambat lagi datang ke sekolah."
Yunho merasa iba kepada anak-anak itu. Ia merasa kasihan melihat wajah memelas mereka. Sebenarnya ia tidak memercayai mereka begitu saja. Mereka pasti akan mengulanginya lain kali. Namun, ia tetap membukakan gerbang sekolah. "Kalian boleh masuk, tetapi kalian harus berlari sepuluh keliling lapangan sekolah dan baru diizinkan masuk kelas pada jam pelajaran kedua."
"Pak Guru, terima kasih!" Anak-anak itu memeluk Yunho bergantian.
"Eh, sudah lepaskan aku!"
.
.
.
Yunho mengawasi para siswa yang sedang berlari mengelilingi lapangan sekolah. Ia hanya bergeleng-geleng melihat kelakuan ketiga siswanya yang tergabung dalam geng yang bernama Kyuline. Saat sedang dihukum pun mereka masih saja bercanda.
Geng Kyuline sangat terkenal di sekolah. Geng ini beranggotakan Cho Kyuhyun, Choi Minho, dan Lee Jonghyun, diketuai oleh siswa paling pandai di sekolah, yaitu Shim Changmin.
Yunho hanya melihat ketiga anggota Kyuline yang datang terlambat. Ia sama sekali tidak melihat sang ketua, Changmin. Ke manakah anak itu gerangan? Apakah Changmin sudah datang ke sekolah sejak tadi? Ah, sepertinya tidak. Ia sama sekali tidak melihat Changmin melewati gerbang sekolah. Ia pasti menyadari jika Changmin lewat di depannya karena anak itu bertubuh sangat tinggi. "Kyu, kemari sebentar!" Ia memanggil Kyuhyun.
Kyuhyun berhenti berlari. Ia pun menghampiri wali kelasnya itu. "Ada apa, Pak Guru? Apakah aku berbuat salah lagi?" Ia tampak terengah-engah.
"Ke mana Changmin? Mengapa aku tidak melihatnya hari ini?" tanya Yunho.
"Aku tidak tahu, Pak Guru. Semalam ia tidak ikut ke rumahku untuk bermain game." Kyuhyun keceplosan.
Yunho menatap tajam siswanya itu. "Oh, jadi kalian bertiga bermain game sampai pagi, sehingga kalian datang terlambat ke sekolah?"
Wajah Kyuhyun memucat. Ia menepuk dahinya sendiri.
Yunho kemudian memanggil Minho dan Jonghyun juga. Ia kemudian menceramahi mereka bertiga. "Kalian sudah kelas tiga. Sebentar lagi kalian akan menghadapi ujian kelulusan SMA dan ujian masuk perguruan tinggi. Jika kalian terus saja bermain-main dan tidak serius belajar, bagaimana kalian akan menghadapi ujian nanti? Hukuman kalian kutambah lima keliling lagi!"
"Pak, jangan! Kami sudah kehabisan tenaga. Kami juga mengantuk karena kurang tidur. Kami berjanji akan serius belajar."
"Kalian hanya bisa berjanji. Jika kalian masih saja protes, hukuman kalian akan kutambah lagi."
.
.
.
"Min, bangun! Sejak tadi kubangunkan kau tidak bangun-bangun juga." Kim Jaejoong menyiramkan seember air ke atas tubuh putranya yang sedang tidur. Byur!
Changmin terlonjak dari atas tempat tidurnya. Tubuhnya kini basah kuyup. "Apa yang ibu lakukan? Mengapa ibu menyiramku? Lihat kasurku menjadi basah!"
Jaejoong berkacak pinggang. "Habisnya sejak tadi kubangunkan kau tidak bangun juga."
"Tapi ibu kan tidak perlu sampai menyiramku," protes Changmin. "Bau sekali. Air apa yang ibu gunakan untuk menyiramku?"
"Air rendaman cucian," jawab Jaejoong santai.
"Apa?" Changmin tidak habis pikir ibunya akan menggunakan air rendaman cucian untuk menyiramnya.
"Daripada kau berteriak kepadaku, sebaiknya kau lekas mandi," perintah Jaejoong. "Aku sudah membuat kue baru hari ini. Kau harus mencicipinya."
Changmin melirik sebentar ke arah jam wekernya. "Jam pelajaran sudah dimulai. Mengapa ibu tidak membangunkanku?"
"Bukankah ibu baru saja membangunkanmu?" balas Jaejoong.
Changmin hanya mencelos kesal. Tidak ada gunanya ia berdebat dengan ibunya yang berkepribadian absurd itu.
.
.
.
Setelah mandi kilat dan mengenakan seragam sekolahnya, Changmin menuruni tangga untuk menuju ruang makan. Ia menggenggam sebuah amplop. Ia masih menimbang-nimbang apakah ia akan memperlihatkan amplop itu kepada ibunya atau tidak.
Semalaman Changmin tidak bisa tidur karena amplop yang berada di tangannya itu. Amplop tersebut berisi surat dari Universitas Cambridge, Inggris. Ia mendapatkan tawaran untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Tentu saja ia merasa sangat senang karena itu adalah cita-citanya. Namun, jika ia mengambil kesempatan itu, artinya ia harus pergi meninggalkan ibunya seorang diri. Ibunya sudah tidak mempunyai keluarga dekat. Tidak akan ada yang menjaga ibunya selama ia pergi.
Changmin hanya menemukan tiga potong kue di atas meja makan, tidak ada makanan lain. Ia bahkan tidak menjumpai ibunya di ruang makan. "Bu, apa hanya ini?"
"Aku hanya membuat tiga macam kue pagi ini," teriak Jaejoong dari dapur. Ia sedang sibuk memperbaiki kran air yang bocor.
Jaejoong sudah enam belas tahun menjadi orang tua tunggal bagi Changmin. Ia dan ayah Changmin bercerai saat bocah itu masih berusia dua tahun. Mereka berpisah secara baik-baik. Kedua pihak menganggap perceraian adalah jalan yang terbaik karena mereka sudah tidak bisa sejalan lagi.
Jaejoong sangat terobsesi membuat resep kue terbaru. Ia sangat mencintai kue dan usaha toko kuenya. Seringkali ia lebih mementingkan toko kuenya daripada anak dan suaminya. Inilah yang menjadi penyebab pertengkarannya dengan ayah Changmin.
Hubungan Jaejoong dengan mantan suaminya juga tidak buruk. Ia sudah tidak memiliki perasaan apa-apa lagi kepada pria yang empat tahun lebih tua darinya itu. Mantan suaminya itu juga sudah menikah lagi dan memiliki dua anak perempuan dari pernikahan keduanya.
"Maksudnya apakah tidak ada makanan lain selain kue." Changmin memperjelas maksud pertanyaannya. "Aku akan belajar di sekolah. Aku memerlukan banyak energi."
"Masih ada banyak kue di lemari. Kau boleh mengambil sebanyak yang kau mau." Jaejoong masih belum selesai memperbaiki kran air. Ia adalah wanita yang mandiri. Ia bisa memperbaiki alat-alat rumah tangga sendirian. Tidak ada suami bukanlah masalah baginya.
Changmin hanya bisa menepuk dahinya. Sulit sekali berkomunikasi dengan ibunya. Karena ia sudah merasa sangat lapar, ia melahap kue yang berada di atas meja makan. "Apa yang sedang ibu lakukan di dapur?"
"Ibu sedang memperbaiki kran air. Makan saja kuemu. Jangan ganggu ibu!" teriak Jaejoong.
Changmin menghabiskan tiga potong kue secepat kilat dan ia masih juga lapar. Ia pun menghampiri ibunya di dapur. Ia merasa penasaran dengan yang sedang dilakukan oleh ibunya di dapur. Selain itu, ia juga ingin memperlihatkan amplop yang dibawanya kepada Jaejoong. "Jika ibu mempunyai suami, ibu tidak perlu repot-repot untuk memperbaiki kran air. Mengapa ibu tidak menikah lagi?"
Jaejoong mengusap keringat yang menetes di dahinya. "Aku tidak perlu suami untuk memperbaiki kran air. Aku bisa melakukannya sendiri. Selesai! Sekarang ibu harus pergi ke toko kue. Ibu sudah terlambat. Ibu kehilangan seorang pegawai yang mengundurkan diri kemarin. Ah, ibu harus segera mencari penggantinya." Ia tampak terburu-buru.
Changmin mengurungkan niatnya untuk memperlihatkan surat yang dibawanya kepada Jaejoong. Ibunya itu tampak sangat sibuk, lagipula ia juga harus pergi ke sekolah. Sebelum pergi ke sekolah, ia mengambil potongan besar kue di dalam lemari untuk ia makan di kelas. Ia masih merasa sangat lapar.
.
.
.
Changmin tiba di sekolah saat jam pelajaran ketiga berlangsung. Sudah pasti ia tidak akan diizinkan untuk memasuki gerbang sekolah. Ia pun memutuskan untuk memanjat tembok yang membentengi sekolahnya. Dengan mudahnya ia memanjat tembok sekolah dan kemudian melompat turun. Ini bukan pertama kalinya ia melakukan hal ini. Sudah cukup sering ia melakukannya.
Changmin menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Sekarang sedang berlangsung pelajaran Bahasa Inggris. Ia berharap gurunya tidak melihat ia masuk. Gurunya itu sedang berkeliling untuk memeriksa hasil pekerjaan para siswa, sekalian menebar pesona kepada para siswi. Gurunya yang satu ini memang terkenal playboy dan suka menebar pesona kepada wanita, termasuk para siswi.
Sedikit lagi Changmin akan menggapai tempat duduknya di samping Kyuhyun. Akan tetapi, gurunya tiba-tiba berbalik dan melihatnya.
"Shim Changmin, dari mana saja kau? Mengapa kau baru datang?" Guru Bahasa Inggris yang berdahi lebar itu menegur Changmin.
Changmin berdiri mematung di dekat tempat duduknya. "Aku baru kembali dari toilet. Aku sedang sakit perut."
"Aku tahu kau pasti berbohong." Guru Bahasa Inggris yang bernama Park Yoochun itu mendekati Changmin. "Aku akan melaporkanmu kepada wali kelasmu."
.
.
.
Ruang guru, di sinilah Changmin berada. Ia harus berhadapan dengan wali kelasnya, sang guru olahraga tampan, Jung Yunho, yang memandangnya dengan tatapan serius. "Mengapa kau baru datang pada jam pelajaran ketiga?"
"Jalanan macet, Pak." Changmin tidak berbohong karena jalanan di Seoul memang sering macet pada waktu-waktu tertentu.
"Seharusnya kau bisa berangkat lebih pagi dari rumah," balas Yunho.
Changmin tidak membalas. Jika ia membalas, ia akan lebih lama berada di ruangan ini, disaksikan oleh guru-guru yang lain.
Yunho menghela nafas. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menangani anak didiknya yang satu itu. "Kau adalah siswa yang sangat pandai. Kau pasti lulus ujian. Akan tetapi, kau juga harus menjaga sikapmu. Banyak guru yang mengeluhkan tingkah lakumu kepadaku sebagai wali kelasmu, yang terakhir, Bu Guru Kim mengeluh karena kau sering menggodanya dan memandangi... ehm... bagian belakangnya. Aku tidak bisa terus-terusan membelamu, Shim Changmin."
Changmin menunduk. Ia merasa tidak enak kepada Yunho. Wali kelasnya itu selalu membelanya di hadapan guru lain, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya bahkan tidak mengetahui apa saja yang dilakukan olehnya di sekolah. Beginilah nasib seorang anak yang orang tuanya bercerai.
"Aku tidak bisa membiarkan saja kelakuanmu. Sudah saatnya aku memanggil orang tuamu ke sekolah." Yunho merasa bahwa ia harus bertindak.
Changmin terdiam. Ia bingung bagaimana harus menyampaikan hal ini kepada ibunya. Ibunya pasti tidak akan memedulikan hal itu dan menganggap kenakalannya di sekolah merupakan hal yang biasa.
"Aku akan segera membuat surat panggilan untuk orang tuamu. Besok ayah atau ibumu harus datang menemuiku," ujar Yunho.
.
.
.
Changmin merasa bingung. Haruskah ia menyampaikan surat panggilan dari wali kelasnya itu kepada ibunya? Ibunya tidak pernah mengetahui bahwa ia sering berbuat onar di sekolah. Ibunya itu pasti syok dan kemudian mengomel tanpa henti, membuat telinganya sakit.
"Mengapa kau hanya melamun? Apakah kau tidak lapar?" Minho memasukkan burger ke dalam mulutnya.
Changmin hanya bersandar pada tembok. Ia kehilangan selera makan. Ia dan gengnya sering menghabiskan waktu istirahat di atap gedung sekolah.
Kyuhyun menghampiri Changmin. "Kau kenapa? Sejak kemarin kau hanya melamun. Apakah kau sedang mempunyai masalah?"
"Jika kau sedang mempunyai masalah, berbagilah dengan kami! Bukankah kami adalah temanmu? Susah dan senang kita hadapi bersama." Kali ini giliran Jonghyun yang berbicara.
Changmin menghela nafas. Sepertinya ia memang harus bercerita kepada teman-temannya. "Pak Guru Yunho memanggil orang tuaku untuk datang ke sekolah besok."
Kyuhyun, Minho, dan Jonghyun saling pandang. "Jadi, siapa besok yang akan datang untuk menemui Pak Guru Yunho?"
"Entahlah," jawab Changmin lemas. "Ibuku sibuk dengan toko kuenya, sedangkan ayahku... aku tidak ingin merepotkannya. Ia sudah repot mengurus istri dan anak-anaknya. Aku tidak ingin menambah bebannya."
"Bagaimana pun ia adalah ayahmu. Ia masih mempunyai kewajiban terhadapmu." Minho menepuk bahu Changmin.
"Jika kedua orang tuamu tidak bisa datang ke sekolah, sewa saja orang lain untuk menyamar menjadi orang tuamu," celetuk Jonghyun.
"Ide yang bagus!" Kyuhyun mendukung gagasan Jonghyun.
Changmin hanya bisa tersenyum kaku menanggapi teman-temannya. Mereka sangat konyol, tetapi memiliki rasa setia kawan yang tinggi. Ia merasa beruntung memiliki teman-teman seperti mereka.
.
.
.
Changmin berdiri di depan pagar rumah ayahnya sepulang sekolah. Ayahnya pasti belum pulang dari kantor. Haruskah ia menunggu ayahnya di depan pagar atau di dalam rumah? Setelah berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk memberikan surat dari wali kelasnya kepada sang ayah. Ia juga berniat untuk memberitahukan perihal surat dari Cambridge. Ia berharap bahwa sang ayah akan mendukung keputusannya untuk melanjutkan pendidikannya di Inggris.
"Kak, apa yang sedang kakak lakukan di depan pagar? Mengapa kakak tidak masuk?" Adik tiri Changmin baru pulang dari sekolah.
"Eh, Sooyeon, mengapa kau baru pulang?" Changmin tidak menyadari kedatangan adik tirinya itu. Ia memiliki dua orang adik tiri, Sooyeon berusia lima belas tahun dan Jiyeon sepuluh tahun.
"Aku kan sudah kelas tiga SMP sekarang. Ada pelajaran tambahan untuk persiapan ujian di sekolah." Sooyeon sedikit cemberut. Ia sedikit kecewa karena kakaknya tidak ingat bahwa ia sudah duduk di kelas tiga SMP.
"Oh, iya, aku ingat." Changmin tersenyum canggung.
"Ayo masuk, Kak! Jangan berdiri di depan pagar terus!" Sooyeon menarik tangan Changmin dan membawa kakaknya itu masuk ke dalam rumah.
.
.
.
"Selamat sore, Bibi!" Changmin memberi salam kepada ibu tirinya.
Berdiri di hadapan Changmin seorang wanita bertubuh tidak terlalu tinggi. Ia adalah ibu tiri Changmin, Kwon Boa. Ia menikah dengan ayah Changmin, Shim Kangta, tidak lama setelah kedua orang tua Changmin bercerai. Ia adalah mantan teman kerja ayah Changmin. Setelah menikah, ia berhenti bekerja dan fokus untuk mengurus keluarga. Hal inilah yang tidak bisa dilakukan oleh Jaejoong. "Selamat sore, Changmin!"
Changmin merasa sangat canggung setiap kali ia bertemu dengan ibu tirinya. Ibu tirinya ini selalu bersikap baik kepadanya, tetapi ia selalu merasa bahwa ibu tirinya itu memendam rasa cemburu kepada dirinya. Ibu tirinya itu tidak suka jika ia dekat dengan ayahnya.
Changmin memaklumi rasa cemburu ibu tirinya itu. Semua ibu pasti tidak ingin anak-anaknya dikalahkan oleh anak orang lain, apalagi ia adalah anak laki-laki, sedangkan kedua adik tirinya adalah anak perempuan. Sang ayah pasti menaruh harapan yang sangat besar kepada dirinya.
"Apakah kau sudah makan? Bibi baru saja membuat ayam panggang." Boa tersenyum kepada Changmin. Ia tahu bahwa Changmin sangat suka makan.
Kadang-kadang Boa merasa cemburu dan khawatir jika ia melihat Changmin bersama suaminya. Ia takut suaminya tidak menyayangi anak-anaknya lagi karena Changmin. Ia tidak ingin kasih sayang sang suami lebih besar kepada Changmin. Jika hal itu sampai terjadi, tidak mustahil suaminya itu akan kembali kepada ibu Changmin.
Boa selalu berusaha untuk berpikir positif. Wajar saja jika suaminya itu menyayangi Changmin karena Changmin juga adalah anak suaminya, sama seperti Sooyeon dan Jiyeon. Namun, kadang-kadang perasaan cemburu itu datang menghinggapi hatinya.
"Tidak perlu repot-repot, Bi. Aku hanya ada perlu sebentar dengan ayah. Aku tidak akan lama." Sesungguhnya Changmin merasa sangat lapar dan tawaran Boa sangatlah menggiurkan, apalagi aromanya tercium dari sampai ke ruang keluarga.
"Yang benar?" tanya Boa lagi. "Ayamnya baru saja dikeluarkan dari oven, masih hangat."
Changmin semakin tergoda, tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Ia tidak ingin merepotkan keluarga ayahnya. "Benar, Bi. Aku harus segera pulang setelah berbicara dengan ayah. Ibu pasti akan khawatir jika aku pulang sangat terlambat."
"Baiklah kalau begitu." Boa sedikit cemberut karena Changmin menolak tawarannya. "Aku akan membungkusnya untukmu dan ibumu. Ibumu pasti hanya membuat kue untuk makan malam."
Changmin menyadari bahwa ibu tirinya itu sedang menyindir ibunya. Namun, ia tidak merasa sakit hati. Hal yang dikatakan oleh ibu tirinya itu kemungkinan besar memang benar.
.
.
.
Toko kue milik Jaejoong buka dari pukul sembilan pagi sampai pukul empat sore. Setelah tokonya tutup Jaejoong biasanya pergi arisan, aerobik, atau kursus merangkai bunga. Sore ini ia datang ke kelas ikebana. Peserta kelas ikebana ini sebanyak lima belas orang yang terdiri atas ibu rumah tangga dari berbagai usia.
"Nn. Kim mengapa kau datang terlambat?" tanya Ny. Jung, teman dekat Jaejoong. Selain teman Jaejoong di kelas ikebana, ia juga merupakan teman arisan Jaejoong dan di tempat aerobik. Ia adalah seorang janda berusia 55 tahun. Tidak seperti Jaejoong yang menjanda karena bercerai, Ny. Jung menjadi janda karena ditinggal mati oleh suaminya.
Jaejoong mengambil tempat di sebelah Ny. Jung. "Repot sekali di toko. Salah seorang pegawaiku mengundurkan diri. Kehilangan seorang pegawai saja sangat berpengaruh. Kira-kira di mana ya aku bisa mencari penggantinya dengan segera? Ny. Jung, apakah kau mempunyai kenalan yang sedang membutuhkan pekerjaan?"
"Teman-temanku adalah temanmu juga, Nn. Kim. Maaf, aku tidak bisa membantumu," balas Ny. Jung.
"Aduh, bagaimana ya?" Jaejoong merasa kebingungan. "Memasang iklan lowongan kerja memerlukan biaya, lagipula aku hanya memerlukan satu orang pegawai. Terlalu boros jika aku memasang iklan. Apa aku harus menodong orang yang lewat di depan tokoku dan memintanya untuk bekerja di toko?"
Ny. Jung merasa kasihan kepada Jaejoong dan orang yang akan ditodongnya. Namun, ia tidak mempunyai kenalan yang sedang memerlukan pekerjaan. "Bagaimana jika aku saja yang membantu di tokomu, sampai kau berhasil mendapatkan pegawai baru?"
Jaejoong menatap Ny. Jung. "Apakah kau serius, Ny. Jung? Bukankah ada anakmu yang menanggung semua biaya hidupmu? Untuk apa kau bekerja? Ah, jangan-jangan kau sedang dikejar-kejar penagih utang ya?"
Ny. Jung langsung menyangkal tuduhan Jaejoong. "Aku sama sekali tidak mempunyai utang. Anakku memenuhi semua yang kubutuhkan. Aku hanya ingin membantumu, lagipula aku merasa bosan di rumah sendirian."
"Ah, baiklah kalau begitu." Jaejoong merasa lega karena masalahnya sudah terselesaikan.
.
.
.
Changmin menghabiskan waktu bersama kedua adik tirinya selama ia menunggu sang ayah pulang bekerja. Ia mendampingi mereka berdua belajar. Sang ayah baru pulang pada pukul tujuh malam.
"Sudah lama kau tidak datang kemari. Ayah sangat merindukanmu." Kangta membuka pembicaraan dengan Changmin. "Bagaimana kabarmu dan ibumu?"
"Ibu baik-baik saja," jawab Changmin. Ia bingung bagaimana menyampaikan maksudnya kepada sang ayah.
"Kau harus menjaga ibumu baik-baik. Ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain dirimu. Hanyalah kau yang bisa menjaganya. Kau adalah anak kebanggaan ayah. Ayah hanya bisa memercayakan ibumu kepadamu." Walaupun Jaejoong sudah bukan istrinya lagi, Kangta masih sering mengkhawatirkan Jaejoong. Ia sangat mengenal sifat Jaejoong yang absurd dan suka berbuat sesuka hatinya.
Hati Changmin mencelos. Ia mengurungkan niatnya untuk memberitahukan dua buah surat yang sangat penting, yaitu surat dari Cambridge dan dari wali kelasnya. Ayahnya begitu menaruh harapan yang sangat besar kepadanya. Hal ini membuat ia merasa sangat terbebani.
"Ibu tirimu mengatakan bahwa kau ada perlu denganku. Apakah itu?" tanya Kangta pada intinya.
"Ah, tidak apa-apa. Sebenarnya tidak terlalu penting. Aku hanya merasa bahwa aku harus mengunjungi ayah karena sudah lama kita tidak bertemu." Changmin terlihat lesu.
"Benarkah? Hanya itu?" Kangta merasa kurang yakin dengan jawaban Changmin.
Changmin mengangguk. "Ya, hanya itu. Ayah kan tidak bisa datang ke rumah kami. Jadi, akulah yang harus mengunjungi ayah."
Kangta merasa bersalah. Ia tidak bisa datang menemui putranya di rumah Jaejoong karena ia takut istrinya cemburu. Ia memahami sifat Boa yang pencemburu.
"Karena aku sudah bertemu dengan ayah, sebaiknya aku pulang." Changmin berdiri dan bersiap-siap untuk pulang.
"Mengapa sebentar sekali? Apakah kau tidak ingin makan malam bersama kami di sini? Ibu tirimu memasak ayam panggang." Kangta tidak ingin Changmin cepat-cepat pergi. Ia masih merindukan putranya itu.
"Terima kasih atas tawaran ayah. Akan tetapi, ibu akan kesepian jika aku tidak ada. Bukankah ayah baru saja mengatakan bahwa aku harus menjaga ibu?" Changmin membalikkan kata-kata ayahnya.
Kangta tidak bisa membalas kata-kata Changmin. Ia tidak bisa menahan putranya itu untuk tinggal lebih lama lagi. "Baiklah kalau begitu. Aku akan mengantarmu pulang. Sekarang sudah malam."
"Tidak perlu, Ayah," tolak Changmin sekali lagi. "Ayah harus bersama istri dan anak-anak ayah di sini. Ayah harus menjaga mereka. Aku adalah anak laki-laki. Aku bisa menjaga diriku."
"Baiklah." Kangta merasakan kesedihan pada nada bicara Changmin. Ia merasa menjadi ayah yang tidak berguna. Ia menuntut putranya melakukan hal yang diinginkannya, sedangkan ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya sebagai ayah Changmin.
.
.
.
Changmin pulang dari rumah ayahnya dengan lesu. Ia bingung. Besok siapa yang akan datang untuk menemui wali kelasnya? Ia pun menelepon sahabatnya, Kyuhyun. "Kyu, tolong carikan aku seseorang yang bisa menyamar menjadi orang tuaku!"
.
.
.
"Ibu ingin meminta izin darimu untuk bekerja." Ny. Jung memberi tahu putranya.
Yunho mengernyitkan dahinya. "Untuk apa ibu bekerja? Apakah uang yang kuberikan kurang? Apakah ibu sedang menginginkan sesuatu? Aku akan membelikannya untuk ibu."
Ny. Jung sudah menduga bahwa putranya akan berkata demikian. Putranya itu sangat protektif kepadanya. "Ibu merasa bosan di rumah sendirian. Setelah membereskan rumah, ibu tidak mempunyai kegiatan lain."
"Bukankah ibu ikut arisan, kelas aerobik, dan merangkai bunga?" balas Yunho. "Apakah itu belum cukup?"
"Ibu kan tidak setiap hari pergi arisan, aerobik, atau merangkai bunga. Ibu perlu kegiatan lain." Ny. Jung berargumen.
Yunho mencoba untuk bersabar menghadapi ibunya. "Apakah ibu tidak akan merasa lelah? Wanita seusia ibu, yang mempunyai anak yang sudah mapan, tidak perlu bekerja dan tinggal bersantai saja di rumah."
"Ibu bukan orang yang suka bersantai-santai," ujar Ny. Jung. "Ini semua salahmu. Andaikan saja kau sudah menikah dan memberikan ibu cucu, ibu akan mengasuh cucu di rumah, tidak perlu mengikuti kegiatan lain." Ia memanfaatkan kesempatan untuk memojokkan putranya. "Usiamu sudah empat puluh tahun, tampan, mapan,..."
"Usiaku 35 tahun, Bu, bukan empat puluh," koreksi Yunho. "Bagaimana ibu bisa melupakan umur anak ibu sendiri?"
"Oh ya, maaf ibu salah. Maklum ibu sudah tua." Ny. Jung membela diri. "Jadi, apa yang kau tunggu? Mengapa kau belum menikah juga?"
Yunho menggenggam tangan ibunya. "Bu, menikah bukanlah perkara mudah. Aku tidak bisa sembarangan memilih istri."
"Memangnya wanita seperti apa yang kau cari?" tanya Ny. Jung. Ia merasa penasaran dengan kriteria calon istri yang diinginkan oleh Yunho.
"Istriku kelak akan menjadi ibu dari anak-anakku. Aku ingin anak-anakku dididik dengan baik. Oleh karena itu, aku harus mencari istri yang bisa mendidik anak-anak." Yunho menjelaskan kepada ibunya.
"Cara mendidik anak bisa sambil dipelajari setelah menikah," sanggah Ny. Jung.
"Hal itu memang bisa dipelajari oleh siapa pun. Akan tetapi, kepribadian sangatlah penting," balas Yunho.
"Pokoknya ibu ingin bekerja di toko kue milik teman ibu. Ibu sudah berjanji untuk membantunya, lagipula ibu bekerja hanya sementara, sampai ia mendapatkan pegawai baru." Ny. Jung bersikeras.
Yunho hanya bisa menghela nafas. Ia terpaksa mengabulkan keinginan ibunya daripada terus dipaksa untuk cepat-cepat menikah.
.
.
.
Changmin memberikan bungkusan ayam panggang kepada ibunya. Ibu tirinya benar-benar membungkuskan ayam panggang untuknya.
"Hmm, ini enak sekali!" Jaejoong melahap ayam panggang yang diberikan oleh Changmin. "Dari mana kau mendapatkannya?"
"Bibi Boa yang memberikannya," jawab Changmin. Ia masih terlihat sangat lesu.
"Bibi Boa? Apakah kau pergi ke rumah ayahmu?" Jaejoong mengambil lagi potongan ayam panggang. "Hmm, ini enak sekali. Istri ayahmu itu memang pandai memasak."
Changmin memperhatikan ibunya yang sedang makan ayam panggang dengan lahapnya. "Bu, ayam itu pemberian istri mantan suami ibu. Bagaimana ibu bisa memakannya dengan lahap?"
"Ya, ibu tahu. Bukankah kau sudah mengatakannya?" Jaejoong terus menikmati ayam panggang itu. "Makanan seenak ini sayang sekali jika disia-siakan."
"Bu, apakah ibu tidak merasa cemburu atau sakit hati? Bibi Boa adalah istri mantan suami ibu." Changmin mengingatkan Jaejoong.
"Mengapa aku harus merasa cemburu dan sakit hati? Ayahmu itu bukan suamiku lagi. Kami sudah tidak ada urusan apa-apa lagi," ujar Jaejoong. "Kami berpisah secara baik-baik dan perceraian itu diinginkan oleh kedua belah pihak. Seharusnya sejak awal aku tidak menikah dengan ayahmu. Kesalahan terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku adalah menikah dengan ayahmu."
"Jadi, ibu menyesal telah mempunyai aku?" Changmin merasa tidak diinginkan. "Jika ibu tidak menikah dengan ayah, aku tidak akan pernah ada."
"Aish! Bukan begitu maksud ibu." Jaejoong merasa telah salah bicara. "Aku memang menyesal telah menikah dengan ayahmu, tetapi aku merasa bahagia karena bisa memilikimu. Jika kau tidak ada, ibu akan sendirian. Ibu bersyukur kau ada di sisi ibu."
Impian Changmin untuk kuliah di Inggris semakin terasa mustahil. Tidak mungkin ia meninggalkan ibunya sendirian. "Mengapa ibu tidak menikah lagi saja agar tidak kesepian?"
Jaejoong berhenti makan dan menatap putranya. "Sekali lagi kau menyuruhku untuk menikah, akan kugigit kau!" Ia kemudian mendekat ke arah Changmin dan bersikap seolah akan menggigit Changmin.
"Bu, hentikan! Ibu sama sekali tidak lucu," komentar Changmin datar.
"Ibu memang tidak sedang melucu, tetapi sedang menakutimu."
.
.
.
Changmin melongo melihat sosok pria di hadapannya. "Apakah tidak ada orang lain yang setidaknya sedikit mirip denganku?" Pria di hadapannya itu bertubuh pendek dan gemuk, juga berwajah jelek.
"Waktunya tidak cukup untuk mencari yang lain. Hanya ia yang bersedia membantumu," ujar Kyuhyun.
Changmin melengos. Ia merasa tidak yakin bahwa rencananya akan berhasil. Wali kelasnya pasti tidak akan percaya bahwa pria gemuk pendek itu adalah ayahnya. Postur tubuh pria itu sangat berlawanan dengannya yang bertubuh tinggi langsing. Namun, ia tidak mempunyai pilihan lain, harus ada yang menghadap wali kelasnya sebagai orang tuanya. "Ya, sudahlah. Ayo kita pergi ke ruang guru untuk menemui Pak Guru Yunho!"
.
.
.
Changmin membawa ayah palsunya ke ruang guru untuk menemui Yunho. "Pak, perkenalkan ini adalah ayah saya, Shim Kangta."
Yunho menatap pria yang datang bersama Changmin. "Ibumu pasti tinggi, langsing, dan cantik ya, Min. Silakan duduk, Tn. Shim! Saya adalah wali kelas Changmin, Jung Yunho. Akhirnya, kita bisa bertemu juga." Orang tua Changmin tidak pernah sekali pun datang ke sekolah untuk mengambil raport atau menghadiri pertemuan orang tua murid.
"Ya, ibu saya memang tinggi, langsing, dan sangat cantik." Changmin ingin membuat wali kelasnya yakin bahwa pria yang datang bersamanya itu memang benar ayahnya.
.
.
.
Jaejoong berjalan dengan sangat cepat menyusuri koridor sekolah. Ia terlihat sangat panik. Tidak sengaja ia menemukan surat panggilan dari wali kelas Changmin. Ia merasa khawatir. Jangan-jangan terjadi hal buruk kepada putra kesayangannya itu.
Jaejoong mengenakan celana jins ketat, sepatu boots, jaket kulit, dan kacamata hitam. Penampilannya yang mencolok itu menjadi pusat perhatian para siswa yang saat itu sedang menikmati waktu istirahat mereka.
"Aduh, gawat! Bibi Jae datang kemari." Kyuhyun tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi di ruang guru akibat kedatangan Jaejoong.
"Apakah kau mengenal gadis itu, Kyu?" tanya Minho.
Kyuhyun berusaha untuk mencari tempat persembunyian agar Jaejoong tidak melihatnya. "Wanita itu adalah Bibi Jae, ibu Changmin."
"Apa?" teriak Minho dan Jonghyun bersamaan.
"Tidak mungkin. Wanita itu terlihat sangat muda." Jonghyun masih tidak bisa percaya bahwa wanita muda yang dilihatnya itu adalah ibu Changmin.
"Ibu Changmin itu vampir, tidak mengalami penuaan," ujar Kyuhyun. "Bukan hanya fisiknya yang tidak menua, kelakuannya juga."
Terikan Minho dan Jonghyun rupanya menarik perhatian Jaejoong. Ia menoleh ke arah Minho dan Jonghyun. Ia kemudian melihat Kyuhyun. Ia mengenali Kyuhyun sebagai teman anaknya karena beberapa kali Kyuhyun pernah datang ke rumahnya dan toko kuenya. Ia pun menghampiri Kyuhyun. "Kebetulan aku melihatmu di sini, Kyu. Tolong antarkan aku ke ruang guru! Aku harus menemui wali kelas Changmin."
Kyuhyun mengantarkan Jaejoong ke ruang guru. Aduh, bagaimana ini? Changmin akan ketahuan berbohong. Bibi Jae akan bertemu dengan orang sewaan yang berpura-pura menjadi ayah Changmin.
"Changminnie Sayang, mengapa kau tidak memberi tahu ibu bahwa wali kelasmu mengundang ibu ke sekolah?" Jaejoong langsung menghampiri putranya setibanya ia di ruang guru. "Wali kelasmu yang mana?"
Changmin diam membeku. Matilah ia sekarang. Kebohongannya akan terbongkar. Ibunya benar-benar datang ke sekolahnya. Ini benar-benar kacau.
Yunho memandang ke arah wanita yang mengaku sebagai ibu Changmin. Memang benar ternyata ibu Changmin bertubuh tinggi, langsing, dan sangat cantik. Ia kemudian melirik ke arah 'ayah' Changmin. Bagaimana bisa wanita secantik itu tertarik kepada pria gemuk, pendek, dan jelek ini? Cinta ternyata memang buta. Untung saja Changmin mewarisi gen ibunya, bukan ayahnya. "Selamat datang, Nyonya! Saya adalah Jung Yunho, wali kelas Changmin."
Jaejoong menoleh ke arah Yunho. Matanya tidak berkedip. "Min, mengapa kau tidak pernah memberi tahu ibu bahwa wali kelasmu itu sangat tampan dan seksi?"
TBC
Selamat ulang tahun untuk Kim Junsu.
