Warning!

Hunhan Fanfiction.

Yaoi. BL. Rated M. NC.

DLDR.

Happy Reading~

-My Nightmare-

Luhan POV.

Aku masih menunggu di balik kemudi mobil, sambil menatap sepasang suami-istri itu keluar dari toko setelah berbelanja. Mereka tampak bahagia, menenteng barang belanjaan sambil sesekali mengobrol sambil tertawa. Sekali lagi, kulihat surat dan selembar foto di tanganku, entah mengapa aku merasa ragu. Bagaimana jika kehadiranku nanti akan merusak kebahagiaan mereka? Tapi, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku pun ingin bahagia, walaupun harus mengorbankan kebahagiaan orang lain.

Aku mengikuti mobil mereka sampai pulang ke rumah. Aku mengatur nafas sekali lagi, sebelum membulatkan tekadku untuk menghampiri mereka. Aku turun dari mobil dan dengan tergesa-gesa menghampiri mereka sebelum mereka masuk ke dalam rumah.

"Permisi, apakah Anda Wu Yifan?" tanyaku sambil memandang pria jangkung itu. Alisnya bertaut, lalu menoleh sejenak menatap istrinya yang melihatku dengan tatapan sama -penuh tanda tanya- lalu kembali melihatku.

"Ya, aku Wu Yifan."

"Aku adalah Xi Luhan." Ucapku dengan jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya.

"Ya?" Sepasang suami-istri itu masih menatapku bingung.

"Maaf, aku mengatakan hal ini. Tapi, aku, mungkin adalah putra Anda. Ibuku bernama Xi Shinhui." Aku menyerahkan sebuah surat dan foto yang sedari tadi kugenggam erat.

.

.

.

"Maaf, aku mengatakan hal ini. Tapi, aku, mungkin adalah putra Anda. Ibuku bernama Xi Shinhui."

Pria paruh baya bernama Wu Yifan itu melihat selembar foto itu dengan seksama. Sang istri bernama Victoria pun melakukan hal yang sama. Foto itu adalah selembar foto tua yang sudah usang yang menampilkan seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang yang sedang tersenyum manis.

"Kau mengenalnya, sayang?" tanya Victoria.

Yifan terdiam sejenak sebelum berbicara, "Ya... aku pernah mengenalnya, sebelum bertemu denganmu."

Victoria pun cukup terkejut sebelum akhirnya mempersilakan pemuda di depannya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka harus berbicara.

"Jadi, apa yang membawamu kemari?" Victoria angkat bicara.

Luhan menunduk sebentar kemudian menghela nafas, "Ibuku meninggal beberapa bulan yang lalu. Kemarin, aku menemukan fakta bahwa ayahku ternyata masih hidup walaupun ibuku selalu mengatakan bahwa dia sudah meninggal dunia. Sebelumnya, kami hanya hidup berdua di sebuah apartemen kecil. Tapi, setelah ibu meninggal, aku harus pindah dari tempat itu karena sudah menunggak uang pembayaran berbulan-bulan. Aku pun memutuskan bahwa aku harus menemukan ayahku."

Victoria memandang pemuda itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pemuda itu memang tampak berantakan, rambutnya kusut, wajahnya pucat dan kantung mata di bawah matanya. Tubuhnya kurus dibalut pakaian yang sudah tua. Victoria jadi prihatin melihatnya.

"Jadi, selama ini kau tinggal di mana?" tanya Victoria lagi.

"Aku tinggal di mobilku. Satu-satunya harta ibuku yang tersisa."

Jawaban Luhan semakin membuat Victoria kasihan padanya.

Luhan masih menunduk sambil sesekali mencuri pandang pada kedua orang itu.

"Berapa usiamu?" tanya Yifan.

Luhan menegakkan kepalanya melihat pria itu. "17 tahun."

"Kau masih sekolah?"

Luhan menggeleng pelan. "Aku putus sekolah sejak tahun lalu."

Yifan menghembuskan nafas berat. Ia masih akan menanyai anak itu, tapi Victoria segera menahannya. "Kita perlu bicara." Ucapnya pada suaminya, lalu memandang Luhan, "Tunggu sebentar, Luhan." Katanya sambil tersenyum lembut.

Luhan mengangguk pelan sembari menatap kepergian sepasang suami istri itu dari ruang tamu.

Luhan hanya menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Samar-samar ia dapat mendengar kedua orang itu sedang berdebat di lantai atas. Tapi ia tahu ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tak lama, pintu rumah terbuka dan menampilkan seorang pemuda berseragam SMA. Pemuda itu memiliki tubuh yang cukup tinggi. Kulitnya putih. Wajahnya tampan meski terdapat beberapa lebam di pipi kiri dan ujung bibirnya. Seragam yang dikenakannya sedikit berantakan dan darah kering menghias kerah seragamnya.

Pemuda itu menatap tajam sosok asing di rumahnya sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu ke lantai atas, menuju kamarnya.

.

.

.

Luhan telah berada di meja makan. Ia duduk berhadapan dengan Victoria dan Yifan. Sejujurnya ia masih sedikit tidak enak karena kedua orang itu memperbolehkannya untuk tinggal di rumah mereka. Bahkan Luhan diizinkan memakai kamar kosong di lantai atas.

"Terima kasih, nyonya." Kata Luhan setelah Victoria menuangkan sup ayam di mangkuknya.

"Tak perlu sungkan, kau boleh memanggilku Vic."ucapnya. Luhan mengangguk paham kemudian mengalihkan pandangannya pada pria yang duduk di samping Victoria.

"Makanlah yang banyak, Luhan." Kata Yifan sambil tersenyum.

"Ne. Tu-

"Kau bisa memanggilku Appa." Ucapnya lagi.

Luhan pun tersenyum, "Ne, appa."

Victoria ikut tersenyum.

"Sehun tak ikut makan?" tanya Yifan.

Victoria menggeleng pelan, "Dia bilang sudah makan. Dia hanya mengurung diri di kamarnya."

"Sebentar aku akan berbicara padanya."

Luhan hanya terdiam menikmati makanan yang tersaji di hadapannya.

.

.

.

Sehun membuka pintu kamarnya, membiarkan ayahnya masuk dan duduk di pinggir tempat tidur. Lalu melanjutkan kegiatannya di depan layar komputer.

"Kau berkelahi lagi?" tanya Yifan melihat bekas memar di wajah anaknya itu. Sehun hanya diam tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.

"Sudah berapa kali ayah katakan padamu untuk tidak berkelahi. Kau mau kena skors lagi?"

Sehun tak bergeming. Membuat pria yang lebih tua itu menghela nafas berat.

"Ayah tahu ini tiba-tiba. Tapi, kau mungkin akan memiliki seorang kakak."

Kalimat Yifan sukses membuat Sehun mengalihkan pandangannya. Wajahnya penuh tanda tanya menatap sang ayah dengan ekspresi dingin.

"Maksud ayah?"

"Hari ini seorang pemuda datang dan mengatakan bahwa ia adalah anak ayah. Ayah mengaku kalau ayah memang mengenal ibunya. Kami bertemu sebelum ayah bertemu ibumu. Namun, ayah masih akan memastikan hal ini dan membawanya untuk tes DNA besok. Sampai ada kepastian tentang hal itu, dia akan tinggal di sini bersama kita. Ayah harap kau bersikap baik padanya."

Tangan Sehun mengepal kuat mendengar penjelasan sang ayah. Ia segera keluar dari kamar dan membanting pintunya keras. Membuat seorang pemuda yang baru keluar dari kamar mandi dengan baju kaos, celana pendek, dan rambut setengah basah itu terdiam di tempat. Mata mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Sehun memutuskan kontak mereka dan turun ke bawah. Luhan menghela nafas.

"Maafkan sikapnya. Dia memang seperti itu." ujar Yifan begitu keluar dari kamar Sehun dan menemukan Luhan terpaku di sana. Luhan hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

.

.

.

Membiasakan diri bersama orang asing memang satu hal yang sulit dilakukan oleh Sehun. Terlebih karena sifatnya memang sedikit tertutup. Sehingga ide kedua orang tua agar Luhan mangantar Sehun pagi ini membuat suasana hati Sehun semakin buruk.

Sehun hanya diam menatap keluar jendela saat Luhan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Suara musik yang mengalun dari radio menjadi satu-satunya penghibur bagi dua orang yang baru mengenal itu. Luhan sesekali melirik calon adiknya itu dan hanya mendapatkan ekspresi dingin dari wajah tampannya.

"Hei, Sehunna. Aku tahu kau tidak nyaman bersamaku. Tapi bagaimanapun juga kita masih punya hubungan darah. Aku harap hubungan kita bisa lebih baik." akhirnya Luhan memberanikan diri untuk berbicara pada adiknya itu. Sehun yang mendengarnya hanya menyunggingkan senyum meremehkan.

"Belum ada bukti kalau kau adalah kakakku. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan." Ujar Sehun dingin.

Luhan langsung terdiam mendengarnya. 'Kenapa sih anak ini menyebalkan sekali.' Batinnya jengkel. Mobil yang dikemudikannya kemudian melaju cepat ibarat pembalap di sirkuit tak urung membuat Sehun menoleh ke arahnya. "Ya! Kalau sudah bosan hidup jangan mengajakku! Aku belum mau mati muda!" protes Sehun.

"Kalau belum mau mati, kenapa kau harus berkelahi? Itu sama saja." Ujar Luhan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

"Itu bukan urusanmu. Sekarang cepat hentikan mobilnya. Aku turun di sini!" ketus Sehun. Namun, Luhan tidak mendengarkannya. Mobil itu tetap melaju meski dengan kecepatan yang kembali normal. Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di dekat pintu gerbang SMA Shinhwa.

Sehun bergegas turun, menutup pintu mobil dengan keras lalu berjalan cepat memasuki sekolahnya tanpa mengucapkan apa-apa.

Luhan hanya menghela nafas melihatnya. "Awal yang buruk." Ujarnya pada diri sendiri sebelum melajukan mobilnya kembali ke rumah.

.

.

.

Yifan dan Victoria memutuskan akan menyekolahkan Luhan di sekolah yang sama dengan Sehun. Tentu saja tanpa pengetahuan Sehun. Itulah sebabnya, ketika Luhan muncul di kelasnya dan diperkenalkan sebagai siswa baru, Sehun terkejut. Apalagi suasana kelas yang berubah riuh menyambut teman baru mereka membuatnya semakin jengkel.

"Mengapa kalian begitu heboh karena anak itu? Dasar bodoh." Ujar Sehun sinis.

Jongin yang duduk di sebelahnya dapat mendengar ucapan Sehun pun menoleh. "Kurasa itu tidak mengherankan, Hun. Lihatlah, walaupun kita sama-sama namja. Tapi wajahnya sangat cantik dan manis. Aku jadi meragukan jenis kelaminnya."

Sehun mendelik, "Jongin, jangan katakan kalau kau sudah berbelok karena anak itu."

Jongin mengangkat bahu, "Aku tidak tahu. Tapi dengan namja secantik dia, aku tidak keberatan." Ujarnya seraya tertawa membuat Sehun bergidik mendengarnya. "Kau sudah gila."

Luhan tersenyum sambil melangkah menuju tempat duduk yang ditunjuk oleh gurunya. Sebuah kursi kosong yang berada tepat di depan Sehun.

.

.

.

Brukk!

Sehun mendorong Luhan hingga terhimpit di dinding sambil mengunci pintu toilet. Matanya menatap Luhan tajam, lalu menarik kerah seragam Luhan dengan kasar. "Kau! Apa maumu?! Kenapa kau harus bersekolah di sini?! Apa tidak ada sekolah lain?!"

Luhan terbatuk karena Sehun terlalu erat menarik kerah seragamnya sehingga membuatnya seperti tercekik, "Lepaskan aku, Sehun. Aku ini kakakmu!" ujarnya sambil berusaha melepaskan tangan Sehun dari seragamnya.

"Sssttst! Jangan mengatakan hal itu di sini! Aku tidak sudi memiliki kakak sepertimu!"

"Bagaimanapun kau menolak, aku tetap kakakmu, Sehun. Itu tidak akan berubah."

"Haha. Apa sebegitu inginnya kau menjadi kakakku, sampai harus ke sekolah yang sama denganku? Kau kira aku tidak tahu kalau ayah dan ibuku mengirimmu ke sini untuk mengawasiku?!"

"Aku tidak dikirim untuk mengawasimu, Sehun! Tapi melindungimu. Aku ingin melaksanakan tugasku sebagai seorang kakak." Ucap Luhan serius.

Sehun tertawa mendengarnya, "Melindungi? Tubuhmu bahkan lebih pendek dariku. Aku tidak butuh dilindungi!"

Sehun menarik kerah Luhan lebih erat, "Aku akan membuatmu menyesal telah masuk dalam keluargaku. Camkan itu baik-baik. Luhan." Dengan itu, Sehun melepaskan kerah seragam Luhan dan keluar dari bilik toilet. Luhan menghela nafas lega sekaligus khawatir.

.

.

.

Jam telah menunjukkan pukul 12 malam ketika Luhan terbangun dari tidurnya karena sesuatu yang basah dan dingin di tengkuknya. Matanya terbuka dan berusaha melihat lebih jelas akibat cahaya yang minim. Namun, ia dapat melihat dengan jelas seseorang menindihnya dan sedang menjilati dan menggigit tengkuknya.

"Kau sudah bangun, rupanya." Ternyata orang itu adalah Sehun. Mata Luhan melebar melihatnya.

"Apa yang kau lakukan!" Luhan panik seketika.

"Ssstt... tenanglah, Luhan. Aku hanya memberimu sedikit pelajaran." Sehun mulai membuka kancing piyama Luhan satu persatu. Luhan berusaha bangkit namun ia baru menyadari jika kedua tangannya telah terikat dengan seutas tali ke tempat tidur.

"Lepaskan aku, Sehun! Sadarlah! Aku ini kakakmu!"

"Berhenti mengucapkan kalimat itu Luhan!" Sehun membuka celananya dan mengeluarkan penisnya yang sudah mengeras lalu memaksa Luhan membuka mulutnya.

"Mungkin mulutmu harus disumpal terlebih dahulu." Sehun memaksa penisnya masuk ke dalam mulut mungil Luhan. Walaupun tidak dapat ditampung seluruhnya. Sehun memaju-mundurkan pinggulnya hingga Luhan tersedak karena ujung penis Sehun yang memenuhi tenggorokannya.

"Mulutmu bahkan terlalu nikmat, tahu?" Cairan sperma Sehun pun keluar. "Habiskan." Perintahnya pada Luhan. Tapi Luhan masih berusaha memuntahkannya sehingga Sehun membungkam mulut Luhan dengan bibirnya, berbagi ciuman basah dengan kasar. Beberapa menit kemudian barulah ciuman itu terlepas dengan menyisakan benang saliva di bibir keduanya.

"Lepasshh... Sehun.."

Sehun menyunggingkan senyumnya, "Tidak, Lu. Ini baru permulaan." Sehun menurunkan wajahnya dan kembali mencium tengkuk Luhan dan menggigitnya. "Akh!"

Sehun memberikan tanda kissbite di leher Luhan lalu turun ke nipple merah muda namja mungil itu. "Jangan, Sehun. Akh!" Sehun segera melahap dan mengemut puting mungil itu sebelum Luhan sempat melarangnya. Ia menyedotnya kuat seperti anak yang sedang menyusui membuat Luhan menggeliat dalam kungkungannya.

"Malam ini akan menjadi malam yang panjang, Luhan. Jadi, persiapkan dirimu."

Kedua mata Luhan terbelalak mendengarnya. Sehun menyeringai sambil menanggalkan pakaiannya dan pakaian Luhan hingga keduanya benar-benar polos tanpa sehelai benang pun di tubuh mereka.

.

.

.

TBC

Cerita ini akan penuh konten dewasa.

Untuk HHS yang kehausan moment panas Hunhan. Hihi.

Bagaimana pendapat kalian?