Miss Office Girl Tajir Season II
Summary : 'OMG.' Batin Naruto merana, mengingat kertas laknat yang diterimanya tadi pagi. Ia nyaris tak percaya kalo saja ia tak mengkonfirmasi pada petugas yang bersangkutan. Kaki Naruto seperti tak menapak tanah begitu mendengar jawaban 'Iya' dari petugas yang diteleponnya. Dan sekarang Itachi tak mau tahu? ItafemNaru, SasufemNaru.
DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Romance dan Friendship
Rating : T
WARNING : FEMNaru, OOC, Bertebaran typo, hasil SKS, tak sesuai EYD, bikin kepala pening, gaje and many mores.
Pair : ItafemNaru, SasufemNaru, KisafemNaru
Author Note :
Ai update lagi nih fic ini. Ini semua berkat reader yang tak bosan-bosannya mengingatkan untuk membuat sekuel Miss Office Girl Tajir. Ai usahakan fic ini nggak pending lagi dan update minimal sekali tiap bulan. Bukannya pelit. Ai kan juga harus update fic Ai yang lain.
Don't Like Don't Read
Prolog
Naruto berdiri kaku di depan sebuah ruangan yang dipasangi plang nama 'Direktur Pengembangan dan Riset', dengan sorot mata yang memancarkan kecemasan. Jemari tangannya mencengkeram erat sebuah map berisi berkas-berkas penting, hingga map tak berdosa itu berubah menjadi kusut. Tapi, ia tak menghiraukannya. Naruto begitu larut dengan pikirannya sendiri. Ia bahkan tak menyadari, kalau dia sudah berdiri di depan pintu itu selama 30 menit.
Naruto menggigit bibir ranumnya di bagian bawah, tak yakin. Sebagian dari dirinya, meneriakkan untuk segera membalikkan badan dan mencari tempat berlindung yang aman. Tapi, berkas di tangannya memerintahkan sebaliknya. Ia harus memasukkan tubuh mungilnya ke dalam ruangan di depannya dan menemui penghuninya.
'Ayo Naruto, masuk! Tunggu apalagi? Jangan jadi pengecut!' kata suara hatinya, mencaci maki-nya yang mendadak berubah jadi penakut. Masa, memasuki ruang kerjanya sendiri pun tak berani. Seperti dia disuruh masuk ke sarang macan aja.
Naruto tersenyum kaku. Ia memang tak masuk ke sarang macan, akan tetapi Itachi-yang-sedang-marah-mode-on mungkin bisa disamakan dengan binatang ganas itu. Wajahnya itu loh, sangar abis. Apalagi auranya? Beuhhh..., kalau tidak tahan mental, mungkin bakal ngompol ditempat. Seram abis, Bro. Siapa juga yang tak jeri?
'Memang kau punya pilihan? Berkas itu harus kau bahas dengan atasanmu itu sekarang? Kau mau semua hasil kerjamu berantakan gara-gara ketakutan konyolmu itu?' balas suara hatinya sengit, menolak sejuta alasan yang dikemukan Naruto untuk tak memasuki ruangan seorang Sabaku Itachi.
Yah, itu benar juga. Berkas ini harus segera sampai di tangan atasannya, karena siang nanti akan dibahas dalam rapat dengan direktur yang lain. Jika tidak, bisa runyam nanti urusannya. Bukan hanya Itachi-san yang bakal kena semprot Sasuke-kun, tapi juga proyek yang sudah dikerjakannya selama sebulan ini dengan susah payah, akan melayang sia-sia begitu saja. Itu yang Naruto tak mau.
Naruto memejamkan matanya dan mengambil nafas panjang, mencari sisa-sisa keberaniannya yang menguap. "Aku pasti bisa." Gumamnya mensugesti diri sendiri. Tangannya dengan enggan menyentuh pegangan pintu yang terbuat dari besi. Sensasi dingin segera menyerbu saraf-saraf perabanya, sedingin kepribadian orang yang akan ditemuinya. Tangan Naruto sudah bergerak ke bawah, ketika kembali sebuah suara di dalam otaknya mengintrupsinya, memberinya rasa ragu.
'Kau yakin mau masuk? Kalo Itachi-san marah dan melemparimu kursi, setelah membaca kertas laknat itu, bagaimana?' kata suara hatinya yang lain dengan sinis, merujuk pada isi kertas yang juga ada di dalam mapnya, hanya saja tak ada hubungannya dengan pekerjaannya.
Naruto terkesiap. Tangannya yang memegang handle gemetaran, tak mau berhenti. Rasa takut menghambur, memenuhi otaknya, membuat wajah cantiknya jadi pucat pasi. Naruto meneguk air ludahnya kembali dengan susah payah ke dalam kerongkongannya. Tubuhnya bergidik hebat, membayangkan adegan kekerasan itu dalam otaknya. Jujur Naruto bukan hanya takut, tapi Ngeri luar biasa.
'Lalu bagaimana dengan berkas itu, kalau kau tak masuk?' suara hati nuraninya mengusik batinnya. Hati Naruto kembali bimbang. Ia berada dalam pilihan yang sulit. Ia menimbang-nimbang plus minusnya. Tapi..., setelah berfikir sekian lama, Naruto tak juga bisa mengambil keputusan. Keduanya sama beratnya.
'Tenang saja. Tachi tak akan menyakitimu. Bukankah selama ini ia selalu baik padamu dan selalu bicara sopan? Mana mungkin ia melemparimu kursi tanpa alasan yang jelas? Hentikan semua pikiran bodohmu, dan lekaslah bawa kakimu itu masuk, selesaikan urusanmu di dalam, dan voila beres! Tunggu apalagi?' kata suara hatinya meyakinkan Naruto kalo semua itu hanyalah pikiran konyolnya semata.
"Yang di luar lekas masuk! Jangan hanya berdiri di depan pintu saja!" Kata Itachi dengan suara serak menyuruhnya lekas masuk.
Naruto sekarang tak punya pilihan lain selain masuk. Ia mengambil nafas panjang, berdoa dalam hati semua yang baik-baik pada Kami-sama, dan menarik handle ke bawah. Begitu pintu itu terbuka, tanpa membuang waktu, Naruto masuk ke dalam. Ia mengambil tempat duduk tepat di depan atasannya dan meletakkanya berkasnya di atas meja.
"Anda sudah mempelajari berkas rapat untuk siang nanti?" Tanya Naruto yang karena grogi, gaya bicaranya jadi kaku dan aneh. Sangat tidak Naruto sekali.
Itachi mengangkat salah satu alisnya ke atas, heran dengan gaya bicara Naruto. "Sudah. Menurutku proyek ini bagus, unik, dan punya pangsa pasar yang luas. Tapi, masih butuh beberapa penyempurnaan." Jawab Itachi, membuka map berisi salinan berkas yang sama dengan Naruto.
Naruto menganggukkan kepalanya. "Aku tahu. Itulah gunanya rapat, untuk menyempurnakan apa saja yang kurang sebelum mulai proses produksi." Celetuk Naruto sambil tersenyum. Dalam hati ia mendesah lega.
Ternyata Itachi tak sedang marah dan lalu melemparinya kursi atau benda-benda yang ada di ruangan ini begitu Naruto melangkahkan kakinya ke dalam. Buktinya nada bicaranya biasanya saja, sama seperti hari-hari kemarin. Sama sekali tak nampak jejak amarah di wajah tampan pria yang kira-kira berusia 30-an itu.
'Awas saja kalo nanti ketemu!' Batin Naruto, melayangkan ancaman, kutukan, dan sumpah serapah pada Kiba, salah satu rekannya coret mantan rekannya yang doyan mendramatisir keadaan.
Kiba-lah, tersangka utama yang membuat Naruto bertingkah absurd sejak tadi. Ia yang meracuni pikiran Naruto dengan ketakutan-ketakutan konyol tak beralasan. Sejam sebelumnya, ketika Naruto bilang mau ketemu Itachi-san, Kiba berkata, "Hati-hati kalau ketemu sama dia. Itachi-kun lagi uring-uringan. Salah-salah nanti kau dilempari barang-barang."
"Mana mungkin," bantahku tak percaya. Masa sih, Itachi melakukan hal itu? Rasanya sulit dipercaya.
"Nih lihat! Jidatku benjol. Tadi aku baru dilempari buku olehnya. Sebelumnya, aku juga denger Neji diteriaki. Pokoknya Itachi serem abis dech." Katanya sebelum meninggalkan Naruto termangu seorang diri.
'Angker apanya? Bilang aja ia iri, karena Itachi yang baru masuk, jauh lebih disegani Sasuke daripada dirinya.' Batin Naruto tak henti-hentinya merutuki Kiba.
"Ada apa? Ada berita bagus hari ini?" tegur Itachi mengembalikan Naruto dari dunia autisnya.
"Eh, maksudnya?"
"Ya..., kau tersenyum terus dari tadi. Jadi ku pikir kau lagi senang." Jawab Itachi sambil lalu seolah-olah tak tertarik. Padahal matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.
Naruto tertawa kecil. Naruto berfikir, 'Mungkin ada baiknya ia membicarakan masalah ini dengan Itachi sekarang juga. Mumpung moodnya lagi bagus.' Tanpa Naruto sadari, jemari tangannya membelai salah satu kertas yang tak ada hubungannya dengan pekerjaannya dan berusaha setengah mati ia sembunyikan dari mata oniks lawan bicaranya. Ia hanya berjaga-jaga, kalau-kalau ucapan Kiba benar —Itachi lagi marah mode on— dan akhirnya marah-marah, meneriakinya atau yang lebih parah membunuhnya di tempat setelah membaca kertas laknat itu.
Iris segelap malam milik Itachi menangkap bayangan tulisan di kertas yang sedang dibelai jemarin tangan gadis yang lagi diincarnya itu. Matanya menyipit tak suka. Hatinya bergemuruh, ingin mengamuk, meski semua itu sama sekali tak terlihat jelas di wajah datarnya. Itachi mungkin perlu berterima kasih pada leluhurnya yang memberinya wajah sedatar tripleks sehingga suasana hatinya yang kacau tak bisa dibaca oleh gebetannya.
"Err.., Chi." Panggil Naruto dengan suara yang sangat lirih. Bibirnya menyunggingkan senyum kaku, tak yakin memulainya dari mana.
"Ya?" balas Itachi sama tak yakinnya, antara ingin dengar dan tidak.
"Ini tentang pesta Valentine, 3 bulan yang lalu yang kita hadiri bersama."
Otak Itachi memutar memori 3 bulan silam, tepatnya tanggal 14 Februari yang bertepatan dengan hari Valentine. Itachi mengangguk-angguk kepala, tandanya ia sudah ingat sekarang. Ya, mana mungkin Itachi lupa. Itu adalah moment paling indah dalam hidupnya, yang selalu terbayang dalam mimpi-mimpi indahnya.
Sejujurnya bukan pesta Valentine-nya yang penting. Itachi mana pernah merayakan hari serba pink itu. Hell no. Dia aja mau datang ke pesta hanya karena undangan baca paksaan Sasori. Kalau bukan karena itu, dia mana sudi datang. Akan tetapi, Itachi tak menyesali keputusannya. Sebaliknya ia malah bersyukur. Karena, ternyata Naruto juga menghadiri pesta yang sama.
Itachi ingat semua peristiwa di hari itu. Tak ada satupun yang terlewatkan. Ia menikmati semua moment, bagaimana cantiknya Naruto, tawa Naruto, ucapan Naruto per kata, hingga pekikan terkejut dan panik Naruto. Itachi ingin meringis geli, mengingat tatapan horor Naruto ketika mereka berdua berakhir di tempat yang err...
"Chi..!" panggil Naruto lembut, membuyarkan lamunan putra sulung Fugaku.
"Oh itu. Abaikan saja. it's just a game."
"Tapi..." Bantah Naruto dengan raut wajah yang sulit diartikan.
Sebagian dari dirinya berkata, tak rela, itu hanya dibilang permainan oleh Itachi. Ia tak tahu kenapa ia bisa punya pikiran seperti itu. Mungkin karena ia merasa nyaman berada di sisi Itachi akhir-akhir ini. 'Seperti saat bersama Ka.' Desahnya. Ia suka dengan candaan yang dilemparkan Itachi, atau perhatian-perhatian kecilnya. Itu terlihat manis di matanya, membuat Naruto tak bosan-bosannya tersenyum.
Sisi hatinya yang lain, mendesah lega. Karena, Itachi tak mempermasalahkannya. Bagaimana pun Itachi adalah orang asing yang baru masuk dalam hidupnya. Ia tak tahu siapa sebenarnya Itachi dan bagaimana kehidupannya. Mana mungkin ia bisa tiba-tiba mau terikat secara romantis dengan Itachi.
Dan yang terpenting, hatinya masih merasa berat menghapus nama Ka dalam hatinya. Nama itu masih terpatri kuat, hingga ia tanpa sadar masih sangat mengharapkan Ka berdiri di sampingnya. Ia tahu itu bodoh, mengharapkan orang yang sudah jelas-jelas tak mau dirinya, menampik cintanya. Tapi, apa bisa dikata, hati ini tak bisa berpaling secepat itu. Ia terlanjur mencintai Ka.
Naruto mengerjap-ngerjapkan bulu matanya, menghapus pikirannya yang melantur kemana-mana. Ia sedang tak membicarakan Ka, tapi Itachi. Ingat, I-T-A-C-H-I. 'Fokus Naruto, fokus.' Makinya dalam hati.
Meskipun, Itachi tak mau tahu dan ingin melupakan pesta itu, tapi Naruto harus tetap mengatakan kebenarannya. Bahwa sesuatu yang dibilang permainan oleh Itachi itu, memiliki konsekuensi serius dan bukan main-main.
"Apa kau terganggu dengan hal itu?" tanya Itachi.
"Y-ya err Tidak, ya.. tidak.. Ah, entahlah. Ak-aku tak yakin. Semua terjadi begitu cepat. Kau sendiri?"
"Aku..." Itachi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, menyamankan posisinya, "...sama sepertimu. Agak membingungkan. Tapi, sekali lagi ku bilang. Itu hanya permainan orang dewasa, tak lebih. Bukankah kau pun sejak awal menyetujuinya? Seingatku, kau tidak sedang mabuk saat itu. Bahkan, ku lihat kau menikmati semua prosesnya hingga akhirnya kita... well kita berakhir seperti itu," lanjut Itachi tak yakin dengan semua kata-katanya.
"Yeah, kau benar." Naruto akui. Saat itu ia memang meminum segelas wine untuk mengendorkan saraf-sarafnya yang tegang, gara-gara dipaksa menghadiri pesta Valentine oleh Suigetsu, namun ia sama sekali tak mabuk. Ia sadar sepenuhnya. Ia sadar, siapa pria yang ada di sampingnya. Itu adalah Itachi.
Ia juga ingat. Kalau ia sama sekali tak melayangkan protes sama sekali atau keberatan dan hanya menampilkan senyum menawannya selama permainan itu berlangsung hingga selesai. Sampai di situ, ia paham. Tapi masalahnya itu ada konsekuensi serius yang harus ditanggung Naruto dan Itachi di malam panjang itu.
'OMG.' Batin Naruto merana, mengingat kertas laknat yang diterimanya tadi pagi. Ia nyaris tak percaya kalo saja ia tak mengkonfirmasi pada petugas yang bersangkutan. Kaki Naruto seperti tak menapak tanah begitu mendengar jawaban 'Iya' dari petugas yang diteleponnya. Dan sekarang Itachi tak mau tahu?
'Oh GOd.' Batinnya nelangsa. Ayahnya pasti akan membunuhnya kalo berita ini sampai terdengar di telinga beliau. Yeah itu pasti. Itu juga kalo Kyuubi-nee tak meledakkan tubuhnya duluan, atau Shion-nee tak mencakar tubuhnya hingga tak bersisa.
Naruto menarik nafas panjang. 'Akan ku selesaikan masalah ini sendiri. Aku pasti bisa. Aku bukan anak kecil nan cengeng yang dulu. Tapi, aku wanita dewasa yang mandiri. Ya, aku pasti bisa.' Tekad Naruto bulat, akan mengurus semuanya sendiri tanpa Itachi.
"Baiklah. Hanya itu yang ingin ku bicarakan. Permisi. Sampai jumpa di ruang rapat nanti." Kata Naruto undur diri.
TBC
Ada yang bisa nebak apa isi kertas laknat yang dimaksud Naruto? Kalo ada yang berhasil menjawab, bakal Ai kasih ... kasih.. tepuk tangan yang meriah. Hore,.. banzai banzai. Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
