Diawali dengan bertemu mayat, eh salah, mantan-calon-mayat. Lho, kok? Mama itu apa? Orang yang gak takut monster atau ulat bulu. Keren! Sekarang dia ada dimana, Pa? Cari saja sendiri. Oke! Misi seorang pemberani cilik yang mencari Mama. Ini bukan Honey Bee Hachi, lho ya.

Yuusuke's Mission –Looking for Mama-

By: Ame Pan

Genre:

Family, Drama, Humor

Rate: T

Character:

Naruto Uzumaki as Naruto Namikaze, Sasuke Uchiha as Sasuke Uchiha, OC as Yuusuke Uchiha, etc.

Naruto © Masashi Kishimoto

OC Yuusuke Uchiha © Ame Pan

.

.

.

Bagian 1/3: Mana di Mana Mama Tangguh Saya?

Taman kota hari ini begitu ramai. Banyak orang dewasa dan remaja yang datang walau sekedar berkumpul dengan teman. Hari ini begitu cerah. Tak tampak akan turun hujan walau menurut para peramal cuaca justru sebaliknya.

Di salah satu sudut taman, nampaklah seorang pemuda yang tengah duduk sendirian. Iris biru cerahnya memandang serius pada sebuah buku tulis kecil dengan label nama 'Naruto' –namanya. Tangannya tak henti menggoreskan karbon, membentuk sebuah pola pada kertas yang tersedia.

"Ha-ah, seandainya aku tidak lupa membawa buku sketsa ku," keluhnya.

Menghentikan gerak tangannya, kelereng biru cantik itu bergulir memandang sekitar. Tepat beberapa meter dihadapannya terdapat sebuah air mancur cukup besar yang tengah dikerumuni para pengunjung taman. Menyadari keanehan ia pun beranjak –meninggalkan buku tulis, pensil dan tasnya menghampiri air mancur tersebut.

Saking banyaknya orang yang berkerumun, ia pun tak mampu meihat apa yang tengah terjadi pada air mancur itu. "Permisi, apa yang terjadi?" tanyanya pada pria di depannya.

"Ah, ada mayat," jawab pria itu tanpa menoleh.

"Eh?"

"Katanya ada mayat bocah laki-laki di dalam kolam air mancur itu!" sang pria terkesan kesal karena harus menjawab dua kali.

Wajah Naruto mulai pucat. 'Apa-apaan ada mayat di dalam kolam? Bunuh diri? Lagipula kenapa malah jadi bahan tontonan?' batinnya. Diantara penasaran dan ingin tahu –intinya Naruto memang ingin melihat apa yang terjadi-, ia pun menerobos pagar manusia yang mengelilingi tempat kejadian. Bukan, ia bukan polisi. Ia hanya remaja dengan tingkat kepo yang tinggi.

Setelah perjuangan keras senggol kanan kiri, ia pun sampai di tepi kolam air mancur. Dua detik ia berhenti bernapas. Di depan matanya kini ada seorang bocah –kisaran usia lima sampai delapan tahun terlentang mengambang di kolam air mancur. Matanya terpejam, dan bibir nya pucat. Ini kali kedua Naruto melihat mayat betulan –dimana yang pertama adalah jasad anjing peliharaannya.

Naruto megamati jasad bocah tersebut. Mulai dari ujung sepatu hingga wajahnya. Tak ada tanda kehidupan. Sepertinya¬-…

"Eh?" 'apa itu? Aku seperti melihat matanya berkedut,' batin Naruto.

Dengan ragu ia ulurkan jemarinya menuju wajah bocah itu.

"Hei, jangan disentuh! Nanti sidik jarimu bisa tertinggal!"

Naruto mendengarnya. Tapi entah kenapa ia tidak mengindahkan. Padahal ia tahu, bila sidik jarinya tertinggal maka ia akan jadi tersangka pembunuhan pada anak itu. Padahal kenal saja tidak, bagaimana mungkin ia membunuh, kan?

Akhirnya jemarinya menyentuh pipi anak tersebut. Dingin. Begitulah yang dirasakan melalui punggung jari Naruto. Tapi entah mengapa Naruto merasakan kehidupan dari anak itu. Tidak, Naruto yakin ia bukanlah seorang paranormal atau semacamnya. Tapi…

Bats!

"Whoaaaa! Ia hidup!"

Semuanya terjadi dalam sekejap mata. Mulai dari mata anak –yang diyakini sudah menjadi mayat- hingga hebohnya semua orang yang sejak ta di mengelilingi air mancur. Semua nya berhamburan. Kecuali Naruto. Ia malah berdiri mematung. Terlalu takjub nampaknya.

Tubuh anak kecil itu kini terduduk di dasar kolam yang menenggelamkannya hingga sedada. Kepalanya mendongak menatap Naruto dengan mata hitam bak obsidian. Tajam dan terlihat yakin.

"Kau orangnya." Gumam anak itu.

"Ha?" nampaknya Naruto masih saja terlalu takjub. Dan hanya bisa ber-ha medengar mantan-mayat tersebut. Atau perlu ia sebut mantan-calon-mayat?

"Kau orang yang Yuu cari." Kali ini anak itu berbicara dengan nada normal sembari menunjuk kearah Naruto.

"Yuu?"

Bukannya menjawab anak itu malah bangkit dari duduk nya beranjak keluar dari kolam dengan cekatan. Ia kembali menatap Naruto dan mengangkat tangannya sambil melambai.

"Sampai jumpa lagi!" dan Ia pergi begitu saja. Meninggalkan Naruto yang terus saja dibuat mematung. Ditambah orang-orang yang tadi menonton mereka –dari jarak minimal 5 meter- ikut melongok tak percaya.

.

.

.

Dengan lunglai Naruto berjalan. Menyusuri jalanan aspal yang ia kenal menuju rumahnya. Tak perlu naik bus atau kendaraan lain, karena nyatanya antara rumahnya dan taman kota hanya terpisah beberapa ratus meter saja.

"Aku pulang!"

"Selamat datang!"

Seperti bisa ketika Naruto pulang dan mengucap salam, orang rumah pasti akan menjawabnya. Tapi entah kenapa Naruto merasa suara yang ia dengar tidaklah familiar. Dirumah mungil itu hanya ada tiga penghuni. Ia, ayahnya, dan ibunya. Oh, empat kalau kucing juga termasuk dalam hitungan. Tapi kenapa tadi ia mendengar suara perempuan? Bukan, bukan berarti ibunya laki-laki, tapi… itu bukanlah suara ibunya. Terdengar terlalu lembut untuk ukuran suara ibunya. Ah, ia mungkin akan dibunuh sang ibu kalau beliau tahu.

Tidak mau masa penasarannya makin panjang, ia pun segera memasuki rumah dan menuju dapur –tempat biasanya ia menemukan sang ibu ketika pulang dari kampus.

"Bu?" kepalanya menengok ke dalam dapur. Dan seketika itu juga ia kaget bukan main.

"Ah, Naruto, ya?" itu, perempuan paruh baya dengan rambut hitam panjang yang berkilau, wajah cantik yang menenangkan, tengah mengenakan apron sang hijau yang biasa dipakai Kushina sang ibu. ITU BUKAN IBUNYA.

"Ah, maaf, aku salah rumah ya? Permisi!"

"Hei, Naruto, kau mau kemana?" wanita itu perlahan mengejar Naruto yang berlalu menuju pintu keluar.

"Maaf, bi!" Naruto mempercepat langkahnya ketika sudah menemukan pintu keluar. Namun saat tangannya sudah mencapai gagang pintu, pundaknya serasa ditahan. Ia pun berbalik dan menemukan wanita tadi tengah menatapnya bingung dan khawatir.

"Ada apa Naruto, kenapa kau keluar lagi?" Tanya wanita itu.

"Ah, tidak apa-apa. Aku-…."

"Ada apa Mikoto?" dari dalam ia mendengar suara yang (akhirnya) familiar di telinganya. Dan dari arah suara itu muncullah seorang yang Naruto kenal.

"Ibu!" dalam sekejap Naruto sudah menubruk wanita rambut merah itu.

"Hee, ada apa anak manja?" ujar wanita yang diyakini sang Kushina Namikaze, ibunda Naruto. Ia langsung mengelus surai pirang sang anak ketika ia merasakan kepala yang tengah ia peluk menggeleng pelan.

.

.

.

"Ahahahahaha… ya ampun Naruto, masa kau lupa rumah sendiri."

"Sudah kubilang aku kaget karena yang menjawab salam dan yang kutemui di dapur bukan ibu, aku panik!" semburat merah mewarnai paras Naruto

"Tapi kau kan bisa tanya dulu siapa orang itu, hahahaha... bukannya malah langsunng lari ahahaha… bodoh!"

"Uuurgh ibu hentikan! Jangan menertawakan anak terus!"

"Habisnya kau bodoh, sih, ahahahahaha... aku tidak bisa berhenti."

"Hiiih… hanya orang bodoh yang mengatai orang lain bodoh!"

"Apa kau bilang, bocah!"

"Kushina!" Suara lembut yang mematikan. Itulah yang berhasil membuat duo Namikaze itu berhenti berbuat gaduh di ruang tamu mereka sendiri. Seorang wanita berabut hitam yang tadi ditemui Naruto kini menjadi penengah kala ia dan ibunya akan saling kirim tinju.

"Oh, ayolah Mikoto, tak perlu panik begitu." Ujar Kushina sambil memperbaiki posisi duduknya di sofa.

"Siapa yang tidak panik melihat ibu dan anak akan berkelahi satu sama lain? Lagipula benar kata Naruto tidak baik meertawakan anak sendiri." Kushina sadar diujung sana Naruto mengirim juluran lidah sebagai tanda mengejek.

"Mmh, maaf, bibi ini siapa?" akhirnnya Naruto bersuara.

"Ah, aku lupa memperkenalkannya padamu. Ini Mikoto Uchiha, sahabatku waktu SMA dulu. Ia datang berkunjung karena dua hari lalu ia dan keluarganya pindah ke blok sebelah." Penjelasan Kushina dihadiahi 'hoo' panjang dari Naruto.

"Salam kenal Naruto, maaf sudah membuatmu kaget tadi."

"Ah tidak apa-apa. Tapi, apa kita sudah pernah bertemu sebelumnya? Kenapa anda bisa langsung mengenali saya?"

"fufu.. aku pernah dikirimi Kushina fotomu waktu kau SMP dulu. Dan kau tidak banyak berubah."

"Hee, begitu rupanya."

"Nah, Mikoto kapan aku bisa bertemu Itachi? Wah sekranng ia pasti sangat tampan, ya?" Naruto mengernyit melihat ibunya yang seperti gadis yang akan bertemu idola nya. Garis bawahi Kushina sudah bukan gadis.

"ahahaha begitulah menurut beberapa teman kantornya ia sangat popular dikalangan karyawati. Mungkin kalau ia sedang libur aku kan menelponmu untuk main kerumah."

"kyaaa benar ya? Aku tunggu lho!"

"Itachi itu siapa?" tanya Naruto yang akhirnya bisa meguasai diri dari keinginannya untuk muntah melihat ibunya yang mendadak-alay.

"Anak sulungku. Kapan-kapan Naruto juga harus bertemu dengannya ya! Oh dengan Sasuke juga."

"Hei, kudengar Sasuke sudah punya anak ya?" Selak Kushina.

"Iya, tapi bukan anak kandung. Sepertinya Sasuke yang sekarang akan lebih memikirkan pekerjaannya dibanding mencari wanita untuk dinikahi." Terlihat wajah Mikoto yang agak kurang senang.

"Hoo... Itachi juga belum menikah ya?"

"Yah, begitulah. Haaahh… sepertinya keinginan ku untuk punya menantu akan jadi impian panjang."

"Yahh, setidaknya sekarang kau sudah di panggil 'nenek', hehe."

"Begitulah, hahaha."

Dan detik itu juga Naruto pamit ke kamar karena makin tidak mengerti dengan percakapan ibu-ibu itu.

=====sweet=====

"Papa." Suara bocah laki-laki menggema di ruangan terang yang penuh dengan kertas dan buku itu.

"Papa!" lagi, panggilan itu tudak di gubris oleh pria yang dituju. Pria itu tetap terpaku pada layar komputer yang menampilkan laman-laman berupa table dan tulisan yang sulit dimengerti.

Bocah itu akhirnya berinisiatif untuk mendekati sang pria dan menepuk pahanya.

"PAPA!" dan seperti nya cara itu berhasil membuatnya mendapat perhatian sang ayah.

"ada apa Yuusuke?" ujar sang pria dengan tatapan bingung dan bersalah karena sudah mengabaikan sang anak.

"Yuu menemukannya!" Dahi sang pria berkerut dalam. Mencoba mencerna maksud sang anak. "Yuu menemukan Mama!"

"Hah?"

"um, seperti yang papa bilang, dia tidak takut pada monster atau ulat bulu, dia bahkan tidak takut pada mayat."

'mayat?' "maksudmu apa Yuusuke? Papa belum mengerti." Sang ayah makin dibuat bingung ketika melihat ekspresi sang anak malah cemberut dengan tampang marah.

"uuukh, kan papa yang bilang kalau Yuu harus cari mama sendiri!"

"Hah? Kapan papa bilang begitu?"

"Saat Yuu masuk kekamar papa, lalu bertanya Mama itu apa."

"Ap-…" tunggu dulu. Ah, ia ingat! Saat itu ia sedang stress karena baru dapat kabar proyek nya dalam keadaan genting. Ia yang tengah mengerjakannya dikamar lalu dihampiri Yuusuke dan diajak bicara. Anaknya itu bertanya 'Mama itu apa?' dan tanpa menoleh ia menjelaskan tentang apa itu Mama pada sang anak dengan asal-asalan. Dan sepertinya tanpa kesadarannya ia menyuruh Yuusuke mencari Mama yang ia maksud. Orang tua macam apa dia!

"Tadi sore Yuu pergi ke taman kota dengan Nobu –nama pangasuhnya-. Lalu Yuu pura-pura mati di kolam air mancur. Yuu tutup mata. Dan tidur di air. Yuu menunggu ada 'Mama'. Setelah itu Yuu merasakan ada yang menyentuh pipi Yuu. Saat buka mata, Yuu melihat kakak (laki-laki) berambut kuning yang menatap Yuu. Dia tidak terlihat takut sepert orang lain yang menjauh dari kolam. Jadi Yuu putuskan dia adalah 'Mama'." Dan penjelasan panjang itu ditutup dengan tepuk tangan seorang Yuusuke, bocah lima tahun yang baru selesai menjalankan misi.

Sang ayah hanya bisa menatap nya miris. Ia tahu anaknya yang baru masuk taman kanak-kanak itu memang pintar, tapi tetap saja… 'pura-pura mati? Tidur di air? Kakak (laki-laki)? Mama?'

"Tunggu dulu Yuusuke, jadi maksudmu tadi kau main di kolam air mancur?"

"Bukan main! Yuu mencari 'Mama'!"

"Iya-iya, tapi kau masuk kedalam kolam kan?"

"Yup."

"Lalu, orang yang kau temukan itu… laki-laki?"

"Yup!"

"Dan dia… 'Mama' yang kau cari."

"Benar!" riang. Terlalu riang jawaban sang anak yang mampu membuat sang ayah berhenti benapas.

"Oh iya, papa harus menikah dengannya ya!"

Seakan belum cukup, kalimat tadi benar-benar ingin sang Ayah mati muda. "darimana-…"

"Kata Bu Guru Shion, papa dan mama itu menikah, lalu punya rumah, lalu baru punya Yuu. Tapi saat Yuu bilang Yuu tidak punya mama, Bu Guru Shion bilang untuk Yuu special, jadi papa punya rumah, lalu punya Yuu, setelah itu baru papa dan mama menikah."

Ampun, setelah ini Sasuke –nama sang ayah- harus menemui guru itu dan melayangkan tuntutan.

"Oh iya, papa tahu? Tadi Yuu meninggalkan Nobu sampai dia tersesat lho! Hahaha, saat Yuu kembali wajah Nobu sudah putih dan ketakutan, hahahaha."

Ralat. Anaknya bukan hanya pintar. Ia jahat dan pintar.

"Hahhh… begini Yuu, yang namanya Mama itu perempuan. Tidak mungkin laki-laki." Jelas Sasuke dengan lunglai. Habis sudah tenaganya mendegar cerita mengejutkan dari sang anak.

"Eeeeh? Tapi kata nenek bisa laki-laki juga."

Ini lagi, malah ibunya yang mencuci otak sang anak. Dasar Fujoshi tua!

"Ya, ya, papa harus menikah dengan kakak (laki-laki) tadi ya?" pinta Yuusuke sambil menarik-narik celana sang ayah.

Sasuke berharap sang anak cepat besar dan mengerti sendiri saja.

=====sweet=====

"Hei Naruto!" suara itu membuat sang pemilik nama menoleh. Disana ia mendapatkan sosok sang sahabat berambut coklatnya berjalan mendekatinya. Ia yang tengah sibuk dengan buku sketsa seperti biasa malah mendengus seakan tak senang. Apalagi ditambah fakta bahwa sang sahabat dating dengan pacarnya. Dua pengganggu dating bersama. Alamat ia tak akan menyelesaikan pekerjaannya.

"Hee~ jahat sekali kau! Teman datang malah kau sambut wajah cemberut." Ujar si rambut coklat bernama Kiba itu kesal.

"Mau apa kau kesini? Kalau mau kencan dengan Shikamaru jangan disini, tempat ini sudah ku booking. Sana cari tempat lain!"

Pemuda lain yang diketahui bernama Shikamaru itu, memutar pandangannya malas sambil menggumam 'merepotkan'.

"Huh, bilang saja kau iri karena masih sendiri." Ledek Kiba sambil mengamit lengan Shikamaru.

"Siapa yang iri! Enak saja. Lihat saja nanti, kau akan kaget saat menemui ku yang sudah punya pacar orang terkenal!" balas Naruto sambil menunjuk hidung Kiba dengan –sangat- tidak sopan.

"Terkenal dari H*ngk*ng!" umpat Kiba. Ia akhirnya malah duduk disamping Naruto yang kini membuang muka sambil menggembungkan pipinya, kesal. Ia pun menarik pacarnya untuk duduk disebelahnya.

Naruto kembali –berusaha- focus pada gambar yang tengah ia buat beberapa menit lalu. Kiba yang penasaran pun memerhatikan kertas yang kni penuh coretan karbon membentuk samar sebuh wajah.

"Siapa itu?" tanya Kiba spontan.

"Entahlah." Jawab Naruto tak kalah spontan.

"Heeh jadi maksudmu itu hanya wajah fantasimu? Jadi sekarang kau berubah haluan jadi pedofil?"

"Enak saja! Kau kira aku sebegitu frustasinya tak punya kekasih, apa!" bentak Naruto sambil bersiap memukuli Kiba dengan bukunya.

"Habisnya~"

"Hhhh… aku benar-benar tidak kenal anak ini. Tapi aku bertemu degannya kemarin. Dan kukira dia sudah mati." Keluh Naruto.

"EEEHH? A-apa maksudmu, Naruto? Ja-jangan bilang sekarang kau mulai jadi cenayang." Panic Kiba meringsut kearah Shikamaru. Shikamaru kemudian mengetuk kepala sang kekasih berisiknya itu.

"Dengar dulu kalau orang bicara, bodoh." Ujar Shikamaru dengan nada terlau datar.

"Apa maksudmu? Seenaknya saja mengatai orang bodoh!"

"Memang kau bodoh." Tambah Naruto yang sukses membuat Kiba nyaris mengamuk dan berniat mencabik sahabat dan kekasihnya.

"Aku bertemu dengannya saat ditaman kota kemarin. Awalnya aku heran kenapa banyak orang berkerumun di sekitar air mancur. Saat aku mendekat aku melihat sesosok tubuh bocah (laki-laki) yang katanya mayat mengapung di kolam, dan (entah kenapa) dengan bodohnya aku malah berusaha menyentuhnya. Dan saat itu kulakukan aku malah menemukan ternyata anak itu membuka mata dan menatapku seolah-olah menemukan harta karun. Hhh… aku yang merasa dikerjai akhirnya berusaha mengingat wajahnya dan menggambarnya, supaya jika suatu saat nanti aku bertemu dengannya aku bisa memukulinya." Jelas Naruto panjang lebar

Dan kedua temannya itu bengong melihat Naruto.

"Kau dikutuk." Celetuk Kiba.

"Terserah."

Shikamaru yang mendengar kedua nya hanya bisa menggeleng tak habis pikir.

"Lalu, kau akan mencari nya lewat polisi dengan menyerahkan gambar itu pada polisi?" tanya Shikamaru

Naruto menggeleng, "tidak, aku tidak akan sejahat itu. Lagipula menurutku, mungkin dia hanya anak yang kurang perhatian orang tuanya atau semacamnya."

Kedua orang itu mengangguk mengerti. Paham akan sifat Naruto. Dan detik berikutnya si pirang merapikan alat tulis dan buku sketsanya lalu berdiri dari tempat duduknya. "sudah jam segini, aku ada kelas. Sampai jumpa!" dan ia pun meninggalkan taman kampus itu dengan Kiba dan Shikamaru saling berpandangan lalu tersenyum.

"Yah, itulah Naruto yang kukenal." Celetuk Kiba.

Shikamaru mendengus dan tersenyum makin lebar sebagai balasan. Ia mengelus surai coklat sang terkasih yang kini tengah menatap taman kampus –yang penuh dengan para mahasiswa dihadapan mereka.

"Yah, setidaknya sekarang tempat ini tidak ada yang mem-booking, dan bisa kita gunakan untuk kencan." Ujar Shikamaru yang mendapat pukulan gemas Kiba di lengannya.

=====sweet=====

Sasuke Uchiha, 28 tahun, single parent, masih perjaka. Ia mengadopsi seorang bocah laki-laki dari panti asuhan dua tahun lalu. Entah apa yang melintas dipikirannya sampai ia akhinya memilih untuk memiliki anak. Lalu kenapa dia tidak menikah saja? Bukan masalah ia yang tidak laku. Jelas terbukti dimanapun Sasuke berada pasti ada saja mata yang melirik gemas sekaligus kagum akan ketampanannya. Jadi? Tidak dia bukan gay. Dia normal seratus persen, atau begitulah yang ia tahu selama dua puluh delapan tahun hidupnya. Toh waktu sekolah dulu dia sering gonta-ganti pacar yang semuanya wanita –rerata wajah cantik dan tubuh sintal-.

Jadi apa yang membuat sang cassanova satu ini malah memilih megadopsi anak dibanding membuatnya sendiri?

Dengan singkat, padat dan jelas dia pun menjawab, "aku tidak mau berepot-repot ria mengurusi istri cerewet dan tetek bengek rumah tangga." Lalu bagaimana dengan anak? Maka jawabannya, "anak kecil itu jujur dan polos, akan jadi penurut kalau dididik dengan baik."

Selama dua tahun ia (merasa) telah berhasil mengurus sang anak berusia lima tahun tersebut dengan bantuan beberapa pengasuh dan ibunya –Mikoto-.

Tapi watu berkata lain. Kini ia sebisa mungkin tidak mengamuk di hadapan ibunya, yang saat ini tengah mendengarkan curhatan sang anak tentang pengalamannya di taman kota. Mikoto jelas antusias mendengarkan sang cucu manisnya. Ralat, SANGAT ANTUSIAS. Apalagi mendengar kalau sang cucu ingin menjodohkan Sasuke dengan seorang pemuda. Membangkitkan gairah (?) masa mudanya sebagai fujoshi. 'Hohoho… umur boleh tua. Tapi hobi tetap sama.' Begitulah kata Mikoto.

"apa kakak (laki-laki) itu cantik?" tanya Mikoto sambil mengangkat Yuusuke agar duduk di pangkuannya, di sofa. Dimana kini mereka berada di ruang keluarga. bisa ia rasakan, sejak awal sang cucu mulai bercerita sang putra bungsu menatapnya dengan tatapan mematikan. 'Masa bodoh, toh Sasuke tidak akan berani memarahinya.'

"iya, Nek, kakak (laki-laki) itu cantik. Eh, manis deh. Ah, dua-duanya!" jawab Yuusuke tak kalah antusias, ia sampai bertepuk tangan.

"hooo lalu, apa Yuusuke mau kakak (laki-laki) itu jadi mama-nya Yuusuke?"

"Um, tentu saja!"

Dan aura membunuh terasa semakin pekat dari hadapan Mikoto (Sasuke duduk di sofa seberang Mikoto).

"nah, Sasuke-sayang, bagaimana? Ini permintaan Yuusuke, loh."

"iya, papa menikah dengan kakak (laki-laki) itu, ya?"

Sasuke jelas melihat senyum licik dari wajah cantik awet muda sang ibu. Kalau Sasuke adalah anak durhaka, jelas ia akan mengutuk ibunya dengan boneka voodoo.

Dua tahun sudah ia mengurus Yuusuke dan kini putra harapannya sudah rusak oleh Mikoto, sang ibunda Sasuke. Yah, memang sebagian besar waktu pengasuhan di lakukan Mikoto, sih. Tapi kenapa harus virus fujoshi sang ibu yang diturunkan pada anaknya?!

Tidak. Ia tidak sanggup membayangkan sang putra berubah menjadi fudanshi di kemudian hari. Apalagi sampai menjadi tokoh fantasi gila sang ibu. Tidak! Demi ia dan ketampanannya, sekali lagi, TIDAK!

"t-tapi Yuusuke, bahkan papa tidak mengenal kakak (laki-laki) yang kau maksud." 'Bagus, ini bisa jadi alasan yang bagus.' Batin Sasuke.

"hee iya ya. Kan yang bertemu dengan kakak-calon-mama Cuma Yuu." Ujar Yuusuke mulai berpikir dengan gaya anak-lima-tahun yang imut. Tapi entah kenapa Sasuke tetap merasa tertohok dengan kalimat anaknya.

"nah, kan. Papa tidak mungkin menikahinya." 'Yak bagus, terus seperti ini.'

"eeh kenapa, Pa?" Yuusuke jelas berteriak shock.

"tentu saja karena papa tidak mengenalnya. Kalau tidak kenal mana mungkin papa bisa menyukai kakak (laki-laki) yang Yuusuke maksud. Sedangkan orang menikah karena saling menyukai, kan?"

"oh iya juga." Wajah Yuusuke menyayu. Jelas ia sangat sedih mendengar alasan sang ayah yang sangat tepat.

'Yuusuke anak pintar. Dengan begini semua akan-…'

"kalau tidak kenal tinggal kenalan saja, kan?" Maaf Mikoto menyelah!

'…-beres.'

"eh, begitukah, nek?" wajah sayu Yuusuke berganti jadi aura berbinar-binar.

"hum, tentu saja. Memang benar menikah itu harus saling suka dan akan saling suka kalau saling mengenal. Tapi kalau tidak saling kenal, ya tinggal kenalan saja, kan?" jelas Mikoto.

'TIDAAAAKKK! DASAR FUJOSHI TUA!'

"woooh, iyeeey! Nah, sekarang papa bisa menikah!" ujar Yuusuke riang. Ia sampai mengangkat kedua tangannya sambil berseru 'banzai'. Begitupula dengan Mikoto.

"Nek, Yuu akan punya Mama! Yuu boleh telepon paman Itachi, ya? Yuu mau cerita."

"Yup, tentu saja, sayang."

'bahaya! Kalau sampai Itachi tahu, semua akan semakin rumit. Ia akan menertawaiku habis-habisan. Tidak. Tidak boleh!'

"TIDAK BOLEH!" bentak Sasuke kelepasan. Jelas membuat Yuusuke maupun Mikoto terlonjak kaget.

"ke-kenapa tidak boleh? Kenapa Yuu tidak boleh telepon paman Itachi?" isak Yuusuke. Double shock. Antara kaget karena sang ayah membetaknya dan dilarang menelepon sang paman tercinta.

"Bu-bukan begitu Yuusuke. Maaf, papa tidak bermaksud memarahimu." Panic, Sasuke berusaha menenangkan Yuusuke yang mulai tersengguk.

"M-maksud papa, jangan telepon dulu."

"memangnya kita mau menunggu apa?" tanya Yuusuke setelah dibersihkan ingusnya oleh Mikoto.

"err, begini, memang papa bisa berkenalan dengan kakak (laki-laki) yang Yuu maksud. Tapi bagaimana caranya?"

"tentu saja dengan bertemu." Yang menjawab adalah Mikoto. Tapi Sasuke belum kalah.

"ya, tapi bagaimana? Memangnya Yuu tahu siapa dia?"

Yuusuke menggeleng.

"Yuu tahu dimana rumah kakak (laki-laki) itu?"

Yuusuke menggeleng lagi. Kali ini dengan lemas.

"Nah, berarti papa tidak bisa berkenalan dengannya, bukan?" menang. Kali ini Sasuke yang menang.

"tentu saja bisa." Maaf, Mikoto menyelah lagi.

'Apalagi sekarang?' batin Sasuke gemas.

"bagaimana caranya, Nek?" tanya Yuusuke.

"ya, kita cari saja kakak (laki-laki) itu."

"tapi kita tidak tahu nama dan dimana dia tinggal. Yuu tidak mungkin bisa mencarinya." Mata hitam bulat Yuusuke mulai dilapisi air mata.

Di seberang sana Sasuke menyeringai menang.

"Tenang saja, biar nenek yang cari."

"tidak mungkin. Kan, hanya Yuu yang lihat wajah kakak (laki-laki) itu."

Dalam batin, Sasuke makin tertawa setan.

"serahkan saja pada nenek." Ujar Mikoto sambil menepuk dada. Tanpa diketahui Yuusuke, ia melempar tatapan mematikan pada si bungsu Uchiha.

Oh Tuhan sekali saja izinkan Sasuke menjadi anak durhaka. Ia benar-benar ingin mengutuk sang ibu.

"maaf ya, Yuusuke, papa tidak bisa berbuat apa-apa." Ujar Sasuke. Ada nada mengejek diantara nada bersalah. Mikoto tahu itu.

"iya, Yuu juga tidak yakin."

Kini ganti Mikoto yang menguarkan aura mematikan. Genderang perang sudah ditabuh. Kita lihat siapa yang akan menang. Setidaknya saat ini sudah 1-0 untuk Sasuke.

=====sweet=====

Pagi menyingsing. Kalau dalam komik atau fanfiction pada umumnya dalam keadaan ini pasti yang akan dideskripsikan adalah bagaimana si tokoh utama terbangun karena terganggu terkena paparan sinar matahari pagi. Lalu akan dijelaskan bagaimana si tokoh utama akan menjalani pagi yang enerjik (baca: dimarahi sang ibu karena tidak kunjung bangun). Apalagi ini merupakan fanfiction tentang hubungan menyimpang Sasuke dan Naruto. Pasti dapat ditebak bagaimana tulisan yang akan dibuat.

Tapi sekarang ini sang tokoh utama alias Naruto tidak akan melakukan kebiasaan yang sangat mainstream tesebut. Karena nyatanya saat ini ia tengah tergeletak tak berdaya di meja makan rumahnya. Alasannya? Yah, tugas mahasiswa tingkat tiga. Apalagi dengan semangat belajar yang kian hari kian terkikis. Seperti kata para senior: semakin tinggi tingkat kuliahmu maka akan semakin terasa bahwa kuliah itu tidak lebih baik daripada SMA (perhatian: ini adalah pengalaman pribadi penulis).

Naruto kini mengerti dengan siklus yang sering dibicarakan oleh para seniornya di kampus. Siklus mahasiswa. Dimana ketika SMA kau akan merasa tak sabar untuk menjadi anak kuliahan. Lalu di tahun pertama kuliah kau akan jadi mahasiswa paling rajin dan semangat dalam menimba ilmu. Di semester pertama tahun kedua akan mulai terasa malas. Semester kedua tahun kedua, mahasiswa maupun mahasiswi yang merasa kehidupan perkuliahannya monoton, sehingga nilai pun mulai terjun tak terkendali. Tahun ketiga –bertepatan dengan keadaan Naruto saat ini- akan mulai menjamur kata 'titip absen', keadaan dimana kertas absen yang penuh berbanding terbalik dengan jumlah mahasiswa yang hadir.

Kalau saja Naruto bukan orang yang masih memikirkan masa depan, sudah dipastikan dari beberapa bulan lalu ia akan sering membolos kuliah. Namun apa kata dunia, bila seorang Namikaze Naruto, si-bodoh-dalam-bidang-eksak-namun-jenius-dalam-bidang-seni ini membolos?

Mengehela napas. Naruto bangun dari duduk-setengah-tiduran-nya dan berjalan menuju ke meja counter untuk membuat kopi. Kalau kalian menanyakan kemana kedua orang tua si pirang manis ini, maka jawabannya adalah sang ayah alias Minato masih dalam masa tugas kerja ke luar kota sedangkan sang ibu, Kushina, izin untuk menginap dirumah sahabatnya, Mikoto, yang suaminya juga di tugaskan bekerja di luar kota. Jadilah sekarang Naruto sendirian dirumah. Ah, tidak, masih ada Kyuubi, kucing oranye-hitam miliknya.

Hari ini hari sabtu, ia tidak ada kuliah. Jadi ia jelas tidak punya kegiatan. Biasanya ia akan mengajak beberapa temannya untuk hang out. Tapi beberapa temn yang dimaksud di sini sudah masuk blacklist Naruto. Alasannya mudah, mereka sudah punya pacar. Ya, mengerti kan, kegiatan yang akan dilakukan sepasang kekasih di akhir pekan begini? Anggap saja dendam kesumat Naruto terhadap teman-teman tak setia kawan nya itu.

"aku harus apa sekarang?" gumamnya.

Akhirnya setelah beberapa pertimbangan (yang jelas sangat tidak penting), ia memilih untuk pergi ke alun-alun kota setelah menghabis kopi nya.

Dan setelahnya ia merasa sangat bodoh.

Tak perlu dijelaskan secara detail, yang jelas sekarang Naruto ingin mengumpat sebanyak-banyaknya. Pilihannya sangat salah dengan kombinasi 'alun-alun kota' dan 'akhir pekan'. Jelas hasilnya adalah banyaknya pasangan yang pamer kemesraan.

Sial, ia benar-benar ingin mengumpat.

Maka berakhirlah ia memilih ke salah satu café yang biasa ia datangi. Ia pilih tempat duduk di dekat jendela, tak jauh dari pintu masuk. Setelah memesan beberapa makanan dan secangkir kopi sebagai bahan sarapan, ia pun mengeluarkan buku sketsa dan pensil dari tas.

Sambil menunggu pesanannya datang, ia mulai menggoreskan pensil membentuk beberapa pola. Belum spesifik, bahkan ia pun tak tahu apa yang akan ia gambar. Sesekali ia melirik kearah luar jendela besar café tersebut.

Suara lonceng dari pintu masuk menandakan ada pelanggan lain yang masuk. Sedikitnya membuat konsentrasi Naruto (kalaupun ia memang berkonsertrasi) buyar. Diliriknya pelanggan yang baru datang tersebut. Seorang pria berjas biru dan seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahunan. Mereka memilih tempat duduk tepat di depan Naruto. Dengan sang anak duduk membelakangi Naruto dan sang pria di kursi yang menghadap Naruto.

Beberapa kali Naruto melirik kedua pelanggan tersebut. Mulai dari saat sang pria memesan beberapa makanan kepada pelayan yang menghmprinya tak berapa lama setelah mereka duduk, hingga kini kedua pelanggan itu tengah menikmati pesanan mereka sambil beberapa kali berbincang dan tertawa. Oke kalau begitu bukan beberapa kali melirik. Naruto memang memerhatikan mereka sejak tadi.

Ada perasaan penasaran yang kuat terhadap kedua pelanggan tersebut. Ingat kalau ia hanya seorang pemuda dengan tingkat kepo yang tinggi? Bahkan buku sketsa dan pensilnya ia letakkan di meja. Entahlah, rasanya familiar. Apalagi pada bocah berambut hitam yang duduk memunggunginya itu.

'Hah, kalau Kiba ada disini, ia pasti langsung menertawai dan mengataiku sebagai stalker atau cenayang lagi.' Batin Naruto miris.

Mengesampingkan semua perasaan aneh tersebut, iapun mulai mengambil buku dan pensilnya kembali. Mulai dari membuka lembar baru lalu menggoreskan pensil membentuk sketsa seorang manusia. Lama-kelamaan gambar mulai lengkap. Tubuh, wajah, rambut, pakaian, kursi, latar belakang, dan gradasi. Tak teralu detail seperti biasanya. Namun ia tetap tersenyum setelah gambarnya selesai.

'Kenapa aku merasa seperti sedang diperhatikan?' alisnya tertekuk tak nyaman.

Naruto menoleh ke kiri dan kanan. Bahkan memerhatikan keadaan luar jendela. Akhirnya menoleh kedepan. Ia mendapatkan pria berjas biru tadi memerhatikannya. Selang beberapa detik mereka bertatapan, sang pria memutus kontak mata mereka. Membuat alis Naruto menekuk kembali.

Merasa tak terima (dengan sangat absurdnya) ia bangkit dari kursi dan menghampiri tempat duduk sang pria. Dengan masih menggenggam buku sketsa dan pensilnya.

"Maaf mengganggu anda. Tapi saya merasa tak nyaman karena anda memerhatikan saya diam-diam." Ujar Naruto setelah ia berdiri tepat di depan meja sang pria.

Sang pria menoleh dengan pandangan malas. "Maaf, saya tidak mengerti maksud anda."

Tersulut emosi, "Saya jelas-jelas tadi mendapati anda memandangi saya dengan tatapan tajam, dan anda bilang tidak mengerti?"

Sang pria menghela napas, "Kau ini harusnya berkaca sebelum memarahi orang lain, Dobe."

"Hahh?!" bentak Naruto, antara tak mengerti arah pembicaraan dan kesal karena dicela.

"Kau yang jelas-jelas terus-terusan memandangiku sambil menggambar entah-apalah-itu di bukumu." Jelas pria itu sambil menopang kepalanya dengan sebelah tangan.

"Tu-tunggu dulu. Saya tidak memandangi anda." Bahasa sopan menjadi penuh nada tinggi. Naruto benar-benar kesal.

"Ya, kau memandangiku, Dobe."

"Hei, Tuan, bisakah anda tidak menyulut amarah saya? Lagipula apa-apaan anda mengatai saya seperti itu? Ada anak kecil di hadapan anda kalau anda lupa." Kata Naruto sambil menunjuk si bocah yang entah bagaimana tetap berwajah tenang padahal ada percekcokan di hadapannya.

"Dan satu lagi, saya tidak memandangi anda." Ultimatum dari Naruto, penuh dengan tekanan di tiap katanya. Entahlah kata ini tepat untuk menjelaskan maksud Naruto atau tidak.

"Ah, kau kakak (laki-laki) yang waktu itu!" suara cempreng menyahut. Membuat Naruto menoleh dan sang pria yang tengah meneguk minuman dari cangkirnya tersedak.

"Yuusuke, jangan bilang-…"

"Iya, Pa, ini kakak (laki-laki) yang Yuu temui di air mancur waktu itu."

Tautan alis Naruto makin dalam. Hei, ia sedang komplain disini! Kenapa dua orang ini malah memandanginya dengan pandangan kagum (dari sang bocah) dan kaget bercampur ngeri (dari sang pria)

"Wah, kau melukis Papa. Hebat!" ucap si bocah setelah mengintip buku sketsa Naruto yang ada di tangan kanannya. Jelas bocah ini bukan tipe anak yang sopan. Naruto akan catat itu.

"Apa, maksudmu aku tidak-…" shock. Naruto shock setelah ia menarik buku sketsanya mendekat untuk ia lihat. Dan jelas itu lukisan pensil seorang pria yang tengah duduk sambil menopang kepalanya dengan tangan kanan.

Lihat ke arah sang pria. Lalu ke arah buku. Sang pria. Buku. Begitu seterusnya beberapa kali. Bahkan Naruto bisa merasakan kalau lehernya agak pegal melakukannya.

"Tidak mungkin.." bisik Naruto. "… Apa aku yang menggambar ini?"

"Hn, bukan. Tapi hantu yang merasukimu" jawab si pria.

"Bohong!" Naruto takut sungguhan.

"Kurasa ini Kakak yang menggambarnya." Tambah si bocah berambut hitam tersebut.

Sepertinya kali ini Naruto benar-benar akan mengumpat sepuasnya.

.

.

.

"Namaku Yuusuke. Yuusuke Uchiha. Ini Papa Sasuke. Papa Yuu yang paaaaaling tampan!" jelas Yuusuke.

"Ah, ahahaha... begitu, ya." Jawab Naruto lemas.

"Nama kakak siapa?"

"Naruto Namikaze." Pelan dan ragu-ragu. Begitulah ia menjawab.

"Hoo… Naruto-niichan, ya?"

"Hum, begitulah." 'apanya!' batin Naruto.

Sebuah meja bundar dengan tiga kursi yang terisi mengelilingi. Naruto, si bocah yang ternyata bernama Yuusuke Uchiha, dan sang pria yang dipanggil Papa Sasuke. Dengan tatapan menyelidik yang tidak henti-hentinya dilemparkan oleh pria-Sasuke padanya, kini Naruto hanya duduk menunduk bagai tersangka kasus korupsi.

"Naruto-niichan, kau ingat Yuu?" tanya Yuusuke tak sadar situasi.

"Err tidak." Singkat, padat, jelas. jawab Naruto bahkan tapa mengangkat kepala.

"Hee.. masa tidak ingat? Aku lho, aku! Yang di air mancur taman kota."

"tidak, maaf aku tidak ingat."

"umph coba lihat wajahku dulu!" ujar Yuusuke sambil menarik-narik cardigan yang dipakai Naruto.

Dengan –sangat- berat hati Naruto pun menoleh. Dipandanginya wajah putih yang bulat bulat sang bocah. Sepuluh detik, tiga puluh, satu menit dan voila!

"KAU MAYAT YANG WAKTU ITU!" teriak Naruto hingga berdiri dari duduk nya. Suaranya cukup keras untuk membuat pelanggang lain di café itu menoleh heran padanya.

"Maaf tuan, apa ada masalah?" seorang pelayan perempuan dengan sigap menghampiri meja mereka.

"A-ah, maafkan aku." Ucap Naruto sambil membungkuk merasa bersalah.

Setelah sang pelayan meninggalkann meja mereka, suara kursi yang digeser membuat Naruto menoleh.

"Kita bicara di luar. Yuu tunggu di luar bersama kakak ini ya. Papa mau membayar makanan kita dulu." Ucap Sasuke. Yuusuke mengangguk sekali lalu menarikk lengan cardigan Naruto.

"ah, tunggu, aku juga mau bayar-…"

"tadi kau pesan apa saja?" tanya Sasuke sukses memotong perkataan Naruto.

"He?"

"Tadi kau pesan apa saja? Biar aku yang bayar dulu." Jelas Sasuke.

"O-oh, itu… frappuchino dan Sandwich crab house."

"Hn, tunggu di luar dengan Yuu."

"Ayo!" ucap Yuusuke dengan semangat.

Naruto, Yuusuke dan Sasuke akhirnya memilih duduk di kursi taman yang terletak tak kjauh dari café tadi. Sasuke masih dengan ikhlas menghujani Naruo dengan tatapan menyelidik.

"kenapa kau menggambarku?" tanya Sasuke memulai topi pembicaraan.

"a-aku tidak menggambarmu!"

"lalu yang ada di bukumu itu apa? Kaligrafi?"

"m-mana kutahu! Aku tidak ingat pernah menggambar ini."

"hoo.. jadi benar, kau kerasukan roh saat menggambarnya."

"TIDAAAK! Apapun selain itu!"

"yasudah, kau kerasukan hantu kalau begitu."

"Tidak ada bedanya!"

"hei, hei, Naruto-niichan, jadi kau ingat pada Yuu kan?" kini Yuusuke yang membelokkan pembicaraan.

"tentu saja! Kau mayat yang di air mancur kan?" jawab Naruto sambil menunjuk-nunjuk ganas kearah Yuusuke.

Agaknya Sasuke merasa tersinggungg saat anak semata wayangnya dikatai mayat oleh pemuda pirang tersebut. Tai apa mau dikata? Toh nyatanya sang anak dengan segala kecerdasannya itu memang berpura-pura menjadi mayat untuk menarik perhatian Naruto. Tapi, ayolah, orang bodoh mana sih yang berhasil tertipu dengan kebohongan anak berusia tujuh tahun? Padahal sang ayah juga tidak tahu kehebatan acting sang anak yang bahkan mampu mengelabui orang-orang di taman.

"ya, itu Yuu! Ahahaha." Dan entah kenapa Sasuke merasa miris dengan fakta bahwa anaknya sendiri merasa bangga menjadi mayat bohongan.

"Nah, Papa, sekarang Papa sudah mengenal Naruto-niichan, kan?"

Sasuke tersedak ludah sendiri.

"Ah, itu.." 'sial, kalau sampai ketahuan Ibu, habislah semua.' Batin Sasuke.

"hei, tuan, kenapa wajahmu jadi pucat begitu?" tanya Naruto yang mearasa diabaikan.

"Tidak apa-apa." Jawab Sasuke singkat.

Sebelah alis Naruto terangkat naik. Beberapa menit mereka diliputi keheningan.

"Jadi, apa maksudmu, menakut-nakuti orang-orang di taman kota dengan berpura-pura menjadi mayat, Yuu.. err siapa tadi?" tanya Naruto.

"Eeh, Yuu tidak menakut-nakuti." Bela Yuusuke. "dan namaku Yuusuke."

"Ah, ya Yuusuke. Jelas semua orang takut. Lagipula bagaimana bisa kau jadi mayat yang meyakinkan begitu? Apa Papamu ini artis?" cecar Naruto sambil menunjuk wajah Sasuke.

"Itu sih kau saja yang bodoh bisa tertipu oleh bocah usia tujuh tahun." Cela Sasuke.

"Hei, aku tidak bodoh! Lagipula memang acting anakmuu ini sangat meyakinkan. Lihat saja kulit pucatnya itu!"

"benarkah Yuu seperti mayat sungguhan?" selak Yuusuke.

Diam. Sekiranya kedua pria –dan pemuda- itu malu ketahuan saling mencela.

"Sebenarnya, Yuu sedang mencari Mama."

"Mama?"

Mata Sasuke membelalak. 'gawat!' batinnya.

"Iya, dan Yuu sudah menemukannya! Sekarang Naruto-niichan jadi Mam-mmph!"

Secepat kilat Sasuke menyambar tubuh sang anak dan membekapnya.

"Hah? Aku jadi apa?"

"Bukan apa-apa." Jawab Sasuke buru-buru.

Dibalas dengan Yuusuke yang memberontak di dalam pelukan Sasuke.

"Err tuan?"

"Kubilang bukan apa-apa." 'apa yang dipikirkan anak ini?' batin Sasuke frustrasi.

"Tuan,"

"Kubilang kan bukan-…"

"Yuusuke terlihat tidak bisa bernapas."

"He?"

Kedua pasang mata tertuju pada Yuusuke yang terlihat megap-megap.

"AH, YUU!" barulah Sasuke melepas bekapannya pada mulut Yuusuke. Terlihat sang anak agak pucat, dan berusaha menghirup udara sebanyak yang ia bisa.

"Huah, untung Yuu masih bisa bernapas." Ujar Yuu setelah napasnya teratur.

"Maafkan Papa, Yuu." Ujar Sasuke meraasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Pah. Ah, itu nenek kan?" tunjuk Yuusuke kearah jalanan.

Kini yang berwajah pucat adalah Sasuke. 'bagaimana bisa?!' batinnya panic.

"Nenek~!" panggil Yuu pada seorang wanita stylish diseberang jalan. Kalau orang mendengar dan memerhatikannya, sudah pasti kaget bukan main. Seorang wanita cantik dan stylish begitu sudah dipanggil Nenek.

Mikoto yang merasa mendengar suara cucunya pun mencari sumber suara. Hingga akhirnya ia melihat seorang bocah berambut hitam yng melambai kearahnya. Dengan semangat ia melangkah menuju tempat Yuusuke.

"Nenek!" ujar Yuusuke sambil berlari lalu menubruk Mikoto yang sudah hamper sampir sampai ke tempat mereka.

"Wah, cucu Nenek, kenapa ada di sini?" tanya Mikoto sambil mengelus kepala Yuusuke yang hanya setinggi perutnya. Walau agak kesulitan melihat beberapa paper bag yang ia bawa hasil belanja.

"Aku makan pagi dengan Papa di café." Jawab Yuu.

Mengetahui bahwa sang anak ternyata juga ada disana langsung mencari keberadaan putra bungsunya itu. Dan yang ia temukan adalah sosok Sasuke dengan jas biru yang berdiri dengan wajah agak pucat dan panic seperti sedang menutupi sesuatu. Dan sialnya yang berusaha ditutupi malah melongokkan kepala, penasaran. Otomatis Mikoto menyadari keberadaan seseorang bersurai pirang duduk terhalangi tubuh Sasuke.

"Wah, Sasuke, siapa yag di belakangmu itu?'" tanya Mikoto murni penasaran.

"Bukan siapa-siapa." Jawab Sasuke berusaha terlihat biasa. Walaupun ia tetap berusaha menutupi keberadaan Naruto dengan tubuhnya.

" Psst, Nek," Yuusuke menarik baju depan Mikoto, mengisyaratkan untuk mendengarkan bisikannya. Dan Mikoto menurutinya.

"Itu kakak (laki-laki) yang Yuu maksud waktu itu." Jelas Yuusuke dalam bisikan. Tak ayal membuat Mata Mikoto melebar. Antara senang dan tak percaya.

.

.

Bersambung.

Yak, hasil ketikan iseng lain dari seorang newbie orz Maaf jikalau saya membuat karya sampah, sesampah otak saya yang masih mumet sama materi UTS. Aaaaaakh wahai biomedik, mengapa engkau tak bersahabat?

Kalau ada yag bingung kenapa di setiap ada kata "kakak" selalu saya ikuti kata "laki-laki", alasannya adalah karena dalm bahasa Jepang sendiri kata "kakak" ada dua kemungkinan: laki-laki atau aniki atau onii-san, dan perempuan atau aneki atau onee-san.

Ohiya, satu hal yang amat sangat mengganggu saya: gimana cara balas riview (dan harus balas apa *ditinju*)? Maaf kalau di cerita sebelumnya saya gak balas di sini. Mungkin kalau sudah ada chapter berikutnya.

Terimakasih sudah mau membaca, maaf kalau typo nya gak nahan dan saya menistai karakter kesukaan kalian orz dadaaaah *lambai-lambai roti manis*