My Beloved Brothers (Prolog)
Genre: family, romance
Cast: EXO Members, other need soon
Warn: boys love! Brothership/complex, official pair dengan sedikit bumbu crack
.
.
Summary: Kyungsoo, seorang remaja SMP yang sebatang kara setelah ibunya—beserta neneknya—meninggal. Namun, suatu hari muncul empat orang pemuda asing mengaku sebagai kakaknya. Akankah Kyungsoo percaya?
.
.
Kyungsoo bukan anak yang terkenal di sekolahnya—dan mungkin dia tidak mungkin dikenal apabila ia terlahir dengan otaknya yang tergolong encer. Kyungsoo selalu berada di peringkat pertama kelas. Kyungsoo benci mengakui fakta bahwa teman-temannya di sekolah hanya berteman dengannya karena ingin meminta jawaban saat test, atau menyalin pekerjaan rumahnya.
Jangan lupakan fakta juga bahwa Kyungsoo selalu dikerjai teman-teman lelaki—atau sebenarnya bukan benar-benar temannya—karena tubuhnya.
Wu Kyungsoo memang berbeda dari anak lelaki kebanyakan. Selain karena tubuhnya yang kecil, wajahnya manis mirip anak perempuan.
Hari ini Kyungsoo mungkin sedang lelah. Sepulang sekolah ia memilih untuk pergi ke pemakaman. Mengadu pada ibu, dan neneknya yang dimakamkan berdampingan. Matahari sudah condong kearah barat saat Kyungsoo masuk ke areal pemakaman. Remaja itu berlutut di nisan ibunya dan terisak.
"Kenapa Umma begitu tega membawa Halmeoni serta ke sana dan membuatku sendirian?" ujarnya, menyedot sedikit ingus yang mungkin mengalir—meski agak jorok—tapi Kyungsoo tidak peduli. Bahkan, meski ia dibilang cengeng sekalipun.
Dan tangisan Kyungsoo berlarut sampai malam—melupakan fakta bahwa ia tengah berada di pemakaman.
.
.
"Kris, kau yakin ini rumahnya?"
"Tentu saja, ge.Kau pikir aku pikun?"
"Jadi dimana Kyungsoo? Ah, adik kecilku itu. Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dia adik kita semua, Chanyeol. Dan, tenanglah sedikit."
"Baiklah, aku akan tenang, Suho-hyeong."
"Ah, itu Kyungsoo!"
Kyungsoo mengangkat kepalanya saat ia mendengar langkah kaki seseorang di depannya. Seorang pemuda manis berambut pirang tersenyum begitu lembut kearahnya. Sedetik kemudian, Kyungsoo mersakan sebuah pelukan yang begitu nyaman dari pemuda di depannya.
"Senang melihatmu lagi, Wu Kyungsoo. Adikku tersayang..."
Mata Kyungsoo yang sudah bulat melebar kaget.
Adik? Memangnya ia punya kakak?
.
.
Kyungsoo berakhir dengan berada di ruang tamu rumah tuanya yang kecil bersama keempat pemuda yang ditemuinya—atau bisa dibilang keempat pemuda asing itu yang memaksa masuk saat Kyungsoo berlari masuk rumah dan berniat mengunci pintu. Remaja mungil itu ketakutan saat melihat ada salah satu dari keempat pemuda itu membentaknya—dan pemuda manis yang tadi memeluknya menjitak pemuda yang membentak Kyungsoo—yang juga memiliki rambut pirang—dengan setulus hati.
"Nah, jadi begini," si pemuda manis mulai bicara, "Kami ini anak dari Wu Lixun, pria yang menikahi ibumu. Kau pasti sudah tahu mengenai ayah kita 'kan?"
Kyungsoo mengangguk paham, namun masih berwajah bingung.
"Aish, aku lupa memperkenalkan diri!" pemuda pirang berwajah manis itu menepuk dahinya agak keras. "Namaku Wu Luhan. Aku anak tertua disini." Ia berujar manis. Mengusap lembut rambut Kyungsoo.
Kyungsoo agak terkejut mendengarnya. Ia seperti teringat sesuatu. "Wu Luhan? Xiao Lu?"
Luhan tersenyum lebih lebar dari sebelumnya ketika mendengar Kyungsoo menyebut namanya. "Wah, kau mengenalku dengan nama itu? Apa aku sebegitu terkenal?" –terkekeh pelan.
Tentu saja bagi anak kutu buku seperti Kyungsoo nama itu tidak asing. Xiao Lu adalah nama pena dari Wu Luhan—novelis terkenal asal Cina yang sangat terkenal di Korea. Kyungsoo senang membaca novel-novel karya Luhan saat ia punya waktu untu pergi ke toko buku. Sekedar membaca, tidak membeli—karena memang Kyungsoo tidak cukup punya banyak uang untuk membelinya meski ia ingin. Kyungsoo senang membaca novel Luhan karena novel Luhan sering manceritakan tentang solidaritas dan kekeluargaan—hal yang notabene selalu ingin Kyungsoo dapatkan dalan kehidupan sehari-hari.
Dan... Xiao Lu, ternyata kakaknya?
"Nah, tertua setelah aku..." Luhan menunjuk pemuda pirang yang tadi membentak Kyungsoo, "Wu Yifan, atau kami lebih sering memanggil dia Kris. Dia ini model dan rapper, apa kau mengenalnya Kyungsoo?" Luhan menyengir dan berbisik, "Maaf tadi dia membentakmu, kau hanya belum mengenalnya. Dia baik kok."
Wajahnya... menyebalkan, sih. Kyungsoo seperti mengenalnya.
Oh benar! Kris Wu. Kyungsoo beberapa kali pernah melihat wajah Kris di acara musik, sisanya ia lihat dari kumpulan anak-anak gadis di kelas yang sering membawa posternya. Anak-anak gadis hampir menceritakan tentang Kris Wu setiap hari.
"Ne.." Kyungsoo menjawab pelan.
"Oke, yang ini Wu Junmyeon. Dia dokter." Luhan menunjuk pemuda berkulit putih—yang Kyungsoo tahu adalah sosok yang paling pendek dibanding tiga yang lainnya. Junmyeon memiliki senyum manis yang diulasnya saat menatap Kyungsoo—membuat Kyungsoo agak merona.
"Yang terakhir Wu Chanyeol." Luhan menunjuk pemuda yang kelihatannya terus-menerus tersenyum dari tadi. "Dia mahasiswa fotografi. Tapi, dia juga kerja part-time di sebuah kafe di Seoul." Jelas Luhan.
Chanyeol tersenyum lebar. Agak ngeri, menurut Kyungsoo—tapi, Kyungsoo tahu bahwa Chanyeol juga memiliki wajah diatas rata-rata—seperti tiga pemuda lainnya.
"Melihat dari seragammu, kau pasti anak SMP Waeji. Benar kan?" tebak Chanyeol.
Kyungsoo terkejut, "Darimana tahu?"
Chanyeol—entah menyengir atau meringis—mulai bicara, "Teman-temanmu banyak yang datang ke kafe tempatku bekerja dan sering mengajakku bicara. Kadang aku dan beberapa temanku sering dibuat repot," Chanyeol mengeluh. "Lain kali suruh mereka ingat waktu kalau mengajak orang lain mengobrol."
Kyungsoo hanya mengangguk—menurut.
Luhan kembali tersenyum, "Jadi, Kyungsoo... kemasi barang-barangmu dan ikutlah dengan kami."
.
.
Awalnya Kyungsoo menolak untuk ikut. Namun, ia tidak punya alasan—selain karena ia hidup sendiri, Luhan membujuk dengan kata 'wali'. Ya, Kyungsoo masih pelajar dan ia memerlukan wali untuknya—apalagi sekarang ia sudah kelas tiga di tingkat SMP. Lagipula, kakak-kakak 'baru'-nya juga tidak keberatan, malah kelihatannya senang—kecuali Kris, karena ia tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Selamat datang di keluarga Wu, Wu Kyungsoo.
.
.
"Yah, Kai. Chotto matte!"
"Kau terlalu lama, Shiro-chan."
"Berhenti memanggilku Shiro-chan, baka!"
Terdengar ringisan dari seorang remaja berkulit gelap—kepalanya baru saja dijitak keras-keras. Remaja itu melotot tajam. "Ooi! Aku lebih tua darimu, Sehun!"
"Cuma beberapa jam, Hitam." Sebaliknya, ada remaja berkulit putih yang menjulurkan lidah—mengejek. Kai, remaja yang berkulit gelap mencibir.
Sebenarnya, Kai dan Sehun hanya sedang bermain game perang—dan sedari tadi Sehun selalu tertinggal dari Kai. Ia protes pada kembar non-identiknya itu dan Kai mengatainya lambat.
"Terserahlah, aku mengalah saja padamu, Shiro-chan."
"Kai! Berhenti memanggilku seperti itu!"
"Berisik! Kalian sebenarnya sedang apa, eh?" Nyonya Hasegawa berdecak melihat kelakuan putra kembarnya. "Lebih baik kalian segera mengepak barang-barang kalian. Lusa kita akan segera pindah ke Korea."
Kai dengan menurut menyahut "Ha-i." Dan mulai membereskan peralatan game, sedangkan Sehun dengan bibir mengerucut berjalan kearah ibunya, protes, "Okaa-chan, kenapa kita harus pindah ke Korea? Di Jepang saja sudah nyaman. Aku malas beradaptasi."
"Jangan manja, Sehun-kun. Kai saja tidak protes." Nyonya Hasegawa melirik Kai yang dengan anteng mulai memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. "Kalian akan masuk SMA di Korea musim semi ini. Ku dengar disana ada banyak sekolah seni maupun sekolah formal yang punya fasilitas dan ekskul seni yang kualitasnya bagus. Kalian bisa mendalami hobi tari kalian disana."
Sehun mengerucutkan bibirnya ketika Nyonya Hasegawa memilih beranjak pergi dari kamarnya dan Kai untuk mengepak barang-barang lain, menatap dendam kearah Kai yang terkekeh-kekeh tidak jelas.
"Bilang saja kau tidak mau pindah ke Korea karena kau tidak menguasai hangul." Kai lagi-lagi mengejek, "Kau harusnya minta diajari saja. Okaa-chan itu orang Korea, pasti mau mengajarimu." Terlepas dari ejekannya, Kai tetap memberi saran.
"Aku tetap tidak suka, pelafalan hangul itu susah." Ujar Sehun—membela diri.
Kai hanya tersenyum tipis, menggusak rambut adik kembarnya. "Kita masih punya waktu untukmu belajar, jadi, tenang saja."
Sehun mengangguk pelan, tersenyum, "Terima kasih, Kai."
Kai tertawa keras, "Kau memang manja."
Wu bersaudara dan si kembar—Hasegawa Kai dan Hasegawa Sehun—adalah orang-orang yang akan memulai kehidupan dengan keadaan dan lingkungan baru yang berbeda.
Mereka hanya tidak tahu bahwa mereka akan dipertemukan—entah kapan dan dimana.
.
.
Prolog; END
well, ini fiksi pertama saya. takut sebenernya publish ini lol. tapi saya nekat(?) Dan ini pun cuma prolog
salam kenal semuanya :D
