"Momoi Satsuki, saya mengharapkan yang lebih baik dari ini."

Momoi bergeming, memandang sejenak kertas di genggaman sebelum melihat dosennya berlalu. Ia sudah mengira hal ini akan terjadi, tentang akumulasi nilai kuisnya untuk bulan ini yang tidak sesuai harapan, dan gadis itu hanya bisa menghela napas mengingat ia sendiri tak dapat melakukan sesuatu untuk mengubahnya.

Hhh—

Jadi ternyata, kemarin pagi, pagi-pagi sekali, Momoi sudah harus memaksa dirinya terjaga dan mulai meraih setumpuk jurnal yang penuh penanda di mana-mana mengingat tak kurang dari enam jam lagi ia harus menghadapi kuis (yang seperti biasa, memusingkan) dari salah seorang dosen terdisiplin di fakultasnya. Bukan, bukan karena Momoi takut dosennya akan mengamuk jika hasilnya jelek, melainkan pria paruh baya tersebut adalah pengajar favoritnya. Selama ini, sampai gadis itu menginjak semester ketujuhnya, Profesor Toshiro sudah banyak membantu dengan menjadi pembimbing yang baik, lebih-lebih kerap menolong Momoi di saat ia benar-benar merasa kacau akan kehidupan perkuliahannya.

Melihat kenyataan ini, kenyataan Pak Toshiro kecewa akan dirinya, gadis itu benar-benar merasa bersalah. Walau jelas bukan dia seorang yang pernah merasakan betapa putus asanya menjadi mahasiswa kedokteran, Momoi benci jika harus mengecewakan orang lain. Ia sadar selama ini Tuhan sudah sangat baik terhadapnya dengan memberkatinya hidup mewah. Otak cemerlang, kolega-kolega yang ramah, tempat tinggal yang nyaman— sampai tiba-tiba dijatuhkan oleh satu hal sesepele penurunan nilai seperti ini membuatnya cukup terpukul.

Ah, gadis itu ingin menangis saja rasanya.

Sebut saja ia cengeng, tidak masalah, karena tak seperti kebanyakan entitas, hari-hari yang berat biasa Momoi isi dengan melakukan beberapa kegiatan mahasiswa alih-alih hangout bersama teman-teman perempuannya. Dapat dikatakan bahwa destinasi bersantainya hanyalah kantin fakultas, perpustakaan, ruang rapat, dan terkadang aula. Momoi pun lebih sering bergaul dengan senior-senior, menggarap sebanyak mungkin informasi dan menerima saran-saran mereka. Momoi tidak pernah menyangka kalau rutinitas itu malah membawanya ke dalam kondisi di mana ia (entah mengapa) berakhir menjadi ketua penyelenggara perlombaan karya ilmiah antarkampus di Tokyo.

Ah.

Momoi tidak tahu harus bersyukur atau loncat saja dari gedung seratus lantai.

"Kukira aku mendapatkan hiburan di samping memelototi mayat." Ia tersenyum miris, mengingat serentetan kegiatan itu malah menyita konsentrasinya.

"M-maaf, Momoi-san," refleks menoleh, Momoi mendapati Sakurai, kolega tersopannya, berdiri kesusahan dengan kardus penuh gulungan warna-warni karton.

"Ada apa, Sakurai-kun?" gadis itu mendadak khawatir, pasalnya Lelaki Tukang Minta Maaf itu menatapnya gugup sekarang. Err, dia memang selalu seperti itu, sih.

"N-Nijimura-s-senpai memanggilmu. Maaf, t-tapi rapat akan dimulai lima belas menit lagi!"

Ah ... benar. Rapatnya. Rapat sialannya.


Let's Call It a Day © Hikanzakura

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Warnings: OC, typo(s), (maybe) flat, (maybe) OoC, you name it.

Anyway anyhow, enjoy!


"Seijuurou, bagaimana menurutmu? Ayah setuju dengan pendapat mereka, tetapi keputusan ada di tanganmu. Walau tidak memaksa, Ayah harap kau dapat bertindak bijaksana dengan tetap memikirkan kelangsungan bisnis keluarga kita."

Akashi Seijuurou bergeming, tampak tenang walau otak jeniusnya tengah berpikir keras. Memandang serius ke layar proyektor, lelaki itu menyesal telah membuang-buang seratus dua puluh menit dari dua puluh empat jam yang berharga dalam hidupnya di ruangan ini. Tanpa menyetujui kontrak yang ditawarkan rekan kerja ayahnya pun, Akashi Corp. sebetulnya masih dan akan baik-baik saja. Bagaimana mungkin sang ayah masih meragukannya? Bukan, bukan. Ini bukan tentang kepercayaan yang harus Akashi dapatkan sepenuhnya demi menjalankan kelangsungan perusahaan keluarganya, ini tentang bagaimana sang ayah menginginkan sesuatu lebih terjadi padanya sebelum Akashi secara resmi memegang tujuh puluh persen saham utama.

"Bagaimana, Seijuurou? Kau tidak perlu terburu-buru, pikirkan saja baik-baik. Mengenai pertemuan biar saya yang mengatur."

Yang sejenak ia dengar adalah bagaimana Kim, rekan mereka, menawarkan kerjasama dalam bentuk sebuah ikatan. Lelaki itu berencana mengenalkan putri sulungnya untuk kemudian ia harap dapat menjalin hubungan lebih serius dengan Akashi. Yang selanjutnya ia dengar adalah bagaimana Kim begitu bangga akan keberhasilan putrinya dalam memegang kendali sebuah rumah sakit ternama di Tokyo, yang sejujurnya menyisakan tanda tanya besar bagi Akashi. Semuda itu? Bagaimana bisa? Lelaki itu mendengus. Bukannya ia tak sudi atau apa, hanya perjodohan tak langsung semacam ini membuatnya muak. Sangat muak.

Akashi Seijuurou menghela napas berat.

"Akan saya pikirkan."


"Cukup untuk hari ini. Terima kasih atas kerjasamanya. Selamat sore."

Ruangan yang semula hening menjadi gaduh seketika. Orang-orang sibuk membereskan kertas-kertas, mencari sesuatu, dan sisanya bahkan telah beranjak dari tempat mereka. Momoi Satsuki melirik jam di tangan sekilas sebelum kembali fokus pada berkas di hadapan, tidak menyadari Nijimura Shuuzou geleng-geleng melihatnya. Gadis itu tidak suka dan tidak akan membiarkan dirinya terbiasa membawa pekerjaan apa pun ke rumah. Kamarnya hanyalah tempat untuk tidur, makan, bersantai-santai, dan sedikit membaca. Sudah cukup Momoi muak di kampus, jangan sampai ia melampiaskannya juga di rumah. Itu terlarang.

"Momoi, aku duluan."

Yang dipanggil menoleh, mendapati Nijimura melambai ke arahnya lalu berlalu.

"Ah, ya, Senpai. Hati-hati—"

Kalimatnya tertahan oleh dengungan yang berasal dari bawah diktat biologinya. Seseorang menelepon.

"Halo?"

"Apakah saya berbicara dengan Momoi Satsuki?" gadis itu mengernyit mendengar namanya dipanggil oleh seseorang yang tidak ia kenal.

"Ya, benar. Ini siapa?"

"Saya berbicara dari The University of Tokyo Hospital. Momoi Atsuka, ibu Anda, terkena serangan jantung dan sekarang sedang dalam penanganan medis. Mohon segera datang, Momoi-san."

Momoi membeku. A-apa? Bagaimana mungkin? Bukankah dokter bilang ibunya sudah baik-baik saja? Bukankah kesehatannya semakin membaik dan tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan? Bukankah sampai saat ini ia masih mengawasi pola makan dan olahraga ringan yang dilakukan Atsuka, memastikannya tetap sehat meski sekadar lewat telepon?

"A-apa?"

Momoi tidak sanggup berbicara, tidak pula menyadari kala dirinya yang masih syok mulai beranjak dan meninggalkan ruang rapat tanpa berpikir untuk membawa serta jaket dan tasnya. Ia terus berlari, secepat mungkin, tanpa peduli arah dan tatapan orang-orang yang tertabrak ketika berpapasan dengannya. Momoi mulai panik saat tidak tahu di mana dirinya berada sekarang. Tiba-tiba saja sekelilingnya menjadi gelap dan ia tidak lagi berada di koridor. Sebentar, kenapa dia malah turun tangga?

Crap, ini kan basement?!

TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN! CkitttBRAK!

Momoi Satsuki berhenti bernapas.


"Baiklah, saya pamit dulu, Sensei." Akashi melirik jam di tangannya. "Begitukah? Ada urusan di kantor, Akashi?"

Akashi menggeleng, tersenyum tipis karena tahu lawan bicaranyalah yang akan ada "urusan". Lelaki berambut merah itu beralih ke buku-buku yang berada di tangannya, ber-ojigi lalu mengucapkan terima kasih kepada Toshiro Arata yang telah meluangkan waktu untuk mengobrol sejenak dengannya. Sebentar lagi pukul lima dan Akashi sudah berada di kampus ini sejak tiga jam lalu. Semua orang tahu Akashi jarang meluangkan waktunya untuk sekadar mengobrol, tetapi tidak semua orang tahu ia sangat menyukai kegiatan yang rutin dilakukannya jika berkunjung ke sini.

"Hati-hati kalau begitu."

Drrt.. drrt...

Akashi mengabaikan panggilan di ponselnya dan mulai menyetir dengan suasana hati yang jauh berbeda ketika dia berada di ruangan Arata-sensei. Lelaki itu tidak habis pikir bagaimana bisa di umurnya yang sudah beranjak 25 ini sang ayah masih melarangnya membawa mobil sendiri. Persetan dengan penjelasan ia berasal dari keluarga terpandang, hal itu tidak ada urusannya dengan aturan ia harus disopiri, diantar layaknya bocah ingusan ke mana pun. Urusan pribadinya tidak lagi dalam kendali ayahnya, tidak pula masa depannya, karena Akashi tidak akan membiarkan dirinya kembali dikekang.

Drrt.. drrt...

Ia menghela napas lelah. Panggilan yang kelima kalinya. Keterlaluan.

Drrt.. drrt...

Ck, ponsel sialan!

"Berhenti menelepon, Ayah. Aku sedang—"

Saat itulah Akashi melihatnya, sekelibat surai merah muda melintas di depannya, tepat di hadapannya—

Akashi Seijuurou berhenti bernapas.

oh, Tuhan.

TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN! Ckittt

Akashi tidak tahu dirinya masih hidup atau tidak.

Semuanya terasa gelap, hampa, dan waktu seketika terhenti sampai sebuah tarikan napas membawanya kembali ke dunia. Mengerjap, Akashi dengan susah payah mengumpulkan kembali kesadaran dan meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja, sampai kemudian muncul pemikiran kalau dia baru saja menabrak seseorang. Menabrak. Seseorang.

Astaga.

Lelaki itu dengan cepat menarik rem tangan dan membuka pintu mobil. Napasnya kembali tertahan melihat seseorang benar-benar mematung di hadapannya. Ragu-ragu, Akashi mendekat untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja— oh, tentu saja dia baik-baik saja

persetan.

"Kau ... terluka?"

Akashi menyentuh pelan bahu gadis itu yang gemetar luar biasa. Wajahnya pucat, rambut merah mudanya berantakan, dan matanya begitu sembab. Jelas sekali gadis itu sedang menangis dan Akashi berani bertaruh dia pasti melakukannya sambil berlari. Entah apa yang ada di pikirannya sampai melakukan hal konyol seperti itu. Akashi tidak peduli, namun tidak pula dapat menyangkal bahwa gadis itu berhasil membuatnya khawatir. Mencoba meredam kekesalan, Akashi kembali mengguncang pelan bahu gadis itu.

"Hei—" Akashi tertegun, mendadak kelu saat iris keunguan itu balas menatap matanya.

"T-The— Uni ... versity of T— Tokyo,"

Lelaki itu mengerut tak paham.

"T-tolong, rumah s-sakit ... ibu—"

Lalu dunia Momoi Satsuki menjadi gelap.

TBC

Hah... apaan nih /dor

HAI. Salam kenal, ini kali pertama saya buat fiksi untuk AkaMomo /kyaaa/ semoga suka ya. Walaupun gak jelas banget gini, drama abis, semoga kalian menikmati. Oh iya, di sini Akashi lebih tua empat tahun dari Momoi, yah walaupun gak ngaruh juga sih wkwk fyi aja. Anw gimana gimana? Kalo beneran flat kemungkinan gak bakal dilanjut kok tenang aja ;w; dan oh— adegan tabrakan fail itu... /nunduk sedalem-dalemnya. Tadinya mau cuap-cuap panjang lebar tapi lupa mau ngomong apalagi orz. Yah, pokoknya saran dan kritik akan selalu saya tunggu. Thank you for reading! :D