Dan ketika angkasa kembali mencurahkan titik-titik bening hujan…

mendampingi mereka menuju dekapan gravitasi bumi

Tahukah kau bahwa saat itu sejatinya seluruh kenangan yang berputar

…hanyalah dirimu?

.

.

Kisah Tentang Hujan

.

Lembar Pertama: Sua

.

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Warning! shounen-ai, slightly OOC, ore!Akashi, typo(s), possibility of fast paced plot, etc.

story © Akaba Shinra

.

Don't Like Don't Read

Happy Reading~

.

.


.

.

Tahukah kau mengapa tiap bulir yang berjatuhan ini selalu mengundang senyumku?—

.

.

Sekali lagi Kuroko menengadah, memandang cemas langit yang mulai menampakkan awan abu yang berarak. Bibir mungilnya sedikit mengerucut mengingat semalam dirinya lagi-lagi tak mengindahkan omelan sang Kaa-san dan lebih memilih bergelung nyaman dengan selimut coklat beludru yang membawa hangat bagi tubuh ringkihnya.

"Tetsuya-kun, kenapa payungmu masih di halaman? Cepat ambil atau besok kau akan pulang dengan seragam basah lagi."

Ah, Kuroko terlalu malas untuk sekedar keluar dan melipat kembali payungnya. Hawa dingin dan dirinya masih saja menjadi musuh bebuyutan kendati jaket tebal tetap setia menggantung di lemari, menunggu sang tuan untuk meraih dan memakainya. Dan sekarang, pada bangku paling belakang kelasnya, Kuroko merutuki dirinya habis-habisan. Memandang gelisah sang sensei yang tengah menuliskan rentetan angka dan simbol yang sok misterius —menurut Kuroko— menuntut untuk segera dipecahkan.

Kuroko melenguh, memilih untuk memanjakan indera penglihatannya dengan panorama yang tersaji dari balik kaca jendela kelasnya. Sesekali manik langitnya mengerling pada arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya.

Sensei, Tetsuya ingin cepat pulang…

Sayang, suara hati Kuroko tak mampu di dengar sang sensei. Padahal ia berharap sekali senseinya akan tiba-tiba keluar dari kelasnya kemudian memencet bel yang menandakan berakhirnya aktivitas sekolah hari ini —sebelum hujan kembali mengguyur Tokyo musim gugur ini. Bukannya malah kembali mempermasalahkan arah beserta besar gaya yang bekerja pada sebuah kotak —yang Kuroko sendiri tak yakin apa isinya— yang bergerak.

Ah, Newton dan hukum-hukumnya.

Untuk yang kesekian kalinya Kuroko berharap langit masih memberikan belas kasih padanya agar seragam yang baru kering tadi pagi ini tak kembali basah oleh rintik kecil hujan.

.

.

.

"Baiklah, pelajaran cukup sampai disini. Jangan lupa, besok pagi sebelum kelas dimulai tugas harus sudah di meja saya."

"Hai'"

Kuroko segera merapikan buku-buku yang berceceran di atas mejanya, meski nyatanya buku-buku itu tak tersentuh sama sekali olehnya. Sesekali ia mengerling pada langit yang mulai mendung, siap menjatuhkan tetesnya untuk kemudian diserap tanah bumi.

Ia pun bergegas menuju loker, mengganti uwabakinya dan ingin segera berlari menuju rumah. Bibirnya mengulas senyum tipis, merasa menang dari langit kelabu kala menyadari bahwa awan-awan gelap itu masih belum memuntahkan airnya. Namun ketika kakinya hendak melangkah keluar—

Zraash

langit yang tadi sempat merasa ia kalahkan dengan kurang ajarnya menutup jalan pulangnya dengan tirai berbenang larik hujan.

Kuroko menghela napas. Hari ini lebih baik ia menunggu hingga hujan reda saja. Karena jika kali ini dirinya sampai di rumah dengan keadaan basah kuyup seperti tiga hari belakangan ini, bukan tidak mungkin sang Kaa-san akan nekat mengantar payung ke kelasnya. Atau yang lebih parah, Kaa-san tidak akan mau mengeringkan seragamnya lagi.

Dan ia hanya mampu merutuki dirinya dengan bibir yang sedikit mengerucut.

.

.

.

Sudah berapa lama Kuroko berdiri bak patung lilin disini? Satu jam? Ah, mungkin sekitar itu. Sedangkan langit kelabu masih setia mengiringi bulir hujan untuk patuh pada gravitasi.

Kaa-san, boleh tidak hari ini Tetsuya hujan-hujanan lagi?

Kuroko menggelengkan kepalanya. Tidak boleh. Ia harus bertahan disini. Mungkin beberapa menit lagi hujannya reda dan ia bisa pulang tanpa harus basah kuyup. Tetapi lagi-lagi Kuroko merutuki hawa dingin yang hadir secara perlahan seiring tetes air yang menyapa bumi Tokyo beberapa hari ini. Reflek, tangannya segera melingkari tubuh mungilnya, berharap ada sedikit kehangatan kendati sweater Teikonya masih melekat pada raga.

Berapa lama lagi ia harus menunggu?

"Hei…"

Kuroko menoleh begitu gendang telinganya menangkap suara seseorang. Disebelahnya, pemuda bersurai merah kini tengah memandangnya bingung —atau mungkin khawatir. Manik delima yang kini tengah bersua dengan azzurenya mampu membuat pemuda bersurai langit ini terhipnotis, tak sanggup mengalihkan pandangannya dari pesona sang pemuda misterius.

"Doumo," ucapnya kemudian setelah sadar tindakannya terkesan tidak sopan.

Pemuda itu tersenyum, mengurangi sedikit jarak diantara mereka. "Belum pulang?"

"Un. Kau…"

"Ah, maaf. Akashi Seijuurou, kelas 1-A. Salam kenal," pemuda itu mengulurkan tangannya, menunggu pribadi di depannya menyambut niat baiknya.

"Kuroko Tetsuya, 1-C. Salam kenal juga, Akashi-san."

Akashi Seijuurou, pemuda di depannya terkekeh. "Jangan terlalu formal. Kita seumuran, bukan?"

"A-ah, kalau begitu Akashi-kun?"

"Begitu lebih baik. Jadi, Kuroko, lupa membawa payung?"

Kuroko mengangguk. Rona merah sedikit kentara kendati wajahnya tetap memasang poker face andalan. Akashi melihatnya. Semu tipis merah yang menghiasi kedua pipi pemuda di depannya ini. Dan Akashi menyadarinya, bahwa sedari tadi Kuroko tampak menggigil. Lihat, bibir mungilnya terlihat sedikit membiru. Memang sudah berapa lama anak ini berdiri disini?

Sret

Kuroko sedikit tersentak begitu sadar sesuatu mulai melingkupi tubuhnya. Merah. Ah, rupanya jaket yang sedari tadi melekat di tubuh Akashi kini berpindah pada tubuhnya. Kuroko tak mampu mengendalikan detak jantungnya yang semakin berirama liar begitu aroma mint menguar dari garmen yang tersampir di pundaknya.

"A-akashi-kun…"

"Kuperhatikan dari tadi kau gemetar. Sepertinya sweater saja tak cukup untukmu. Udara juga semakin dingin. Kau bisa sakit nanti."

Ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan parasnya yang semakin merona karena perlakuan dari seseorang yang baru di kenalnya beberapa menit yang lalu ini. Pun dengan jantung yang semakin berdetak dengan ritme yang tak beraturan. Kuroko yakin, pemuda di depannya ini pasti dapat mendengar suara detaknya.

"Terima kasih," lirihnya sembari mengeratkan kedua lengan yang melingkari tubuhnya, membuat jaket merah itu semakin erat mendekap tubuhnya.

Akashi hanya tersenyum. Ditepuknya beberapa kali puncak kepala teman barunya itu. "Mau pulang bersamaku?"

Kuroko kembali menatap pemuda di depannya. Alisnya bertaut mendengar tawaran dari Akashi sebab maniknya tak menangkap benda apa pun yang bisa digunakan untuk menyibak tirai hujan ini.

"Ah, jemputanku sudah datang. Ayo, ikut saja, Kuroko." Atensinya beralih pada sebuah mobil hitam yang kini terparkir di depan gerbang sekolahnya. Seseorang keluar dari mobil itu sambil membawa dua payung, yang satu terbuka untuk melindunginya dari tetes hujan, yang satunya lagi ditenteng oleh tangan kanannya. Pria paruh baya itu tampak tergesa-gesa begitu maniknya menangkap dua figur yang tengah berdiri di depan pintu gedung Teiko.

"Seijuurou-sama."

Kuroko sedikit memiringkan kepalanya mendengar cara orang itu memanggil pemuda di sebelahnya. Ah, ia mengerti sekarang. Rupanya teman barunya ini seorang Tuan Muda.

"Ayo, Kuroko. Jangan khawatir, aku tak akan menculikmu," ucapnya sembari menarik lengan Kuroko untuk bergabung dengannya di bawah payung biru yang kini telah terbuka. Mau tak mau, Kuroko —yang kembali merona karena kata-kata Akashi — akhirnya patuh padanya. Entah mengapa firasatnya berkata bahwa Akashi bukanlah orang yang suka jika perintahnya ditentang.

Namun Kuroko kembali merasakan jantungnya yang berdebar. Tuhan, cobaan apa lagi ini? Setelah Akashi memakaikan jaket ke tubuhnya kini lengan pemuda bersurai merah itu mulai memeluk pundaknya, berusaha untuk merapatkan diri dengannya agar ia tak terkena tetes hujan. Untuk kali ini ia berharap pada jarak yang sedekat ini Akashi tak mendengar detak jantungnya yang kembali menggila.

Dan selama perjalanan, suasana canggung mulai tercipta diantara mereka. Jika bukan karena supir pribadi Akashi yang menanyakan alamatnya, mungkin Kuroko akan berakhir di kediaman Akashi, yang pasti akan membuat perasaannya semakin tak karuan.

"Ano… Akashi-kun, jaketmu bagaimana?" Tanyanya ketika ia telah sampai di depan rumahnya.

"Ah, simpan saja."

"Eh? Tapi—"

"Anggap saja hadiah pertemanan dariku, ne, Kuroko," jawabnya yang kemudian kembali menepuk-nepuk surai langit Kuroko. "Kalau begitu, aku pamit. Sampai besok."

"Un. Terima kasih—"

Dan Kuroko hanya mampu memandang mobil hitam yang kini melaju menjauhi kediamannya. Ikut membawa pergi sosok yang hari ini sukses membuat jantungnya berdegup tak karuan. Kuroko semakin mengeratkan pelukannya pada jaket merah itu.

Dan aroma mint khas Akashi masih tertinggal disana. Membuat paras manisnya semakin bersemu merah.

"—Akashi-kun."

Eh?

Tunggu…

Akashi Seijuurou?

Bukankah ia adalah anggota first string tim basket Teiko dari kelas satu? Juga merupakan kandidat terkuat dalam pemilihan ketua dewan siswa tahun ini?

Ah, sepertinya Kuroko berurusan dengan orang yang salah. Atau—

.

.

.

"….i. Oi… OI, KUROKO!"

"Kagami-kun, kau berisik."

Ctik

Kagami berusaha mati-matian untuk tidak melempar bayangannya ini ke laut. Serius, wajah tanpa ekspresinya itu benar-benar membuat Kagami jengkel.

"Kau ini… Kantoku dan yang lainnya sudah menunggu dari tadi. Kau malah berdiri di depan gym sambil memandang hujan seperti itu. Memang ada apa dengan hujan?"

Kuroko memutar bola matanya bosan. Kagami jadi terdengar seperti ibu-ibu yang tengah mengomeli anaknya yang bandel. Mungkin lain kali Kuroko akan menyuruh Nigou untuk terus menempeli Kagami. Ah, itu ide bagus.

"Tidak. Hanya saja hujan mengingatkanku pada seseorang, Kagami-kun."

"Ha? Siapa?"

"Kagami-kun—"

Senyum tipis mengembang pada paras yang jarang tersentuh ekspresi itu. Ia pun sedikit mengeratkan jaket merah yang membalut tubuh ringkihnya di tengah hawa dingin yang mengiringi rinai hujan yang membasahi kotanya kembali.

Kagami mematung. Sedikit terkejut ketika maniknya berhasil menangkap bibir yang membentuk kurva meski tak terlalu melengkung.

"—Dilarang kepo."

Ctik

"KUROKO-TEME!"

.

.

.

—Sebab merekalah benang merah yang telah mempertemukan kita.

.

.

Sua: Fin

.

.


Doumo~

Saya kembali hadir dengan fic yang— yaa begitulaaah /ditendang/ Maaf, maaf. FYI, fic ini tercipta akibat kota perantauan yang tiba-tiba diguyur hujan setelah… entah berapa lama -_- Dan tiba-tiba langsung kebayang AkaKuro yang main kejar-kejaran sambil hujan-hujanan /gakgitujuga/

Iyaa, ini kumpulan drabble, jadi tiap chapter tidak saling berkaitan namun tetap dengan tema 'hujan' dan mungkin genrenya bisa bermacam-macam :'D Jadi, terima kasih banyak untuk yang sudah bersedia mampir dan membaca entah-apa-ini :') Maaf jika Akashi atau Kuroko terkesan OOC disini. Maaf juga untuk semua kekurangan yang ada dalam fic ini :"

Saa, mind to review? ^^