NARUTO © Masashi Kishimoto
Warnings AU, latihan nulis lagi—kelamaan hiatus, pendek, dan berbagai warning lain.
a/n halo ada yang rindu? Ga? Yaudah, maaf namanya juga mahasiswi baru:'( sibuk
Listening to If You Wonder – Jeff Bernat while writing the story.
Faodail
(n.) a lucky find
by azuramethyst
Menurutmu, mengapa aku harus repot-repot memberikanmu dua belas buket mawar merah kesukaanmu di hari Rabu di depan pintu apato mu?
"Kau serius? Ini sudah buket entah keberapa…" iris bak pualam milikmu melihat mawar merah yang lagi dan lagi kubawa. Kau menyuruhku masuk ke dalam apato milikmu untuk meletakkan buket yang kubawa. Aku melihat ke sekeliling, "Rasanya, apato mu jadi seperti hutan mawar merah…" ujarku sambil meletakkan buket itu asal. Kau menguncir rambut biru keunguan panjangmu, lalu menoleh ke arahku, "Ya, dan kau tahu siapa penyebabnya." —aku pun tertawa.
Atau pernahkah terbesit di pikiranmu mengapa aku harus repot-repot menyiapkan beberapa lilin yang harus kususun rapi ketika kau datang untuk makan malam denganku? Yah… walau aku tak keberatan jika harus menyalakan satu juta lilin sekalipun untukmu.
"Awas, kakimu bisa terbakar jika menginjak lilin-lilin itu," ujarku mengingatkan gadis indigo itu untuk berhati-hati melangkah masuk ke dalam apartmentku. Lagi-lagi ia memutar matanya bosan, "Lagi pula, aku hanya menumpang makan malam biasa. Bukan dinner, kau tak perlu menyiapkan lilin-lilin ini agar terlihat romantis,"
Atau pernahkah kau merasakan bagaimana aku terbangun lebih dulu dari dirimu dan menghabiskan pagiku dengan menatap dirimu yang masih tertidur tanpa sedikitpun polesan make-up, aku suka mendengar kau yang mengigau akibat aktivitas kita yang cukup melelahkan itu.
"Ya ampun, dia masih tidur…" gumamku melihat ke arah gadis yang kini tengah tertidur dengan damai setelah melirik ke arah jam weker di nakas samping tempat tidurku. Waktu menunjukkan pukul setengah delapan lewat tujuh menit. Aku membelai pelan wajah bagai porselen itu, seakan ia adalah barang rapuh yang harus kujaga. Rambut biru keunguannya lepek akibat keringat, aku menyingkirkan poni tebalnya yang basah oleh keringat, mengecup pelan kening gadis itu, "Good morning, Hinata…"
Atau, ketika kita saling menatap dari layar tipis ponsel pintar kita masing-masing kala kita harus terpisah akibat pekerjaan, kau di balkon apato, berkata padaku bahwa langit malam hari di Jepang begitu indah bertabur bintang kala langit siang hari di Mullingar begitu cerah.
"Bagaimana Mullingar pada musim panas?" tanyamu padaku dari layar tipis ponsel pintar kita masing-masing. Kau duduk di balkon apato mu, begitupun dengan diriku yang tengah duduk di balkon hotel. "Sepi, tidak ada kamu soalnya," jawabku sekenanya sambil memanyunkan bibirku. Ia tertawa renyah, yang membuatnya semakin imut, ya ampun… aku merindukan Jepang. "Kau tahu, Jepang di malam hari begitu cerah. Banyak bintang bertaburan. Bahkan tadi, aku melihat bintang jatuh!" serunya senang. "Oh ya? Lalu, apa yang kau minta?" tanyaku penasaran. Dia tampak berpikir, "Aku meminta agar kau cepat pulang, Naruto-kun…" ujarnya pelan.
—Ya ampun, aku semakin ingin pulang ke Jepang.
Oh, apa kau juga menyadarinya mengapa aku selalu menggenggam tanganmu erat setiap kita berada di jalan?
"Apa-apaan, sih. Aku bukan anak kecil, tahu!" serumu ketika aku terus menggenggam tanganmu di jalanan di distrik Shibuya. Aku hanya terus berjalan, tanpa mempedulikan protesmu. "Hey, Uzumaki Naruto. Dengarkan aku," aku menoleh ke arahnya yang kini menggembungkan pipinya. Tanda jika ia sedang kesal. Aku pun mencubit pipinya gemas, "Ya, kau bukan anak kecil. Justru kau adalah wanitaku yang manis nan lucu yang selalu ditatap lapar oleh para pria bajingan di luar sana. Dan aku harus menjaga apa yang menjadi milikku." —ah, wajah imutnya memerah.
Atau… mengapa aku gemar membawamu ke gereja tiap minggu, saling menautkan tangan dan berdoa bersama.
"Apa yang kau minta pada Tuhan hari ini?" tanyamu ketika kita sudah berada di luar gereja. Aku sedang menyeruput es kopi yang baru kubeli di kedai kecil dekat gereja, "Kenapa kau begitu penasaran?" tanyaku. Ia hanya menatap es matcha latte yang ia pesan, "Entah, aku hanya penasaran." jawabmu. "Memangnya, kau sendiri meminta apa pada Tuhan?" giliranku bertanya. Iris batu bulan miliknya menatap iris biru samudera milikku, "Aku minta pada Tuhan agar kita bisa selalu bersama. Suka maupun duka," ujarnya, "Khe… sudah seperti perjanjian menikah," —dan kau berjinjit untuk menyentil dahiku. "Hey! Sakit, tahu!"
Aku tidak pernah peduli jika orang-orang tidak menyukai hubungan kita. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakan, karena yang penting bagiku adalah cintaku padamu akan selalu sama, tidak berubah.
Jika kau menyadari itu semua, mengapa aku melakukan itu semua, aku pun tidak tahu kenapa… hey, Demi Tuhan, aku jujur!
Seluruh jawaban dari seluruh pertanyaan itu adalah, aku hanya menyukai untuk memilikinya, di tiap momen, tiap harinya… Kau tahu, kau adalah faodailku, Uzumaki Hinata…
"Naruto-kun, kenapa belum tidur?" tanyamu seraya memasuki ruang kerjaku. Aku menoleh ke arahmu, wanita berambut indigo sebahu yang memakai gaun tidur putih berenda.
"Kamu sendiri, kenapa terbangun?" aku balik bertanya.
Kamu pun duduk di pangkuanku, menyandarkan kepalamu pada dada bidangku. "Aku habis menyusui Boruto. Sekarang dia tertidur, dan aku yang tidak bisa tidur." jawabmu sambil memejamkan kedua kelopak matamu.
Aku mengelus pelan punggungmu, berusaha membuatmu senyaman mungkin. "Sebenarnya aku masih ada pekerjaan yang harus ku selesaikan, tapi ku kira itu bisa kulakukan besok." gumamku lalu menggendongmu dan perlahan meninggalkan ruang kerjaku, menuju ke kamar.
Kamu begitu cepat untuk tertidur kembali. Aku pun menyelimutimu dan mengecup keningmu, "Selamat tidur, Hinata. Mimpikan aku dan Boruto." —aku pun segera menyusul Hinata yang lebih dulu tertidur.
...
Tamat.
October, 28th 2017.
a/n lagi yaampooon apaan ne sok banget fluffy btw, selamat hari sumpah pemuda! Dan jangan lupa reviewnya! Ciao!
edited yaampun, abis re-check... ternyata ada satu kesalahan agak fatal. well, tadinya fiksi ini mau dibikin pair shion/shisui:-(( untung ada yg ngingetin
