Mengabaikan Marvin, Ash dengan santai melangkah ke ruang tamu Golzine. Peduli amat dengan Gregory, pemuda pirang itu langsung saja mendorong pintu. Tidak seperti dugaannya, yang duduk di deretan sofa itu bukan hanya Papa Dino.

Sebagai tambahannya, dua orang yang memiliki ciri khas Asia berkedip bingung dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Oh, Ash, biar kuperkenalkan. Dia adalah Mori Ougai, Bos Port Mafia. Lalu ..."

"Dazai Osamu, putranya." Remaja seusia Ash itu berkata dengan nada enggan. Lirikannya yang tajam pada Mori dibalas tawa kecil yang tidak menyembunyikan gugup. Memang mereka sempat berdebat di pesawat tentang status Dazai. Disebut pengawal, Dazai tahu diri kemampuannya bertarung di bawah rata-rata. Mori ingin memberi tangan kanannya itu pengalaman lebih, makanya diajak ke Amerika ini. Tapi mengungkap bahwa anak itu adalah eksekutif rasanya bukan pilihan yang tepat. Jadi dipilihlah skenario ini. Yang ditentang habis-habisan oleh si penggila perban.

"Oh, bisnis kah?" Ash tidak begitu tertarik. "Daripada itu, ada yang mau kubicarakan."

"Tentang itu?" Golzine langsung menangkap arah pembicaraan Ash. "Tidak ada apa-apa, kok."

Ash dengan kasar menjatuhkan piring-piring dari meja dalam sekali raupan. "Tidak ada apa-apa katamu, pria itu mati!" Kaca-kaca pecah begitu bertemu lantai, menyerakkan isinya ke karpet.

Mori tidak kelihatan kaget, dia sudah melihat prilaku yang lebih parah dari itu. Contohnya saja ketika Chuuya ditawari untuk bergabung dengan Port Mafia pertama kalinya. Setengah lantai ruangan hancur akibat manipulasi gravitasinya yang tidak kira-kira.

"Bukannya kau sudah bilang tidak akan membunuh?" Ash protes meski kini suaranya sudah lebih pelan. Kali ini Dazai yang mencuri pandang dengan ekspresi tertarik.

"Maaf, Golzine-san," Dazai tiba-tiba bangkit. "Keributan ini membuatku tidak nyaman, jadi boleh aku permisi keluar?" pintanya dengan lagak polos anak 16 tahun. Mori sedikit terkejut dengan tindakan bawahannya tapi hanya tersenyum saja. Kalau Dazai mulai bergerak tanpa diperintah berarti dia sudah menyadari misi yang sebenarnya, dan itu bagus.

"Tentu, maafkan tindakan anak buahku." Golzine memberinya izin. Ash mendelik padanya tapi Dazai tidak peduli, berjalan ke luar ruangan dengan tatapan datarnya.

"Dasar bocah," gumam Ash ketika ikut meninggalkan ruangan. Matanya berkedip heran melihat Dazai masih berdiri di luar pintu. Mengabaikan, dia malah diikuti sampai gerbang.

"Apa maumu sih?" tanya Ash akhirnya tanpa berhenti berjalan.

"Mencari informasi." Dazai menjawab singkat.

"Informasi apaan?" Ash melirik sekilas bocah yang mengekorinya itu. Tangannya yang sebelah dibebat, mata kanan tertutup perban, juga plester luka di pipi kiri.

"Sebenarnya Port Mafia akhir-akhir ini terusik oleh penyelundupan obat." Dazai memelankan suaranya. "Salah satu bawahan kami yang diam-diam pengguna narkoba sepertinya sudah memperoleh obat tersebut."

"Aku tidak ada hubungannya dengan itu."

Dazai tersenyum tipis, tidak terpengaruh dengan penolakan Ash dan melanjutkan ceritanya. "Sejak itu orang tersebut seperti kehilangan akal sehatnya. Kami mengurungnya di sel bawah tanah, dan yang siang malam dibisikkannya adalah ... Banana fish."

Sampai di sana, Ash membeku. Ingatannya melayang pada orang yang mati tadi malam, pada Griffin, pada ucapan lirih mereka yang seolah tak berdasar. "Namamu Dazai, ya? Apa kau benar-benar putra dari bos Port Mafia tadi?"

"Eh? Itu ...,"

"Kalau kau mau informasi, aku ada janji dengan jurnalis Jepang nanti sore." Ash memberikan selembar kertas berisi alamat pada Dazai.

"Hei, hei, aku baru sampai di sini malam tadi, bagaimana caranya aku mencari tempat ini?" protes si maniak perban.

"Kalau kau bisa menebak bahwa aku memiliki informasi, harusnya itu akan mudah bagimu."

Dan benar saja, ketika Ash datang ke kasino tersebut, Dazai sudah duduk di salah satu pojokan. Tatapan lelahnya menggambarkan ketidaknyamanan pada situasi sekitar.

"Ash, tak bisakah kau memilih tempat yang tenang seperti bar kecil?" keluh Dazai sambil mengetuk-ngetuk dahinya. Dia terbiasa dengan suasana hening Bar Lupin.

Ash mendengus geli melihat anak yang setahun lebih muda darinya itu menelungkup di meja seperti baru mabuk perjalanan. "Biar kutebak, penjaga melarangmu masuk karena disangka masih anak-anak?"

"Cih," Dazai tidak menyangkal. Mantel hitamnya yang kebesaran agaknya tidak cukup membuatnya terlihat dewasa.

"Soal yang tadi ... " Ash baru mau memulai ketika para tamunya muncul. "Maaf, bisa tunggu sebentar?"

Dazai menghela napas, tidak terlihat senang tapi juga tidak punya pilihan.

"Di Jepang anak-anak dipekerjakan, ya?" sindir Ash ketika melihat Eiji yang menjadi asisten Ibe.

"Aku lebih tua darimu." Eiji menyahut dengan cemberut.

"Oh?" Ash melirik Dazai yang juga terlihat seperti anak-anak, dan ya, Dazai memang lebih muda darinya.

"Apa pistol itu sungguhan?" Eiji mendadak semangat. "Boleh aku memegangnya?" Suasana mendadak menjadi tegang. Ketika Eiji kemudian bertanya apakah Ash pernah membunuh dengan itu, Ash mendadak sadar bahwa secara mental, Eiji mungkin jauh lebih muda dari Dazai.

"Kau beneran bocah ya ...," gumam Ash. Bocah polos yang tidak tahu apa-apa tentang dunia dimana hanya ada pilihan membunuh atau terbunuh.

Ketika geng Arthur mendadak menyerang, kasino itu otomatis menjadi kacau. Sementara Ash mengeluhkan sempitnya ruang gerak, Eiji ditarik bersembunyi oleh Skipper. Dazai sendiri bergeming di mejanya, bertopang dagu dengan ekspresi serupa ketika mengatai Chuuya yang terprovokasi bertarung sebagai bocah.

"Sialan, aku akhirnya tahu tujuan kalian!" Ash dikeroyok 3 orang. "Skipper! Jangan ke sana! Itu jebakan!" teriak Ash yang hilang teredam bunyi meja-meja dibanting dan pekikan orang-orang berkelahi.

Tapi Dazai mendengarnya. Diambilnya pistol dari saku dalam jasnya lalu membidik 3 kali. Ash terpana ketika para pengepungnya jatuh dengan darah menggenang. "Pergi!" seru Dazai yang kini berkelit dari amukan rekan-rekan pria yang ditembaknya.

Ash menarik lengan Dazai, menyeretnya ikut ke jalur pelarian. "Dengan tangan patah begitu mana bisa kau bertarung secara fisik, sini!" katanya tanpa mengurangi kecepatan lari.

Dazai menurut saja. Dia baru berhasil keluar dari tangga penghubung ke jalan ketika Ash sedang fokus untuk menembakkan peluru ke arah mobil yang sudah jauh melaju.

Dor!

Dazai terpana. Ketidak tertarikan Ash untuk membunuh, lalu skill menembaknya yang luar biasa, dua hal itu terasa familiar baginya. Dan sekarang dia ingat apa itu, hal paling mirip di memorinya adalah Odasaku.

Tbc?