The Way of Destined
A story by Fuu
All character © Masashi Kishimoto
.
.
.
Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada melihat seseorang berubah tanpa alasan.
.
.
.
Langit tampak temaram malam ini. Tidak ada bulan pun bintang. Awan kelabu berhasil menyembunyikan keindahan mereka dengan kehampaannya. Dari deru angin yang berhasil menambrak pepohonan, sepertinya hujan akan turun tidak lama lagi. Kilat-kilat sudah terlihat sedari tadi. Meski tidak ada satu pun suara yang dikeluarkan. Sakura mengeratkan pegangan pada tralis jendela. Bersamaan dengan rintik hujan yang perlahan mulai menjatuhi bumi, Suara-suara yang terdengar kembali membuat dadanya merasakan sesak.
"Balikin uangnya, yah!"
"Berisik!"
Kelopak mata Sakura perlahan tertutup. Menghalang air mata untuk meluncur. Sekuat apapun dirinya, air mata itu tetap tidak bisa dikendalikan. Entah sampai kapan ia harus terus mendengar keributan.
"Ayah! Balikin!"
"Apa-apaan sih!"
"Kamu yang apa-apaan!"
Sebuah suara terdengar. Sakura tidak mau mengambil pemikiran bahwa ayahnya sudah menorehkan luka diwajah ibunya. Meski pun besar kemungkinan bahwa suara tersebut adalah tamparan yang diberikan sang ayah kepada ibunya.
"Udah lah, capek tau ngga ngomong sama kamu!"
Gebrakan pintu membuat tralis jendela kamar Sakura bergetar, merambat ke tangannya yang menggenggam. Air mata sulit sekali untuk dibendung sampai akhirnya berhasil lolos dari mata bersamaan dengan pertahanan yang kian hancur. Ada isakan kecil, seakan berusaha mengeluarkan sesak yang sedari tadi ia tahan.
Kilas memori terputar bagai klise. Menayangkan kehangatan keluarganya dulu. Saat ia masih kecil. Serta kelembutan sang ayah yang entah kenapa sekarang menjadi seperti ini. Sakura mengingat setiap hal yang diajarkan ayahnya dulu. Ia bahkan masih mengingat bagaimana ia dengan sangat bangga menceritakan sosok sang ayah pada teman-temannya kala mereka tengah berkumpul.
Sakura mengatur napasnya kembali saat sebuah suara membuatnya sadar pada keadaan. Menghapus jejak air mata dengan sebelah tangan. Ia tidak boleh larut dalam kenangan dan kesedihan itu.
Badannya memutar. Sebelum menatap sang adik yang kini berdiri ditepi ranjang, Sakura menggerakkan bola matanya itu ke arah atas. Berharap air mata tidak turun kembali.
"Kakak..."
Suara itu kembali keluar dari mulut seorang anak kecil. Tatapannya menyayu. Dalam hitungan detik berlari menghambur sang kakak yang juga belum bergerak dari tempatnya semenjak beberapa detik lalu berbalik ketika mendengar panggilan. Manami, salah satu adik Sakura, kini memeluk erat tubuh bagian bawah Sakura. Tinggi anak itu tidak mampu membawanya untuk memeluk tubuh Sakura.
"Kenapa sayang."
Sakura menyamai tubuhnya. Ia menekuk lutut dan menempelkannya pada lantai yang entah sejak kapan menjadi sangat dingin.
"Takut."
"Takut kenapa?"
Dengan memeluk, setidaknya air mata yang keluar lagi tidak jatuh dihadapan sang adik.
"Nami takut."
Mata Sakura terpejam. Menikmati detik-detik hatinya hancur kala Manami berucap itu. Ia mengambil napas untuk menetralkan suara agar tidak terdengar bergetar.
"Gapapa, Nami gak usah takut, kan ada kakak." Sakura mengurai dekapan. Senyum tercetak jelas diwajahnya. Tatapan polos yang biasa Sakura lihat kini sudah tertutupi oleh rasa takut dimata anak itu.
"Bobo, yuk. Udah malem."
"Gak mau."
Sakura mengangkat kedua alisnya. "Kok ngga mau?"
"Mau bobo sama kakak aja."
Ia tau ini berat untuk Manami. Tidak seharusnya anak sekecil ini mendengar keributan orang dewasa seperti tadi.
"Yaudah. Nami ditengah ya. Nanti kakak sama kak Sumi dipinggir, jagain Nami biar gak jatoh."
"Usap-usap lambut Nami."
Sakura tersenyum, tepatnya memaksakan senyum. Ia mengelus pelan pipi Manami dengan ibu jarinya. "Iya."
.
.
.
TBC
