"Aku ingin kita putus."

Dia menghela nafas di seberang sana. Aku terdiam, tidak tahu kenapa aku tidak bisa memberikan respon berarti menanggapinya. Tubuhku jelas ada, namun aku merasa otakku berhenti bekerja dan jiwaku menghilang sepenuhnya.

Aku memandangnya, menyelami mata coklat itu. Keheningan menggerogoti waktu disekeliling kami.

"Baik. Mari putus."

Ia memandangku tak percaya, kemudian tertawa mengejek, entah untuk diriku atau dirinya sendiri. "Apa yang kuharapkan? Kau bahkan tak menanyakan alasannya sama sekali? Tidakkah kau ingin tahu alasannya?"

Pandangannya menyakitiku, tapi aku tidak akan membiarkan dia tahu.

"Ah, benar. Ini hal yang tak berguna. Kau wanita yang selalu menerima keadaan. Alasan tidak penting bagimu, karena menurutmu itu tidak mengubah apapun, bukan?" tanyanya dengan sarkas.

Kuyakinkan diriku untuk terus mendengarkannya walaupun hatiku berteriak bahwa itu tidak benar, namun logikaku juga membenarkan perkataannya.

"Tapi aku akan tetap mengatakannya." Untuk pertama kalinya aku melihat kilat serius yang teramat serius darinya setelah 2 tahun menjalin hubungan.

"Kau terlalu naif."

"Kau bisa melawan tapi kau tak melawan, kau bisa menolak tapi kau tak menolak, kau bisa meminta tapi kau tak meminta. Itulah dirimu."

"Kau selalu membuang kesempatan yang bisa kau ambil, padahal itu tepat di depan matamu. Kau seharusnya mengejar apa yang kau sukai, dan kau pasti akan mendapatkannya. Jangan hanya mengikuti arus saja. Hanya pecundang yang melakukannya."

Ia terdiam sebentar, kemudian menatapku tepat lurus dimataku dari seberang meja.

"Sekarang katakan padaku, apakah kau ingin aku tinggal atau pergi?"

Tenggorokanku tercekat, ludahku bahkan tidak bisa turun dengan mudah, ludahku terasa tersangkut di tenggorokan dan bibirku tidak bisa untuk digerakkan, mengatup rapat tanpa aku perintah.

Aku menatap higheelsku, namun aku menemukan bahwa bawah meja ini seperti terowongan gelap yang tak berujung. Aku tidak bisa menemukan apapun disana.

"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Tolong berikan aku jawaban sekarang juga."

Dua tahun bukan waktu yang sebentar, banyak kenangan yang sudah kita berdua ukir bersama. Tentu aku ingin dia tinggal, namun melihat bagaimana ia menghakimiku begitu saja aku merasa harga diriku juga terluka.

"Demi Tuhan, Haechan!" ia kehabisan kesabaran.

"Kau hanya tinggal meminta. Jika kau meminta untuk tinggal, maka aku akan tinggal."

Ia berhenti sejenak.

"Pergi atau tinggal?"

Aku menatapnya, meyakinkan diriku bahwa pilihanku ini adalah yang terbaik.

"Jika kau mengatakan putus, maka mari kita putus."

Ia tersenyum mengejek lagi, kemudian menenggak minumannya dengan sekali tegukan. "Baik. Mari kita akhiri saja." Ia berdiri dari bangkunya, dan menatapku .

"Terima kasih dan maaf atas semuanya Haechan-ssi." Ia menekankan embel-embel 'ssi' pada kalimatnya, membuat hatiku entah kenapa terasa tercubit mendengarnya.

"Kalau begitu, aku permisi." Ia membungkuk formal sebelum akhirnya meninggalkanku dengan langkah pasti.

Aku terduduk lemas. Rasanya sesak sekali dada ini. Aku bahkan tak bisa merasakan kakiku. Nafasku tersengal-sengal tanpa sebab yang pasti. Tanganku terkulai lemah di atas meja. Kupandangi kudapan mahal yang ada didepanku, mereka masih terlihat cantik dengan beberapa hiasan bunga dan lilin. Aku menarik nafas panjang, bahkan makanan mahal dari restoran mewah seperti ini tidak bisa membuatku lebih baik.

.

.

.

At The End of Nightfall

.

.

.

Tidak ada kabar lagi darinya setelah itu. Ia benar-benar mengakhiri semua. Dan aku juga tidak punya muka lagi untuk menemuinya. Jujur, aku rindu dengannya, dan sedikit merasa bersalah. Namun aku menahannya. Mungkin perkataannya ada benarnya, harusnya aku memintanya untuk tinggal. Tapi tidak, aku tidak ingin hidup penuh dengan penyesalan. Yang lalu biarlah berlalu. Jika ia memang mengakhiri ini, maka aku juga akan melakukannya.

"Kau siap?"

Kulirik Jaemin yang tersenyum lebar padaku, ah sahabatku ini memang yang terbaik. Senyuman khasnya selalu dapat membuat moodku lebih baik.

Kukalungkan lenganku kelehernya. "Tidak pernah sesiap ini."

"Jeju! Kami datang!"

Jaemin mengajakku ke Jeju di akhir pekan ini. Berlibur, bersantai dan berkencan. Untuk kata terakhir, tepatnya itu untuk Jaemin. Pacarnya tinggal di Jeju dan mempunyai penginapan disana. Ia langsung menghubungi Jeno~pacarnya~setelah mengetahui bahwa aku putus dengan Lucas. Ia bilang ini adalah bentuk perayaan karena menjadi single lagi.

Saat kami keluar dari bandara internasional Jeju, Jeno sudah siap dengan mobilnya. Tersenyum lebar menyambut kedatangan kami, ah mungkin lebih tepatnya untuk Jaemin saja. Dengan cekatan Jeno mengambil alih koper kami dan menaruhnya ke dalam bagasi.

Perjalanan kami tidak begitu lama. Sepanjang perjalanan Jaemin selalu menghidupkan suasana. Anak itu suka sekali bercanda dan tentu sangat cerewet. Ngomong-ngomong, sudah lama aku meninggalkan kebiasaanku mendengarkan musik lewat headset saat berada dalam kendaraan, mencoba menghargai orang yang berada disekitarku, ikut bercanda, dan mendengarkan beberapa lelucon atau keluh kesah mereka. Namun sebagai gantinya, aku sering menghidupkan radio. Kami sering melakukan carpool karaoke, walaupun suaraku tidak begitu bagus sebenarnya. Tapi suara Jaemin lebih parah lagi jika kalian ingin tahu.

Setibanya di penginapan, Jeno meninggalkan kami untuk beristirahat. Besok kami baru akan mengelilingi pulau Jeju karena ini sudah terlalu sore menurutnya. Kami hanya saling berpandangan dengan senyum nakal. Tentu kami tidak akan melakukannya, setelah Jeno benar-benar meninggalkan kami, kami segera berlari ke pantai tanpa alas kaki, mengabaikan bawaan kami yang masih terbungkus rapi di dalam koper dan tas.

Kami bermain air, berlarian di pasir, menggambar beberapa gambar abstrak di pasir, menulis nama kami di pasir yang pada akhirnya kami injak-injak sendiri dan juga terhapus oleh air laut, membangun beberapa istana yang mungkin tidak tepat jika disebut bangunan.

Sudah lama sekali, sejak liburan terakhirku bersama Jaemin ke Jepang tahun lalu. Aku merasa hidupku benar-benar baru disini. Melupakan pekerjaan dan segala keburukan di Seoul, dan terutama patah hatiku.

Setelah pantai benar-benar gelap, kami baru beranjak. Jaemin bersikeras tidak ingin melewatkan matahari tenggelam. Jadi kami menunggunya hingga pantai benar-benar petang.

Baju kami masih basah, dan rambut kami lepek karena air laut. Angin laut membuat tubuh kami menggigil. Karena itu kami berlomba untuk masuk ke kamar mandi. Dan aku yang akhirnya menang. Kujulurkan lidahku padanya, bersorak di dalam kamar mandi atas kemenanganku darinya.

Selesai mandi, Jeno mengajak kami untuk makan malam. Namun setelah itu, aku harus menghela nafas. Seperti yang sudah kuduga, mereka meninggalkanku, mengedepankan kencan mereka. Maklum saja, mereka jarang bertemu karena pekerjaan mereka. Jadi aku tidak begitu masalah.

Kuputuskan untuk berjalan di sepanjang tepi pantai, merasakan angin laut malam dan bau air laut yang khas. Aku melepas sandalku, memasang earphone dan menghidupkan beberapa lagu ballad kesukaanku.

Cardiganku bergoyang-goyang ditiup angin. Kupeluk diriku sendiri, seharusnya tadi aku memakai celana panjang saja daripada celana pendek ini. Rasanya angin laut malam dapat menembus kulitku dan bahkan hampir menembus tulangku. Namun itu tidak akan merubah keputusanku untuk berjalan di tepi pantai. Kapan lagi aku bisa menikmati ketenangan seperti ini di Seoul?

Aku tahu aku sudah berjalan cukup jauh dari penginapan, lampu penerangan makin redup semakin kesini. Mungkin aku harus segera kembali ke penginapan. Orang mulai tidak banyak yang berlalu lalang atau sekedar duduk di tepi pantai, bahkan mungkin sepertinya tidak ada. Hanya aku seorang. Tapi itu masuk akal. Siapa yang akan menghabiskan waktu di tepi pantai yang penerangannya bahkan minim sekali?

Aku tarik kembali ucapanku.

Beberapa meter dari hadapanku. Ada seseorang yang tengah berdiri menatap laut.

Aku menelan ludahku. Apakah dia orang baik?

Kugigit bibir bawahku, rasa takut mulai menggerayangi diriku. Kupeluk diriku semakin erat, membalikkan badan tanpa ada aba-aba balik kanan sekalipun. Menahan diriku untuk tidak berjalan cepat, agar tidak menarik perhatian orang itu.

Jaemin bahkan belum sampai setibanya aku di penginapan. Mungkin dia akan kembali lewat tengah malam nanti. Memangnya apa yang aku harapkan dari pasangan yang tengah lovey dovey setelah sekian lama tidak bertemu?

.

.

.

At The End of Nightfall

.

.

.

Hari ini kami memutuskan untuk mengunjungi Seongsan Ilchulbong Peak, biasanya disebut Puncak Matahari Terbit oleh orang lokal. Kawah ini terbentuk karena letusan gunung berapi yang berada di dasar laut, terjadi sekitar lima ribu tahun yang lalu. Para wisatawan biasanya datang untuk menikmati matahari terbit. Disini juga disediakan jasa untuk berkuda, bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan alam dengan suasana yang berbeda. Itu yang dikatakan Jeno, sebagai pemandu wisata dadakan kami.

Kami berencana untuk berangkat petang buta, agar kami bisa menyaksikan matahari terbit disana. Namun itu hanya tinggal rencana. Jaemin tidak bisa bangun pagi, Jeno marah-marah saking sulitnya Jaemin untuk dibagunkan, belum lagi Jaemin ini orangnya tidak bisa cepat dalam melakukan apapun. Matahari terbit tidak didapatkan, sebagai gantinya drama pagi tentang pertengkaran pasangan kudapatkan.

Akhirnya kami memutuskan untuk berkuda disana. Aku baru tahu kalau berkuda bisa semenyenangkan ini. Aku menyesal kenapa baru mengetahuinya sekarang. Tapi aku pikir itu lebih baik, daripada tidak sama sekali.

Hamparan bunga Canola berwarna kuning membuatku tersenyum cerah. Ah tidak ada yang lebih baik dari liburan. Aku akui ajakan Jaemin untuk ke Jeju itu tepat sekali.

Terima kasih Jaemin-ah!

Selain itu kami juga pergi ke Mok Seok Won, taman yang didalamnya banyak patung yang memiliki cerita masing-masing, yang paling terkenal adalah Solmundae Grandmother, patung nenek yang terkenal akan 500 anaknya. Dan kami juga pergi ke Manjanggul, gua tabung lava terbaik di dunia. Dan aku juga sangat menyetujuinya. Stalaktit dan stalakmitnya begitu indah, warna-warni dan bentuknya dapat membuat mata kalian tidak berhenti menatap dan mulut kalian tidak bisa berhenti mengaguminya. Dan yang terakhir kami mampir ke Yongduam Rock, batu karang berkepala naga. Yah walaupun tidak terlalu mirip, tapi pemandangan disini patut diacungi jempol. Kabar baiknya disini banyak sekali pasangan, atau mungkin kabar buruk. Kata Jeno, Youngduam mempunyai banyak kafe dan restoran seafood. Oleh karena itu banyak pasangan yang sering mampir kesana.

Aku memisahkan diri dari Jaemin dan Jeno. Aku sengaja. Aku ingin memberikan mereka ruang sendiri. Lagipula kebiasaanku untuk jalan-jalan sendiri belum hilang betul. Entah kenapa aku lebih suka berjalan sendiri. Aku merasa bebas, mungkin. Aku hanya senang saja dengan kesendirianku. Aku bisa mampir kemanapun aku mau tanpa harus memikirkan orang yang bersamaku, aku tak perlu menunggu seseorang saat membeli souvernir, sebenarnya aku tidak begitu suka dengan shopping, dan aku juga tidak perlu susah-susah mengabadikan foto orang lain.

Kuarahkan pandanganku ke arah laut, melihat Haeneo~penyelam wanita~menangkap hewan laut yang akan dijadikan seafood.

"Ah aku jadi lapar."

Kakiku menelusuri kafe dan restoran yang berjajar rapi, menimbang-nimbang manakah yang akan kupilih. Aku pikir aku akan menyantap di kafe atau resto yang tidak begitu ramai. Aku sedikit benci keramaian.

"Tidak adakah yang tidak ramai?"

Itu bukan suaraku. Aku berani bersumpah.

Aku arahkan pandanganku ke sekeliling. Mencari asal suara tadi. Aku yakin aku pernah mendengar suara itu sebelumnya. Ah tidak, lebih tepatnya aku tahu siapa pemilik suara itu.

Mark Lee!

Sudah lama sekali nama itu tidak muncul, tapi ketika hujan turun saat menaiki kereta, nama itu selalu muncul dengan sendirinya. Tentu, karena dia bukan orang asing.

Dan sekarang aku mendengar suaranya, bukan dari pikiranku seperti biasanya, tapi didepanku, terasa jelas ditelingaku. Aku tahu itu pasti dia.

Aku bergegas mencarinya, menajamkan telingaku untuk menangkap suaranya yang pasti akan terendam dengan suara ribuan manusia yang ada disini.

Aku tahu ini kedengarannya gila dan mustahil. Tapi aku yakin sekali itu suaranya. Dan aku akan mencarinya di lautan orang ini. Keinginanku adalah menemukannya, menemuinya dan berbagi cerita dengannya. Masa bodoh jika ia mungkin lupa akan diriku.

Kakiku sudah terasa pegal, untung saja aku memakai sandal bukan sepatu. Mungkin jika aku memakai sepatu, kakiku sudah lecet sekarang. Nafasku terengah-engah, kupegang lututku yang terasa linu. Aku sudah berjalan sejauh ini menembus keramaian, bahkan juga beberapa kali salah orang, tapi aku belum menemukannya. Bahkan aku juga sudah lupa kalau perutku kosong.

Haruskah aku berhenti?

Awan bahkan sudah berubah menjadi oranye. Lampu jalan pun juga mulai hidup, menyambut pergantian siang ke malam.

Haruskah aku kembali?

Haruskah aku menyerah saja?

"Kau selalu membuang kesempatan yang bisa kau ambil, padahal itu tepat di depan matamu. Kau seharusnya mengejar apa yang kau sukai, dan kau pasti akan mendapatkannya. Jangan hanya mengikuti arus saja. Hanya pecundang yang melakukannya."

Perkataan Lucas muncul begitu saja dan tergiang ditelingaku.

Benar!

Selama ini aku hanya menjadi seorang pecundang, aku mengikuti arus hidupku tanpa melakukan perlawanan yang berarti.

Ini kesempatanku.

Aku bukan pecundang dan aku juga akan mengejar sesuatu yang kuinginkan sampai aku mendapatkannya. Keinginanku sekarang adalah bertemu Mark Lee!

Kulangkahkan kakiku kembali, mengabaikan rasa lelah, pegal dan lapar yang merongrong tubuhku. Mencari suara yang memenuhi kepalaku. Mencari suara yang selalu menjadi simfoni musim panas untukku. Mencari seseorang yang selalu menjadi kenangan malamku, kenangan keretaku dan kenangan hujanku selama ini.

"Mark Lee!"

Nafasku terengah-engah. Tapi aku mencoba untuk tenang.

Ia menatapku, dan aku meneguk ludahku yang mengganjal di tenggorokan.

"Aku menemukanmu."

.

.

.

At The End of Nightfall

.

.

.

Kami duduk di tepi pantai. Kami memang terlambat melihat matahari terbenam, tapi itu tidak berita buruk sama sekali. Aku tetap bahagia walaupun gagal melihat matahari terbenam. Bagiku yang terpenting adalah momen bersamanya sekarang.

"Aku terkejut kau masih mengenaliku."

Seperti dulu, ia tidak memutus pandangannya padaku. Aku membalas pandangannya, saling menatap.

"Karena kau bukan orang asing."

Ia terdiam, dan kemudian tersenyum lebar yang selalu bisa menghangatkan hatiku. Aku ikut tersenyum karenanya.

"Tapi kau tak mengenaliku saat di pantai?"

Aku mengerutkan keningku. "Pantai?" beoku bingung.

"Kemarin malam."

"Kau memakai cardigan dan cel~"

Aku memotong perkataannya, menyadari sesuatu. "Itu kau?!" pekikku tak percaya. "Maksudku yang berdiri di tepi pantai sendirian?!" jelasku masih tidak bisa menyingkirkan keterkejutanku.

"Bukan kau yang menemukanku, tapi aku yang menemukanmu lebih dulu."

Aku mengerucutkan bibirku, sedikit kesal dengan kenyataan itu. "Itu karena malam itu lumayan gelap, aku tidak bisa melihatmu dengan jelas." Itu adalah alasan yang sangat logis kan?

Dia terkekeh dan mengalihkan pandangannya ke laut.

"Lalu kenapa kau tidak memanggilku? Kau bisa memberitahuku." Aku kesal. Kenapa aku harus repot-repot mencarinya tadi, kalau sebenarnya Mark sudah tahu diriku sejak awal?

"Karena setelah kau melihatku, kau langsung berbalik. Kalau aku berlari menyusulmu, aku yakin kau akan semakin berlari karena menyangka yang tidak-tidak."

Dalam hati aku membenarkan alasannya, tapi harga diriku menolak. "Mungkin saja tidak."

"Apakah kita akan bertengkar tentang ini semalaman?" aku tahu dia bermaksud menggodaku, tapi tetap saja aku kesal.

Dering ponsel mengintrupsi. Bukan ponselku, itu ponsel Mark. Kuarahkan pandanganku ke laut lagi, tidak ingin menganggunya. Ia berdiri dan menjauh dariku untuk mengangkat telepon. Aku bermain dengan ranting yang kutemukan disampingku, menggambar sesukaku sembari menanti Mark kembali.

"Aku harus pergi."

Aku menatapnya sendu. Jelas, aku kecewa.

"Sekarang?" lagi-lagi akhir pertemuan kami diakhiri pertanyaan retoris.

"Iya."

"Kau hanya tinggal meminta, jika kau meminta untuk tinggal, maka aku akan tinggal."

Kalimat Lucas kembali terngiang dikepalaku dengan tiba-tiba.

Aku mendongak melihatnya, Mark terlihat menjulang tinggi didepanku. Kutelan ludahku dan mengambil nafas.

"Apa..." ia menatapku, "apa jika aku memintamu untuk tinggal, kau akan tinggal?"

Ia terdiam lama, dan aku mulai kehilangan semangatku. Aku tidak mampu menatapnya lama, karena aku takut melihatnya berkata tidak. Mungkin inilah yang dirasakan Lucas dulu ketika memintaku menjawab pertanyaannya. Benar, ini adalah karma. Terimalah karmamu Lee Donghyuck.

Aku membuang muka, kembali bermain dengan ranting yang kutemukan tadi. Aku ingin menangis, tapi aku akan melakukannya saat dia sudah pergi. Aku tidak ingin mennagis dihadapannya. Itu memalukan.

"Lupakan saja, aku hanya bercanda."

Aku menatapnya sambil memaksakan senyumku.

"Kau bisa pergi sekarang."

Kualihkan pandanganku lagi ke hamparan air laut.

"Jangan pikirkan aku. Aku hanya masih ingin disini."

Aku kembali bermain dengan pasir dengan menundukkan kepalaku. Menyembunyikan mataku yang memerah dan mulai berkabut.

Alunan suara ombak yang menabrak karang dapat kudengar dengan jelas. Hanya aku seorang disini. Memangnya apalagi?

Walaupun hatiku terasa sakit, memikirkan akhir ini dan apakah kami akan bertemu lagi kedepannya, tapi aku mencoba mengerti. Mungkin kami memang ditakdirkan hanya sebagai intermezzo dalam kehidupan kami. Dia tetap bukan orang asing bagiku.

Kubenamkan kepalaku dilututku. Melepaskan tangisanku yang sedari tadi kutahan.

"Kau tidak bisa menangis disini. Aku tidak membawa sapu tangan."

Aku tersentak.

Buru-buru kuhapus air mataku dan menemukannya sudah duduk disampingku. "Kau masih disini?" aku malu sekali. Pasti sangat konyol melihat wajahku sekarang.

Ia tertawa kecil, "Kau memintaku untuk tinggal. Ingat?".

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa padanya.

"Lagipula kau bahkan tak mengatakan selamat tinggal padaku."

Jadi apakah itu bisa dimasukkan ke dalam alasan logis? Tapi aku senang. Tapi aku juga bingung.

"Lihat wajahmu, kau lucu sekali." Ia mencubit kedua pipiku karena sedari tadi aku menatapnya bingung. Aku ingin tertawa, tapi aku malu dan aku kesal juga. Kusingkirkan tangannya, namun sebelum itu kulakukan ia berhenti bermain dengan pipiku dan menghapus bekas air mataku dengan jempolnya.

"Aku bertanya-tanya apakah aku akan dapat bertemu kembali denganmu. Dan ya, kita sekarang sudah bertemu."

"Aku bertanya-tanya apakah kau masih ingat denganku. Dan kau mengingatku lebih dari ekspetasiku."

Ia semakin mendekat padaku, tanpa melepas kedua tangannya dipipiku.

"Dan aku juga bertanya-tanya apakah kau tahu bahwa sejak awal aku tertarik padamu?"

Aku hampir melotot mendengar pengakuannya. Tenggorokanku terasa kering, aku bahkan bisa merasakan ludahku yang terasa sedikit asam.

Dia semakin mendekat, menghapus jarak diantara kami hingga akhirnya aku merasakan bibirnya berada dibibirku. Kupejamkan mataku menikmatinya. Aku memang sudah beberapa kali berciuman, namun aku pikir dari semua ciuman yang pernah aku rasakan, ini yang paling menyentuh hatiku. Bahkan ini mungkin ciuman paling lama yang pernah aku lakukan. Kami enggan melepas tautan bibir kami, hingga akhirnya aku sesak nafas karena kehabisan oksigen. Ia melepas tautan kami.

Nafas kami memburu. Kami saling memandang.

"Dan sekarang aku juga sudah tahu jawabannya."

Kami berdua tersenyum menyadari perasaan kami sebenarnya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia kembali menciumku. Kami berciuman untuk waktu yang lama dan hanya berhenti untuk mengambil nafas.

Kami tidak peduli jika harus menghabiskan waktu semalaman penuh hanya untuk ini. Untuk saat ini, kami tidak ingin peduli dengan apapun, kecuali dengan dengan diri kami.

.

.

.

END

.

.

.

Terima kasih untuk semua yang sudah support. #tebarhati :*

Terutama untuk Damalinia ovis, Mamahmertumark, ai selai strawberry. Big heart buat kalian semua 3

Juga yang udah favorit :D Aku harap kalian sukak :3

Tinggalkan review, juseyo~

Have a nice day ^^