Disclaimer: This story is based on characters and situations created and owned by JK Rowling.
The Black Queen 3
Chapter 1
The Girl and Another Wedding
Narcissa Black hanya menduga, kalau orang berjubah dan bertopeng gagak putih itu adalah seorang pria tua. Mata berkerut dibalik topeng itu tampak asing. Terutama karena jubahnya juga dihiasi renda yang ramai dan kerah rimpel. Pria itu tampak seperti ratu berkepala gagak.
Dia tidak berbicara saat menawarkan icip-icip kue jualannya, hanya dengan bahasa isyarat. Sepertinya si pria tua berkostum gagak itu mengerti bahwa Narcissa adalah orang asing juga. Dalam arti yang sebenarnya.
Jengah sekaligus bingung, Narcissa membalas dengan bahasa isyarat yang kurang lebih artinya adalah, "Untukku?"
Si pria tua mengangguk, mata kecilnya menghilang dalam kelopak topengnya, tanda sedang tersenyum. Ragu-ragu, Narcissa mencicipi kue kering dengan banyak taburan gula tersebut. Segera saja dia menyukainya. Rasanya kurang lebih sama dengan kue manapun yang pernah dia rasakan. Hanya saja, lokasi dapat mempengaruhi segalanya.
Setelah mencicipi, Narcissa memborong lagi kue dan manisan lain di lapak pria tua tersebut. Beberapa jajar dari lapak tempat Narcissa berdiri, beratus-ratus kue yang sama menanti untuk dibeli. Rasa bahagia menjalar menularinya. Kue dan gula-gula itu tak kalah dari makanan yang biasa dibelinya nun jauh di dunia asalnya.
Kali ini saja, Narcissa tidak takut pada pria bertopeng. Hampir semua orang berpakaian aneh beberapa hari ini. Kota tersebut sedang mengadakan karnaval. Alun-alun kota diterangi sinar matahari musim panas yang tampak khusus menyinari kota tersebut. Narcissa memandang sekeliling dengan bahagia.
Selain gagak, ada beberapa orang bertopeng rusa dan banteng. Lebih banyak yang berpakaian badut, lengkap dengan wajah yang dilumuri bedak betulan. Kostumnya sungguh luar biasa. Berwarna-warni, mengkilap, berenda, bahkan berduri. Narcissa tidak pernah melihat karnaval yang seperti ini…
Sebagai wanita, selain kostum, mata Narcissa dengan cepat tertahan pada berbagai dagangan. Berbagai makanan dan minuman warna-warni, buah-buahan, kerajinan rajut dari rotan, boneka-boneka porselen indah, sepatu dan pakaian dengan motif dan warna cerah, barang-barang lain yang tidak dikenal Narcissa, bahkan ada yang menjual berbagai tepung beraneka warna. Tepung-tepung itu beraroma harum dan tidak jelas apa gunanya. Salah satu pedagang yang berbahasa sama dengan Narcissa meneriakkan bahwa tepung itu hanya dikhususkan untuk ditabur-tabur saja saat kita sedang bosan. Narcissa segera membeli semua tepung. Dan masih ada banyak lagi yang bisa dia beli... Sebelum uang aneh yang dia tukarkan di penginapan tadi habis.
Seolah tidak mau kalah dengan lapak dan tenda berbagai warna, pusat kota itu juga tak kalah cantik. Kanal-kanal dan berpuluh-puluh gondola mengitari bangunan tua besar berkubah dari batu putih. Beberapa bangunan juga dipergunakan sebagai restoran dan kafe kecil pinggir jalan yang memukau. Tinggal tambah kursi, meja, dan diberi kanopi serta bunga-bungaan, Narcissa merasa dia harus makan diluar setiap hari.
Para wisatawan yang sedang liburan musim panas dan tidak mau memakai kostum, tak henti-hentinya memotret. Mereka berpakaian santai dengan kaus atau kemeja lengan pendek dan celana kutung. Narcissa sama sekali tidak menganggap mereka sebagai gangguan. Dia sendiri hanya mengenakan gaun tanpa lengan sepanjang lutut yang ringan hari itu.
Terdengar suara sentakkan di salah satu kafe. Narcissa mengenal suara itu, lalu memutar mata saat menyadari dia sudah sampai di tempat dia memulai sewaktu memutari alun-alun tersebut. Di pojok salah satu kafe yang berdinding biru muda, duduk seorang pria tampan yang tampaknya bisa dianggap salah satu peserta karnaval. Dia mengenakan kemeja lengan panjang hitam di hari sepanas ini. Walaupun masih muda, dia menggenggam tongkat dengan kepala ular perak. Rambutnya yang pirang perak layu sementara matanya terus-menerus memandang curiga pada wisatawan yang berlalu-lalang. Pria itu baru saja membentak dua badut yang tampaknya memutuskan bahwa berlatih jungkir balik di depan meja kafe adalah ide yang bagus.
Dengan berat hati, Narcissa menghampiri pria tersebut.
"Memarahi Muggle lagi? Kau harusnya ikut aku belanja, Lucius..." desah Narcissa sambil menarik kursi. "Aku jadi tidak enak bersenang-senang sementara kau di sini sendiri... Dan apa yang kau minum itu?"
Lucius Malfoy sepertinya punya kemampuan suara-perut karena bibirnya hanya bergerak sedikit kalau dia sedang marah, "Kau memang seharusnya merasa tidak enak, Cissy! Dan nama minuman ini adalah Coca Cola. Pelayan yang kurang ajar itu menertawaiku saat aku memesan soda dan tidak bisa menyebutkan apa merk-nya. Dan jangan harap aku mau mengurusi pembayarannya. Aku akan selalu mengingat tempat makan terakhir yang kita datangi kemarin, yang pelayannya menertawai kita saat kita sibuk dengan uang-uang kertas itu!"
Narcissa tertawa dan segera memanggil pelayan untuk minta dibawakan Coca Cola yang sama dengan Lucius. Lalu menggenggam tangan Lucius dari seberang meja. Lucius menolak sentuhan Narcissa tapi tak urung membiarkannya juga pada akhirnya.
"Kau harusnya memperhatikan pelajaran Telaah Muggle-mu..."
"Kau tahu betul aku mengikuti pelajaran itu hanya demi nilai sempurna. Setiap pelajaran kuhabiskan dengan menjilat betapa bagusnya model pakaian Profesor Wyatt yang mirip Kappa itu..." bantah Lucius.
"Jangan terlalu tegang, Lucius... Ini mungkin liburanmu yang paling unik..."
"Dan kotor. Aku bahkan tidak yakin minuman ini terbuat dari air matang. Dan kau tahu siapa disekeliling kita ini, Cissy? Muggle!"
Lucius mengatakan 'Muggle' dengan cara yang sama kalau orang sedang menyumpahi pengemis.
"Ayolah, jangan begitu... Bahkan di Perancis, tempat liburan favorit keluarga kita, beberapa tempat wisatanya ada di kota Muggle."
Lucius menggumam tak jelas yang intinya dia tidak akan setuju apapun yang dikatakan Narcissa. Maka setelah Coca Cola Narcissa, yang ternyata sangat enak, habis, Narcissa memutuskan untuk pulang ke penginapan. Lucius tersenyum lebar untuk yang pertama kalinya hari itu. Ditambah lagi, mereka hanya perlu meninggalkan uang kertas di meja untuk pembayaran.
Mereka bergandengan tangan sementara tangan lainnya menjinjing belanjaan Narcissa. Penginapan Narcissa sebenarnya agak jauh, berada di kota kecil lainnya di negara tersebut. Mereka berjalan melewati berbagai jembatan kayu kecil. Favorit Narcissa adalah gondola. Yang tampaknya juga digandrungi hampir dari semua pasangan yang mendatangi negara tersebut. Narcissa sudah naik gondola itu hampir tiga kali. Lucius sama sekali tidak menyukainya. Terutama karena Muggle yang mendayuh gondolanya selalu menyanyi dan tidak bisa bahasa Inggris.
Lucius tampaknya berusaha sekuat mungkin agar perhatian Narcissa tidak teralih pada gondola maupun karnaval. Mereka berjalan sangat cepat sampai kepada salah satu gang gelap yang tidak akan dilalui siapa-siapa…
Kali ini aroma laut yang asin terasa lebih pekat. Angin bertiup kencang khas dataran tinggi. Gang yang mereka lewati berjalan batu. Kini tidak lagi gelap. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Warna kuning cahaya memancar menerangi rumah-rumah berwarna-warni. Narcissa menikmati sekilas pemandangan menakjubkan ini walaupun Lucius terus menariknya agar berjalan lebih cepat.
Jalan-jalan sempit dan menanjak mulai terbentang dihadapan mereka. Lalu beberapa tangga batu. Sampai akhirnya mereka tiba di benteng tinggi menghadap langsung ke lautan. Jauh dibawah tebing, beberapa perahu ditarik tinggi ke pantai. Narcissa melihat mereka dengan galau. Rasanya baru kemarin dia menaiki perahu tersebut. Hanya saja, akan sulit sekali mengajak Lucius naik perahu lagi. Baik Narcissa maupun Lucius sendiri baru mengetahui bahwa Lucius ternyata mabuk laut.
Penginapan mereka nyaman dan mungil, terletak di bagian paling atas pulau tersebut. Sama seperti rumah-rumah lainnya, dindingnya pun penuh warna dan bunga. Penginapan itu terlihat kecil pada pandangan pertama. Para wisatawan mungkin ragu kalau akan menginap di tempat yang sekecil itu. Tapi setelah memasuki halamannya, bahkan pintu gerbangnya tiga kali tinggi Lucius. Penginapan itu cukup megah dengan dua lantai. Lantai atas yang paling diminati. Yaitu kamar dengan pemandangan lautan. Disisi lainnya tentu pemandangan kota yang berwarna-warni, membuat Narcissa tidak bosan memandang matahari terbit dan tenggelam dari balkon kamarnya.
Pemilik penginapan itu pastilah seorang ahli Mantra Perluasan yang hebat.
Narcissa Black adalah penyihir wanita berusia tujuh belas tahun, tentu saja dia tidak asing dengan Mantra. Selain sihir, dia dianugerahi banyak hal yang akan membuat anak-anak manapun iri. Kecantikannya klasik dengan rambut pirang emas yang panjang, mata sebiru langit, tubuh menjulang semampai. Lahir dari keluarga bangsawan yang terkenal dan kaya raya, membuat Narcissa tidak pernah kekurangan apapun. Narcissa juga telah menjalani sekolahnya di Sekolah Sihir Hogwarts, sekolah terbaik di Inggris, dengan hasil memuaskan dan sekarang akan memasuki kelas terakhirnya.
Semua dalam hidup Narcissa adalah mimpi yang menjadi nyata. Hanya saja, belakangan ini masalah tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan Narcissa, entah mulai darimana, terseret didalamnya.
Penyebabnya mungkin adalah Lucius Malfoy. Pria muda yang ada disampingnya saat ini adalah 'cinta dalam hidupnya'. Narcissa tidak pernah mengumbar ini kepada Lucius maupun yang lainnya. Karena itu bukanlah sekedar kata-kata picisan biasa.
Muggle, sebutan para penyihir untuk orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan sihir, telah lama takut pada hal-hal yang diluar pengertian mereka. Perburuan penyihir di masa lampau hanyalah satu contoh besar bahwa tidaklah bijaksana untuk mengumumkan, apalagi menyihir, secara terang-terangan di depan Muggle. Akhirnya para penyihir mengalah dan memutuskan untuk hidup tersembunyi dari mata Muggle yang ingin tahu.
Tapi mereka tidak akan sepenuhnya bebas. Bahkan sejarah penyihir sama tuanya dengan Muggle. Mereka akan selalu bertalian. Dan dari sanalah penyihir-penyihir yang dilahirkan dari Muggle bermunculan. Para penyihir menyebutnya kelahiran-Muggle. Beberapa menyebutnya Darah-lumpur...
Sudah menjadi sifat manusia untuk berlaku egois. Terutama apabila mereka merasa punya kemampuan yang ajaib melebihi makhluk lain. Maka dari itu, beberapa penyihir yang sangat bangga pada statusnya, menyebut dirinya sendiri sebagai penyihir darah-murni.
Keluarga penyihir murni memiliki banyak kecenderungan seperti keluarga ekslusif lainnya. Mereka menolak eksistensi para penyihir kelahiran-Muggle yang mereka anggap tidak dapat dipercaya. Mereka juga menolak untuk menikah dengan Darah-lumpur apalagi dengan Muggle biasa. Mereka sangat menjaga kemurnian darah. Narcissa Black datang dari salah satu keluarga tersebut.
Membanggakan diri sebagai keluarga kuno tanpa adanya ikatan pernikahan dengan penyihir kelahiran-Muggle membuat mereka hanya berteman dengan keluarga yang itu-itu saja. Black sama halnya dengan Malfoy. Menjunjung tinggi darah mereka yang murni dan emas mereka yang banyak. Narcissa telah terbiasa melihat Lucius, tunggal dari keluarga terkaya di kelompok mereka, dengan segala kegagahan dan kemewahannya semenjak kecil. Sehingga dia tidak pernah ingat apakah dia pernah naksir cowok lain sedari dulu.
Tapi Narcissa tidak sendirian. Banyak gadis seumurannya yang juga menjadi kandidat untuk pendamping Lucius. Bahkan teman-teman sekelasnya pun pernah diundang makan malam Natal di Malfoy Manor, untuk diukur kesepandanannya dengan Lucius. Mereka tidak pernah tahu, atau tidak mau tahu, bahwa bahkan saat itu Lucius, dengan titel keluarga bangsawan, emas, permata, dan tanah yang berlimpah di tangan ayahnya, prestasinya di sekolah serta ketampanannya, telah memilih untuk fokus pada satu hal saja.
Lucius telah bergabung dengan salah satu kelompok tertentu. Dan itu bukanlah kelompok belajar. Melainkan kelompok yang dibentuk oleh penyihir yang berambisi menguasai dunia...
Pelahap Maut adalah nama yang diberikan Tuan mereka. Lord Voldemort. Narcissa tahu sedikit banyak, dari pengalamannya yang menyakitkan, beberapa hal tentang Pelahap Maut.
Awalnya, mereka adalah kelompok yang amat rahasia, tapi telah menyebarkan banyak teror mengerikan, terutama pada Muggle dan siapapun yang menghalangi jalan mereka. Komunitas sihir menganggap mereka sebagai geng orang jahat dan menyerahkan penanganan pada Kementerian Sihir. Tapi saat ini, Pelahap Maut tampaknya telah memutuskan untuk bergerak terang-terangan. Narcissa sebenarnya telah melihat sendiri. Jauh dari beberapa keinginan anggotanya yang hanya ingin superioritas darah-murni, mencari kekuatan, atau menginginkan cipratan kekuasaan, atau yang benar-benar kejam, Lord Voldemort sudah berada setaraf iblis.
Pelahap Maut berintikan sihir ada diatas segalanya. Yang kurang lebih sama dengan pendapat Lucius akan murninya darah mereka, dan betapa penyihir kelahiran Muggle, juga Muggle sendiri, adalah cacing. Sejauh ini, yang dilakukan Lucius dan teman-temannya adalah mengacau dan menyiksa sebanyak mungkin orang. Itu mungkin meningkatkan kepercayaan diri bagi sebagian orang, tapi juga bisa membuat gila beberapa orang.
Narcissa mungkin adalah yang kedua. Maka saat Lucius menyatakan perasaannya juga pada Narcissa, hal itu bukanlah mimpi Narcissa yang menjadi nyata, tapi mungkin adalah tamparan keras untuk menghadapi realita.
Narcissa yang angkuh tapi lembut hati, mewarisi salah satu sifat keluarga Black yang menurun dalam darah mereka, yang apabila digambarkan dalam metafora adalah; akan terjun dari tebing tertinggi manapun apabila diperlukan.
Narcissa tidak tertarik bergabung dengan Pelahap Maut, walaupun dulu dia kekasih Lucius. Kakak tertua Narcissa, Bellatrix Black, adalah anggota Pelahap Maut teladan juga. Tapi sejauh ini yang dilakukan Narcissa adalah, menghambat beberapa rencana mereka, kabur apabila diperlukan, banyak berbohong, dan menikah diam-diam dengan Lucius.
Kejadiannya adalah awal liburan musim panas kemarin. Tahun itu bukanlah tahun yang tenang bagi remaja seusianya. Narcissa belum pulih dari traumanya atas kejadian-kejadian di tahun kelima sekolahnya saat Lucius datang dan menganggap membuat permainan-untuk-mengacaukan-Hogwarts itu ide bagus. Sejauh ini, sekolah sudah mulai kacau, Narcissa, sebagai murid teladan, dicurigai, beberapa undang-undang yang melarang sihir di depan Muggle hancur, berujung pada Narcissa yang dicurigai lagi sebagai pelaku. Narcissa sudah ditahan, disiksa Dementor, dan masuk dalam daftar remaja bermasalah di Kementerian Sihir.
Tapi hal itu bukanlah apa-apa dibandingkan dengan masuknya tentara Muggle ke Hogwarts atas provokasi Lucius, dan teman-teman Pelahap Mautnya. Nyaris berujung pada nyawanya. Tapi itu juga bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kebohongan Lucius tentang kegadisan Narcissa, yang membuat Narcissa nyaris lumpuh menuruti semua perintah Lucius...
Marah sekaligus takut kehilangan, Narcissa memutuskan untuk menikahinya...
Cersei Lannister, pembela Narcissa saat dia disidang, adalah wanita yang sama angkuh dan ningratnya dengan Narcissa. Selain itu Cersei pintar dan selalu mendapatkan apapun yang dia mau. Narcissa memutuskan bahwa Cersei adalah wanita yang bisa dia jadikan panutan sesungguhnya dibandingkan dengan beberapa kelompok wanita akademik yang dulu pernah Narcissa kagumi.
"Profesor Marchbanks? Ya. Dia dan Klub Elanor-nya sangat berpengaruh. Aku adalah salah satu pengurus klub itu..." kata Cersei sambil merapikan bordiran jubahnya.
"Kau anggota klub minum teh?" ujar Narcissa tak percaya.
Nyaris dua tahun yang lalu Narcissa menginginkan hal yang sama yang diinginkan oleh gadis-gadis dari keluarga ternama. Griselda Marchbanks memimpin klub sosial beranggotakan wanita-wanita kelas atas yang pintar dan berpengaruh. Elit dan berwibawa. Bahkan ibu Narcissa dan teman-temannya saat ini tidak pernah diundang masuk Klub Elanor, nama perkumpulan tersebut, karena dianggap terlalu rasis.
Tapi Narcissa merasa masa depannya akan cemerlang dan kembali normal lagi kalau dia bisa masuk klub tersebut. Maka, dengan anugerah kekeraskepalaan keluarganya, Narcissa berusaha masuk menjadi anggota sampai akhirnya Profesor Marchbanks mengundangnya sendiri untuk bergabung.
Tetapi sekali lagi, realita menamparnya keras. Narcissa tidak memberi kabar apa-apa kepada Profesor Marchbanks karena merasa bahwa statusnya sebagai tunangan Lucius dulu hanya akan 'membawa noda pada taplak meja klub mereka yang putih bersih terhormat'.
"Itu bukan sekedar klub minum teh, Cissy, walaupun kuakui mereka tahu bagaimana cara mengadakan soiree. Aku mendapatkan banyak hal dan juga koneksi. Juga itulah yang diharapkan dari wanita-wanita di lingkungan kita..." jelas Cersei.
Narcissa masih belum tertarik lagi pada klub-klub apapun, tapi mempercayai Cersei. Didukung ilmu Cersei tentang hukum sihir, Narcissa memintanya untuk menjadi saksi pada pernikahannya dengan Lucius.
"Beberapa orang akan menganggapnya tidak jantan... Dan mungkin Lucius juga..." kata Cersei beberapa jam sebelum Lucius datang. Lucius sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi. Narcissa memerintahkan Dobby untuk membawa paksa Lucius menuju pernikahan kejutan ini.
"Dia memang tidak jantan... Yah, sedikit..." desah Narcissa. "Bahkan sepupuku yang pencinta Muggle, Sirius, masih lebih berani. Tapi... itu bukan alasan untuk aku tidak bersamanya. Hidup terlalu singkat," Narcissa mulai tersekat. "Dan aku tidak bisa menunggu untuk mengambil tindakan..."
Setelah upacara selesai, Cersei menawarkan menyembunyikan foto-foto pernikahan mereka di tempatnya.
"Selain saksi, kalian juga harus punya foto. Itu bukti sekaligus kenang-kenangan. Dan jangan khawatir, pendeta dan juru kamera itu sudah lama bersama keluargaku. Lalu..."
Cersei mengalungkan liontin klasik dan tampak murah berbentuk hati. Didalamnya ternyata ada foto ketika Narcissa dan Lucius saling mengikat janji.
"Hati-hati, jangan sampai ketahuan. Maaf aku tidak menemukan yang buatan goblin asli. Tapi, selamat bulan madu..."
Narcissa akhirnya mendapatkan liburannya. Liburan yang sempurna dengan Lucius disampingnya. Tanpa ada ketakutan apapun karena mereka bepergian ke luar negeri. Tanpa penginapan-penginapan besar yang bisa terlacak, tanpa burung hantu untuk membawa surat, ataupun apapun yang menghubungkan mereka dengan kehidupan mereka di Inggris. Cersei akan mengaturkan untuk mereka dengan berbicara pada masig-masing keluarga. Dia adalah pembela sekaligus pemanipulasi terbaik sehingga Narcissa tidak ambil pusing apapun yang akan dikatakan Cersei pada ayah-ibunya.
"Kau yakin tidak mau bermalam dulu di Paris?" kata Lucius saat itu. "Itu kota favoritmu, bukan?"
Narcissa mengerudungi rambutnya dengan syal tebal, bersiap ber-apparate. Lalu menghampiri Lucius dan mengalungkan lengannya pada leher Lucius.
"Tapi Perancis membosankan... Aku terlalu sering kesana. Kudengar Yunani menyenangkan..."
"Kota itu hanya ada reruntuhan, Cissy..."
"Dan Italia," kata Narcissa tegas. Ingin mengunjungi beberapa kota, bahkan negara, sekaligus. "Aku selalu ingin melihat Pathernon... Dan kota-kota di Italia yang berwarna-warni…" bisik Narcissa. "Kudengar sangat romantis di sana, lalu..."
Lucius akhirnya tersenyum dan menciumnya. Mengikuti keinginan Narcissa.
Mereka hanya satu kali melihat bangunan legendaris Pathernon itu karena memilih untuk mengunci diri di paviliun penginapan mereka...
"Setelah kendala bahasa yang begitu menyebalkan, aku akhirnya menemukan sesuatu untuk melindungimu," kata Lucius pada suatu pagi.
Narcissa memilih sarapan di tempat tidur selama beberapa hari ini karena dia terlalu malas untuk melakukan apapun selain tersenyum-senyum bahagia.
"Oh, ya?"
"Ini," kata Lucius sambil menyerahkan satu botol besar ramuan.
Ada situs-situs sihir di Yunani, mungkin sama banyaknya dengan Inggris. Baik Cersei maupun Lucius sendiri telah mengetahui tempat-tempat itu karena biasanya Yunani juga menjadi salah satu destinasi studi banding murid-murid Hogwarts. Tapi Cersei telah meminjami paviliun pribadinya. Dan syukurlah, mereka jadi tidak pernah bertemu dengan murid Hogwarts manapun.
"Ramuan?" tanya Narcissa bingung karena tidak bisa membaca aksara dalam bahasa Yunani asli.
"Di minum sebulan sekali sudah cukup. Kita kemarin tidak berhati-hati... Aku tidak yakin Hogwarts mau menerima murid yang hamil..."
"Apa?" tanya Narcissa kaget.
"Jangan khawatir... Sudah kubilang itu akan melindungimu... Kita suami dan istri sekarang. Dan kau masih harus sekolah satu tahun lagi, Cissy. Dan orang tua kita tidak boleh tahu. Begitu pula dengan... yah, teman-teman kita..."
"Dan Tuan-mu..." kata Narcissa tiba-tiba tidak bersemangat menyeruput kopinya lagi.
Lucius mencium kedua tangannya, "Ya, terutama Tuan-ku. Walaupun dia menyetujui pernikahan antar darah-murni, aku melakukan sesuatu dibelakangnya saat ini, yang mungkin berujung hukuman- Tapi jangan khawatir..." Lucius mengubah topik, "Segera setelah kau lulus kita mungkin bisa dengan resmi memberitahukan kalau kita sudah menikah dan kau ada didalam perlindunganku..."
"Aku tidak mau jadi Pelahap Maut," gumam Narcissa sekonyong-konyong.
Narcissa menatap mata Lucius, mencoba menerka balasannya. Apakah dia berharap Narcissa mengikuti jejak sang suami untuk itu? Apakah Narcissa harus mendukung layaknya istri sejati? Menunggu di rumah sementara Lucius pergi memenuhi panggilan Tuan-nya, melakukan entah-apa dan entah-apa yang mungkin bisa menghalanginya kembali pulang... Jauh setelah pernikahan, ternyata ada banyak hal yang menambah pikiran selain Ramuan Penunda Kehamilan.
"Itu bukan tempat buatmu, Cissy. Jangan khawatir..."
Narcissa tertegun-tegun mendengar jawaban Lucius. Mencari-cari lagi kebohongan dalam suaranya. Apakah dia juga sedang belajar untuk menjadi dewasa?
"Nah, tiga sendok makan cukup, Cissy... Mau minum sekarang?"
.
.
.
Setelah bosan dengan Yunani, mereka ke Italia. Di negara itu ternyata banyak sekali kota kecil yang menanti untuk dikunjungi. Juga banyak tempat yang penuh situs sihir dan komunitasnya. Mereka menggunakan jaringan floo internasional untuk menghemat tenaga ber-apparate. Lucius dengan senang hati bercengkerama dengan penyihir-penyihir terhormat di sana, bertukar ilmu, mantra, juga artefak-artefak kuno untuk koleksi. Narcissa sungguh senang Lucius tidak berkampanye tentang Pelahap Maut, walaupun koper mereka sekarang setengahnya berisi barang-barang baru Lucius.
Awalnya mereka berjalan tanpa arah, hanya ingin kabur sejenak dari kegilaan kemarin dan berkeliling Eropa. Tapi beberapa saran dari teman baru Lucius membuat mereka mendarat di kota-kota kecil yang merupakan 'tempat yang bagus untuk waktu berkualitas bersama kekasih'. Kota-kota kecil hanya mempunyai sedikit tempat tinggal penyihir, atau tidak sama sekali. Hal ini yang membuat Lucius senewen beberapa hari terakhir.
Narcissa juga ikut uring-uringan, masalahnya ada beberapa hal yang memang tidak dapat mereka hindari. Realitas yang sedang mereka tangguhkan saat itu.
Di malam-malam harinya saat Narcissa tertidur, dia bisa merasakan panas yang membara berasal dari lengan Lucius yang memeluknya. Melihat tanda kegelapan yang hitam legam di depan matanya sendiri membuat Narcissa shock. Dia merasa Pangeran Kegelapan sungguh dekat. Tidak terkecoh oleh perpindahan mereka yang terus-menerus.
Tapi Lucius tidak mempedulikannya. Dia menarik Narcissa mendekat lagi dan mereka pun kembali tidur. Narcissa menghindari memikirkan apa yang akan terjadi sekembalinya Lucius dari liburan mereka. Siapa yang pernah mengabaikan panggilan Tuan mereka?
Narcissa selalu memeluk Lucius erat-erat, saat pikiran itu membayang di kepalanya...
.
.
.
"Mungkin sebaiknya kita pergi ke Paris besok. Akan terlalu jauh bagi kita pulang ke Inggris," kata Lucius pagi itu.
Narcissa sedang mengisi sandwich untuk bekal dengan segala yang bisa dia isi. Mereka berencana piknik di salah satu kebun anggur rekomendasi teman baru Lucius waktu itu, hanya beberapa detik ber-apparate dari penginapan, Narcissa sudah mulai bosan dengan keluhan Lucius tentang pasar-kotor-Muggle. Kebun anggur itu dimiliki penyihir juga.
Tidak terbiasa menyiapkan bekal sendirian, Narcissa mengisi roti-roti itu dengan berbagai kemungkinan selai. Menjadi jago masak seperti Kreacher mungkin adalah salah satu yang harus dia tambahkan ke daftar-cara-menjadi-istri-yang-baik-nya.
Mendengar kata-kata pulang membuat botol selainya hampir jatuh, "Ke Inggris? Kita bahkan belum ke Spanyol. Kudengar di sana banyak pantai indah juga. Atau tarian, ya? Aku lupa- Lalu bagaimana dengan Swiss? Kita belum lihat area pegunungan! Kita masih punya waktu dua minggu lagi..."
"Kau bilang kita hanya akan pergi ke Yunani dan Italia! Lagipula tidak pas dua minggu, bukan?" potong Lucius gusar. "Kau lupa pernikahan kakakmu, Cissy. Ibumu akan marah. Kau belum mengepas gaunmu dan sebagainya. Kau juga belum membeli semua pelengkapan sekolahmu yang baru..."
Narcissa tidak berminat lagi mengoles apapun. Ada pembicaraan tentang sekolah di tengah bulan madu mereka membuat Narcissa jadi dobel sebal.
"Tapi pemandangan pegunungan Swiss yang kuimpikan..." rajuk Narcissa pelan.
"Hogwarts ada di atas pegunungan juga , Cissy! Kau akan puas melihatnya setahun kedepan... Kita ke Perancis besok..."
"Baiklah, baiklah! Sebaiknya kita bergegas. Dan kalau kita mengepak nanti sore, mungkin kita bisa ke Spanyol beberapa hari, sebelum ke Perancis..."
.
.
.
Baik Swiss maupun Spanyol tidak akan pernah Narcissa kunjungi tahun ini. Mereka bertengkar sepanjang hari. Dan berujung pada kalapnya Lucius meminum anggur ratusan tahun milik si pengusaha anggur. Narcissa akhirnya tahu alasannya, Lucius sengaja pingsan karena dia tidak mau ber-apparate dan mengontak jaringan floo luar negeri manapun. Walaupun Narcissa menyadarkannya dengan mantra, Lucius tetap berlagak ketagihan anggur lezat itu dan minum lagi sampai tak sadarkan diri.
Narcissa lelah berdebat. Sepertinya berkeliling kota-kota Eropa membuat tubuhnya memberontak juga. Dan yang terpenting, Narcissa bukanlah hanya sekedar tunangan Lucius lagi sekarang. Dia adalah istrinya. Dan jabatan itu membuatnya sedikit banyak harus menghormati sang suami.
Dengan mata bengkak karena merajuk, pagi itu Narcissa menatap dikejauhan pasar pagi yang ramai dengan penduduknya yang segar habis mandi, wangi roti dari oven pertama, aroma asin bubur serta angin laut yang bercampur dengan aroma kopi. Ketika siang hari tiba, mereka sudah sampai ke perkebunan Perancis di sisi salah satu desa sihir di kota itu. Lucius terlalu pusing untuk ber-apparate sehingga mereka mencari perapian floo internasional terdekat.
Menara Eiffel milik Muggle ciri khas kota Paris menjadi pemandangan dari jendela penginapan milik mereka malam itu. Narcissa terlalu malas untuk bangun dari tempat tidur. Begitu pula Lucius. Penginapan ini adalah satu-satunya yang menghadap langsung ke menara tersebut. Salah satu syarat Narcissa agar mereka bisa pergi dari Italia adalah Lucius harus mencarikannya penginapan yang menghadap langsung menara terkenal tersebut. Dan posisi bulannya harus pas sehingga Narcissa bisa memandangi keduanya.
"Ini adalah penginapan Muggle..." desis Lucius menuntut, walaupun dia terlihat nyaman di atas bantal suteranya. Si manajer penginapan tersebut terkesan melihat pakaian mereka yang dianggapnya klasik dan aristrokrat. Manajer itu juga langsung membungkuk-bungkuk saat Lucius menyerahkan bergepok-gepok uang Muggle, lebih karena malas menghitung. Si manager yang lebih hormat padanya dibandingkan Dobby si peri-rumah, membuat dia mungkin menjadi satu-satunya Muggle yang diberi senyum tipis Lucius.
"Kau harus membayar untuk semua kesulitanku."
"Dengan senang hati..." desah Narcissa mendekat, menciumnya...
.
.
.
Pernikahan Bella dan Rodolphus diselenggarakan di rumah musim panas merangkap penginapan milik keluarga besar Black yang bertempat di sebuah kota kecil di pinggir pantai. Beberapa rumah keluarga penyihir juga bertempat disana. Besar dan megah dengan pemandangan laut terbaik. Maka Narcissa mendapati dirinya dalam suasana yang tidak asing. Dia dan Lucius pun menikah di tempat seperti itu, hanya saja malam hari. Dan beberapa tempat liburan mereka juga berupa pantai. Narcissa tidak mengeluh walaupun dia merasa akan bosan pada air asin. Lautan luas mungkin adalah yang dibutuhkannya untuk melegakan perasaan.
"Aku selalu berpikir bahwa Bella akan menikah di suatu gereja tua. Di perkotaan. Mungkin dengan berbagai kerangka pada desain interiornya. Sangat gotik. Lalu memakai gaun pengantin warna hitam sepertiku. Tapi dia bilang ingin pernikahan di pinggir pantai yang penuh kelapa dan matahari..."
Narcissa menggandeng Lucius, agak cemas, sementara mereka memasuki pintu gerbang.
"Yah, kau mungkin akan terkejut, Cissy. Tapi pernikahan bukan hanya tentang kedua pengantin, melainkan juga dua keluarga... Kita mungkin harus berhenti membicarakan ini. Kau tidak tahu kapan kau akan keseleo lidah tentang pernikahan kita..."
"Aku tidak akan besar mulut," protes Narcissa.
"Dan kau sebaiknya menanggalkan liontin itu. Itu barang murahan, Cissy... Kalau mereka sampai melihatnya..."
"Aku tidak mau melepaskan ini..."
"Baik! Jangan bicara lagi, itu Regulus kukira yang menghampiri kita..."
Anak berambut hitam dan berjubah hijau sedang berlari membelah lapangan berumput ke pintu gerbang. Dia adalah Regulus Black, sepupu Narcissa. Regulus naik ke kelas tiga tahun ini. Dan dia dengan cepat bertambah tinggi. Wajahnya tampan sementara jerawat kecil mulai muncul tanda kedewasaan. Regulus tetap mempunyai raut muka yang masam. Sepupu Narcissa yang lain, kakak Regulus, Sirius Black si kambing hitam, tidak terlihat menyambut.
"Kalian datang tepat waktu, Cissy, Lucius... Mereka masih mengepas... Dan Cissy diminta langsung ke ruang ganti..." kata Regulus terengah.
Narcissa refleks mengelus liontinnya ketika bertatapan dengan Regulus, "Aku segera kesana setelah mengantar Lucius ke kamarnya. Kemana aku minta kuncinya? Dan kurasa kakakmu tidak datang?"
Regulus mencibir, "Ibu tidak menginginkannya. Dia bertingkah bahkan sebelum kita sampai ke King's Cross. Paman Alphard menjemputnya seminggu setelah liburan..."
Narcissa tidak sempat memikirkan Sirius, yang mungkin saat ini sedang di Spanyol atau Swiss, mengacau dengan kelompok nakalnya. Sebebas-bebasnya Narcissa, Sirius masih lebih bebas dibandingkan dia... Melihat orang-orang berlalu-lalang di lobi penginapan membuat Narcissa stres. Mereka membawa pot bunga besar, berbagai kain, dan lampu gantung untuk dekorasi final. Hanya saja, karena semua penyihir, benda-benda tersebut melayang-layang berbahaya.
Tetapi begitu melihat ayah dan ibunya, Narcissa tahu alasannya mengapa dia begitu senewen sejak kemarin.
"Cissy!"
Ibunya menghambur dan menangis tersedu-sedu, seperti biasa. Rambutnya terpulas hitam semua. Samar-samar ada aroma cat dari kepalanya. Ibunya yang kembali sadar penampilan membuat Narcissa agak lega. Pernikahan membuat ibunya kembali senang dan sibuk. Setelah tahun lalu begitu tertekan dengan anak perempuan bungsunya yang setengah kriminal dan diragukan kewarasannya.
Bibi Walburga, sedang setengah jalan mengepas gaunnya sehingga bahunya terbuka sebelah. Dia menghampiri juga sambil mengelus-elus rambut Narcissa.
Tapi yang membuat Narcissa amat merasa bersalah adalah, ketika ayahnya meneriaki semua pelayan agar membawa gaun pengiring pengantin dan dia membawakan sendiri dus-dus berisi sepatu pilihan untuk Narcissa.
"Ayah, kau tidak perlu membawakan..." desah Narcissa gugup, dia mengelus liontinnya lagi, kini bersama cincin pemberian Lucius yang masih dikenakan di jari manis kirinya.
"Tidak, tidak... Kau duduklah dan kami akan pilihkan yang pantas untukmu. Kau pasti lelah setelah perjalananmu. Bagaimana Lucius? Apakah kalian bersenang-senang? Cersei bilang dia merekomendasikan beberapa rumah peristirahatan bagi kalian, sehingga kami tidak perlu mengirimi burung hantu dan tak perlu cemas, lalu..."
Wajah ayahnya tiba-tiba bersemburat merah. Narcissa merasa kupingnya panas lagi. Narcissa tahu, ayahnya mungkin akan meledak apabila mengetahui Narcissa dan Lucius hanya berdua saja dalam satu atap. Tapi juga khawatir Narcissa akan stres mendadak lagi apabila dimarahi.
"Oh, ya! Cersei sangat baik hati begitu pula teman-temannya. Mereka punya penginapan dengan banyak kamar. Lucius selalu bergaul dengan kenalannya untuk studi banding sementara aku hanya belanja saja," kata Narcissa agak terlalu cepat.
Wajah ayahnya kini rileks lagi.
"Syukurlah kalau begitu. Kau harus menceritakannya pada kami... Tapi itu bisa menunggu. Coba pakai ini, Cissy..." kata ibunya sambil menyodorkan gaun yang digantung. "Jangan khawatir, apabila terlalu sempit kami bisa membetulkannya lagi..."
Narcissa jadi tidak percaya diri karena dia merasa gemuk. Beberapa bulan ini sangat membahagiakan sehingga dia sama sekali tidak mengatur porsi makannya. Tapi gaun berwarna kuning-putih yang panjang itu masih muat di tubuhnya dengan sempurna.
Melihat tema pernikahan yang serba lembut membuat Narcissa teringat si pengantin sendiri.
"Mana Bella? Apakah dia sedang istirahat?"
"Dia sedang perawatan tubuh di kamarnya, Cissy," jawab Bibi Walburga. "Tapi mungkin sudah selesai. Kau mau bertemu dengannya?"
Beberapa menit kemudian, Narcissa mengetuk kamar pengantin yang berbau semilir. Dia tidak pernah mengingat Bella peduli pada hal semacam masker ataupun pijat kecantikan. Hal ini semakin membuat Narcissa aneh.
"Cissy! Kau datang terlambat!"
Bella membuka pintu dan aroma bunga-bungaan tiba-tiba menyergapnya. Narcissa kini melihatnya untuk yang pertama kali semenjak Bella mendatangi rumah minum Hog's Head untuk menilai kinerja ke-Pelahap Maut-an Lucius bulan Juni kemarin.
Tidak ada pelukan apapun datang dari kakaknya.
"Maafkan aku, Bella..." kata Narcissa sambil mendekap perutnya, kebingungan, Bella biasanya ramah terhadapnya walaupun dia kasar. "Mungkin aku lupa diri..."
Narcissa memasuki kamar mengikuti Bella dan segera saja terinjak olehnya sesuatu. Ternyata lantainya dibanjiri kelopak bunga.
"Kau masih harus belajar banyak, Cissy," potong Bella. "Kau membuat Lucius melewatkan semua aktivitas kami..."
"Aktivitas kami?" kaget sekaligus bingung. Kelopak bunganya menempel terus di sol sepatu Narcissa. Tidak adakah tempat untuk berjalan dengan benar di kamar ini?
"Ya! Tuan sebenarnya ingin Lucius melatih lagi mantra-mantra sihirnya, memperluas kerjasama dengan orang-orang Kementerian, dan berlatih strategi..."
"Aku tidak tahu Lucius tekan kontrak dengan semacam-latihan-perang..."
"Dia anggota Pelahap Maut, Cissy! Dan kejadian di Hogwarts kemarin tidak bisa dibilang sukses..."
"Muggle memasuki teritori sihir dan kau bilang itu kegagalan? Kalau kau mau bukti, sekarang semua dunia sihir sebenarnya sedang waspada terhadap kelompok kalian..."
Bella tampaknya akan membantah lagi, tapi dia urung mengeluarkan suara, kemudian dia menggeleng pasrah.
"Kau tidak akan mengerti cara-cara kami..."
"Lucius melakukan tugasnya seperti anak lulusan Hogwarts manapun. Sudah menjadi tradisi bahwa mereka pergi ke luar negeri untuk studi banding dan melakukan perjalanan... Aku hanya ikut dengannya..."
Bella menyentuh dada Narcissa yang membuatnya tersentak dan menghindar, "Ap-Apa yang kau lakukan?"
"Ya, Cissy... Kau bersenang-senang dan lupa diri... Sebagai calon istri yang baik, kau seharusnya mendukung apapun yang harus Lucius lakukan demi Tuannya..."
Gigi Narcissa menggeletuk saking marahnya, "Dan Dia sama sekali tidak memberimu cuti menikah kalau begitu?"
Bella menatap tajam Narcissa, kemudian mendesah dan mengangkat bahu.
"Hari ini terlalu indah untuk bertengkar... Maafkan aku, Cissy. Aku hanya mengingatkanmu bahwa Lucius mangkir beberapa bulan ini... Pertamanya dia bersemangat melakukan apapun untuk kita. Kemudian dia pergi berlibur begitu saja..."
Narcissa membuang muka. Lebih baik tidak berkata apa-apa yang malah akan membuat Bella curiga.
"Aku sebaiknya pergi, mengepas sepatu..." kata Narcissa buru-buru.
"Tidak! Kau pengiring pengantinku... Mari... Aku perlihatkan gaunku..."
Di lemari kloset, Bella mengeluarkan gaun pengantin yang dibungkus Mantra Pembungkus. Anti-kusut, anti-bau, dan anti-pengrusakan, berjaga-jaga apabila ada yang berniat menyabotase pernikahanmu. Bella mengangkat mantranya agar Narcissa bisa merasakan bahannya.
Gaun itu adalah impian Narcissa. Putih bersih, dengan bahu terbuka, dan menggembung indah di bagian bawahnya. Kerudungnya bertahtakan berlian. Mewah dan sangat elegan. Narcissa dengan refleks menatap Bella, yang ekspresi wajahnya sama sekali tidak senang.
"Ibu ingin pesta pernikahannya semewah mungkin. Ini bukan gayaku. Tapi keluarga Rodolphus pun sependapat dengan Ibu... Yah, aku hanya perlu menjalaninya..."
Narcissa agak mengerti sekarang mengapa Bella banyak menekannya tadi. Dia mungkin agak tertekan. Bahkan acara pernikahannya sama sekali bukan mencerminkan dirinya.
"Yang terpenting adalah kau mencintai Rodolphus..." gumam Narcissa.
Bella menatapinya dan Narcissa baru menyadari sekarang, bahwa kantung mata Bella sama sekali hilang. Dia cantik sekali dan sederhana. Mirip Andromeda, kakak kedua Narcissa, yang dibuang keluarga karena menikah dengan penyihir kelahiran-Muggle.
"Oh, Adikku yang manis... Aku akan memberikan pernikahan penuh cinta ini untukmu kapan saja..."
Bella menghempaskan gaunnya ke Narcissa, tidak peduli apakah dia akan kusut atau ternoda.
"Lestrage adalah keluarga yang sepandan dengan kita. Reputasi terjaga dan berdarah-murni... Ada yang bilang kita hidup untuk ini, Cissy. Menikah dengan anak laki-laki yang dipilhkan keluarga kita. Untuk menjaga kemurnian darah... Aku tidak keberatan... Hanya saja..."
Bella terdiam. Suasana menjadi hening. Hanya terdengar beberapa pegawai katering yang sibuk di lantai bawah. Sementara itu Narcissa memeluk gaun Bella dengan erat. Dia sama sekali tidak pernah bertanya apakah Bella pernah mencintai seseorang. Apakah dia pernah peduli? Narcissa bahkan tidak yakin Bella tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Kekagumannya pada Lord Voldemort diluar cinta. Narcissa bahkan tidak tahu artinya dan tidak mau tahu. Narcissa bahkan tidak mau memikirkannya.
"Baiklah..." kata Bella tiba-tiba. "Mana Kreacher? KREACHER! Dia masih harus menebarkan ribuan kelopak bunga di kamarku ini..."
Seolah kamar ini belum memabukkan saja, ungkap Narcissa dalam hati. Dan dia bersyukur, setidaknya dia tidak menikah karena orang-orang mengharuskannya demikian...
.
.
.
Upacara pernikahan keesokan harinya berlangsung lancar dan sangat membuat pegal. Narcissa jalan terlebih dahulu ke altar, berdampingan dengan adik laki-laki Rodolphus, Rabastan. Rabastan cukup sopan dan baik, walaupun dia agak menjaga jarak. Narcissa tahu Rabastan, yang seangkatan dirinya dan juga anggota Pelahap Maut. Semua anggota mungkin sudah menyumpahi Narcissa sebagai ular licik yang menahan Lucius terlalu lama di sarang.
Narcissa berusaha keras untuk menaikkan dagunya dan tersenyum lebar saat Bella berjalan ke altar. Bella tampak tidak seperti dirinya, dalam artian bagus. Dia seperti seorang putri, yang membuat Bibi Walburga terisak amat keras, nyaris seperti cegukkan, saat Bella menyetujui kata-kata pendeta untuk menerima Rodolphus sebagai suaminya.
Burung-burung terbang ketika mereka berciuman untuk mengikat janji. Narcissa tidak berusaha untuk ikut heboh. Dia menatap ke kursi-kursi tamu, dimana Lucius duduk di jajaran kedua dari depan, bersama ayahnya. Lucius tidak heboh juga. Dia malah tampak agak gelisah.
Narcissa menyadari bahwa bulan madu mereka memang sudah usai...
"Ini Ayah ingin bicara..." kata Lucius sambil mengecup kening Narcissa kilat. "Kau oke? Aku akan ke tempat anak-anak yang lain dulu... Mereka semua datang..."
Lord Voldemort, syukurlah, tidak datang. Kementerian masih mencarinya untuk ditanyai atau malah dipenjarakan. Acara pernikahan anggota teladannya bukan hal penting bagi dirinya. Setidaknya demikian. Dan Narcissa harus merasa lega walaupun beberapa anggota Pelahap Maut teman Bella dan Lucius terlihat menggerombol di air mancur minuman. Berpakaian mahal dan terlihat sombong.
Abraxas Malfoy menghampiri Narcissa setelah Lucius pergi dan mencium kening Narcissa juga.
"Cissy, anakku..." katanya ramah. Abraxas kelihatan bertambah subur walaupun usaha penjahitnya sangat bagus menutupi beberapa lemak menggelambir. Ayah Lucius itu terlihat masih gagah dan dia sudah tidak batuk-batuk lagi.
"Terima kasih telah meyakinkan Lucius untuk jalan-jalan. Daripada dia melakukan, yah... hal-hal lain yang tidak kumengerti... Beberapa orang yang dikenalkan Cersei Lannister amat bagus untuk prospek bisnis. Ya. Walaupun kaya, galleon tidak tumbuh di tanah begitu saja dan tetap harus dicari, bukan? Aku khawatir aku terlalu memanjakannya sehingga dia lupa menjaga warisannya. Takutnya nanti ketika anak kalian lahir, kalian akan bangkrut. Lihat saja beberapa keluarga kuno yang bodoh, yang kerjanya hanya bisa menghamburkan harta, seperti keluarga Gaunt yang dulu kudengar kejayaan dan keruntuhan..."
"Jangan bicara layaknya kita akan runtuh dan kau akan..." potong Narcissa khawatir. Abraxas memang banyak kekurangan sebagai penyihir dan reputasinya sebagai penyuap lebih parah daripada keluarga Black. Tapi dialah satu-satunya orang tua yang dimiliki Lucius setelah ibunya terbunuh di tahun kelima Narcissa...
"Tentu tidak, Dear..." Abraxas menepuk-nepuk tangan Narcissa. "Aku hanya..."
Abraxas lalu memeluknya dengan kebapakan sambil berbisik lirih, "Hanya kau yang bisa kuandalkan... Aku tahu dari beberapa sumberku... Dan... Apabila kau menerima ancaman dari... siapapun... Kau langsung datang temui aku..."
Abraxas melepas pelukan dan menilai ekspresi Narcissa, "Setelah istriku... aku semakin yakin bahwa dibalik pria hebat ada wanita yang juga hebat disampingnya... Aku tahu, kau akan menjadi Malfoy yang hebat..."
Saat ini pun aku sudah menjadi Malfoy, pikir Narcissa dalam hati. Narcissa hanya berharap Abraxas panjang umur untuk mengetahuinya.
"Aku pasti akan berusaha untuk itu, Sir..."
Abraxas tersenyum lega, "Baiklah, sudah waktunya aku menyapa orang tuamu. Membicarakan pernikahan kalian juga, eh? Kau pasti dapat NEWT yang bagus, Cissy..."
NEWT adalah ujian terakhir yang diberikan Hogwarts dan menjadi standar penting bagi mereka. Narcissa tidak yakin dia akan bekerja kantoran atau apa seselesainya dia dari sekolah dan akan memerlukan NEWT. Pembicaraan mereka sangat membuat frustasi, beralih kepada hal yang membuat Narcissa menambahkan beberapa hal pada daftarnya. Karir.
"Gaun bagus, Black... Kau kebanyakan makan ya liburan kemarin?"
Narcissa memutar matanya, mengenali suara itu. Yvonne Rosier menghampirinya sambil nyengir lebar. Kulit Yvonne kecokelatan juga. Mungkin dia berlibur juga di suatu pantai. Yvonne adalah teman Narcissa yang paling kritis. Dengan rambut cokelat sempurna yang ditata penuh gaya, Yvonne tampak ramping dibalut jubah pesta warna ungu muda.
"Kau baik-baik saja?" tanya Narcissa sambil memeluknya. Yvonne mengangguk yakin.
"Jangan khawatir, Cissy. Orang mungkin akan membandingkan pernikahanmu nanti dengan pernikahan Bella hari ini... Tapi kupikir segini, sih, masih kurang mewah... Lihat? Alas gelasnya bundar, bukan persegi. Ini tidak bagus... Dan air mancur anggurnya kurang tinggi..."
"Halo juga, Eva..." Narcissa tersenyum dan segera tenggelam lagi dibalik rambut halus pirang-stroberi milik Eva Nott, temannya juga. Dari balik rambut Eva, Narcissa bisa melihat tumpukan gelas anggur yang terisi sendiri secara terus-menerus dari atas. Sama seperti air mancur. Masih dikelilingi beberapa teman Lucius. "Kalau terlalu tinggi, semua akan menyangka kita mengundang raksasa..."
Mereka bertiga tertawa. Narcissa menyadari bahwa dia amat merindukan teman-temannya.
"Hei... Mana Gen?"
Genevive Zabini adalah teman Narcissa yang satu lagi. Dia cantik dan romantis, juga agak lugu. Tapi Narcissa selalu bergantung padanya soal masalah asmara. Sialnya, mungkin karena itulah Genevive mengalami hal yang tidak enak tahun ajaran kemarin. Dalam keadaan mabuk, dia dan seorang anak laki-laki Slytherin yang tidak dikenal melakukan sesuatu terlalu jauh...
"Di rumahnya kukira... Masih menyendiri... Kalau kau mendengar permintaan maaf Mrs Zabini pada Bibi Walburga tadi, ya... Tentang anaknya yang tidak mau keluar kamar..." lapor Eva.
"Oh, tidak, Gen..." Narcissa menutup matanya. Merasa tenggorokannya tercekat. Ini mungkin perasaan bersalahnya yang lain.
"Kami tidak berani menjenguknya langsung. Hanya mengirim surat yang tidak pernah dia balas. Mungkin kalau kita bertiga yang pergi..." saran Yvonne.
"Kau tidak berpikir dia... hamil atau apa, kan?" bisik Narcissa pelan sekali.
"Kuharap tidak... Yah, mungkin kita bisa sekalian membawakannya peralatan baru sekolah nanti. Dan... meyakinkan dia..." kata Yvonne.
Seseorang menghampiri Narcissa dengan berseru di tengah suasana hening mereka bertiga, "Nah, ini dia adik si pengantin!"
Ternyata Evan Rosier, sepupu Yvonne, tangan kanan sekaligus saingan Lucius di kelompok mereka. Evan yang berwajah tampan khas keluarga Rosier mempunyai mulut yang tajam berkebalikan dari muka-cantiknya.
"Kau mau apa, Evan?" desis Narcissa.
"Wah, wah, janganlah galak begitu... Aku dan teman-teman datang kemari untuk bersenang-senang. Dan membawakan Mrs Lestrange banyak hadiah untuk sampai pada langit ketujuh di malam pengantinnya..."
Beberapa pengikut Evan, yang juga teman-teman Lucius, tertawa heboh.
"Terlalu pagi untuk mabuk, bukan, sepupu?" sindir Yvonne.
"Wah, wah... Tapi kami tidak mabuk. Yah, sedikit... Kalian sudah dewasa sekarang, tidak perlu pura-pura jadi gadis suci. Dan kau, Black Muda, sebaiknya bermain aman dengan selalu minum beberapa ramuan khusus..."
Semua tertawa lagi, seolah itu lucu. Eva mulai mencabut tongkat sihirnya bahkan tanpa perlu melihat ekspresi wajah Narcissa.
"Aduh! Takut! Ada satu orang lagi yang sok suci..."
"Pergi dari sini atau aku akan langsung pergi ke ayahmu, Rosier!" bentak Narcissa sambil menahan tangan Eva. "Atau lebih baik lagi. sebaiknya kau mulai bergabung ke lantai dansa, di sana orang tidak akan melihatmu terlalu mabuk!"
Para undangan mulai menuju lantai dansa. Senang dan gembira. Narcissa ingin melihat Bella menari karena Bella sebenarnya benci berdansa. Dan tampaknya itu adalah sesuatu yang bisa dia tertawai bersama teman-temannya.
"Dan aku takut lagi! Ingat ini, Black. Aku satu-satunya yang tahu bahwa kau adalah gadis bodoh yang menjadi kelemahan besar Lucius. Aku yakin, kakakmu Bella bahkan tidak akan melupakan kewajibannya walaupun dia sudah menikah... Dia juga tidak akan membuat suaminya lebih mementingkan rumah tangga dibandingkan tugas kami yang lebih mulia..."
"Ya, mungkin kalian semua seharusnya menikahi Tuan kalian dan tinggalkan aku dan Lucius sendiri..." umpat Narcissa geram.
"Cissy..." desis Yvonne mengingatkan.
Tapi mata Evan sudah membulat karena kaget.
"Dan apa urusanmu kalau Lucius tidak berada dalam 'latihan-intensif-bunuh-membunuh' dengan kalian bulan lalu? Kau seharusnya senang karena kau tidak punya saingan saat menciumi ujung jubah Tuanmu..."
"Aku sebenarnya senang," potong Evan. "Karena Lucius akan membayar atas apa yang dia lakukan... Kau siap-siap saja. Darah-murni dan keahlian menjilat bukan berarti bebas dari kemarahan Tuan... Lucius akan dihukum. Dan kau juga..."
Evan berbalik dan tertawa-tawa lagi bersama pengikutnya. Narcissa hanya bisa terpaku. Satu tangan menahan Eva sementara tangannya satu lagi ditahan Yvonne. Kemudian matanya menjelajah beberapa tamu yang memilih untuk mulai makan siang. Lucius tampak mencolok karena rambutnya, sedang dimarahi ayahnya. Kelihatannya dia juga sudah mulai agak mabuk di siang begini. Narcissa tidak pernah melihat Lucius begitu linglung beberapa bulan kemarin. Bahkan saat tidur di penginapan Muggle sekalipun.
"Cissy? Kau... mungkin agak keras tadi... Itu hanya akan menyusahkanmu dan Lucius..." desis Yvonne di telinga Narcissa.
"Semua orang berhak liburan," kata Eva lebih ringan. "Dan beberapa bulan mangkir dari tugas tidak membuatmu harus dihukum... Terutama kalau mereka tidak menggajimu dan hanya akan membuatmu terluka kalau diserang Auror..."
"Terutama kalau itu adalah... kelompok Pelahap Maut dan bukan pegawai Kementerian..." koreksi Yvonne.
Narcissa tiba-tiba merasa pusing dan ingin merobek gaun ketatnya.
"Baiklah... Musim panas sudah usai..." katanya pelan.
"Aku benci nada suaramu, Cissy..." keluh Yvonne.
"Kenapa?" Eva yang menjawab.
"Karena pastilah dia punya rencana yang nekad lagi..." kata Yvonne menebak.
"Aku dan Lucius akan berkeluarga..." kata Narcissa berusaha agar kata-kata yang keluar dari mulutnya bukanlah 'sudah berkeluarga'. "Dan tidak ada seorang pun boleh mengesampingkan keluarga. Aku akan bicara dengan Pangeran Kegelapan agar dia tidak menghukum Lucius!"
Yvonne dan Eva terkejut sampai terdengar seperti cegukkan seperti Bibi Walburga.
"Cissy!" protes Eva keras. "Kau sama saja cari mati..."
Tapi tekad telah terbentuk di hati Narcissa. Dan kini setelah Lucius resmi jadi miliknya, Narcissa merasa dia bisa melakukan apapun.
"Aku akan melakukannya. Tapi sebelum itu, kita harus mengunjungi sahabat kita dulu... Sudah terlalu lama aku lari..."
.
.
.
