Who Are YOU
Orang-orang bilang cinta itu sama, tapi aku tidak tahu sama dalam artian sesungguhnya. Cinta itu semuanya sama-sama membosankan, atau cinta itu sama-sama menyesatkan, menyebalkan, menyusahkan atau mungkin kata-kata lain yang tidak kutahui untuk mengartikan 'sama' disini.
Hidupku seperti remaja pada normalnya, mungkin normal untuk keluargaku yang aneh. Kakakku seorang polisi, detektif atau FBI – ntahlah apa pekerjaannya – yang sering crossdress. Ibuku yang punya penyakit pikun meskipun umurnya baru menginjak 30 tahun dengan dunianya sendiri bersama bunga-bunga di halaman belakang ataupun ayahku yang hanya pengusaha biasa.
Aku punya gang sendiri – sebagaimana siswa jaman sekarang menyebut kumpulan teman-temannya sendiri – yang punya kehidupan malam yang gemerlap. Kami sering melakukan race wars dengan atribut drift yang keren itu, aku juga bisa nge – drift, tapi tidak sejago Jongin – sahabat berkulit tan-ku yang penguasa sekolah, karena dia yang punya sekolah – atau Jong Dae yang seberisik mobilnya di tikungan.
Tapi kehidupanku sedikit terusik ketika ia hadir. Awalnya aku hanya melihatnya di coffee shop sedang menyesap Espresonya. Saat itu, bisa dibilang aku terpesona olehnya. Dia hanya duduk disana, mengutak-atik ponselnya sembari memainkan cangkir kopinya namun aku seperti melihat seorang dewa Yunani memerintah dengan angkuhnya.
Tak ada kata-kata yang bisa mencelanya.
Jongin yang menyadarinya terus menggodaku untuk meminta nomor ponselnya, dia terus mendorongku untuk menghampiri dewa itu tapi semua nyali yang kupunya rasanya sudah habis kugunakan untuk menantang kecepatan. Aku bahkan tak bisa menatap matanya ketika ia menoleh ke meja kami. Dan ketika keberanianku datang, dia terburu-buru meninggalkan kafe.
Penyesalan memang selalu datang belakangan, tapi ntah mengapa aku sangat yakin bahwa kami terhubung dengan benang merah dan akan bertemu kembali.
"Kau terlalu banyak baca Manhwa, Sehun-ah." Celetukkan Jongdae membuatku terhempas dari langit ketujuh dan pecah menjadi ribuah serpihan.
"Yak! Kau tega sekali mengatakan itu pada Sehun. Kau bahkan tak punya keberanian mengajak guru tembem itu jalan!" tegur Jongin yang membelaku, aku menganggukan kepala dengan semangat ketika kalimat Jongin tepat sasaran.
"Yak! Dia itu guru, aku bisa diocehi orangtuaku, komite disiplin bahkan Min Seokkie sendiri." Seru Jongdae berapi-api.
"Kau bahkan memanggilnya dengan imut..." gumamku sebal, aku bergumam karena jika lawan bicaraku Jongdae mungkin sampai kiamat nanti ocehannya tak berhenti.
"Apa kau bilang?" tuh kan disaat dia tidak mendengarnya, mungkin ocehannya tidak akan berhenti sampai dia menginjak pedal gas dalam-dalam malam ini.
Malam berlalu dengan cepat, dunia malam race wars pun rasanya tidak menarik hanya karena wajah itu mengalihkan duniaku. Kini aku memakan sarapanku dengan tidak selera, biasanya walaupun aku hanya tidur 3-4 jam, aku tidak akan semengantuk ini, tapi hanya karena – lagi-lagi wajahnya – hariku semakin buruk. Ada perasaan sesak di dadaku, yang tidak hilang sejak aku bangun sejam yang lalu.
"Sehunnie, ponselmu bunyi." Panggilan ayah membuatku menoleh ke ponselku dan mengambilnya dengan malas.
'Kau mulai merindukannya. Perasaan itu' pesan Jongin membuat hariku yang buruk menjadi berantakan. Aku baru kemarin melihatnya bagaimana selanjutnya jika aku tak melihatnya untuk berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun.
Ya Tuhan – biasanya aku tak menyebut Tuhan mengingat aku anak nakal yang mungkin tidak disayang Tuhan – memikirnyanya membuat dadaku berdenyut sakit dan kepalaku ikut pusing.
"Sehunnie, kau baik-baik saja?" suara ibuku yang khawatir membuatku harus berakting baik-baik saja. "Tidak usah sekolah hari ini ya sayang?"
"Tidak perlu, bu. Aku hanya ingat bukuku ketinggalan tempat Jongin." Ucapku berdalih dan menolehkan kepala ke kursi yang kosong di sampingku. "Hyung tidak pulang lagi hari ini?"
"Siapa Hyung?" kini giliran aku dan ayah yang harus khawatir dengan penyakit ibu. Kini ia bahkan tidak ingat punya putra sulung.
"Aku akan membawa ibumu ke rumah sakit hari ini." Ujar ayah, aku hanya mengangguk mengerti jika mungkin rumah akan kosong ketika aku pulang nanti.
"Memang siapa yang sakit?" tanya ibuku lagi. Aku hanya menghela napas panjang, mengambil tasku dan mengucapkan kalimat perpisahan sederhana lalu menuju mobilku yang sudah siap di depan rumah.
Mobil merahku memasuki halaman parkir dan segera gerombolan perempuan seperti fans mengelilingi mobilku. Aku tetap memasang wajah datar dan keluar dari mobil setelah menyadari bahwa Jongin dan Jongdae sudah terparkir rapi. Aku melangkahkan kaki dengan berat dan tanpa harus memohon gerombolan itu membukakan jalan untukku.
Barisan murid kelas satu di lantai satu membuatku lama-lama kesal, rasa sesak dan rindu itu semakin menjadi dan mereka membuat suasana semakin runyam. Kemana para guru dimana mereka harusnya mendisiplinkan murid-muridnya. Butuh waktu untuk mencapai tangga lantai dunia dimana setidaknya murid-murid setingkat denganku tidak seramai adik kelas dan kakak kelas.
Namun langkah kaki terhenti begitu saja ketika menangkap sosok mungil yang sangat kukenal namun dengan pakaian murid culun yang membuatku terbengong bersama Minseok songsaem berdiri di kelas 1-1.
Oh My God – ini kedua kalinya dalam sehari aku menyerukan Tuhan – Kim Kyungsoo, kakakku yang paling ganas, kejam, tidak tahu malu, cerdas kembali ke sekolah dengan model nerd. Rahangku rasanya mau jatuh dan saat itu ia menyadariku.
Tanpa perasaan ia hanya tersenyum setan dan mengedip genit padaku sebelum mengikuti gerakan Minseok songsaem memasuki kelas. Dengan langkah kaku karena shock, aku membanting pintu kelas saat Minseok songsaem memulai kelasnya.
Dengan pengaruh sebagai teman Jongin si anak pemilik sekolah, Minseok songsaem tidak akan bisa berbuat banyak. "Ada masalah Sehun-ssi?" tanya dengan nada yang jelas-jelas terganggu.
Tapi pandanganku fokus pada kakakku yang memasang wajah innocent-nya – dia memang jago akting, kurasa turunan keluarga – dan menelengkan wajahnya sok imut seakan bertanya apa yang terjadi.
"Sehun-ssi sebaiknya anda kembali kekelas sebelum Ryeowook songsaem memulai pelajarannya." Ujar Minseok songsaem berjalan selangkah memunggungi Kyungsoo hyung dan menutupinya dari pandangan teman-teman satu kelasnya.
Dengan tegas, ia membuat gesture memotong lehernya dan mengucapkan 'pergi' tanpa suara. Aku menutup pintu dengan wajah pucat dan berjalan pelan meniti tangga ketika ponselku berdering.
'Akan kusita mobil dan memotong uang bulananmu sampai ada rumor kalau kau mengenalku. Terlebih lagi sampai kita ketahuan kakak beradik sebelum tugasku selesai, hidupmu akan berakhir Kim Sehun.' Sebuah teks ancaman yang cukup panjang namun bersungguh-sungguh darinya.
Baru saja Ryeowook songsaem akan menegurku karena terlambat – dia tipe guru yang membuat Jongin tunduk patuh karena bersahabat dengan orangtuanya – ia segera terdiam ketika melihatku seperti mayat berjalan dan meneruskan penjelasannya tanpa bertanya lebih lanjut.
"Sehunnie, ada apa?" tanya Jongin khawatir, Jongdae juga sudah berbalik menengok keadaanku.
"Oh come on dude, aku tidak menyangka bahwa sindrom cinta pada pandangan pertama akan separah ini." Celoteh Jongdae seraya berbisik. Andai mereka tahu, bahwa aku bahkan melupakan kenyataan jatuh cinta pada dewa untuk sesaat karena kakakku. Kini pikiran dan hatiku seakan tercabut dari tempatnya karena dua masalah berbeda yang sangat rumit.
Kenapa Kyungsoo hyung bisa bersekolah disini? Dia sudah lulus SMA 7 tahun yang lalu dan sekarang kembali lagi sebagai murid. Apa dia gila? Berarti dia memalsukan semua identitasnya? Tapi tunggu, adakah yang harus dilakukannya sampai menyamar menjadi bocah ingusan seperti itu?
Bodohnya dirimu Kim Sehun, dia polisi, detektif atau apapun pekerjaannya itu memang selalu menyamar. Sekarang yang perlu kau lakukan hanya diam dan menjauhi hyungmu di sekolah.
"Sehun...Sehun...Sehun!" sentakkan Jongin menyadarkanku dan membuatku menoleh ke arahnya dengan wajah yang pasti terlihat bodoh.
"Aku punya kabar baik dan buruk untuk?" Ya Tuhan – tiga kali – apa lagi kali ini. Aku memasang wajah menyimak. "Kabar baiknya, pria di coffee shop yang kita temui kemarin, dia murid pindahan kelas tiga."
Persetan dengan Kyungsoo hyung, aku bisa mengejar cintanya sekarang, tahu namanya, umurnya, kesukaannya, tipe idamannya dan yang paling penting aku dekat dengannya. Hanya berjarak satu lantai.
"Kabar buruknya," oh ya masih ada kabar tidak mengenakan yang menungguku. "Dia kekasih.."
Aku tidak mendengarkan penjelasan lebih lanjut, kata 'kekasih' itu menyambar hatiku yang telah remuk menjadi serpihan dan membakarnya seperti petir. Aku tidak perlu tahu siapa kekasihnya, yang jelas orang itu sangat beruntung bisa mendapatkan dewa tampan nan mempesona itu.
"Sehun-ah, uljima..." Eh, aku menangis? Tangan pucatku menyentuh pipiku yang basah dan menghapus sudut mataku hati-hati dengan senyuman yang entah mengapa muncul. Tapi aku tidak bisa menahan rasa sakit di dadaku.
Dengan sentakan, aku mendorong kursiku dan meninggalkan kelas. Bisa kudengar dengan jelas, Ryeowook songsaem berteriak di sambung ucapan Jongdae yang mencoba menjelaskan bersama Jongin. Yang kutahu kini hanya berjalan cepat menuju kamar mandi dan mengunci salah satu biliknya.
Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi cengeng. Aku tidak menangis di pemakaman anggota keluargaku sekali pun, aku tidak menangis ketika aku kecelakaan, lukaku harus dijahit bahkan patah tulang pun hanya yang lumrah terjadi padaku. Tapi aku, kini, menangis karena seorang pria yang bahkan belum kukenal.
Kepalaku menjadi sangat berat dan mataku terasa sangat perih sekarang. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menangis dan berhenti menangis? Aku hanya menatap ujung sepatu dengan pikiran kosong hingga suara Kyungsoo hyung berbicara dengan suara pelan memasuki toilet.
Ketika aku ingin memanggilnya, aku menyadari suaraku telah hilang. Tubuhku juga sangat lemas karena menangis untuk pria yang bahkan tidak mengenalku. Dengan sisa tenaga yang ada, aku mengirim pesan ke Kyungsoo hyung.
Aku tidak mendengarkan pembicaraan mereka karena suara mereka lama-lama semakin memudar, mataku juga terasa berat hingga ponsel di genggamanku terasa bergetar tapi aku tak bisa menjawabnya. Aku kehilangan kemampuanku mengendalikan tubuhku.
Aku bisa mendengar suara keras dihadapanku, sepertinya Kyungsoo hyung mencoba mendobrak pintu bilik kamar mandi dan suara beradu yang keras hingga sebuah tangan yang kukenal menepuk pipiku dengan pelan.
"Sehunnie...Sehunnie." panggil Kyungsoo hyung yang makin lama terdengar khawatir.
"Dia pingsan," sebuah suara menyahut menyatakan keadaan yang bahkan tak kusadari. "Kau mengenalnya?"
"Dia adikku."
"Apa?! Bagaimana ketua mengirimmu bertugas ditempat adikmu bersekolah?"
"Ada alasannya? Bantu aku, tubuhnya panas. Dia terserang demam." Aku demam karena menangisi pria yang tidak kukenal, aku merasa menyedihkan. "Luhan! Bantu aku, Kris akan memakluminya."
"Kenapa?" ujar orang asing itu seraya menggendongku bridal style keluar dari bilik.
"Sehun seorang kandidat." Jawab Kyungsoo hyung.
Sinar hangat menerpaku beserta semilir angin, memberitahuku bahwa aku sudah berada diluar gedung sekolah. Rasanya memalukan aku pulang sepagi ini, pingsang karena menangisi orang yang tidak mengenalku, menyedihkan.
"Dan kau membiarkan adikmu menjadi kandidat?" oh iya kandidat apa? "Aku bahkan menyesal memasuki dunia ini meskipun mendapat dukungan keluargaku."
"Apa kau lupa? Kau menyetujuinya. Aku juga tidak akan membiarkan Sehunnie masuk kesana." Langkahnya terhenti tepat ketika aku bisa membuka mataku, Kyungsoo hyung sedang membuka pintu penumpang belakang.
"Sehunnie!" serunya bersemangat ketika melihatku membuka mata. "Syukurlah kau sudah sadar, tapi sebaiknya kita tetap pulang."
Kyungsoo hyung menyingkir dan orang bernama Luhan itu memasukkan kedalam mobil. Ia menidurkanku miring membuat posisi wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Saat itu aku mengenalinya. Dewa itu tepat di depanku, tersenyum dan membelai keningku lembut.
"Kau akan baik-baik saja." Ucapnya dan menarik diri keluar dari mobil.
Aku kembali memejamkan mataku bersama sebulir air mata kembali menuruni pipiku. Dewa itu bernama Luhan. Luhan teman Kyungsoo hyung. Kyungsoo hyung sedang menyamar. Luhan sedang menyamar.
Aku masih punya kesempatan, dengan pemikiran itu aku terhisap dalam lubang hitam bernama dunia mimpi.
