"Seratus untuk Ying!"
Spontan kelas menjadi riuh. Tepuk tangan menjadi apresiasi atas sempurnanya nilai ulangan Ying ke sekian kali. Satu-satunya pemilik mata safir di kelas itu tersenyum lebar. Ia maju untuk mengambil kertas ulangannya dari guru.
Di kelas lain seseorang yang sama-sama mempunyai mata safir tersenyum, tapi nyaris tak kentara. Jangan mengira itu senyum bahagia sama seperti yang ditampilkan Ying saat itu juga. Sangat jelas di benaknya bahwa ada sesuatu kecil dalam diri Ying yang menginginkan keusaian.
Kakak beradik pemilik mata safir yang selalu menyorotkan ceria takkan kupungkiri bahwa sebenarnya menyimpan redup bak mendung pagi itu, yang menanti keakuan.
Balasan
by Ayzahra
"Fan!"
Bola masuk ke ring oleh tembakan dari Taufan lagi. Keringatnya mengucur, tapi semangatnya tetap ada, malah terus bertambah seiring jumlah poin timnya terus meningkat.
Bukan cuma basket yang mampu dimainkan oleh Taufan. Tampaknya dia adalah siswa tersibuk di sekolah. Dengan semangat yang tak pernah tampak padam ia ikuti semua kegiatan, mulai dari organisasi sekolah, lomba-lomba olahraga, dan masih banyak lagi. Apa kau merasa heran dengan orang hebat sepertinya? Ia juga mampu mengatur waktu, mempertahankan predikat juara kelasnya, dan bergaul dengan apik.
Taufan bersama segala kelebihannya sekejap populer di seantero sekolah meskipun ia anak pindahan satu tahun yang lalu.
"Ying, Kakakmu benar-benar hebat, ya," komentar gadis di sebelah Ying.
Bibir Ying mengerucut. "Aku lebih hebat loh," ujarnya sambil tetap memperhatikan sparring basketball sore ini di tepi lapangan.
"Wah-wah, Taufan menang!"
"Timnya Taufan," ralat Ying sambil memutar kedua bola kala melihat tingkah kakak kelasnya itu.
Ayo pulang.
Spontan Taufan menoleh ke arah tepi lapangan. Bisikan yang tersamarkan angin yang didengarnya baru saja jelas sangat familier. Ia pun langsung berpamitan pada yang lain. Kemudian berjalan menuju keberadaan Ying.
"Oke, ayo pulang sekarang," katanya pada Ying. Lalu atensinya tertuju pada gadis di sebelah Ying.
"Samperin aja si Fang, Ya."
"Wah, mau pulang sekarang, Fan?"
"Iya. Yuk, Ying."
Tidak ada yang aneh, 'kan?
Taufan dan Ying berjalan beriringan di tepi jalan yang cukup ramai. Di sela-sela itu Taufan mengingatkan sesuatu yang menciptakan gejolak di perut adiknya. "Oiya, kita mampir ke supermarket dulu. Kata Mama persediaan roti di rumah habis.
Ying hanya menatap Taufan sebentar. Kemudian pandangannya jatuh pada langkahnya yang terbalut sepatu. Sepertinya tidak menjadi masalah ia tidak fokus pada jalan jika tangan Taufan menggenggamnya.
Makin lama aku makin muak.
Genggaman semakin erat. Taufan melakukannya bukan cuma memberi perlindungan, tapi menjadi usaha menumbuhkan motivasi. Menyadarkan Ying pula bahwa dirinya tidak sendirian. Bahwa Taufan mampu dipercaya untuk selalu di sisinya.
"Ayo, kita lihat senja di kota yang masih menyimpannya."
"Aku tidak ingin."
"Lantas?"
"Ayo, mati saja."
Seandainya Taufan masih tidak dalam menjadi kakak yang baik, mungkin laki-laki itu akan tergiur dengan ajakan Ying.
Taufan pernah bertanya pada ibunya. "Mengapa aku tidak boleh minum itu?" telunjuknya pun mengarah pada gelas bening berisi cairan merah.
"Kamu tidak ingin mati seperti yang adikmu alami, 'kan? Beruntunglah ia memiliki Ibu yang hebat."
Perbincangan sore itu di bangunan berdinding batu terhenti karena datangnya seseorang. Belum sempat Taufan mengatakan sesuatu, ibunya lebih dulu berbisik. "Berterimakasihlah karena gadismu kembali."
Ying berada dalam tubuh seseorang yang membuat bengkak rindu pada diri Taufan.
Senja tertelan gelap. Malam ini belum ada satu pun bintang tampak.
"Ayo, pulang."
Taufan kembali membawa Ying ke daerah tempat tinggal mereka saat ini. Kurang beberapa lagi untuk mencapai rumah. Genggaman Taufan masih ada. Sejujurnya Ying merasa nyaman karena itu. Namun, ia selalu menyanggah itu.
"Sebetulnya siapa yang kaulindungi?"
Langkah Taufan terhenti.
"Aku atau pemilik sebenarnya tubuh ini?"
Ada untungnya juga Ying tidak bisa membaca pikiran, sepertinya. Oleh karena itu, ia hanya tersenyum tipis. Membuat adiknya penasaran termasuk hal yang menyenangkan baginya.
Juga Taufan tak perlu susah payah harus menyembunyikan rindunya ke mana. Rindu yang datang setiap saat. Tidak, ia tidak bisa membunuh rindu itu atau gadis di sebelahnya akan benar-benar lenyap.
Detik kemudian Taufan justru memberi Ying pelukan. "Ya, ayo kita pergi," bisiknya, "tapi nanti Ibu akan sendirian. Kau tidak sayang padanya? Atau kauajak Ibu sekalian saja, Ying."
Malam itu tersebut pula nama yang membuat Ying benar-benar muak, pemilik tubuh sebenarnya yang dipinjamnya, bersama embel-embel pengakuan sebagai jawaban dari Taufan. Apa lebih baik ia mengembalikannya ke tanah malam ini juga? Walaupun itu sama saja bunuh diri, kematian kedua kali baginya, dan akan dirasakannya sakit luar biasa.
*
Hei, itu setengah fantasi.
Hei, aku kembali.
