Ouji-Toketsu

Aku tidak akan bisa melepaskan pandangan mataku dari indahnya sakura di Osaka. Ditemani gitarku, aku mulai berkutat dengan deadline lagu yang harus kuselesaikan hari ini.

Oh ya, aku lupa satu hal. Namaku Aoko Nakamori. Aku siswi di SMU yang cukup terkenal di Tokyo, SMU Ekoda. Aku seorang penulis lagu yang juga seorang siswi berprestasi di SMU Ekoda. Man, mungkin terdengar agak sombong, namun itulah kenyataannya.

Aku berharap aku bisa segera menyelesaikan deadline lagu ini. Ueno Park yang dipenuhi sakura indah harusnya bisa menjadi inspirasi ketenangan yang indah untuk sebuah lagu. Namun, entah kenapa otakku tidak bisa diajak berkompromi untuk sebuah lagu.

Tapi, hingga hari ini beranjak sore, laguku ini belum selesai juga. Aku berdesah kesal. Akhirnya aku memutuskan kembali ke sekolah, mencari inspirasi.

Gerbang SMU Ekoda masih terbuka lebar dan derap kakiku memasukinya. Aku buru-buru mencari kelasku, 2 B. Aku melirik jam tangan. Astaga, jam tiga! Aku harus cepat-cepat mencari inspirasi! Aku bergegas berlari ke kelasku yang ada di gedung atas.

Tubrukan keras menghantam bahuku ketika aku baru membuka pintu kelasku. Aku terjatuh ke lantai. Kertas-kertas lirik laguku berserakan di lantai. Tangan berjaket hitam itu langsung membantuku berdiri. Dia mengulurkan tangannya. Aku langsung mengepalkan tinjuku, bersiap mengamuk.

Lelaki dengan jaket dan topinya yang menurutku aneh itu, langsung mengelak. "Iie... Sumimasen. Daijobu, Ojousan?"

Aku buru-buru mengomel. "Kau berjalan dengan mata tidak, sih? Aku sedang buru-buru!"

Lelaki itu tidak menggubrisku, dia malah tersenyum. Geez, cool juga. Aku melirik lesung pipitnya. Lelaki itu mendadak menunjukku dengan jari telunjuknya hingga tepat di depan hidungku dan membuatku kaget.

"Aoko Nakamori."

Aku melotot. Siapa sih, dia? Lagipula, tahu darimana namaku? Dan dia yang orang asing, kenapa dia bisa ada di kelasku?

"A... ano... tahu darimana namaku, kau sendiri tidak mengenalku...?" tanyaku ragu. Bahkan aku saja tidak mengenalnya, darimana dia tahu namaku?

Dia melengos. "Bodoh! Namamu tertera di kertas lirik lagu yang tadi terjatuh. Kau pikir aku itu penguntitmu atau apa!"

Aku menggeleng. "Iie... maaf." Aku memanyunkan bibirku. Bodoh, galak juga ternyata. Walau sejujurnya, wajahnya tidak mencerminkan wajah galak.

"Lagipula aku tahu lagu-lagumu," sambungnya cuek. Sedikit senyum tersungging di bibirku. Ah, ternyata aku cukup terkenal juga.

"Lalu, ada apa kau kesini?" tanya lelaki itu dengan nada menyelidik. Aku tertegun.

"Go... gomen nasai... tapi aku belum tahu namamu."

Dia mengulurkan tangan. "Namae wa Kaito Kuroba." Logat Kansainya menggantung. Aku hanya mengangguk dan menceritakan masalahku dengan deadline lagu besok. Dia diam mendengarkan. Aku menilai, dia seorang pendengar yang baik.

"Aku masih bingung apa yang akan aku tulis. Sebelumnya aku tak pernah sesulit ini untuk mengarang lagu," ceritaku. Aku tak peduli meski kami baru kenal, aku perlu tempat bercerita.

Dia tersenyum kecil. "Itu hal mudah. Akan aku tunjukkan padamu bagaimana caranya mengarang lagu sebenarnya."

Tiba-tiba dia menarik tanganku, berlari ke halaman sekolah. Desiran angin mengenai rokku. "Hei, apa yang akan kau lakukan?" teriakku panik. Dia melirik. Dan mengacuhkanku. Aku diam saja sampai dia mendudukkanku di bangku di atas pohon rindang.

"Sekarang tenangkan dirimu." Dia menarik daguku hingga mendekati wajahnya. Rona merah menghiasi wajahku dengan suksesnya. Ya Tuhan, apa yang akan dia lakukan?

Keningku berkerut. "A... apa maksudmu?" Dia mendengus. "Diam, kau ini. Kau terlalu mengagumi wajahku, ya?" tanyanya penuh percaya diri. Aku melotot kaget.

"Bodoh!" tukasku cepat. Mana mungkin!

Dia tetap acuh. "Pejamkan matamu, " perintahnya.

Perasaanku mulai tidak enak, tapi aku tetap menuruti perintahnya. Ada apa, sih?

"Bayangkan peristiwa yang mengesankan dalam hidupmu." Suaranya dingin.

Dalam bayanganku, peristiwa paling mengesankan dalam hidupku adalah saat untuk pertama kalinya aku bermain kemari di bawah sakura yang berterbangan.

"Sekarang buatlah lirik dari peristiwa itu."

"Sakura yang berterbangan itu... Membawaku mengingatmu, bagai bola yang terus bergulir..." bibirku menyanyi dengan sendirinya hingga membuatku heran. Astaga!

Kaito mencatat setiap penggalan lirik yang kunyanyikan. Ajaib, aku jadi merasa kepalaku ringan dan mendapat ide segar untuk lagu ini. Aku terus mengucapkan lirik yang muncul di otakku dan Kaito mencatatnya.

"Sendiri, gitar menemaniku dalam kesepian ini... Dan aku akan selalu menunggu, hingga batas waktu..." Aku mengucapkan sepenggal lirik terakhir. Hakuba mencatatnya dan menyerahkan gitarku padaku.

Aku membuka mataku dan melirik jam tanganku. Astaga, satu jam untuk sebuah lagu singkat!

Bahkan saat aku melihat kertas lirikku, Kaito sudah menuliskan kord gitarnya sesuai nada yang terucap dari bibirku, dan membuatku kagum. God, sounds like he has a perfect pitch.

Lalu setelah laguku selesai, Kaito dan aku mengobrol, tepatnya aku yang banyak bercerita dan dia yang banyak mendengarkan. Aku banyak bercerita tentang pekerjaan sampinganku sebagai penulis lagu dan soal produser yang selalu membuatku frustasi akibat deadline. Dia hanya tersenyum menanggapi ceritaku. Sebaliknya dia bercerita tentang perpindahannya dari Tokyo ke Osaka karena tuntutan pekerjaan orangtuanya.

"Aku senang bisa pindah ke Osaka, tapi ternyata cukup erai naik kereta dari Tokyo ke Osaka," katanya dingin. Aku tak menanggapi ceritanya dan mendadak ponselku melantunkan intro lagu Life dari Yui.

"Mutou-san? Aku sudah menyelesaikan deadline lagu itu. Berterima kasihlah padaku," kataku dengan wajah datar.

Mouri Mutou, produser itu malah tergelak. Kutebak, pasti dia sedang mabuk. "Hahaha... Baiklah, Nakamori-chan. Doumo arigatou... atas kerja kerasmu. Besok datanglah ke studioku..."

"Hai," jawabku sekenanya dan langsung menutup telepon. "See?" Aku berpaling pada Kaito.

Sebelah alis Kaito terangkat. "Susah juga, ya... Jadi penulis lagu," gumamnya dengan wajah geli.

Aku membalasnya dengan wajah konyolku dan dia tertawa.

"Harusnya produser itu berterima kasih padaku, aku yang sudah membantumu mengarang lagu itu," kata Kaito dengan wajah kesal. Aku tertawa. Benar juga, yang membantuku mengarang lagu itu 'kan, Kaito.

Aku melirik jam tanganku. Astaga, jam lima! Aku buru-buru meraih kertas lirik dan gitarku. Aku membungkuk pada Kaito. "Mata ashita, Kuroba-kun."

Kaito hanya mengangguk disertai senyum kecil.

Pukulan bantal mengenai kepala Taka. Taka, adik kecilku terus menggodaku setelah aku menceritakan kejadian itu.

"Mungkin Aoko-neechan mulai tertarik dengannya," tukas Taka ngawur. Wajahku sontak memerah. "Ba... baka! Mana mungkin aku suka pada orang seperti itu! Aku 'kan hanya mau berterima kasih padanya karena dia sudah membantuku menyelesaikan laguku."

"Ah, jadi setelah berterima kasih padanya, kau mau memacarinya, ya?" goda Taka sambil tertawa geli.

Aku hampir terselak onigiri saat mendengar godaan Taka. "Ah, tidak! Daripada aku, kapan kau akan punya pacar, Taka-kun?" balasku menggodanya.

Adik kecilku itu memerah, seperti tomat. "Kau tahu, Oneechan, aku mau, tapi umurku belum mencukupi," sergahnya. Aku tersenyum pahit. Belum cukup apanya? Enam belas tahun sudah mencukupi untuk berpacaran. Semua orang juga tahu itu.

"Bodoh! Kau itu sudah enam belas tahun!" tukasku sambil memegang kerah bajunya. Dia mengelak.

"Oneechan sendiri, umurmu tujuh belas tahun belum punya pacar! Nanti akan kubantu untuk bisa mendapatkan pacar!" balasnya. Aku tertegun. Eh, benar juga. Aku juga belum punya pacar, padahal aku sudah cukup umur.

Padahal kriteriaku sederhana. Aku tidak suka lelaki yang terlalu rapi dan perfeksionis, terutama dalam hal penampilan. Menurutku, seorang lelaki dengan kaos dan jaket sudah cukup, dibanding lelaki dengan kemeja dengan lengan yang dilingkis. Terlalu berlebihan.

Aku juga ingin lelaki yang dingin, namun tetap perhatian. Kriteriaku sangat gampang dan mudah dilakukan, 'kan?

"Ah, sudahlah..." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Sebagai balasan atas bantuanmu yang akan mencarikan pacar untukku, bagaimana kalau kudekatkan kau dengan Aoi-chan? Aoi-chan manis, dia juga cerdas. Aku akan berusaha mendekatkan kalian," godaku sambil menyebut salah satu nama gadis yang kutahu menyukainya. Pipi Taka memerah.

Shinagami Aoi, orang yang juga dia sukai.

Kuakui, dia, Taka, cukup tampan. Pantaslah ada setidaknya empat orang lebih yang menyukainya. Taka sangat beruntung. Setidaknya dia memang begitu. Aku tahu dia menyukai Aoi-chan, yang juga menyukainya, namun dia tetap acuh dan diam.

"Aoi-chan? Apa kau serius, Oneechan?" tanyanya dengan nada bersemangat. Aku mengangguk. Tentu saja, apa yang tidak untuk adik lelakiku yang sangat kusayangi ini.

Dia meloncat senang. "Arigatou, Oneechan!" Dia meninju udara. Aku tersenyum. Setidaknya tersenyum untuk orang yang akan jadian, tidak salah, 'kan?

Besoknya, setelah kami semua memberi salam pada Kobayashi-sensei, wali kelas kami, aku tertegun melihat sosok Kaito di sebelah sensei. Ternyata dia sekelas denganku.

"Hei, siapa dia?" tanya Ayumi pelan. Aku menggigit bibirku perlahan. Ena menatap Kaito dengan mata berbinar, "Dia tampan sekali!" Yuki menyambung, "Apa dia asisten baru Kobayashi-sensei?"

Kami tergelak. Kobayashi-sensei menyuruh kami diam dan memperkenalkan Kaito.

"Namanya Kaito Kuroba, dia murid baru pindahan dari Tokyo." Kobayashi-sensei tersenyum memandang Kaito. Kaito membungkuk hormat.

"Namae wa Kaito Kuroba. Salam kenal!" Kaito menatapku, tersenyum dan mengangguk. Aku bingung harus membalas senyumannya atau tidak, karena seluruh siswi perempuan berteriak histeris saat dia tersenyum. Arrgh, sialan.

Kobayashi-sensei menunjuk kursi kosong disebelahku. Ah, jangan bilang kalau dia akan duduk di sebelahku! Aku memukul kepalaku sendiri. Bisa-bisa...

"Ah, jadi setelah berterima kasih padanya, kau mau memacarinya, ya?" Gurauan Taka tadi malam mulai terngiang-ngiang di telingaku. Ah, mana mungkin! Aku menggeleng-geleng kuat.

"Silakan kau duduk di sebelah Aoko-chan. Dia murid kebanggaan kelas kami, selain jago mengarang lagu, dia juga meraih peringkat satu di kelas ini," ujar Kobayashi-sensei. Aku melotot saat dia duduk di sebelahku dan memasang senyum jahilnya. Sialan!

"Ohayou, Aoko-chan!" sapanya bersemangat. Aku menggigit bibirku. Kami-sama...

Seluruh siswi perempuan berteriak iri saat Kaito duduk disebelahku. Aku menoleh aneh. Memang setampan apa sih, anak ini, sampai seluruh gadis di kelas meyukainya?

Kaito ternyata pandai berbaur. Dia ramah dan cerdas. Dia cepat berbaur dengan teman-teman lelakinya, walau dia agak dingin pada gadis. Saat istirahat, banyak siswi perempuan yang mengerumuninya, seperti semut saat melihat gula. Tadinya aku juga diajak, namun aku lebih memilih menghabiskan bento-ku bersama Kyoko, sahabatku dari kelas sebelah di bawah pohon.

Kyoko hanya tertawa geli saat mendengarkan curhatanku sambil membaca majalah. "Memangnya dia seperti apa, sih?" tanyanya penasaran. Aku mendengus.

"Tampan, lucu, cerdas, dan punya perfect pitch," jawabku pendek sambil menelan bento-ku. Mata Kyoko mengerling dari majalahnya. Sumpit di tanganku menggantung.

"Perfect pitch? Nada sempurna? Maksudmu... naluri titi nada mutlak?" Wajah Kyoko tertarik. Aku mengangguk mengiyakan.

"Dia berhasil mencatat kord gitar nada C di lirikku, padahal dia hanya mendengar nyanyianku tanpa musik," tuturku.

"Sugoi ne!" Kyoko tersenyum. "Pantaslah dia jadi ouji-sama di SMU Ekoda." Aku mengiyakan. "Iya, ouji-toketsu. Pangeran Beku."

Pangeran Beku, julukan yang cocok untuk dia yang sangat dingin seperti es krim. Aku agak sedikit sebal padanya, apalagi sekarang dia sedang dikerumuni banyak gadis.

"Jangan-jangan kau cemburu padanya, ya?" goda Kyoko. Aku menggeleng. "Iie... aku bahkan sebal padanya."

Kyoko menatapku serius. "Ngg... kau itu cantik, Aoko-chan. Kenapa sampai sekarang kau ini belum punya pacar, Aoko-chan?"

Lagi-lagi topik pembicaraan ini. Aku menarik nafas pelan-pelan.

"Memangnya kenapa? Kau mau jadi pacarku, Kyoko-chan?" jawabku asal. Kyoko menggeleng sambil tersenyum geli. "Mana mungkin! Aku bukan lesbian."

Aku meliriknya usil. "Benarkah? Kulihat kau kemarin berpelukan dengan Miwako-chan?" Kyoko tertawa. "Bodoh, kemarin nilai ulanganku dan dia tertinggi di kelas. Maka itu kami mengucap syukur dan berpelukan."

"Begitu." Aku hanya tersenyum.

"Lalu, kapan kau akan punya pacar, Aoko-chan? Kau sudah menyukai seseorang, 'kan?"

Eh? Darimana dia tahu? Aku melotot.

"Taka yang kemarin membaca diarimu." Kyoko tertawa. "Jadi, kau suka dengan kakak senior yang bernama..." ucapan Kyoko tergantung akibat tanganku yang menutup mulutnya.

"Cukup!" Pipiku memerah. Pasti Kyoko sudah bisa menebak, kesimpulannya aku punya hasrat terpendam pada kakak senior. Taka sialan!

"Akan kucoba mendekatkanmu dengan Hakuba-senpai," kata Kyoko serius. Hakuba-senpai, Saguru Hakuba, orang yang kusukai sejak kelas satu itu, memang seekskul dengan Kyoko, ekskul kaligrafi. Kami-sama, ada apa sih, dengan hari ini? Kenapa rahasiaku tentang Hakuba-senpai bisa ketahuan begini?

"Sudahlah, Aoko-chan. Kau memang menyukainya dari kelas satu, 'kan? Aku setuju kok, kalau kalian bersama. Kau cantik, dia pun tampan," ucap Kyoko sambil memegang bahuku, meyakinkanku.

Pipiku semakin memerah.

"Kukira kau akan jatuh cinta pada ouji-toketsu itu, Aoko-chan." Aku menggeleng. Bodoh, mana mungkin aku menyukai dia? Meski dia baik sekali sudah membantuku mengarang lagu, tapi...

Dia bukan tipeku.