Aku menatap sosok malaikat yang tengah duduk sambil memainkan sebuah piano usang di ruang tengah. Dia tidak menyadari kehadiranku. Sejujurnya, dia memang tak pernah menyadari sekelilingnya ketika dia tengah asik dengan dunianya. Piano. Bahkan aku pun tak akan ada di sana ketika dia sedang asik bermain.
Tes
Oh tidak!
Tolong jangan! Jangan lagi!
Hal terakhir yang ingin aku lihat dari iris gulitanya adalah lelehan bening yang kini menuruni pipinya. Aku tidak ingin melihatnya menangis. Aku tidak suka melihatnya menangis. Itu membuat hatiku sakit.
Aku berjalan mendekati sosok malaikatku, yang masih tak juga menyadari eksistensiku, kemudian duduk di sebelahnya. Kuangkat tanganku dan kuusap pipinya. Menghapus jejak airmata yang mengalir menganak sungai dari onyx kelamnya. Apa yang merisaukanmu, malaikatku?
Dia menghentikan permainannya dan menoleh padaku. Akhirnya dia kembali lagi kedunia nyata. Aku tersenyum ketika sosoknya tersenyum.
"Sarada-chan," katanya, "Otou-san membangunkanmu?" Nada bersalah terdengar dari suaranya. Aku menggeleng.
"Aku memang sudah bangun sejak tadi." Jelasku. Dia kembali tersenyum.
Kenapa Otou-san menangis?
Tapi pertanyaan itu tak pernah mampu aku lontarkan. Pernah sekali aku menanyakannya, dan berkahir dengan isakan keras dari Tou-san. Dia menangis pilu, hingga membuat hatiku terasa sakit. Dia baru berhenti menangis setelah melihatku yang ikut menangis tersedu. Dan setelah itu aku tak pernah menanyakannya lagi. Bahkan meski rasanya aku seperti akan mati karena penasaran.
Alih-alih membahasnya, aku menyandarkan kepalaku pada lengan kurusnya. Malaikatku menjadi sangat kurus. Ingatkan aku untuk memberinya banyak makan.
"Sarada-chan mau mendengar Tou-san bermain?" Dia bertanya.
"Hn."
Dan malaikatku mulai bermain. Memainkan salah satu lagu kesukaan malaikatku yang lainnya. Aku tersenyum ketika mendengarnya. Kuulurkan tangan dan ikut bermain bersamanya. Setidaknya ada saat dimana dia tidak melupakanku ketika dia sedang bersama piano.
.
.
.
My Father, My Angel
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Story by: Kinky Rain
Rated: K+
Warning: AU, sangat OOC, typo(s) berhamburan, alur berantakan,
DLDR
.
.
.
.
Aku Uchiha Sarada. Gadis cilik berumur tujuh tahun yang tidak menonjol. Jika bukan karena otakku yang pintar, dengan penampilanku yang biasa dan kacamata yang setia bertengger dimata bobrokku, maka tidak akan ada yang mengenal diriku.
Tidak masalah. Aku tidak pernah mengeluh dengan hal itu. Sejujurnya aku juga tidak peduli apakah aku akan menonjol diantara siswa-siswa lainnya atau tidak. Biarlah mereka dengan jalan mereka dan aku dengan jalanku.
Aku memasukkan bukuku ke dalam tas dan menyandangnya pada bahuku. Kubuka pintu kamarku dan berjalan menuju ruang makan dimana ayahku sedang menyiapkan sarapan. Bunyi gesekan kayu dan lantai bergema ketika aku menarik salah satu kursi. Ayahku mengalihkan pandangannya dari penggorengan dan menoleh padaku. Dia tersenyum ceria ketika melihatku.
"Otou-san membuat telur orak-arik. Sarada-chan suka?"
"Hn." Aku mengangguk, membalas senyumnya.
Kuperhatikan dirinya yang sedang menyiapkan piring. Postur tubuhnya tidaklah tegap seperti kebanyakan pria dewasa. Jika dia lebih percaya diri dan tidak sering menundukkan wajahnya, kurasa dia akan tampak lebih tinggi dari dirinya saat ini.
"Mengantar Sarada-chan ke sekolah, kemudian bekerja. Menjemput Sarada-chan, dan membuat makan malam. Mengantar Sarada-chan ke sekolah, kemudian bekerja. Menjemput Sarada-chan, dan membuat makan malam." Kalimat itu selalu dia ucapkan setiap pagi bagaikan doa. Kurasa dia melakukannya untuk mengingatkan dirinya sindiri. Meski aku tidak yakin kenapa dia melakukannya, karena pada dasarnya itu adalah rutinitasnya setiap hari. Tidak mungkin dia akan lupa, benar kan?
"Otou-san, bulan depan di sekolahku akan diadakan festival musik. Aku terpilih mengikuti lomba bermain piano."
"Sarada-chan pintar. Pasti Sarada-chan akan memenangkanya." Begitu tanggapannya.
"Aku ingin Tou-san datang melihatnya."
Ayah mengangguk. "Tou-san akan menulisnya di memo dan menempelkannya di kulkas. Tou-san akan mengingatnya. Pasti."
Aku tersenyum, dan sekilas melirik ke arah kulkas yang penuh dengan tempelan memo. Kebanyakan adalah memo yang ayah tempelkan untuk mengingat hal-hal yang penting menurutnya. Setiap hari aku akan memilahnya dan membuang sebagian memo-memo itu. Meski begitu, memo itu justru semakin banyak setiap harinya.
"Mengantar Sarada-chan ke sekolah, kemudian bekerja. Menjemput Sarada-chan, dan membuat makan malam. Mengantar Sarada-chan ke sekolah, kemudian bekerja..."
Sambil menggandeng tanganku, malaikatku masih menggumamkan kalimat itu ketika kami berjalan menuju stasiun. Pun ketika kami memasuki kereta dan dia menggendongku agar tidak berdesak-desakan dengan orang-orang.
Dia masih menggumamkan kalimat itu ketika kami berlajan menuju ke sekolahku. Orang-orang yang kebetulan melintas di sekitar kami memandang dengan sorot aneh. Pemandangan yang sudah biasa aku saksikan setiap hari.
Aku tidak pernah mempedulikan mereka ketika mereka memandang ayahku seolah ayahku adalah orang aneh. Mereka tidak salah. Mereka hanya tidak tahu jika ayahku adalah malaikat yang tersesat di bumi saat dia sedang mengunjungi dunia penuh dosa ini. Mereka hanya tidak tahu bahwa malaikat itu telah menjelma sebagai seorang Uchiha Sasuke, ayah dari seorang gadis cilik bernama Uchiha Sarada. Mereka hanya tidak tahu bahwa meski ayahku tidak memiliki kesempurnaan seperti kebanyakan orang, dia memiliki hati yang lebih besar dari orang lain. Tidak apa-apa meski ayahku tidak sempurna. Karena bagiku, dia adalah malaikatku dengan segala kesempurnaannya.
Kami berhenti di sebuah gerbang yang ramai dengan anak-anak. Ayah berjongkok dengan satu lutut dan mengancingkan satu kancing sweterku yang terlepas.
Dia tersenyum. "Sarada-chan baik-baik di sekolah. Sarada-chan anak pintar. Sarada-chan anak Tou-san yang paling cantik sedunia."
Meski aku sudah mendengar kalimat itu bekali-kali, namun aku tidak pernah bosan. Aku suka ketika dia mengatakannya. Siapa yang tidak suka ketika malaikat memuji dirimu?
"Tou-san juga harus bekerja dengan semangat." Aku tersenyum dan membetulkan topi berlogo Macdonals yang dikenakannya. Dia mencium ujung hidungku dan memelukku.
Aku melambaikan tangan ketika dia berjalan mundur meninggalkan area sekolah. Dia melambaikan kedua tangannya sebelum benar-benar menghilang di antara keramaian.
Aku sedang berjalan menuju kelas ketika suara seseorang menghentikan langkahku.
"Lagi-lagi dia diantar oleh ayahnya yang idiot itu." aku memandang datar pada gadis cilik berambut coklat yang tengah berbicara dengan temannya. Aku tidak tahu siapa dia atau bahkan namanya. Yang aku tahu, dia adalah segelitir dari sekian banyaknya orang yang memandang rendah ayahku. Aku tidak marah ataupun kesal. Aku hanya kasian padanya, karena pasti seumur hidupnya dia tidak pernah bertemu dengan seorang malaikat. Dia jadi begitu tidak bahagia.
Melupakan kata-kata gadis itu, aku melanjutkan langkahku. Duduk di bangku paling depan adalah kesukaanku. Karena dengan begitu aku akan dengan mudah melihat dan mendengar ketika guru menjelaskan. Bel berbunyi tak lama setelah aku masuk ke dalam kelas. Matsuri-sensei yang selalu tampak cantik memasuki kelas dan tersenyum ramah pada kami.
"Ohayou, minna." Sapanya ramah. Kami menjawab dengan penuh antusias.
"Sebelum memulai pelajaran, sensei ingin kalian menuliskan beberapa kaliamat yang menggambarkan tentang ibu kalian. Tidak mempengaruhi nilai memang, tapi ini semata-mata untuk memperingati hari ibu beberapa hari yang lalu. Sensei akan memberikan waktu lima menit untuk kalian."
Aku terdiam untuk beberapa saat, sebelum memutuskan apa yang harus aku tulis.
"Ibu orang yang cerewet dan merepotkan." Shikadai mengakhiri ceritanya. Hanya satu kalimat dan itu cukup membuat seisi kelas tertawa. Temari ba-san pasti marah jika dia mendengarnya. Dasar Shikadai.
Aku berdiri membawa bukuku ketika Matsuri-sensei memanggil namaku. Aku menghela napas dan memandang teman-teman sekelasku. Kenapa mereka begitu tenang? Aku lebih suka jika mereka ribut dan tidak memperhatikanku. Sekali lagi aku menghela napas sebelum mulai bicara.
"Otou-san bilang, Okaa-san adalah wanita yang paling cantik. Otou-san bilang, Okaa-san sangat pandai memasak dan masakannya sangat enak. Otou-san bilang, Okaa-san akan membuat seluruh dunia jadi berwarna ketika dia tersenyum. Tapi Otou-san bilang, Kaa-san sangat cengeng dan mudah menangis. Otou-san harus membelikannya es krim untuk membuatnya diam." Aku berhenti bicara dan memandang seisi kelas. Teman-temanku yang tadinya membisu kian membisu setelah mendengar ceritaku. Kupalingkan pandangan pada Muatsuri-sensei yang menatapku dengan kening berkerut.
"Kau menggambarkan ibumu berdasarkan apa yang ayahmu bilang, Sarada-chan?" tanya Matsuri-sensei.
"Aku tidak punya ibu dan aku tidak pernah sekalipun melihatnya. Jadi aku tidak tahu seperti apa dia. Tapi Tou-san selalu bercerita tentang Kaa-san. Tou-san bilang aku cantik seperti Kaa-san." Jelasku. Dan itu memang kenyataannya. Ibuku meninggal setelah melahirkanku. Aku hanya melihatnya melalui foto, dan aku tahu dia adalah orang yang baik meski tanpa Tou-san mengatakannya.
Matsuri-sensei menatapku iba. Tidak! Jangan pandang aku dengan tatapan seperti itu!
Aku bahagia. Aku sangat bahagia dengan hidupku. Karena aku tinggal bersama seorang malaikat sempurna yang selalu merawat dan menjagaku. Meski dengan hidup yang sederhana, tapi aku tidak pernah mengharap lebih. Otou-san selalu memenuhi kebutuhanku. Dia mampu menjadi seorang ayah sekaligus ibu untukku. Aku tidak punya alasan untuk tidak bahagia, bukan?
"Kau boleh duduk Sarada." Aku kembali ke kursiku dan mulai mendengarkan ketika Matsuri-sensei mulai menjelaskan pelajaran.
Aku menatap dalam diam ketika melihat beberapa anak yang dijemput oleh orang tua mereka. Seperti biasa, aku selalu menunggu Otou-san menjemputku di ayunan ini. Tapi sudah satu jam berlalu dan Tou-san tak kunjung datang. Tidak biasanya dia seperti ini. Dia selalu menjemputku tepat waktu. Tapi sudah seminggu ini dia selalu terlambat menjemputku. Aku bahkan harus menunggunya hingga sore hari. Dia akan datang dengan berlari-lari dan napas yang nyaris putus.
Aku memutuskan untuk datang ke tempatnya bekerja untuk mencari tahu penyebab dia begitu lama. Lagipula Macdonals tempatnya bekerja tidak terlalu jauh dari sekolahku. Sekali-sekali tak apa kan jika aku yang menjemputnya?
Aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Kuedarkan pandanganku, namun aku tidak menemukan sosok yang kucari.
"Ada yang bisa kubantu adik manis?" seorang pria bermata ungu bertanya padaku.
"Aku mencari Tou-san."
"Di sini banyak sekali 'Tou-san' adik manis, yang manakah di antara mereka yang benar-benar Tou-san mu?" Tanyanya lagi ikut mengedarkan pandangannya.
"Aku mencari Uchiha Sasuke."
"Oh, Sasuke. Kau Sarada-chan." Aku mengangguk.
"Bagaimana kau tahu namaku?"
"Sasuke selalu bercerita tentangmu. Dia bilang dia punya seorang malaikat kecil yang sangat cantik. Dan dia tidak bohong. Kau cantik seperti ibumu."
"Kau kenal ibuku?"
"Tentu. Aku sudah bekerja di sini sebelum mereka menikah. Mereka adalah pasangan yang unik."
"Jadi apa kau melihat Tou-san?"
"Dia sudah pulang sejak tadi. Shift-nya sudah habis jadi dia sudah pulang." Aku mengernyit. Otou-san sudah pulang sejak tadi? Tapi kenapa dia tidak menjemputku?
"Arigatou gozaimasu." Aku membungkuk pada pria bermata ungu tadi.
"Wah, gadis kecil yang sangat sopan, Sasuka pasti mendidikmu dengan baik. Sama-sama adik manis." Dia tersenyum padaku sebelum aku meninggalkan Macdonals.
Aku berjalan tanpa arah dan tanpa tujuan. Jika Tou-san sudah pulang sejak tadi, lantas kemana dia pergi? Dia tidak datang menjemputku, dan dia juga tidak ada di tempat kerja.
Langkahku terhenti saat melihat sosok yang sudah sangat kukenal. Rambut pantat ayamnya. Tidak mungkin aku salah melihat. Tapi apa yang dia lakukan di sini? Dia mengangkat kardus-kardus dan memasukkannya dalam mobil box. Dia membungkuk berkali-kali setelah menerima sesuatu yang kukira dalah uang. Aku berjalan menghampirinya.
"Otou-san." Dia menoleh dan terkejut begitu melihatku. "Apa yang Tou-san lakukan di sini?"
Dia segera menghampiriku dan memelukku.
"Sarada-chan pasti lama sekali menunggu. Tou-san lupa waktu dan tidak menjemput Sarada-chan. Tou-san bersalah. Maaf."
Aku melepaskan pelukan ayah dan menggeleng.
"Apa yang Tou-san lakukan?" Bukannya menjawab pertanyaanku, ayah malah menyeriangai senang.
"Sepertinya uangnya sudah cukup. Ayo, ayo. Tou-san ingin memberikan sesuatu untuk Sarada-chan." Aku hanya mengikuti ketika ayah menggandeng tanganku dan membawaku ke suatu tempat.
Kami berhenti di sebuah toko boneka. Aku mengernyit dan menatap ayahku.
"Sarada-chan tunggu di sini. Tou-san akan segera kembali." Katanya sebelum menghilang di dalam toko. Beberapa saat kemudian, dia keluar dengan tangan berada di balik punggung. Dia menyeringai senang ketika telah berdiri di hadapanku.
"Tara!" Dia tersenyum lebar sambil menunjukkan kedua tangannya yang memegang boneka ayam. Aku ingat boneka itu. Seminggu yang lalu ketika aku melewati toko ini bersamanya, aku melihatnya. Entah kenapa aku begitu menyukainya dan tak dapat menahan diriku untuk tak mengatakannya pada ayahku.
"Ayamnya sangat mahal. Sisa gaji Tou-san tidak cukup untuk membelinya."
"Dan Tou-san mencari kerja tambahan untuk mendapatkan uang?" Dia mengangguk dan tersenyum.
"Tapi Tou-san jadi membuat Sarada-chan menunggu setiap pulang sekolah. Tou-san bukan Tou-san yang baik. Maafkan Tou-san." Raut sedih terpatri di wajahnya dan itu membuatku terluka. Aku tidak akan pernah mengeluh jika harus menunggu demi malaikatku. Meski aku harus menunggunya ditengah terik matahari atau bahkan badai sekalipun. Aku akan melakukan apapun untuknya.
Airmataku menetes tanpa diminta. Semakin kutahan, semakin deras mengalir. Membuat Tou-san yang melihatnya menjadi panik. Memeluk boneka ayam dengan sebelah tangannya, dia berlutut di hadapanku dan meletakkan telapak tangannya yang terbuka di bawah daguku. Menahan airmataku yang terjatuh.
"Kenapa Sarada-chan menangis? Sarada-chan tidak suka bonekanya? Otou-san bisa menukarnya jika Sarada-chan mau. Jika uangnya tak cukup Tou-san bisa mencarinya lagi." Dia mengusap pipiku. Aku menggeleng.
"Aku suka. Aku sangat menyukainya. Terimakasih Otou-san." Aku berusaha tersenyum meski airmataku tak mau berhenti.
"Lalu kenapa Sarada-chan menangis?" Dia bertanya khawatir.
"Aku menangis karena bahagia." Jawabku. Wajahnya yang murung berubah ceria mendengar jawabanku. Dia segera memelukku erat.
"Tou-san senang jika Sarada-chan bahagia." Katanya di leherku. Dia melepas pelukannya dan mencium ujung hidungku, sebelum kembali memelukku.
Ya. Aku bahagia. Bagaimana bisa aku tidak bahagia ketika seorang malaikat begitu menyayangi dan memperhatikanku?
.
.
.
.
terinspirasi dari film babo dan film2 sejenis.
entah kenapa aku lagi seneng bikin fic tentang ayah dan anak ini, ehehe
fic ini adalah two shot jd chap depan langsung tamat.
see you and I LOVE YOU FULL :D
