"Romantic Love FM"
By: Sazeharu Reito
Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto
Note: Percakapan dalam hati akan diapit oleh tanda petik satu ('). Pergantian tempat, waktu dan sudut pandang akan dibold. Perkataan dalam telepon dan surat akan ditulis italic.
Happy Reading
- Chapter 1: The Beginning -
14 December 2012, 17:00
"Terima kasih karena telah mendengarkan siaran kami, kita berjumpa lagi minggu depan di 145.2 FM Romantic Love."
Gadis bersurai ungu lavender menyandarkan punggungnya yang sudah letih ke bangku yang sedari tadi ia duduki. Headphone hitam yang senantiasa menempel di telinganya selama 1 jam penuh ia tanggalkan dan letakkan diatas meja. Ia menutup matanya sejenak, menikmati suasana santai setelah selesai melakukan pekerjaan yang melelahkan. Hinata bekerja sebagai penyiar disalah satu radio meskipun ia adalah satu-satunya penerus Clan Hyuuga, clan yang sangat terkenal di Konoha.
"Kau sudah selesai?" Wanita dengan rambut blonde memasuki ruangan tempat Hinata menyiarkan acaranya.
Hinata menjawab pertanyaan wanita itu dengan anggukan pelan. Mata Hinata menatap wajah orang yang telah sudi memberinya pekerjaan itu. "Baru saja."
"Kalau begitu pulanglah, keluargamu pasti sudah menunggu."
Hinata bangkit dari duduknya lalu mengambil dan mengenakan mantel coklat yang ia gantung di tiang gantungan di dekat pintu masuk ruangan. "Aku pulang dulu, Tsunade-san." Hinata membungkuk sopan kemudian berjalan pulang.
Hinata memutuskan menjadi seorang penyiar radio karena menurutnya inilah pekerjaan yang paling pas untuk anak pemalu sepertinya. Paling tidak itulah pekerjaan dimana ia tidak harus menatap mata seseorang. Hinata memang terkenal sebagai sosok yang pemalu apalagi saat berkomunikasi dengan seseorang. Tatapan mata merupakan hal yang sangat menakutkan baginya.
Hinata berjalan menembus jalan yang putih, tertutup salju. "Beberapa hari lagi akan memasuki masa liburan, pasti akan membosankan."
- Flashback -
"Hei Hinata! Mau makan bersama?" Anak perempuan dengan rambut bercepol dua bertanya pada Hinata yang saat itu masih kecil, mungkin 5 tahun.
Hinata menyatukan kedua ujung telunjuknya. Ia menatap kakinya sendiri karena terlalu malu untuk menatap mata teman kelasnya itu. "A-Aku mau makan sendiri saja, terima kasih atas ajakanmu, Ten Ten."
Ten Ten memiringkan kepalanya "Baiklah, sampai jumpa!" teriak Ten Ten sambil berlari menghampiri anak-anak lain yang tengah duduk bersama, bersiap untuk makan siang.
Hinata sendiri berjalan ke dalam gedung sekolah dan memilih untuk makan di atas atap sekolah. Namun sesampainya ia disana, ia melihat seorang anak tertidur dengan pulasnya. Anak itu memiliki 3 garis di pipinya bagai kumis seekor kucing. Rambut kuningnya bergerak, tertiup angin sepoi-sepoi.
"Naruto?" Ia bergumam dengan suara sekecil mungkin agar tidak membangunkan anak bernama Naruto itu. Hinata berdiri disamping Naruto dengan kotak bento yang ia genggam erat dengan kedua tangannya. Mata Hinata terus terpaku melihat wajah Naruto tanpa berkedip.
Naruto tiba-tiba menggerak-gerakkan hidungnya, mengendus sesuatu. "Hinata?" Naruto membuka matanya yang sedari tadi tertutup rapat.
Hinata langsung gelagapan saat mata mereka bertemu. Dengan wajah yang memerah, Hinata berusaha mengatakan sesuatu tapi mulutnya tak mau terbuka bagai brangkas yang terkunci.
Naruto terdiam sejenak menunggu apakah ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh gadis kecil dihadapannya itu tapi karena cukup lama terdiam, Naruto pun memecah keheningan. "Ada apa Hinata?"
Perut Naruto yang keroncongan mengarahkan mata safirnya ke kotak bento yang dipegang Hinata. "Itu untukku?" Naruto menunjuk bento yang dipegang Hinata sambil tersenyum lebar.
Senyuman Naruto sukses membuat wajah Hinata semakin memerah melebihi warna merah tomat. Tanpa berkata apapun, Hinata melangkah cepat meninggalkan Naruto yang melongo keheranan.
- Flashback Off -
Butiran putih salju yang dingin menyentuh pelan pipi Hyuuga muda itu, membuyarkan lamunannya. Ia membersihkan salju yang ada di pipinya dan kembali fokus pada jalan. "Kenapa aku malah mengingat hal itu?"
Hinata terus berjalan menuju ke kediamannya yang terletak agak jauh dari tempat kerjanya. Sehari-hari, Hinata biasanya berangkat ke tempat kerjanya menggunakan bus lalu pulang dengan kendaraan yang sama tapi hari ini bus itu tidak beroperasi karena bus yang biasa beroperasi di sekitar stasiun radio rusak akibat cuaca buruk kemarin.
"Hai Nee-chan!" sapa seorang gadis kecil yang terlihat berdiri tepat di depan toko bunga. Gadis itu cantik untuk ukuran anak-anak berusia 10 tahun.
Hinata melambaikan tangan kearah gadis itu sambil menyunggingkan senyumannya yang manis. "Hai!"
- o0o -
"Tadaima!"
Suara lembut yang sangat menawan itu sangat dikenal oleh Hanabi, adik dari Hinata. Hanabi langsung berlari kegirangan menuju ke pintu dan tersenyum lebar menyambut kepulangan kakaknya. "Okaeri!"
Hinata mengelus kepala adiknya itu. "Kau tidak nakal kan?"
Hanabi mengangguk dengan pasti. "Tentu saja."
"Ehem.." Hiashi Hyuuga, ayah dari Hanabi dan Hinata berdehem. Ditatapnya wajah Hinata dengan tatapan datar. "Ada yang ingin aku bicarakan."
Hinata mengelus kepala Hanabi sekali lagi lalu Hinata membungkuk sedikit hingga wajah mereka sejajar. "Pergilah kekamar, nanti kita main." Hinata tersenyum. Hanabi menuruti perkataan kakaknya. Ia pergi dengan gembira sembari melompat-lompat kecil.
Setelah kepergian Hanabi, Hiashi duduk di atas bantalan yang terletak di salah satu sisi meja ruang tamu. "Duduklah."
"Ada apa Tou-san?" Hinata duduk di sisi lain meja. Ia meletakkan kedua tangan di atas pahanya. Dari raut wajah yang diperlihatkan Hinata, sepertinya ia sudah tau apa yang hendak dibicarakan sang ayah.
"Kau masih bekerja?" Hinata mengangguk pelan. Hiashi menghela nafas lalu dengan wajah yang kurang senang ia berkata, "Kau adalah penerus Hyuuga, posisimu sudah jelas dalam masyarakat yaitu sebagai calon pemilik perusahaanku, lalu untuk apa bekerja sebagai penyiar?"
"Ini bukan soal posisiku nanti, ini adalah hobiku," celetuk Hinata.
"Hobi?" Hiashi mengernyitkan dahinya. "Apakah itu penting? Apakah kau akan menjadi besar dengan hobimu itu?"
"Sudah kubilang ini bukan soal posisiku nanti." Tekad Hinata sudah sangat bulat untuk menjadi penyiar. Ia sama sekali tidak peduli dengan bayaran atau pun popularitas, ia hanya senang melakukannya. Dan memang seperti itulah hobi, kadang menghasilkan tapi kadang juga tidak.
"Sudahlah.." Hisashi bangkit dari duduknya. "Kau bisa menjadi penyiar untuk saat ini tapi jika tiba saatnya bagiku untuk pensiun maka kau tidak akan punya pilihan lain selain berhenti." Sosok sang ayah menghilang dari ruang tamu menyisakan Hinata, duduk sendirian di ruang tamu ditemani kesunyian malam.
Beban sebagai penerus clan terus menghantui Hinata seperti bayangan yang terus mengikutinya. Itu menghasilkan sebuah dilema di lubuk hati Hinata. Yang manakah yang harus ia pilih? Apakah ia harus menghancurkan harapan ayahnya? Atau mengorbankan hal yang berarti baginya? Apakah ada pilihan dimana tidak ada yang tersakiti?
Hinata memasuki kamarnya sendiri, menghempaskan badannya ke kasur lalu memeluk gulingnya yang berwarna ungu muda, senada dengan warna kasurnya. "Aku harus berjuang selama aku masih punya waktu."
Satu malam kembali terlewatkan. Bulan tenggelam, digantikan matahari yang terbit diufuk timur, menyinari desa Konoha. Jam dinding dikamar Hinata menunjukkan pukul 08.00 pagi. Tubuh Hinata masih terkulai lemas di atas kasur. Cahaya mentari yang menerobos jendela kamar dan menerpa wajah cantiknya, membangunkan Hinata dari dunia mimpi.
Hinata duduk ditepi ranjang sembari menggosok-gosok kedua kelopak matanya bergantian. "Sudah pagi?" tanyanya pada diri sendiri.
Hinata berjalan sempoyongan, mengambil handuk putih dari lemari dan menggantungkannya ke bahu. Ia harus bergegas mandi jika tidak ingin terlambat sarapan. Terlambat bukanlah kebiasaan Hinata tapi kemarin ia sangat lelah dan tertidur dengan pulas. Ia kelelahan akibat pekerjaannya dan juga kelelahan memikirkan ucapan atau lebih tepatnya ancaman dari sang ayah.
Hiashi kini tampak duduk bersama dengan Hanabi di ruang makan. Dua lembar roti dengan selai coklat ditengahnya dan segelas susu menjadi menu sarapan mereka hari ini. Sarapan yang sederhana tetapi enak, terutama jika dinikmati di tengah kehangatan sebuah keluarga.
"Dimana kakakmu?" tanya Hiashi.
Hanabi yang sedang asik mengoleskan selai ke rotinya dengan pisau mendongak, menatap ayah di hadapannya. "Tidak tau, aku belum ketemu dengannya sejak semalam."
"Ohayou.." Hinata menuruni tangga menuju ruang makan. Rambut lavendernya terlihat masih belum kering sempurna. Terlihat jelas saat beberapa tetes air dari rambutnya membasahi lantai yang ia lewati.
"Ohayou Nee!" sapa Hanabi.
"Kau terlambat bangun?"
"Iya." Hinata duduk dikursinya dan mengambil sepotong roti.
Hiashi melipat kedua tangan di depan dadanya. "Tidak biasanya kau terlambat."
Hinata mengigit roti yang telah ia olesi selai, mengunyahnya dengan cepat. "Iya, tidurku sangat pulas."
Hiashi merasakan sesuatu yang aneh pada putrinya tapi ia tidak ingin terus menerus menginterogasi Hinata. "Baguslah kalau begitu."
- o0o -
Naruto POV...
Kubuka mataku, menatap langit-langit kamarku yang terbuat dari kayu bercat biru muda, menurutku sangat indah. Yah tidak ada salahnya memuji kamarku sendiri, kan? Entah kenapa tapi aku merasa malas untuk beraktivitas hari ini. Mungkin karena aku adalah seorang pengangguran dan pengangguran memang tidak seharusnya mengerjakan sesuatu.
"Aku lapar.."
Aku memegang perutku yang keroncongan. Kemarin aku tidak makan sama sekali. Bukan karena aku tidak punya makanan tapi karena aku ketiduran. Aku berjalan ke dapur, bergegas memasak air dan menyiapkan 1 cup ramen spesial yang selalu aku simpan di lemari dapurku.
Tiitt..!
Uap panas menyeruak dari ujung teko tanda kalau air didalamnya sudah matang. Segera kuangkat teko itu dan kusiramkan pada ramen yang telah kubuka tutupnya itu. Sambil menunggu ramen matang, aku mengalihkan pandanganku melewati kaca jendela, menatap suasana kota yang ramai, panas, dan penuh sesak.
"Enaknya kalau punya pekerjaan."
Aku mengaduk isi ramen dengan garpu plastik yang sudah tersedia di dalam kemasan agar bumbu dan air panas dapat tercampur dengan sempurna. Aku mengangkat mi lalu menuipnya beberapa kali sebelum memasukkannya ke dalam mulutku. Ramen memang makanan terenak di bumi. Terserah jika ada yang tidak sependapat denganku.
Aku meminum semua kuah ramen hingga tetes terakhir untuk mengakhiri ritual sarapanku. Setelah menghabiskan sarapanku, aku melangkahkan kaki keluar dari istanaku untuk mencari udara pagi hari yang menyegarkan. Aku menengok ke kiri dan ke kanan mencari hal yang dapat menarik perhatianku.
"Hn?" Mata safirku tertuju pada papan iklan yang terpasang jauh di depan rumahku tapi aku masih bisa melihat setiap kata di papan itu dengan jelas.
"Meet and Greet? Apa artinya itu?"
Ah! Otakku benar-benar payah jika berurusan dengan bahasa asing terutama bahasa inggris. Tak heran nilaiku selama bersekolah selalu bermasalah. Walaupun tak paham tapi entah kenapa otakku terus berusaha mengartikan kata-kata di papan iklan itu.
"Apakah itu artinya keserakahan? Eh! Itu Greed, bukan Greet, lalu apa ya artinya?"
Tap..
Aku merasakan tangan seseorang menepuk bahuku. Perlahan kutolehkan kepalaku. "Hai Naruto, sedang apa?" sapa seorang pria dengan luka horizontal dihidungnya. Dia adalah guru SMP-ku dulu, namanya Iruka.
"Aku hanya kurang paham dengan iklan itu." Kuarahkan telunjuk kananku ke arah papan iklan yang kuperhatikan sedari tadi.
"Itu nama sebuah event yang artinya bertemu dan menyapa, kau bisa bertemu dengan penyiar Romantic Love FM lewat acara itu."
'Romantic apa tadi?' Itulah yang ada dipikiranku. Kata-kata yang keluar dari mulut Iruka-sensei terasa asing ditelingaku.
"Penyiar itu adalah orang terkenal tapi sampai saat ini tidak ada yang tau identitas asli orang itu," bisik Iruka-sensei ke telingaku.
"Aku belum pernah dengar tentang dia, memangnya dia artis?" Aku mengatakannya dengan santai.
Kulihat wajah Iruka-sensei tampak tak terkejut, wajahnya biasa saja. "Itu sudah pasti, kau kan kurang update," ujar Iruka sembari tertawa keras. Ia beruntung karena tidak ada serangga yang masuk ke mulut besarnya yang bau.
'Penyiar misterius ya..' pikirku. Nampaknya aku berhasil menemukan sesuatu yang membuatku penasaran. Apakah dia seterkenal itu?
"Ada apa Naruto?" tanya Iruka.
"Aku harus segera pulang."
"Heh? Kau kan baru keluar." Wajah Iruka sedikit terkejut.
Aku hanya tersenyum tipis "Ya, tapi aku harus pulang." Aku berjalan kembali menuju rumahku yang sederhana. Segera kubuka pintu dan naik ke kamarku. Mataku bergerak menyusuri setiap sudut kamarku yang memang kurang rapi, berusaha menemukan sesuatu.
"Itu dia."
Meskipun agak lama, akhirnya barang yang kucari bisa kutemukan. Sebuah radio tua yang juga merupakan hadiah ulang tahun dari orang tuaku saat aku berumur 10 tahun. Orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dan hanya itulah satu-satunya kenang-kenangan dari mereka. Aku jarang menyalakan benda itu karena menurutku radio itu membosankan, maksudku ayolah ini hanya alat yang mengeluarkan suara tanpa gambar. Aku lebih suka menonton TV, membaca manga atau memainkan komputerku.
Aku mengambil radio tersebut. Aku berbaring dengan posisi telungkup di kasurku dan meletakkan radio itu di depan wajahku. Lalu aku menggerakkan switch keatas untuk menyalakannya. Suara aneh terdengar, mirip dengan suara TV yang rusak. Aku mencari frekuensi Romantic Love FM yang kulihat dipapan iklan tadi yaitu 145.2.
"Kembali lagi bersama saya di Romantic Love FM, tempat dimana kalian bisa menceritakan pengalaman pribadi kalian dan aku selaku penasehat akan berusaha semampuku untuk membantu permasalahan kalian."
Itulah tutur kata yang pertama kali kudengar. Penyelesai masalah? Apakah ini menarik? Aku benar-benar tak mengerti dengan selera anak zaman sekarang. Aku sendiri lebih suka acara musik hardcore, atau acara tentang manga dan anime dibanding acara semacam ini. Tapi aku memutuskan untuk tetap mendengarkannya.
"Kami mendapat e-mail dari PinkyGirl, isi e-mailnya adalah pacarku sangat dingin padaku, bagaimana cara agar dia bisa menaruh sedikit perhatiannya padaku?"
Penyiar itu terdiam sejenak. "Kurasa kau harus memberikan sesuatu yang tak terduga seperti kejutan ulang tahun atau semacamnya, kau juga bisa menunjukkan sesuatu yang membuat ia ingat akan hubungan kalian."
"Ini yang namanya saran?" kataku. "Semua orang bisa melakukan ini"
"Oh iya..Hari ini kami juga membuka layanan telepon jadi bagi kalian yang berada di rumah, mungkin sedang tiduran sambil malas-malasan, tidak tau hendak berbuat apa dan punya masalah, kalian bisa menelpon ke 556-789."
Aku segera celingukan. "Apakah ada kamera disini? Bagaimana dia bisa tau apa yang kulakukan? Mungkin hanya kebetulan." Aku berpikir sejenak. Apakah harus kuhubungi? Tapi sebelum itu, aku harus memikirkan sebuah masalah agar menjadi alasanku menelepon.
Kuraih telepon yang terletak diatas meja disamping ranjangku. Kutekan nomor sang penyiar itu dengan perasaan deg-degan. Kuletakkan ganggang telepon ditelingaku, menunggu panggilanku tersambung.
Tuuut..Tuut..Tuut..Ckrkk..
"Moshi-moshi..Siapa ini?"
Suara penyiar ini sangat lembut, berbeda dengan suaranya saat siaran. Otakku kembali kuputar. 'Apakah harus nama asliku? Hmm..'
Aku berdehem agar suaraku dapat terdengar jelas. "Namikaze Minato." Itu adalah nama ayahku. Aku yakin dia tidak akan marah jika aku menggunakannya. 'Jika penyiar ini ingin main permainan rahasia maka aku juga akan merahasiakan diriku,' pikirku.
"Minato-san? Apa masalahmu?"
"Aku punya seorang teman saat aku masih ditaman kanak-kanak, dia manis tapi agak pemalu," kataku.
Diseberang sana, tempat Hinata berada, ia terlihat mendengarkan dengan serius sambil menganggukkan kepalanya sesekali. 'Taman kanak-kanak?' pikir Hinata.
"Suatu hari ia membawa bento tapi entah kenapa saat kutanya tentang bento itu, dia malah pergi." kataku. Peristiwa itu kembali terbayang di dalam pikiranku seiring aku menyampaikan curhatanku. "Masalahnya adalah kami terpisah, aku tidak tau dia ada dimana sekarang dan aku ingin bertemu dengannya lagi, adakah saran untukku?"
"Hmm..Hal ini cukup sulit dan aku tidak tau apakah perkataanku akan membantu tapi jika kalian masih saling mengingat satu sama lain, kalian pasti akan berjumpa lagi, itulah menurutku"
Hinata tersenyum tipis saat menjawabnya. Ia merasa adanya kemiripan antara kisah penelpon ini dengan kisahnya sendiri. 'Kenapa bisa sama ya?' batin Hinata terheran-heran.
Mendengar jawaban dari penyiar misterius itu membuatku tersenyum. 'Ya aku akan selalu mengingatnya,' batinku. "Terima kasih." Aku menutup telepon dan meletakkannya kembali ke tempat semula.
Senyum tak mau hilang dari wajahku. Aku merasa tidak menyukai penyiar ini tapi tadi, saat aku meneleponnya, aku merasa bahwa penyiar itu sangat menarik, mulai dari suaranya yang lembut hingga sarannya yang sukses membuat hatiku menjadi tenang.
- o0o -
Normal POV...
Hinata memutar sebuah lagu sebagai selingan dalam acaranya. Ia duduk sambil mengingat penelepon bernama Minato tadi. "Siapa dia? Apakah dia.." Hinata menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak mungkin dia."
Penyiar misterius bukanlah ide Hinata melainkan ide Tsunade. Menurut Tsunade, itu akan menaikkan popularitas Hinata. Dan Hinata juga tidak ingin kalau teman-teman sekelas atau kerabatnya mengetahui kalau dia adalah seorang penyiar, maka dari itu ia setuju akan ide Tsunade.
"Besok ya.." Mata Hinata menatap kalender yang kini ia pegang. Tanggal 16 Desember tampak dilingkari dengan spidol berwarna merah, tulisan Meet and Greet tertulis diatasnya. "Aku akan berjuang." Hinata mengepalkan tangan dengan wajah penuh kemantapan.
Sementara itu di rumah Naruto, Naruto kini duduk didapur. Ia meletakkan jidatnya diatas meja makan. Tampaknya ia sedang merenungkan sesuatu. "Apakah aku harus datang?" Ia mengangkat wajahnya lalu mengacak-ngacak surai kuningnya. "Aku bingung!"
Ditengah kebimbangan hati Naruto, ia termenung sejenak "Kenapa aku jadi begini?" Naruto menghela nafasnya.
Kringg..Kringg!
Naruto berjalan kearah telepon lalu mengangkatnya. "Halo Naruto!"
Naruto hampir menjatuhkan telepon karena kaget akan suara yang sangat keras itu. "Siapa ini?" tanya Naruto sambil mengusap telinganya.
"Gurumu."
"Iruka-sensei?"
"Iya, memangnya siapa lagi."
"Ada apa?" Jarang-jarang Iruka menelpon Naruto. Hanya beberapa kali, itu pun hanya untuk meminjam uang dan meminta bantuan.
"Aku dapat 2 undangan Meet and Greet Romantic Love! Kau mau satu?"
'Undangan?' batin Naruto agak terkejut sekaligus senang meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan senangnya itu. "Ehem..Besok aku tidak punya rencana apa-apa sih, boleh saja."
"Bagus! Aku akan kerumahmu besok."
Naruto menutup telepon. Lalu kembali meletakkan jidatnya diatas meja makan tapi tak lama kemudian ia mengangkat wajahnya dengan semangat. "Aku akan datang kesana!"
- To Be Continued -
Note:
Fic romance kedua, aku berusaha agar tidak Out of Genre lagi hahaha..
Fic ini juga sekaligus meramaikan hari valentine, mudah-mudah kalian bisa terhibur. Sebuah masukan sangat berarti agar fic ini menjadi semakin bagus di chapter berikutnya.
Kyou wa koko made, Jaa ne! ^^)/
