Black

(Black Shirt's Sequel)

.

Aerolee

.

Warning!

(Typo everywhere, EYD Failed)

.

BoyxBoy | Yaoi | Angst, Hurt, Romance, Drama | PG-15

.

Yoongi, Jimin, and other.

.

Don't Like?

.

Don't Read!

.

Don't Plagiarize

.

Semua cast milik agensi masing-masing, orang tua masing-masing, dan juga milik Tuhan.

Tapi Fanfic ini asli milik saya, jika ada kesamaan alur, kata-kata, cast atau sebagainya, itu hanya unsur ketidak sengajaan.

.

Happy Reading!

.

.

.

TWO SHOOT

.


.

CHAPTER 1

.

.

.

.

.


.

.

Warna hatiku adalah hitam

Terbakar hingga hitam, hanya seperti itu

Hitam—kalian tahu? Sesuatu yang didominasi akan kegelapan, tanpa cahaya, kelam layaknya langit tanpa bintang. Hitam, identik sesuatu yang menyengsarakan. Menakutkan, gelap, dan buruk.

Warna hatiku adalah hitam, terbakar hingga hitam—hanya seperti itu. Acap kali aku melihatmu, iris penuh harapan itu seakan menyeretku ke dalam pusara kegelapan. Gelap—hitam, penuh dengan malapetaka. Senyum riangmu seolah memanggilku untuk terus mengikutimu tanpa tahu batasanku.

Kau bagai candu, hanya secuil rasa yang kau berikan dan aku berhasil jatuh terlalu dalam. Kau bagai pematik, menghujamku dengan api merah membara milikmu hingga aku terbakar. Hitam—tak bersisa.

Nama sesungguhnya dari cinta pastilah kebencian

Harapan adalah induk dari kekecewaan dan keputusasaan

Cinta, terlalu banyak arti dan kata untuk mendeskripsikan sebuah kata yang menurutku terlalu gamblang dibicarakan oleh khalayak ramai. Cinta—tak sesederhana apa yang terlihat. Kenyataannya, cinta dapat mendefinisikan kebencian. Munafik bila kau terus menyebutnya suatu perasaan yang membahagiakan dan penuh candu setiap waktu. Namun, ketika kau terlalu jatuh ke dalamnya—di situlah cinta menampakkan wujud aslinya, sebuah kebencian.

Kau berkata seolah ada harapan untuk membawa hubungan kita lebih baik, tapi nyatanya harapan yang kau berikan hanya sebatas rasa kekecewaan dan keputusasaan. Kau bukan dewi, dan aku bukan pula dewa— tak ada hal yang hakiki dari apa yang kita perbuat. Hanya membuang-buang waktu dan melakukan hal bodoh.

Sudah lama sejak waktu antara kau dan aku telah berhenti

Kesalahpahaman selalu menjadi penyebab rasa sakit

Baik aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri

Jadi harapanku, kau mengerti aku adalah kesalahpahaman itu sendiri

.

.

.

.

.

"Park Jimin!"

Derap langkah cepat terdengar memekakan telinga siapapun yang berada di sekitar halaman gedung Grifin'kly Inc. pagi itu. Hampir dua puluh orang wartawan sudah bersiap mengambil posisi, mengatur kamera mereka untuk mengambil gambar seseorang yang akan membuat mereka menjerit setelah ini.

"Park Jihoon!"

"Park Jimin atau Park Jihoon?"

"Saudara kembar yang benar-benar identik!"

"Bukankah itu William Bert?"

"Oh! Kau berbicara apa? Jelas itu Park Jimin!"

Belum sempat pintu gedung utama terbuka dan menampakkan seseorang di baliknya, suara riuh para penggemar bercampur para wartawan sudah bersahut-sahutan terlebih dahulu. Dan antusiasme mereka semakin besar setelah dua orang pemuda keluar dari balik pintu gedung.

Secara sekilas kau akan menemukan seseorang yang telah terbelah menjadi dua—bagai pinang dibelah dua, dua pemuda itu benar-benar mirip secara fisik—hanya berbeda warna rambut dengan perpaduan ash grey dan hitam. Benar-benar kembar identik!

"Jihoon, kau yakin akan melakukannya sekarang?" Salah satu pemuda bersurai hitam menoleh, menatap pemuda lain bersurai ash grey yang sudah sibuk tersenyum dan melambaikan tangannya tanpa perasaan kaku atau apapun itu. "Maksudku, ini sangat berbeda dengan ekspektasiku."

Pemuda bernama Jihoon itu berhenti, membalas tatapan sang kakak yang lebih tua darinya lima menit itu. "Ayolah Jimin-hyung, kita sudah terlanjur ketahuan. Menunda-nunda itu bukan hal yang baik asal kau tahu."

"Dan jangan memanggilku Jihoon, namaku William Bert di sini," Lanjutnya.

Jimin memutar bola matanya, mendengar saudara kembarnya kembali mempermasalahkan nama membuatnya sedikit kesal. Tak tahukah dia jika dia masih menjadi keturunan Park? "Mau kau Bert atau apapun itu, kau tetap Park Jihoon. Kau adikku, dan kau adalah anak dari Park Jong-hyun. Mau kau rubah namamu berapa kali tetap saja, akta kelahiranmu bermarga Park."

Jihoon berdecak, "Baiklah terserah kau saja hyung, kita baru bertemu setelah dua puluh tahun berpisah dan kau hanya mempermasalahkan sebuah nama. Aku tidak habis pikir."

Jimin tidak mengindahkan ucapan adiknya, lelaki bersurai hitam itu berjalan mantap menuju mobil, mengabaikan para fans Jihoon dan para wartawan yang terus-menerus melontarkan pertanyaan kepadanya. Ia letih dan ingin segera tidur.

"Hyung,"Panggil Jihoon setelah mereka berdua berhasil menyamankan diri di dalam mobil.

"Hm."

"Jimin hyung."

"Apa?!"

Jihoon tertawa, "Jadi seperti itu ekspresiku ketika aku kesal, benar-benar lucu."

Tidak tahukah dia jika Jimin sekarang benar-benar merasa letih? Ia baru saja akan tidur sebelum adiknya itu kembali bersuara dan membuatnya kembali kesal. Oh, ayolah, perjalanan dari Seoul menuju Paris benar-benar sangat panjang. Kenapa saudara kembarnya ini selalu membuatnya jengkel.

"Terserah, aku mengantuk. Please, Park Jihoon, hyungmu ini perlu istirahat sejenak, okay?"

"Kau boleh tidur, tapi biarkan aku memelukmu. Boleh?"

Jimin membuka matanya lebar, menatap Jihoon penuh tanya. Kenapa adiknya ini tiba-tiba meminta hal aneh seperti itu?

Seolah tahu apa yang dipikirkan Jimin, Jihoon kembali bersuara, "Aku merindukanmu, kau tahu hidup jauh selama dua puluh tahun itu tidak asik."

Jimin tersenyum lalu menarik Jihoon dalam dekapannya, "Kenapa kau manja sekali? Kau sudah berumur dua puluh enam tahun asal kau ingat," Ucapnya seraya mengusap surai ash grey Jihoon.

"Aku rindu ayah, ibu, dan juga kau, hyung."

"Aku juga merindukanmu, Jihoon-ie."

"Kau membuatku ingin menangis, bodoh."

"Ingat umur! Kau memalukan."

"Hanya di depanmu, tak masalah!"

"Baiklah"

"Hyung, apa kau sudah memiliki kekasih dan sudah mempunyai rencana untuk menikah?" Jihoon menarik tubuhnya dari dekapan sang kakak, menatap Jimin dengan tatapan menyelidik. Kakaknya ini tampan, kemungkinan jika Jimin masih menyandang status single adalah hal yang patut dipertanyakan. Ekm—sebagai contoh, yah, Jihoon telah memiliki kekasih yang cukup membuatnya dimabuk cinta beberapa bulan terakhir ini.

Jimin melirik Jihoon, kekasih? Bahkan pekerjaannya di Korea Selatan membuatnya hampir tak pernah memikirkan hal seperti itu. Apa itu termasuk hal yang penting? "Apa? Belum, aku bahkan tak memikirkan itu."

"Aku terlalu menghayati peranku dalam bekerja, aku bahkan tak sempat memikirkan hal kekanakan seperti itu." Lanjutnya.

Mendengar itu Jihoon tersenyum, entah mengapa mengetahui jika kakaknya itu belum memiliki kekasih membuatnya senang. Walaupun ia masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya itu, "Kalau begitu, menetaplah di Paris lebih lama. Lakukan peran seorang kakak sebagaimana yang harus kau lakukan sebelumnya."

"Kau, kenapa mendadak?"

"Sudah kubilang, aku merindukanmu."

"Astaga, kau berubah menjadi bocah enam tahun ketika hanya berdua denganku."

"Masa bodoh, kau hanya tidak tahu rasanya hidup bertahun-tahun tanpa keluarga yang sesungguhnya," Kesal Jihoon dengan mencebikkan bibirnya, membuat Jimin tersenyum gemas melihat adiknya kini berpose menjijikkan yang sama sekali tidak cocok dengan tubuhnya yang atletis—yah, tidak berbeda jauh dengan dirinya.

Jika boleh jujur Jimin sangat merindukan saat di mana ia mempunyai waktu menyenangkan seperti ini bersama adiknya, hidup jauh dengan Jihoon sejak mereka menginjak umur enam tahun membuat Jimin benar-benar merindukan adiknya.

Jimin tersenyum dan kembali mengusap surai Jihoon, "Baiklah, apapun yang kau inginkan. Tapi, kau harus mengenalkan kekasihmu itu kepadaku besok, bagaimana?"

"Kenapa mendadak sekali?!"

"Aku ingin tahu seperti apa kekasih adikku ini, hingga kau berniat menikahinya tahun depan," Jimin menarik hidung Jihoon gemas sebelum tertawa renyah—yah, setidaknya ia ikhlas didahului oleh sang adik.

"Baiklah, aku akan membawanya besok."

.

.

.

.

.

Warna dunia suramku adalah hitam

Awal dan akhir perubahan, hitam dan putih

Duniaku, suram—warna hitam selalu menyelimutiku. Kau tahu? Semakin kau membenci suatu hal, entah apapun itu, tanpa sadar kau mencoba menariknya mendekat kepadamu. Aku membenci hitam, segala bentuk hal berkaitan dengan hitam—aku membencinya, sangat.

Tapi, semakin aku menolak keras—semakin warna itu mendekatiku. Hitam, buruk tanpa harapan. Hingga warna itu berhasil menguasaiku—warna dunia suramku adalah, hitam.

Awal dan akhir perubahan, hitam dan putih—apa yang harus aku katakan dengan warna monokrom? Hidupku sudah hitam sejak awal, tapi saat itu kau membawa warna putih dalam kehidupanku. Putih—bersih dan suci, tampak polos namun tak bertahan lama.

Apa gunanya? Putih yang kau bawa hanya sebagai bendungan yang akan lapuk beberapa waktu yang akan datang. Akhirnya? Warna putih yang kau cemari hitam walau hanya setitik, akan berubah menjadi hitam.

Bibir berwarna merah

Seperti kebohongan berwarna merah

Park Jimin mengerang kesal setelah mendapat sambungan telepon dari seseorang beberapa menit yang lalu, ia memijat pangkal hidungnya—kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika pria bersurai hitam itu tengah lelah.

Jihoon yang tak sengaja melihat Jimin segera menghampiri kakaknya, "Ada apa?"

Jimin menoleh, keningnya sedikit mengerut ketika melihat Jihoon yang masih berpakaian santai ala rumahan, "Kau tidak ada acara?" Alih-alih menjawab, Jimin melempar pertanyaan kepada Jihoon.

"Oh? Aku tidak ada jadwal hari ini. Ada apa? Apa ada masalah di Seoul?"

Jimin tidak langsung menjawab, "Seperti biasa, klienku selalu senang mempermainkanku," Jawab Jimin dengan lesu.

Mendengar itu Jihoon tertawa seraya menepuk pundak sang kakak, "Aku ingin memberikan solusi, tapi aku sama sekali tidak mengerti dengan masalah perusahaan. Oh, kasihan sekali CEO muda kita ini."

"Kau berisik, Park Jihoon," Cibir Jimin.

"Omong-omong dia akan datang sebentar lagi."

"Siapa?"

Belum sempat Jihoon menjawab, suara bel terdengar. Segera Jihoon melesat menuju ruang tamu meninggalkan Jimin yang masih memandang kepergian adiknya itu dengan tatapan bertanya-tanya.

"Seperti apa yang kau minta hyung, aku membawanya kemari," Jihoon muncul dari balik pintu dapur, namun bukan itu yang membuat Park Jimin kembali mengerutkan keningnya. Melainkan ada seorang lagi yang mengikuti Jihoon di belakangnya, dia kekasihnya?

Tanpa menunggu balasan dari Jimin, Jihoon menarik lengan kekasihnya—membuat lelaki berkulit putih bak porselen itu berdiri sejajar dengannya— lelaki itu bersurai hitam legam yang cantik, mata sipit seperti keturunan Asia pada umumnya, dan memiliki bibir merah yang menawan. Sejenak Jimin tertegun, ia pikir kekasih dari adiknya itu adalah orang pribumi, yang berarti adalah orang keturunan Eropa asli. Ternyata perkiraannya salah, lelaki itu menyandang darah Asia murni.

Sama seperti reaksi orang pada umumnya, lelaki cantik itu menatap Jihoon dan Jimin bergantian. Seolah-olah memastikan apa yang tengah dilihatnya adalah sebuah kenyataan—bahwa kekasihnya itu memiliki saudara kembar yang identik— dan semua pertanyaan tak tersiratnya terjawab setelah Jimin mengangkat suara.

"Aku Park Jimin, kau pasti sudah tahu bahwa aku adalah kakak dari kekasihmu itu," Jimin menyalurkan tangannya dan disambut baik oleh lelaki cantik itu, "Walaupun hanya berjarak lima menit."

"Aku Min Yoongi, kau dapat memanggilku Yoongi dengan sebutan hyung di belakangnya."

Spontan Jimin menoleh menatap sang adik, yang ditatap hanya menyuguhkan cengirannya yang membuat Jimin ingin meneriaki adiknya itu, "Yoongi hyung lebih tua dari kita dua tahun, hyung," Jelas Jihoon.

"Ya, terserah saja. Aku ada keperluan sebentar, kemungkinan aku pulang larut," Ucap Jimin sambil lalu, berjalan melewati Jihoon dan Yoongi dengan angkuh—mengabaikan raut bingung Yoongi dan kekehan kecil yang dilontarkan oleh Jihoon.

Satu hal yang dapat Yoongi simpulkan, lelaki bernama Park Jimin itu memiliki sifat yang tak bisa ditebak. Berbanding terbalik dengan Jihoon yang terkesan blak-blakan, sedangkan Jimin—lelaki itu terkesan penutup dan dingin, mungkin?

"Sudah, biarkan saja. Jimin memang seperti itu,suasana kantor yang sedikit kacau membuat sikapnya terlalu moody belakangan ini," Jelas Jihoon, mencoba mengalihkan pikiran Yoongi yang tampak sedikit terganggu dengan sikap Jimin yang tak acuh, "Dia orang yang baik kok."

Yoongi yang tak tahu harus berbicara apa hanya bisa tersenyum kecil dan mengangguk. Namun, jauh di dalam hatinya ia merasa gelisah, entah kenapa bayangan Jimin seolah-olah menari dalam pikirannya.

Dia tidak mengenaliku?

.

.

.

.

.

Jimin mematik batang nikotin itu sebelum menikmatinya seolah batang nikotin itu sebuah permen yang memiliki rasa manis yang teramat. Jimin tahu bahwa kebiasaannya menyesap batang rokok adalah sebuah kebiasaan yang buruk dan bahkan dapat mengganggu kesehatannya. Tapi siapa peduli? Hanya nikotin lah yang dapat mengerti dirinya sekarang.

Jika kau menganggap Jimin adalah orang yang teratur dan memiliki kontrol diri yang baik, kau salah. Jimin bukan orang yang penyabar dan tenang, hanya saja pekerjaan dan segala tuntutan dari pria congkak itu membuatnya harus menelan mentah-mentah sikap yang seharusnya tercermin pada seorang penerus perusahaan.

Dan berakhir dengan Jimin yang bermain dengan diri aslinya di malam hari, terlepas dari sosok Jimin yang tenang dan aura mendominasi ketika ia berada dalam aktifitas. Melelahkan? Sangat, menjadi seseorang yang bukan dirimu sendiri adalah sesuatu yang melelahkan dan membosankan. Toh, harus bagaimana lagi? Ia adalah anak sulung keluarga Park, mau tak mau ia harus menelan semua takdirnya begitu saja. Menyusahkan bukan?

Jimin menghela napas berat, menatap langit malam kota Paris yang begitu indah di malam hari. Jangan tanya di mana posisinya sekarang, ia bahkan tidak tahu. Yang pasti, ia berada di kawasan yang ramai dan di kelilingi sungai yang cukup indah. Oh, dan ada beberapa musisi jalanan yang tampak bersemangat menghibur orang-orang.

"Tidak terlalu buruk," Gumamnya, "Ini hampir seperti di Seoul."

"Benarkah?"

Suara ini...

Jimin menoleh, matanya melebar ketika mendapati Yoongi—kekasih adiknya itu tengah duduk di sampingnya sembari menatap lurus ke arah sungai. Bagaimana bisa dia berada di sini?

"Jihoon tiba-tiba mendapat telepon dari agensinya," Seolah mengerti apa yang dipikirkan Jimin, Yoongi kembali bersuara dengan tenang seolah hal itu sudah biasa terjadi— mengusap kedua telapak tangannya, mencoba mengurangi hawa dingin yang menusuk tubuh.

Jimin kembali dalam posisinya, menyesap batang rokok yang tinggal setengah itu dan membuang asapnya dengan perlahan, "Bagaimana dengan adikku?"

"Ya?" Yoongi menoleh, menatap Jimin dengan tatapan bertanya-tanya.

"Jihoon, seperti apa dia di matamu," Jelas Jimin, suaranya terdengar serak. Sepertinya ia mulai merasa kedinginan—

"Jihoon ya..." Yoongi tampak berpikir, senyumnya mengembang, "Dia sangat mirip denganmu, secara fisik. Dia bukan seorang perokok sepertimu, bukan juga seorang yang kaku dan penutup seperti dirimu."

Jimin tersenyum miring, "Begitu ya..."

"Aku masih takut akan kegelapan, dan warna hitam," Yoongi meluruskan kaki-kakinya, mendongak, menikmati semilir angin malam yang benar-benar terasa sejuk ketika menerpa kulit putihnya, "Aku kesal padamu, bagaimana bisa kau tidak pernah memberi tahuku jika kau memiliki saudara kembar, hm?"

"Apa itu penting?" Jawab Jimin sambil lalu, menurutnya hal itu bukanlah hal penting. Toh, memang seharusnya dia dan Jihoon tidak memiliki hubungan seperti kakak beradik. Dia dan Jihoon memiliki jalan hidup yang berbeda, dan juga—takdir yang berbeda.

Ayahnya—Park Jong-hyun, sejak awal memang tidak pernah menginginkan anak kembar. Bahkan Jimin mengutuk waktu kelahirannya, jika saja bukan dia yang lebih dulu diangkat saat itu, mungkin dia akan berperan dalam hidup Jihoon saat ini. Bukankah itu lebih menyenangkan?

"Kau..."

Yoongi terdiam, entah mengapa tiba-tiba ia merasa ragu untuk mengatakan sesuatu kepada Jimin.

"Kembalilah,Park," Lirih Yoongi, kedua tangannya ia rapatkan. Bertanda ia benar-benar ragu dengan ucapannya sendiri.

Jimin tertawa, membuang puntung rokoknya asal-asalan sebelum beranjak dari tempat duduknya.

"Bukankah kau lebih menyukai Jihoon daripada aku?" Sahutnya dengan senyum miring, kemudian berjalan meninggalkan Yoongi yang masih terdiam pada tempatnya.

See? Dia benar-benar sudah melupakanmu, Min Yoongi—

.

.

.


To be Continued


Author's note:

Kembali dengan membawa fanfic twoshoot karena fanfic chaptered banyak yang belum kelar xD

Gimana-gimana? Ada yang ngeh dengan alur ceritanya?

FF ini lanjutan dari Black Shirt, kalau kalian blm baca bisa check work 'Grey Necklace' Black Shirt ada di Chapter 2

Gk mau kebanyakan curhat juga sih hihi, yosh, Mind to Review? :3