The Princess

Disclaimer : Masashi Kishimoto


Halo, minna-san!

Terimakasih banyak sudah baca fanfic-fanfic-ku sebelumnya dan sudah request

Banyak banget yang request dari review sampai PM, aku jadi bingung milihnya /dilempar

Jadi, aku bakal buat 2 fic dengan pair berbeda sesuai request kalian ^^ Tapi, pertama-tama fic ini dulu ya :D

Untuk Fic ini dibuat dari request sushimakipark, keiKo-buu89, Shin-Chan, dll yang request pair SasuHina

Dan kali ini bukan mystery (akhirnya) haha jadi kalian nggak akan bingung kayak fic ku yg sebelumnya karena ini ringan (?)

Silahkan menikmati (^w^)


Step 1


.

.

"Besok, kamu akan keluar dari rumah ini."

"Eh─? Keluar?" gadis bersurai panjang berwarna kelam itu memandang lelaki di hadapannya gugup. Dengan duduk bersimpuh, rasa-rasanya kakinya tiba-tiba kesemutan saking gugupnya. Dia memang sudah lama duduk bersimpuh dan biasanya gadis bermata indigo ini bisa menahannya. Tapi, mendengar kalimat dari lelaki yang merupakan Ayah semata wayangnya, gadis ini kaget bukan main.

"Ya, kau akan kukirimkan ke kota sebelah. Tidak jauh memang, tapi jika kau pulang-pergi dari sini ke tempat itu akan memakan waktu banyak."

"Oh─ ku-kukira Tou-san mengusirku.." jawab sang gadis ragu-ragu. Dia memang tidak akur dengan sang Ayah belakangan ini. Selain karena pekerjaannya, gadis bernama Hinata dengan umur 23 ini sudah lama berkutat dengan kasus-kasus berbahaya. Ya, mungkin kalian sudah bisa mengira apa pekerjaannya. Polisi? bukan. Detektif? salah. Dia hanya seorang karyawati biasa. Tapi apa yang membuatnya berbahaya? Karena Hinata bekerja dibawah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh seorang mafia. Dan, Hinata sendiri tidak tahu siapa mafia tersebut. Dia terjebak karena tawaran gaji yang luar biasa besarnya oleh sang teman di masa kerja sebagai pelayan kafe dulu. Berbekal pengetahuan yang Hinata dapat saat kuliah, Hinata bisa masuk ke perusahaan itu dengan syarat bersifat tertutup mengenai perusahaan dan tidak mengatakan pada publik bahwa Ia bekerja disana.

Hinata tahu itu berbahaya. Tapi apa daya, demi membayar hutang keluarganya yang mulai dicicil sedikit demi sedikit, Hinata rela bekerja disana. Entah apa yang terjadi padanya jika polisi menemukan siapa pemilik perusahaan itu. Sudah pasti para karyawannya nanti kena imbas.

"Selain itu, tempatmu nanti dekat dengan perusahaanmu. Tidak perlu lagi naik kereta dan bis." Ucap sang ayah, Hiashi.

"Ah, kalau begitu.. Tou-san sudah melihat tempatnya? " tanya Hinata ragu. Dengan mata lavendernya Ia tatap sang ayah.

"Ya. Dengan begitu, aku bisa langsung mendatangimu jika terjadi sesuatu. "

"B-baiklah... ''

Hinata melirik ke sebelahnya. Sang adik, hanabi hanya tersenyum penuh arti di matanya. Tentu saja Hinata dan Hanabi tahu maksud sang Ayah. Hinata pindah agar beban dipundak Hiashi tidak terlalu berat. Dan, Hinata memang sudah besar. Ya, dia cukup besar untuk dilepas sekarang.


.

.

Hari ini adalah hari pertama Hinata tinggal disebuah apartemen kumuh dekat perusahaannya. Memang tidak seindah apartemen di deretannya, tapi setidaknya Hinata bisa bernafas di ruangan yang hanya memuat lemari dan kasur ukuran small ini. Demi pelunasan hutang, Hinata rela tinggal seperti ini. Yah, orang akan beradaptasi sesuai perjalanan hidup mereka, dan Hinata salah satunya.

"Haah─ barang-barangku bahkan hampir tidak ada yg kubawa selain pakaian. " gumamnya pelan seraya merebahkan dirinya di atas kasur. Hinata menutup matanya. Ia bayangkan kehidupan mewah yang pernah ia lihat di televisi. Hinata pernah sekali menginginkannya, tapi sayang, mimpi itu tandas saat Hiashi dikenai penipuan yang menjatuhkannya pembayaran sebesar angka yang tak pernah Hinata bayangkan sebelumnya. 1 Milyar. Ya, hanya satu angka. Tapi mengingat berapa banyak anak nol disana, Hinata langsung menjerit. Mereka hanya keluarga kecil biasa. Ibu Hinata meninggal karena sakit. Sang ayah yang bekerja sebagai buruh berusaha sekuat tenaga menghidupkan anaknya. Beruntung, otak Hinata cukup cerdas hingga selalu mendapat beasiswa, begitupula Hanabi.

Jika ditanya, Hinata sudah terlarut dalam kehidupan kelam bertahun-tahun. Ia tidak bisa mengharapkan adanya keajaiban pada dirinya. Sudah tidak mungkin.

"Hinata-san? Ini aku Tenten. Aku masuk ya. " suara nyaring dari balik pintu memasuki ruang kecil Hinata. Sang gadis bercepol dua hanya bisa tersenyum kecil. "Kau yakin tidak mau tinggal dirumahku? "

"Tenten-san─ ah, terimakasih sudah datang. Aku tidak apa tinggal disini." jawab hinata seraya memeluk sahabat dari SD-nya itu.

"Kau ini.. sudah bekerja dengan orang berbahaya, sekarang malah tinggal sendiri." Tenten menghela nafasnya panjang. Dia sudah kebal melihat kemiskinan Hinata dari dulu. Tapi, dia selalu ada untuk Hinata dan juga membantunya.

"Ha-habis.. anu─u-uang perusahaan itu cukup besar. Sedangkan aku hanya mensortir dokumen." elak Hinata sembari memajukan bibirnya.

"Kau ini, harusnya kau jadi artis saja! Sayang wajah cantikmu ini hanya jadi pajangan!" seru Tenten yang entah sudah keberapa kali dikatakan untuk Hinata.

Ya, Hinata memang sangat cantik. Surai rambutnya panjang dan halus. Kulitnya seputih susu, dengan rona merah dipipinya yang alami. Mata indah dan bibir mungil. Hampir sempurna.

"Kau tahu, aku tidak bisa ditatap orang asing terlalu lama."

"Ah benar juga. Hinata yang sedang bekerja diperusahaan mafia itu pemalu?" tekan Tenten bercanda.

"Pssssstt! Kau tidak boleh bilang begitu, bagaimana kalau ada penyadap suara?"

"Tidak mungkin. Baiklah, aku harus kembali. Kau juga sore ini akan pergi ke kantor mafia itu kan?"

"Te-tenten-san!" seru Hinta memperingatkan Tenten agar tidak sembarangan bicara.

"Baik,baik.. aku pergi dulu." Tenten lalu menjulurkan lidahnya sebelum keluar dari aprtemen mungil ini. Ya, sedikit usil, dan Hinata memaklumi sifat sahabat karibnya itu.

Setelah bersiap-siap, Hinata lalu bergegas keluar. Membiarkan rambutnya teruari dan bergoyang-goyang setiap Ia berlari kecil. Hinata takut kalau Ia akan terlambat kali ini. Mengingat kemarahan atasannya, Hinata buru-buru berlari kecil dan segera merapihkan penampilannya saat sampai di depan perusahaan.

"Eh? Ada apa ini?" ucap Hinata pelan saat sudah sampai di depan gedung. Ia lihat banyak kerumunan orang serta mobil-mobil patroli datang ke arah gedung tersebut.

"Hinata! Cepat kabur dari sini! Polisi menemukan perusahaan ini sebagai markas penjualan ilegal!" seorang wanita berambut panjang, teman sekantor Hinata menghanpirinya. "Semua karyawan sudah kabur. Kau juga sebaiknya cepat pergi. "

"Ta-tapi.. Aku hanya karyawannya."

"Semua yang menyangkut perusahaan bisa ditangkap." gadis itu tersenyum pahit. "Baiklah, aku akan pergi. Hinata, hati-hatilah."

"Ah! Tu-tunggu dulu!" seru Hinata pelan dengan raut wajahnya yang ketakutan. Sepertinya ini adalah akhir dari karir hidupnya. "Bagaimana ini.."

"Kau!" salah satu petugas yang sedang menggeledah tiba-tiba menghampiri Hinata dan menunjukkan sebuah surat di tangannya. "Aku petugas disini. Kau berhubungan dengan perusahaan ini? Aku membawa surat untuk membawa semua orang yang tersangkut."

"Eh? Ti-tidak..'' jawab Hinata ragu-ragu.

"Lalu, sedang apa? Ikutlah dengan kami untuk dimintai keterangan." petugas itu lalu segera menarik tangan Hinata yang langsung menepisnya.

"Tu-tunggu, aku tidak terpaut dengan semua ini! Aku hanya-''

"Hanya?''

"Anu-''

"Ikut kami.'' Lagi-lagi petugas itu menarik lengan Hinata. lebih erat. Sudah tidak mungkin Hinata melepaskannya sekarang. Dengan sekuat tenaga Hinata meronta untuk dilepaskan. Apa daya, tak ada yang bisa dilakukan dengan tubuh lemahnya.

"Kumohon! Aku tidak bersalah! Aku hanya kemari melihat-lihat!"

"Katakan itu nanti di pos polisi."

"Tu-tunggu duluu! "

"Hoi.'' Suara berat terdengar dari balik tubuh Hinata. Ia lalu menolehkan pandangannya ke arah belakang dan menemukan laki-laki dengan setelan jas lengkap berada dibelakangnya.

"Ah! Uchiha-sama!" sang petugas yang awalnya sibuk menarik Hinata segera melepaskannya dan membungkuk memberi hormat pada sang lelaki.

"Ada keributan apalagi ini? "

"Kasus penyelundupan, tuan. "

"Hn─dan nona ini?''

"Ah, kami ingin membawanya untuk diperiksa." jawab sang petugas melirik ke arah Hinata.

"A-aku tidak bersalah! Aku hanya sekedar lewat saja." balas Hinata sedikit kesal meski ketakutan tak bisa lagi menutupi wajahnya. Dia yakin lelaki berambut hitam ini punya kedudukan tinggi, dari auranya hinata bisa merasakannya.

"Lepaskan dia. Kau hanya membuang waktu. Periksa yang lain.'' Lelaki bernama Uchiha itu segera berjalan lagi diikuti dua lelaki yang sepertinya adalah bodyguard pribadinya.

"Baiklah, kulepaskan kau. Pergilah dari sini." usir sang petugas yang mulai kesal. Hinata yang awalnya masih menatap si Uchiha tadi, segera menatap petugas disampingnya lekat.

"A-ano.. Ta-tadi itu siapa? Polisi?" tanya Hinata ragu-ragu.

"Haah? Kau tidak tahu dia?" ujar petugas tadi kaget. "Apa kau tak punya televisi di rumah?!"

"Jangankan televisi, radio pun aku tidak punya." jawab Hinata polos.

"Dia politisi. Namanya sedang meningkat karena dia akan dicalonkan sebagai pemimpin kota ini. Bahkan, dia hampir di calonkan menjadi perdana menteri kalau saja umurnya cukup. "

"Heee? Su-sungguh? Jadi, dia orang penting?" seru hinata pelan. Ia tak percaya lelaki dengan mata elang itu bisa menjadi politisi. Seorang yang harus memiliki kejujuran tinggi dalam membela warganya dan ketentraman. Tidak, Hinata bahkan tidak tahu sifat lelaki tadi.

Setelah pamit dengan sang petugas, Hinata buru-buru menuju tempat penjualan buku bekas dan baru. Atas senyum manisnya, Hinata diperbolehkan membaca koran terbaru dan melihat bagian dalamnya. Disebutkan bahwa Uchiha tadi bernama Uchiha Itachi. Politisi termuda di partai Jepang. Dia mulai memasuki dunia politik setelah lulus kuliah dan menempati jabatan tinggi berkat otak cemerlangnya. Umurnya-pun masih 29 tahun.

"Heeee?! Du-duapuluh enam? Hanya beda 5 tahun denganku dan sudah sesukses itu?! " Hinata lalu terkesima melihat seluruh data data mengenai lelaki tadi. Hinata lalu kembali menutup koran dan segera beranjak menuju apartemennya. Sudah tidak ada yang bisa Hinata perbuat. Pekerjaannya hancur begitu saja. Lalu, bagaimana Hinata menjalani kehidupannya? Makan, berbelanja, Hinata tidak bisa memikirkannya lagi. Dia pengangguran sekarang.

"Bagaimana ini─'' Hinata lalu menatap sekelilingnya. "Setidaknya aku harus menjual beberapa barang untuk hidup. Tidak mungkin aku kembali ke tempat Tou-san yang sudah membayar apartemen ini."

Hinaga melihat kanan kiri. Mencari barang yang bisa Ia jual. "Mungkin, pakaianku?" Hinata menatap tumpukan pakaian di sebuah kotak kardus. "Ah mana mau orang membeli baju-baju yang harganya hanya 100 yen. "

Gadis cantik itu lalu berkaca di depan cermin. Menatap lekat dirinya baik-baik. "Apa─aku harus mengikuti saran Tenten? Menjadi.. artis? Tidak, tidak! Aku tidak percaya diri berakting─!"

Hinata menghela nafasnya panjang. "Mu-mungkin, itu memang satu-satunya cara untuk aku bertahan hidup." Hinata lalu mengambil ponselnya. Ya, ponsel kecil yang Ia beli bekas temannya dulu. Sederhana tetapi Hinata masih bisa menggunakannya. Itu yang terpenting.

''Halo? Tenten-chan?'' Ujar Hinata saat mendengar suara tenten di seberang. "Anu─anu..aku─perusahaanya hancur, jadi.. aku.. ingin.. bekerja."

"Heee?! Kenapa bisa? Sudah kubilang perusahaan itu berbahaya, kau tahu!" tenten menghela nafasnya panjang. "Baiklah lalu kau mau berkeja sebagai apa? Kau bisa mengirimkan lamaran kerja kemanapun dengan kepintaranmu. "

"A-aku ingin mencobanya. "

"He? "

"menjadi artis. "

"Sungguh!?" Tenten memekik senang. Sudah begitu lama ia ingin merekrut Hinata masuk menjadi bagiannya. Tenten yang merupakan editor di sebuah agensi, bukan main senangnya mendengar keputusan Hinata. Ia sudah menantikannya begitu lama.

"Tapi─akting..''

"Ah! Bagaimana kalau menjadi model? Kau tidak perlu berhadapan dengan banyak orang, 'kan? Dan, aku yakin dengan wajah dan tubuhmu akan banyak majalah yang menawarkan dirimu. Bagaimana?" tanya Tenten bersemangat.

"Mo-model?''

"Lebih baik kan?"

"...Ba-baik! Aku akan mencobanya."


Pagi-pagi Hinata sudah bersiap-siap untuk menemui Tenten. Ia dan gadis bercepol dua itu akan menemui orang-orang di agensi tempat Tenten bekerja. Ya, tenten ingin Hinata memasuki agensi tersebut sedari dulu.

"Ohayou, Tenten-chan. Terimakasih aku.. Akan berusaha!"

"Uhm! Semoga mereka menyukaimu!" Tenten tersenyum ringan. Ia lalu berjalan diikuti Hinata menuju kantor nya yang tak terlalu jauh.

"...Selamat pagi!'' Seru tenten saat memasuki kantornya. Ya, sebuah kantor agensi ternama yang sudah melahirkan bintang-bintang besar. Semua yang masuk kedalam agensi ini pasti berpeluang besar terkenal hingga manca negara.

"Tenten-san, ohayou. " balas seorang wanita cantik yang sudah duduk di depan mejanya. "Siapa yang kau bawa kali ini?"

"Lihat! Ini yang pernah kuceritakan sebelumnya. Aku ingin mengajaknya audisi untuk agensi ini minggu depan. Bantu aku ya, Ino."

"He? Bantu apa?" ujar wanita berkuncir kuda tersebut. Ia perhatikan Hinata hingga atas dengan telitu. "Dia sudah hampir sempurna secara fisik. Apalagi yang harus dipoles? "

"Cara berjalannya. Dia ingin audisi sebagai model. Ayolah.." pinta tenten manja.

"Kalau begitu, coba saja dulu sebagai model majalah. Ada tawaran sebagai model musim semi ini. Klien ingin model yang baru. Bagaimana?" tanya ino yang memegang divisi majalah di agensi tersebut.

"Sungguh?! Jadi, dia tidak perlu audisi? "

Hinata hanya diam. Dia tidak bisa memasuki pembicaraan kedua orang ini sembarangan.

"Bukan begitu. Aku akan mengambil sample fotonya. Lalu aku akan kirimkan pada majalah tersebut. Jika mereka suka, maka dia lolos." jelas Ino seraya tersenyum penuh arti. "Dengan kata lain, jika mereka mengkontrakmu untuk menjadi model bulan depan ini, maka aku akan mengkontrakmu masuk sebagai artis di agensi ini."

"He? Su-sungguh?"

"Tentu. Dan bayarannya─pembagian di agensi ini cukup adil. Model majalah tidak banyak memang, tapi jika kau sudah bisa masuk runway.. '' Ino mendekatkan wajahnya ke telinga hinata dan membisikkan sesuatu. ''Sebanyak itulah kira-kira penghasilanmu nantinya."

"A-aku akan berusaha! " seru hinata mendengar angka-angka yang terdengar di telinganya barusan. Ya angka tersebut lebih untuk membiayai kehidupannya bahkan apartemen yang ia tempati bisa hinata beli lagi dengan penghasilannya.

"Kenapa kau jadi semangat?" Ino memandang Hinata kaget.

"Karena dia ini miskin." jawab Tenten santai.

"Ah, alasan yang dipakai hampir semua peserta audisi minggu ini." Ino tertawa kecil. "Tapi, kau membawa benih yang bagus, Tenten."

"Sudah kubilang, 'kan?"

.

.


Hinata yang seminggu lalu menunggu hasil audisi kini semakin berdebar. Karena hasilnya akan keluar hari ini, dia benar-benar tidak bisa tidur semalaman. Jika dia tidak diterima, maka Ia yakin bahwa esok Hinata harus kerja rodi untuk membayar uang apartemen bulan depan.

"Hinata," Ino lalu masuk kedalam ruang tunggu, tempat Hinata berada. Beda dengan sebelumnya, kali ini Ino datang bersama lelaki berambut putih dengan masker di wajahnya.

"Ah, se-selamat pagi." Hinata membungkukkan tubuhnya dalam. Ia baru pertama kali melihat lelaki itu disini.

"Kau tahu dia siapa?"

"Eh? Ti-tidak.."

"Dia akan menjadi manajermu."

.

.

"HEE?!" Hinata membulatkan matanya lebar. Ia tak percaya dengan apa yang Ino katakan sebelumnya. "Ma-maksudnya?"

"Kau diterima menjadi model majalah! Hebat sekali, padahal kau belum ada pengalaman. Lalu, ini Hatake Kakashi-san. Dia adalah manajer artis sebelumnya yang sudah resign. Kakashi-san, ini Hinata."

"Ah, salam kenal, Hinata. Namaku Kakashi. Panggil aku sesukamu, karena selama masa karirmu, aku yang akan selalu menemanimu." Kakashi itu tersenyum dari balik maskernya.

"Salam kenal.."

"Baiklah, Kakashi yang akan melanjutkan semuanya. Terimakasih, Kakashi-san!" Ino lalu kembali keluar, meninggalkan Hinata dan Kakashi sendirian.

"Ano─ Apa benar aku diterima di agensi ini?" tanya Hinata ragu.

"Tentu saja, aku bisa lihat bakatmu. Benar kata Tenten, kau menyiakan wajahmu." Kakashi lalu menyerahkan sebuah lembaran. "Ini, kontraknya. Setelah kau tanda tangan, aku akan memberitahu semua jadwalmu nanti."

"Ah, baik! A-ano.. Yoroshiku onegaishimasu, Kakashi-san!"

"Yoroshiku, Hinata. Sepertinya aku bisa bekerja sama denganmu."

"He?"

"Tidak." Kakashi lalu menunggu Hinata menandatangani kontrak. Setelah selesai, dengan sigap Kakashi mengambil buku catatan di dalam kemejanya. "Baiklah, pekerjaan pertamamu sudah ditentukan. Menjadi model majalah remaja, dan akan dimulai minggu depan. Pastikan kau melakukan yang terbaik. Jika kau bagus, mereka bisa mengambilmu jadi model tetap majalah mereka."

"Baik─"

"Lalu, jangan pernah menyebarkan data-data pribadimu pada siapapun. Ingat, meski baru kau sudah mulai menjajaki dunia ini. Semua hal pribadi padamu itu adalah hal tabu."

"Ba-baik─"

"Dan, bersikaplah seperti dirimu saja. Aku biasanya menyuruh para artis untuk mengubah sifat mereka. Tapi, kurasa pengecualian untukmu."

"Eh? Ke-kenapa?"

"Karena mataku bagus untuk menilai orang." Kakashi tersenyum tipis dan kembali memasukkan buku catatannya. "Baiklah, sekarang saatnya kau latihan berpose. Ikut aku."

"Baik!"

.

.


Setelah seminggu berlatih, dan training di agensinya, Hinata mulai paham bagaimana menjadi model. Hinata suka pekerjaannya. Tidak menguras otak, meski tenaganya terkuras. Ia harus berlatih pose siang-malam, melenturkan otot-ototnya agar dapat berpose sempurna, merawat kecantikannya, dan harus bolak-balik ke salon untuk mengurus wajahnya yang kusam. Kakashi sebagai manajer Hinata, tahu bagaimana kehidupan gadis itu. Dia akhirnya memberikan Hinata sebuah apartemen dekat agensinya. Apartemen lama Hinata dijual, dan uangnya diberikan lagi pada sang Ayah. Ayah Hinata sendiri hanya bisa pasrah mengetahui jalan yang Hinata ambil sekarang.

"Baiklah, kau boleh istirahat. Karena besok pemotretannya, kau harus tidur lebih cepat." ujar Kakashi sembari memberikan Hinata sebuah minuman.

"Terimakasih, Kakashi-san. Ano, apa wajahku sudah bagus di foto?" tanya Hinata seraya duduk di sebelah Kakashi.

"Apa kau masih bertanya lagi? Kalau wajahmu tidak bagus difoto, kau tidak akan terpilih jadi model."

"Ah, begitu─"

"O,ya.. Setelah pemotretan, ada yang ingin bertemu denganmu."

"He? Siapa?"

"Tenten."

"Ah, benar juga. Aku belum bertemu lagi dengannya." ingat Hinata. Memang waktu Hinata terlalu sibuk hingga tak pernah bertemu Tenten meski berada di gedung yang sama.

"Katanya, dia ingin mengajakmu jalan."

"A-apa boleh?" tanya Hinata pada Kakashi yang mengatur seluruh jadwal Hinata.

"Yah, kalau pemotretannya berhasil, kau boleh libur satu hari." balas Kakashi tegas.

"Aku akan berjuang!"

.

.

.

"Hinata-chaaaan─!" Tenten yang mengikuti Hinata menuju tempat pemotretan berlari senang melihat siapa yang sedang berdiri di depannya.

"Tenten-chan!" Hinata tersenyum kecil melihat Tenten memeluknya erat.

"Ah, baru seminggu tak bertemu saja aku sudah khawatir!" Tenten memajukkan bibirnya. Ia lalu meihat ke sekelilingnya. "Aku tidak tahu kalau pemotretannya dilakukan di tengah kota begini."

Tenten lihat ke kanan dan ke kiri. Semua orang yang berlalu lalang pasti melirik ke arah setting-an yang sudah dipersiapkan di jalanan. Kamera-kamera dan lightning yang terpasang, membuat ramai di kota tersebut. Memang tema untuk pemotretannya adalah musim semi, dimana sang gadis yang sedang berjalan di kota menikmati musim semi pertamanya. Hinata sendiri sudah siap dengan dress putih selutut, boots coklat, dan sebuah cardigan 3/4 berwarna abu di tubuhnya. Gaya yang tepat saat musim semi.

"Hinata! Saatnya stand by!" seru Kakashi yang sedang berbicara dengan salah satu kameramen.

"Baik! Ano, gomen Tenten! Aku akan menemuimu lagi." Hinata lalu berlari kecil menuju Kakashi, mendengar pengarahan-pengarahan yang diberikan padanya.

"Hm─ rasanya baru kemarin Ia menangis karena kehilangan pekerjaannya."

.

.

"Bagus! Pertahankan raut wajahmu!" seru salah satu penata gaya di sana. Selama Hinata di potret, Kakashi hanya melihat dari jauh. Meneliti dan menilai perkembangan Hinata dengan matanya yang tajam.

"Kakashi-san, kau membawa anak yang menarik." ujar sang editor majalah yang sedari tadi berdiri di sebelah Kakashi. "Aku datang langsung untuk melihatnya, untung aku tidak kecewa dengannya."

"Hm─ Dia itu belum seberapa. Dia masih bisa dipoles lagi." balas Kakashi ringan.

Hinata yang berpose dengan bebas, tampak tak peduli dengan lalu lalang orang yang melihatnya. Mereka seperti terkesima, senyum Hinata memang memancarkan pesonanya tersendiri. Tubuh jenjangnya membuatnya mencolok di kerumunan. Meski sesungguhnya, dalam hati Hinata sangatlah berdebar-debbar.

"Ok!" Seru sang editor. "Semua hasilnya bagus. Kau masih bisa lebih baik dari ini kedepannya."

"Te-terimakasih." jawab Hinata senang. "Ano, apa aku boleh tahu kekuranganku?"

"He?" sang editor membelalakan wajahnya. Baru kali ini ada model yang berani bertanya kekurangannya. "..Hmph─ Kau hanya kurang memanfaatkan tulang wajahmu. Kau punya tulang wajah yang bagus. Jadi, sebaiknya saat kau berfoto, jangan terlalu menunduk. Kau harus tahu angle yang tepat saat kau berpose, lalu─"

Sementara Hinata meminta pendapat pada sang editor, Kakashi hanya bisa pasrah melihatnya. Padahal Ia sudah memperingatkan Hinata untuk tidak berkata macam-macam pada sang editor.

"Katamu dia tidak perlu merubah dirinya, 'kan? Itulah Hinata." ujar Tenten tampak bisa mengetahui pikiran Kakashi.

"Yah, dari awal aku juga bisa melihatnya." Kakashi tersenyum tipis. Hinata yang baru datang lalu segera menuju ke arah Kakashi dan Tenten, Ia menatap Kakashi lekat.

"Kakashi-san! Aku berhasil kan? Jadi, boleh aku pergi bersama Tenten?" tanya Hinata sungguh-sungguh.

"Ya, kau berhasil. Tenten, bawalah dia menghilangkan penat. Karena, lusa depan dia ada pemotretan lagi, jadi kurasa libur bagus untuknya."

"Tentu saja! Ayo, Hinata. Setelah kau ganti pakaian, kita langsung pergi."

"Baik!"

.

.


"Ano... Tenten-chan, aku senang kau mengajakku pergi. Tapi─" Hinata melihat tiket ditangannya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah gedung teater di depannya. "Kita menonton kabuki?"

"Betul! Aku ini penggemar Kabuki dari dulu, dan sekarang teaternya dibuka di kota ini! Dulu aku harus ke kota sebelah untuk menontonnya, tahu!" Tenten menggenggam erat tiket di tangannya, dia mencurahkan kebahagiaannya seekarang.

"A-aku tahu itu, tapi─ Kenapa harus mengajakku?" Hinata memang ingat, sejak dulu Tenten suka sekali kisah-kisah sejarah, tradisional, puisi jepang, sastra, dan tentu saja Kabuki. Tapi, Hinata tidak. Ia tidak tahu apa-apa mengenai Kabuki.

"Kalau kau menontonnya sekali, pasti ketagihan! Ayo, sudah dibuka antriannya!" Tenten menarik tangan Hinata erat memasuki gedung teater tersebut. Saat memasuki teater, Hinata lihat para penontonnya. Beda dari yang Hinata bayangkan, ternyata banyak gadis remaja menontonnya. Hinata pikir hanya orang-orang tua saja yang menonton Kabuki.

"Tenten-chan, apa sangat menarik?"

"Tentu saja." ujar Tenten seraya berbisik, tidak mau mengganggu keheningan dalam teater tersebut. "Karena, dalam Kabuki itu, pemainnya adalah laki-laki semua!"

"Te-tenten-chan.." Hinata menghela nafasnya panjang. Padahal Ia mengira Ia akan pergi bermain, atau menonton film. Tak disangka ternyata selera Tenten dilupakannya. Hinata jadi ingat saat SMP dulu, Hinata diajak Tenten menonton pertunjukkan musik tradisional. Untungnya, Hinata tertidur saat itu, jadi Ia tak terlalu ingat kenangan tersebut.

"Sudah mulai!" seru Tenten berbisik. Hinata lalu ikut mengalihkan pandangannya ke arah panggung. Tirai merah yang awalnya menutupi panggung, mulai terangkat. Telihat setting panggung yang indah. sebuah pohon sakura di sana terpampang dengan manisnya. Pohon imitasi memang, tapi daunnya yang berguguran membuat indah panggung itu.

Beberapa detik setelah panggung terbuka, alunan musik tradisional mulai dilantunkan. Seorang lelaki dengan kimononya keluar dari panggung. Wajahnya mengenakan make-up kabuki yang khas. Hinata yang baru pertama kali melihatnya sedikit takut, pada awalnya. Ceritanya lalu mulai bermain. Cerita ini diangkat dari cerita hikayat genji. Hinata pernah mendengarnya, karena itu Hinata sedikit paham mengenai jalan cerita Kabuki ini. Saat Hinata mulai serius mengamati pertunjukkan, keluarlah seorang wanita cantik yang berperan sebagai Murasaki.

"Cantik─"

Hinata menganggumi setiap gerak-gerik sang Murasaki. Begitu lentur, halus, dan terlihat cantik di setiap gerakan. Hinata ingin bisa seperti itu. Selama mengamati gerakan sang Murasaki, Hinata tak sadar bahwa pertunjukkan sudah selesai.

"Bagaimana Hinata?!" seru Tenten penasaran tanggapan Hinata yang masih duduk di sebelahnya.

"Ah, aku tidak begitu melihat ceritanya. Aku terus memperhatikan pemainnya." Hinata tertawa kecil. Tenten sendiri hanya bisa pasrah mengingat Hinata memang tidak begitu minat pada cerita tradisional.

Setelah acara selesai, Tenten dan Hinata segera keluar teater mengikuti lajur antrian keluar.

"Tenten-chan, aku mau ke toilet dulu. Apa kau mau ikut?" tanya Hinata saat menemani Tenten membeli minuman terlebih dahulu.

"Ah, aku akan menunggu disini."

"Baiklah, tunggu sebentar, ya!" Hinata lalu buru-buru berlari kecil menuju toiler terdekat. Ia mengecek ke dalamnya. Penuh. Ya, tampaknya Hinata datang di saat tak tepat. Dia ke toilet tepat setelah teater selesai. Sudah pasti para pengunjung juga pergi ke toilet saat itu. "Bagaimana ini.."

Hinata lalu memutar badannya. "Mungkin ada toilet di tempat lain.."

Perlahan Hinata berjalan menuju ke dalam lorong teater. Buru-buru Ia menuju ke arah toilet di pojokkan lorong dan segera memasukinya. Selesai dengan urusannya, Hinata segera mencuci wajahnya dan merapihkan make-upnya. Kakashi selalu memperingatkan Hinata untuk tidak melepas make-upnya saat diluar meski sesungguhnya Hinata hanya mengenakan alas bedak dan lipstik berwarna senada dengan bibir merahnya. Selesai merapihkan tataan rambutnya yang ia lepas tergerai panjang itu, Hinata segera keluar kamar mandi. Tepat saat berada di luar toilet, Hinata mendengar suara aneh di dekatnya.

"A-apa itu.." bisik Hinata. Ia dengar sebuah suara gerangan yang rendah. "Hantu?"

"Aargh─" lagi-lagi keluar suara gerangan itu, kali ini lebih keras. Bulu kuduk Hinata mulai berdiri mendengarnya. Ia terlalu takut dengan hal-hal gaib sedari kecil.

"...Te-tenten.." panggil Hinata pelan, tampak percuma. Tenten tidak mungkin mendengar Hinata yang berada di lorong berbeda. Belum sempat beranjak pergi, tiba-tiba di depan Hinata keluar seorang wanita berambut panjang, keluar dari toilet pria. Melihat itu, Hinata buru-buru menjatuhkan dirinya, menahan teriakannya yang tampak akan menggelegar.

"hmph!" seru Hinata tertahan. Ia menutup mulutnya kencang, berusaha tak mengeluarkan sedikitpun suara. Ia lihat wanita berambut panjang, berwajah putih pucat, dengan kimono merah sedang berdiri didepannya. "Ku-kumohon, jangan bunuh aku─"

"Hoi─"

Dengan satu suara, Hinata segera sadar dari ketakutannya. Ya, suara berat yang Hinata tahu pasti itu adalah laki-laki. Hinata memberanikan dirinya membuka matanya perlahan. Dilihatnya dengan jelas siapa yang berada di depannya. Dia adalah pemain yang memerankan Murasaki sebelumnya.

"Ah! Anda pemain Murasaki─" ujar Hinata tak percaya.

"Siapa kau? Kenapa bisa ada di toilet staff?" tanya lelaki itu. Ia tatap Hinata sinis.

"Ah, aku penonton. Aku tidak tahu kalau ini toilet staff.." Hinata lalu bangun dari duduknya dan merapihkan roknya yang terlipat. "Maafkan aku! Aku akan pergi sekarang!"

"Tunggu─" panggil sang Murasaki sebelum Hinata melangkahkan kakinya.

"A-ada apa, Mursaki-san?"

"Bantu aku melepas wig ini." ujar lelaki beramata onyx tersebut.

"Eh?"

"Semua staff sedang sibuk mempersiapkan untuk teater selanjutnya. Bantu aku dan aku tidak akan mengatakan staff ada penonton yang menyelinap kemari." ujar sang Murasaki dengan nada memerintah. Hinata lalu melihat sekeliliingnya. Tidak baik bila Hinata tertangkap dan Kakashi mengetahuinya nanti. Sudah pasti Kakashi akan menasehati Hinata semalaman.

"Baiklah.." Hinata menganggukkan kepalanya pasrah. Ia lalu dituntun menuju ke arah bangku di dekat toilet. "Anu, nama anda?"

"...kenapa? Kau menonton teater Kabuki tanpa tahu siapa aktornya?" laki-laki itu menatap Hinata sedikit kaget.

"Aku diajak temanku.." jawab Hinata ragu-ragu. Sang pemilik raven hanya berdiam mendengarnya. Hinata lalu berdiri di hadapan laki-laki yang duduk di bangku seraya menundukkan kepalanya.

"Cepat lepaskan, wig ini serasa membunuhku perlahan."

"Ba-baik─" dengan perlahan Hinata membuka kaitan wig dan melepaskannya perlahan dari kepala lelaki tersebut.

"Ah─ akhirnya.." lelaki itu mengambil rambut palsu di tangan Hinata dan menatapnya. "..Namaku Sasuke. Uchiha Sasuke─"

"...Ng?"

"─Apakah kau tidak diajarkan untuk memberitahu namamu saat orang memberitahu namanya?" tanya sang Uchiha sedikit kesal.

"Ah! Namaku Hyuuga Hinata─" jawab Hinata buru-buru. Ia lalu melihat lelaki bernama Sasuke tersebut dengan cermat. Beda dengan yang ada di teater, Sasuke ini berbeda dengan Murasaki yang lemah lembut. Lelaki ini seperti kebalikannya. Terlihat dingin, kasar, dan tak berperasaan.

"Apalagi? Apa kau masih ada keperluan?" tanya Sasuke dingin. Ia lalu mengalihkan pandangannya dari Hinata dan mulai berjalan menuju ke ruang di sebelahnya.

"Tunggu dulu─" seru Hinata pelan. Sasuke yang sedang membuka kenop pintu di depannya membalikkan tubuhnya bingung.

"Apa?"

"Apa orangtua-mu tidak mengajarkanmu untuk berterima kasih setelah meminta pertolongan?" ucap Hinata polos. Sasuke yang mendengarnya sedikit tersentak dan menyeringai kecil.

"Heh─ untuk apa aku berterimakasih pada orang yang menonton Kabuki tanpa tahu apa itu 'Kabuki'."

BRAK

Sasuke menutup pintunya kencang, meninggalkan Hinata yang masih tak percaya dengan kelakuan Sasuke. Padahal baru beberapa menit lalu Hinata terkesima dengan penampilan Murasaki milik laki-laki dingin tadi. Entah mengapa Hinata semakin tak mengerti dunia Kabuki.

"A..Apa-apaan itu─"

.

.


"Kau tampak tak bersemangat, Hinata." Kakashi yang menemani Hinata berlatih dalam berjalan memandangnya bingung.

"Aku─ tidak apa-apa." jawab Hinata sedikit ragu.

"Pasti ada sesuatu, 'kan? Apa terjadi sesuatu Minggu lalu?" tanya Kakashi tampak bisa membaca raut wajah Hinata.

"Eh? Etto─" Hinata lalu menurunkan pandangannya dan kembali menatap manajernya tersebut. "Anu─ apa Kakashi-san tahu Uchiha Sasuke?"

"..!?" Kakashi menatap Hinata tak percaya. "Kau suka kabuki?"

"Tidak─ Tenten-chan mengajakku kemarin, dan.. aku hanya penasaran.. tentang─ Kabuki.."

"Hmm─ Uchiha Sasuke itu aktor Kabuki yang terkenal. Dia dikatakan sebagai pangeran Kabuki. Selain dia berasal dari Uchiha, dia memainkan peran wanita lebih baik dari siapapun."

"Pangeran Kabuki?"

"Yah─"

"Jadi, dia sehebat itu─" gumam Hinata meski Kakashi masih bisa mendengarnya.

"Hm? Ada apa? Jangan bilang kau menyukainya."

"Ah! Bukan begitu, tapi─"

"Tapi?"

"Aku bertemu dengannya tidak sengaja, dan berkata aku tak mengenalnya─" Hinata menundukkan kepalanya lemas. "Pantas dia marah.."

"Ha? Kau bertemu dengannya?" Kakashi menatap Hinata tak percaya. "Dia memang aktor senior. Kau harus bersikap lebih sopan saat bertemu dengannya lagi nanti."

"Ba─baik.."

Hinata lalu menatap jendela di sebelahnya. Ia lalu mengingat wajah dingin sang pemain Kabuki tersebut di kepalanya. Dengan segera Hinata menghela nafasnya panjang. "Akan lebih baik kalau aku tidak pernah bertemu dengannya."

"Ngomong-ngomong, penampilanmu di majalah sudah terbit. Kemarilah, aku akan memperlihatkannya."

"Ah, baik!"

.

.


Suasana riuh sudah mulai mengelilingi teater. Para staff sudah bersiap-siap di balik panggung mempersiapkan setting-an panggung yang akan berlangsung dalam 2 jam nanti.

"Sasuke, mukamu masam sekali." ujar Anko, manajer sang pemain Kabuki tersebut. Sasuke yang sedang dirias melirik ke arah Anko kesal.

"Hoi, Anko-san."

"Hm?"

"Apa aku masih kurang dikenal?"

"Yah, setidak kenalnya orang padamu, pasti mereka pernah mendengar namamu. Kecuali orang yang tidak punya televisi, mungkin." gurau Anko yang sedang melihat riasan Sasuke. "Kenapa?"

"Bukan apa-apa─"

"Kyaah─! Lihat, cantik sekali! Apa dia model baru?" seru para penata rias yang sedang beristirahat di dalam ruang rias. Anko yang mendengar keriuhan mereka segera mendatanginya penasaran.

"Ada apa?"

"Lihat, lihat. Gadis ini cantik sekali. Aku jadi ingin merias wajahnya─" ujar salah satu penata rias.

"Apalagi rambutnya! Aku juga mau menyentuh rambutnya!" balas sang penata rias yang lain.

"Mana, mana?" Anko lalu menyambar majalah yang mereka lihat dan terkesima. "Waah─ benar. Model baru? Aku baru pertama kali melihatnya."

"Ada apa?" tanya Sasuke penasaran. Ya, tumben sekali Anko tertarik pada sesuatu selain Kabuki.

"Lihat! Baru kali ini aku melihatnya. Dia cantik sekali, 'kan?" Anko menyerahkan majalahnya ke atas meja di hadapan Sasuke. Dengan segera Sasuke mengambilnya dan melihat halaman tersebut. Satu halaman dengan seorang gadis berambut panjang tergerai dengan senyuman yang polos di wajahnya. Sasuke kenal wajah itu.

"Hyuuga..Hinata?" gumam Sasuke membaca nama model di bawah halaman. "Heh─ jadi dia.."

"Ada apa, Sasuke?"

"..Bukan apa-apa." balas Sasuke dengan senyuman iblisnya.

.

.


TBC

Yes, akhirnya aku membuat fic lagi. Aku baru mempelajari kabuki, jadi belum paham juga tentang Kabuki. Kalau kalian tahu mengenai kabuki, ayo sharing sama-sama! ^^

Dan, baru pertama fic yang kubuat bukan mystery. Jadinya ringan sekali~ XD

Penampilan Sasuke-nya juga masih sedikit, di chapter berikutnya bakal lebih banyak tentunya :Db

Semoga kalian terus mengikuti fic ini sampai selesai, ya! :D

Terimakasih dan kutunggu review dari kalian semua!


~AgehaShiroi~