Masih jelas dalam ingatanku tentang euforia para rakyat Konohagakure saat melihat orang-orang mengagumkan itu. Mereka berkelompok kecil, mengelilingi pulau-pulau yang hanya pernah kulihat di peta, membagi berbagai macam rupa-rupa warna dalam gerobak kayu semarak.

Mereka berhias rupa-rupa, cantik, lucu, menawan, menarik perhatian. Mereka bernyanyi, menari, melompat dan terus bergerak—menganggumkan. Dan di antara masyarakat Konohagakure yang saling berdesakan dan berdecak kagum, aku menyelip dan menyadari bahwa merekalah mimpiku.Kebahagiaan, senyuman, kreatifitas tanpa batas dan kebebasan—dalam arti apapun itu, membuatku mataku semakin berbinar. Mereka inspirasiku dan merekalah yang membuatku menemukan mimpi-mimpiku. Mereka—Poinsettia Troupe—para seniman jalanan yang membawa separuh hatiku mengelilingi dunia.

.

.

.

.

Poinsettia Troupe

©AngelRyeong9

Naruto ©Masashi Kishimoto

Chaptirè 1 : They're Coming!

"Sakura, kau adalah putri tunggal keluarga Haruno dan calon pewaris tahta Konoha! Sudah waktunya bagimu untuk menetapkan pendamping hidup. Kali ini, jangan mempermalukan keluarga kerajaan Haruno."

"Tapi Ibu, aku masih terlalu muda untuk menikah dan Ibu tahu itu. Aku masih ingin merasakan dan mencicipi impian-impianku sedari kecil. Tidakkah Ibu bisa mengerti?" belaku. Ibu mengerutkan dahinya dan raut wajahnya mulai menampakkan urat-urat kemarahan.

"Tidak, Sakura! Kau adalah calon pemimpin negeri ini! Kami sudah memberikan banyak ilmu dan segala yang terbaik untuku. Seharusnya kau sudah menyadari, hidupmu sudah ditakdirkan untuk negeri ini, mengabdi untuk negeri ini. Impian seperti apakah yang menggodamu jika kau sudah memiliki semua yang kau inginkan di sini?"

Kalimat Ibu menohok hatiku. Sebagai putri tunggal bangsawan Haruno sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini, hidupku hanyalah berupa jalan lurus yang hampa. Kosong dan tak berarti apa-apa. Semangat dan jiwa mudaku seolah meluruh semakin jatuh sejak aku menapaki istana megah ini. Aku menelan semua kalimat balasanku bulat-bulat, yakin bahwa apapun yang akan kukatakan saat ini tidak akan berhasil menggoyahkan hukum-hukum dan adat istana ini. "Aku mengerti, Ibu, Ayah... Aku permisi dulu,"

.

.

Negeri Konohagakure tempatku berpijak ini adalah negeri tersubur. Musim silih berganti teratur dan sumber daya alamnya melimpah ruah. Sepuluh tahun yang lalu, kami—aku, Ayah dan Ibu—yang masih merupakan kerabat dekat kerajaan menetap di istana megah ini. Raja terdahulu, Hiruzen Sarutobi-sama adalah sosok yang paling murah hati dan bijaksana bagiku. Beliau tidak pernah kuanggap sebagai seorang Raja sewaktu kecil dulu, aku hanya mengganggapnya sebagai kakek. Kakek kesayanganku. Beliau jugalah yang mengenalkanku akan dunia luar dan mengajariku bermimpi.

Sepuluh tahun yang lalu kami menyelinap di antara desakan orang-orang desa yang bergerumul entah untuk apa. Tubuh renta Kakek Hiruzen tetap bersemangat menyelip sembari menuntunku agar tidak berpisah darinya. Dengan usaha keras, kami berhasil sampai pada jejeran depan gerumulan, dan setelahnya aku terpana. Pertunjukan di depanku sangat mengagumkan dan memesona. Beberapa orang berkostum semarak itu bernyanyi, menari dan terus bergerak dengan gembira. Semua orang di sana gembira.

Kakek Hiruzen menunduk, membuat topi jerami lusuh di kepalanya—untuk menyamarkan identitasnya—sedikit merosot. Ia berkata, "Inilah seni jalanan, Sakura. Mereka berkelana menghibur orang-orang yang susah hatinya di setiap sudut dunia. Bergerak bersama angin dan tidur menghitung bintang. Mereka adalah bukti nyata kebebasan dan impian, mereka menamai kelompok mereka Poinsettia Troupe."

Aku menghela napas. Itulah kenangan terakhir dan yang paling indah dan berkesan dalam hidupku bersama Kakek Hiruzen. Karena beberapa jam setelah petualangan singkat kami, beliau sudah tertidur pulas selamanya dalam balutan selimut rajut yang basah oleh air mataku.

Setelah Kakek Hiruzen wafat—dan itu sangat mengejutkan karena beliau jelas-jelas sehat sekali sebelumnya—para petinggi politik kerajaan mulai sibuk mencari kandidat pemimpin Konohagakure. Tidak ada ketentuan keturunan kandung dalam sistem kerajaan ini, Raja boleh memilih calon penggantinya jika ia akan turun tahta. Tapi sayangnya Hiruzen-sama sudah lebih dulu berpulang sebelum mengucapkan suatu apapun pada mereka. Dan setelah perundingan panjang, terpilihlah keluarga terhormat Haruno yang memiliki pertalian darah paling dekat dengan Hiruzen-sama, selain keluarga Senju. Karena pada waktu itu, setahuku keturunan Senju terakhir sedang tidak ada di Konohagakure dan menyerahkan hak kekuasaannya untuk keluarga Haruno.

Tapi aku sadar bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu, jiwaku bukan untuk terkukung dalam buaian istana. Aku memiliki mimpi. Mimpi paling besar yang telah terpahat dalam sanubariku. Dan kudengar dari para pelayan, kendaraan menuju mimpiku sedang singgah di sini. Di negeriku, Konohagakure. Poinsettia Troupe hadir di Konoha sejak 10 tahun yang lalu! Apakah ini hal yang harus kusia-siakan? Dan jawabannya adalah seringai nakalku. Aku sudah bertekad.

.

.

Aku terpana. Tak sanggup mengeluarkan sepatah katapun selain menganga kagum. Rombongan itu kembali datang. Kali ini mereka datang dengan 3 karavan kayu bertudung besar, semarak dan manis. Aku melihat seorang gadis yang sangat cantik—rambutnya pirang dan matanya biru—menari di atas panggung kecil bongkar pasang dengan gemulai. Setiap lekuk tubuh rampingnya seakan menyatu dengan lagu yang mengayun. Semua pria dan wanita yang melihatnya terpana. Kemudian dengan tiba-tiba ada ledakan kecil dan konfeti manik-manik bertebaran dimana-mana. Seekor harimau dengan gagahnya melompat anggun, cukup membuat terkejut namun tidak menakuti, harimau itu sangat terlatih. Di puncak kepala binatang mengagumkan itu ada seekor kera kecil berwarna coklat yang memakai rompi kecil berwarna merah. Aku tertawa. Kera itu lucu sekali dan sangat akrab dengan harimau putih berbelang hitam. Lalu musik dimulai lagi, agak lebih menegangkan dibandingkan suasana syahdu dan menggoda si gadis pirang. Seorang pemuda berambut kuning cerah jabrik masuk, ia membawa dua lingkaran raksasa dan tiga buah bola karet berwarna. Semua diam menantikan apa yang akan dilakukan pemuda itu sebelum akhirnya pemuda matahari itu melemparkan kedua lingkaran dan ketiga bola bersamaan dan berhasil menangkapnya secara bergantian, berputar, mengesankan. Semua orang bertepuk tangan. Tapi itu masih belum apa-apa, sang harimau bersama si kera mengambil ancang-ancang di sudut, hendak berlari.

Para penonton tegang—termasuk diriku—yang akhirnya kembali berteriak dengan heboh setelah harimau dan kera pintar itu berhasil melompat melewati lingkaran yang sedang dilempar si pemuda jabrik tepat di atas kepala. Lalu musik menghentak berubah ceria. Gadis kecil berkuncir dua semakin bersemangat menari dan keluarlah dua buah boneka tali besar di atas panggung dari atas gerobak yang memang tersambung dengan panggung bongkar pasang itu. Seseorang mengendalikan dua buah boneka itu dari atas karavan! Bukan main kagumnya diriku. Lalu seorang pemuda—oh, Tuhan, ia sangat dan benar-benar tampan—masuk dengan senyum tipis. Ia memakai topi hitam panjang dan pakaiannya adalah yang paling formal di sini. Ia membuka topinya dan sinar matahari langsung menerpa wajah tampannya. Aku terpesona—sama seperti semua perempuan di sini.

Pemuda berpakaian hitam-hitam itu mengambil sesuatu dari dalam topinya setelah ia menunjukan bahwa topi itu kosong, kemudian dengan cepat menarik tangannya keluar bersama seekor burung putih yang terbang bersama konfeti dan balon-balon. Ia terus melakukan banyak hal yang membuat para penonton berdecak kagum dan heran dengan kecepatan dan kemahirannya saat melalukan trik-trik sulap tadi walaupun ia tidak berbicara sepatah katapun. Kemudian kulihat ia menarik lagi bagian dalam topinya dan menarik keluar sebuket bunga poinsettia. Angin berhembus cukup kencang dan aku harus menunduk untuk melindungi tudung jubah lusuh di kepalaku—menjaga penyamaran.

Kemudian sebuket bunga poinsettia hadir di depan wajahku yang merunduk. Dan dibalik tudung jubah yang menutupi hampir sebagian besar wajahku, aku merona saat melihatnya tersenyum tipis dan menawan. Aku menerimanya dan sadar bahwa pertunjukan ini akan segera berakhir. Dengan terburu-buru aku menyingkir dari kerumunan dan mencari tempat persembunyian sementara. Orang-orang istana pasti sudah menyadari kenihilanku di istana dan para pengawal sedang berbondong-bondong mencariku. Dan aku di sini, akan mencari tempat yang aman sampai mendapatkan waktu yang tepat.

~Continuandos~