MAYBE IN HELL, THERE IS A HEAVEN

CHAPTER ONE.

thirteenthblack's request.

cerita dan tokoh fic ini bukan punya author, terjemahan hak penuh author.

dilarang copy cat dan mengklaim terjemahan ini punya orang lain.

thanks to coppertears karena sudah ngasih ijin buat translate fic ini.

link to the original fic: coppertears. livejournal 7748. html (hapus spasinya ya)

at last, enjoy!

.

.

Barisan prajurit yang berjalan melewati jalanan berdebu rasanya seperti tak berujung. Perjalanan ini baru memasuki hari keduanya dan tampaknya akan berakhir semakin lama. Rasa lelah mulai menghinggapi pundak serta seluruh tubuh mereka. Tak ada makanan, tak ada air, tak ada istirahat—hak mereka dirampas, dan tak ada yang dapat mengakhiri penderitaan yang mereka alami saat itu. Prajurit yang mengawalnya tak memiliki ampun, dan Jongin selalu teringat akan teman-temannya yang jatuh dan dibiarkan membusuk di pinggir jalan.

Ia memejamkan matanya dan memaksa kedua kakinya untuk tetap berjalan, untuk tetap melangkahkan kaki walaupun lepuh mulai menampakkan wujudnya. Ia tak ingin mati di tempat ini; dimana tak ada yang akan mengubur dan mengingat namanya. Pada titik ini, Jongin hanya bisa berharap akan kemungkinan untuk tetap bertahan dari siksaan ini sampai bantuan datang dan menyelamatkannya. Namun, hal tersebut tak akan pernah terjadi jika ia berhenti dan menunjukkan tanda-tanda kelemahan.

Ia menjilat bibirnya dan mengabaikan terik panas yang mengeringkan tenggorokannya, ia juga mencoba melupakan gambaran akan apa yang ia makan semalam. Ia mendengar seorang pengawal meneriakkan, "Cepat!" yang diikuti oleh suara cambukan. Jongin menghirup ketakutannya dan mencoba untuk tidak memikirkan bekas luka yang menghiasi seluruh tubuhnya. Ia mempercepat langkah kakinya, tak berani untuk melihat ke belakang dan melihat apakah prajurit yang sedang dihukum adalah seseorang yang ia kenal atau tidak.

Mereka seperti terperangkap dalam ruang waktu, mereka seperti sebuah lukisan yang dibiarkan berkembang dalam kegelapan—rasanya seperti satu-satunya hal yang sedang terjadi hanyalah barisan neraka yang berjalan menuju kematian. Sinar mentari bagaikan nyala api yang menjilat tubuh mereka, dan para pengawal bagaikan iblis yang dikirim untuk menyiksa mereka di setiap langkah.

Jauh di depan, Jongin melihat seorang prajurit berdiri diam, tubuhnya berubah menjadi kaku ketika prajurit lain berjalan susah payah melewatinya. Hati Jongin berdegup kencang karena ia mengenali prajurit tersebut; dan saat ini cairan empedu mengaduk-aduk lubang perutnya karena ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Terdapat sepuluh langkah yang memisahkan dirinya dan Sehun, sahabatnya. Akan tetapi, aksi menyerah Sehun membuat jarak diantara mereka semakin menjauh beribu-ribu meter. Jarak tersebut adalah jarak yang tak dapat dilewati Jongin, dan ia tahu bahwa ia tak dapat menyelematkan Sehun.

Sehun berbalik, tatapan menantang merekat di matanya. Ia menangkap sosok Jongin dalam pandangannya. Ia menggelengkan kepalanya ke arah Jongin. Pesan yang ia berikan sangatlah jelas dan hal tersebut menggurat Jongin: Aku menyerah. Jongin bergerak namun Sehun tidak, dan Jongin tidak tahu apakah ia tetap dapat berjalan ketika Sehun jatuh terduduk. Tubuhnya bukan lagi tubuh yang dapat menarik gravitasi, bukan lagi.

Jongin mendengar suara tembakan, ia melihat cairan merah menetes dari seragam prajurit Sehun. Kematian menyambar terlalu cepat sebelum Jongin sempat menyiapkan diri untuk melihat bayangannya. Cahaya di mata Sehun padam dan ia berbaring tak berdaya di tempatnya, hanyalah sebuah tubuh yang ditakdirkan untuk membusuk dalam keadaan tak bernama. Jongin tak tahu bagaimana ia dapat mengekspresikan duka citanya. Ia hanya dapat berjalan, berdoa agar para pengawal tak menargetkannya; ia hanya dapat membisikkan permintaan maaf pada angin ketika ia melangkahkan kakinya di atas genangan darah Sehun. Bumi telah ternodai oleh nyawa yang terbuang sia-sia, dan Jongin sadar bahwa hal yang sama dapat terjadi padanya kapan saja. Ia memantapkan pandangannya pada kaki langit dan mencoba untuk tidak berkelana dalam kenangan, sadar bahwa hal itu hanya akan melemahkan tekadnya yang tersisa.

Sekilas, ia dapat melihat senyuman Sehun ketika Sehun memberitahunya bahwa ia mendaftar kemiliteran. Ia ingat saat dimana Sehun memakai seragamnya untuk pertama kali, dan sahabatnya tampak sangat senang. "Lihat saja, aku akan naik pangkat dengan cepat," ia ingat perkataan Sehun saat itu. Dan hal tersebut terasa begitu menyakitkan mengingat bahwa kini Sehun hanyalah sebuah tempurung kosong yang tak dapat tersenyum ataupun tertawa lagi; ia tak akan pernah menjadi jenderal bintang lima seperti yang ia idam-idamkan selama ini.

Jongin tahu bahwa rasa lelah atau kekecutan hatilah yang membuat Sehun menyerah. Cara sahabatnya itu berbalik menghadap pengawal seakan memberitahunya bahwa hal itu adalah bentuk protes akan hilangnya kebebasan, sebuah teriakan bisu melawan perlakuan tak adil pada tawanan perang. Pada kenyataannya, Sehun masih dapat berjalan—ia masih dapat menahan penderitaan ini karena Sehun bukanlah orang yang mudah menyerah. Namun Sehun juga sosok yang idealis, dan pada akhirnya ia lebih memilih untuk jatuh daripada diperlakukan layaknya binatang. Dan Jongin sadar bahwa walaupun ia berteriak kencang di dalam kepalanya, walaupun ia mengerti, ia berharap Sehun dapat memilih cara lain untuk mati—sebuah cara yang tak akan membuat Jongin mengulang kematian Sehun berulang kali. Sebuah cara dimana Jongin tak perlu bersusah payah menghentikan memori akan kematiannya ketika ia sadar bahwa ia lemah.

Saat ini, Jongin akan memikul beban yang Sehun bawa sampai kematiannya. Jongin berpikir bahwa hal itu tidaklah adil, namun hal ini adalah satu-satunya cara yang dapat ia lakukan untuk sahabatnya saat ini. "Semoga kau tenang disana, Sehun," bisiknya. Sepanjang perjalanan, Jongin masih saja berjalan di jalanan neraka itu; ia tidak tahu apakah ia terlalu bodoh atau terlalu berani. Karena pada saat ini, kebodohan serta keberanian rasanya seperti bercampur menjadi satu.


Perutnya teraduk-aduk oleh kekosongan dan tenggorokannya sudah ¾ jalan menuju kekeringan. Jongin mencoba untuk tetap berdiri tegak, tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya meninggalkan luka di kulitnya, dan langkahnya mulai terputus-putus. Dunia mulai memudar menjadi putih, pandangannya kabur. Jongin tak tahu lagi kemana ia berjalan. Ia terlalu bergantung pada bentuk kamuflase yang tersandung-sandung di depannya.

Hujan mulai merintikkan airnya ketika mereka memijakkan kaki di dataran yang rata dan tak berujung. Tanah berubah menjadi lumpur dalam hitungan detik, menodai seragam serta sepatu Jongin; dan tak lama setelah itu lumpur mulai menodai kulit serta tulangnya. Rintikan air membuatnya semakin sulit melihat, hujan turun semakin deras seiring berjalannya waktu. Keseimbangan berubah menjadi hal yang perlu diperhatikan saat ini.

Dengkingan serta tangisan berpadu dengan siulan angin, bersamaan dengan jatuhnya para prajurit, satu per satu, menjadi mangsa dari jalanan yang licin. Jongin menghirup nafas, namun ia tak mengalihkan pandangannya dengan cepat. Seorang pengawal mulai menghujani salah satu prajurit yang jatuh dengan sumpah serapah, keinginan untuk membunuh menggores romannya, ujung senapannya turun ke tanah dengan keras. Jongin tak tahu perasaan apa ini. Ketakutan adalah perasaan metalik yang melekat di lidahnya, dan ia mengalihkan pandangannya dari prajurit yang sedang dihukum tersebut. Namun ia tak bisa, ia tak dapat melarikan diri dari keputusasaan yang hinggap dalam teriakan serta tangisan itu.

Ia tak dapat melarikan diri dari kesunyian yang datang setelahnya, rindu akan rasa sakit yang tak dapat diucapkan; kesunyian yang berdering kencang di samping gerak rima langkah kaki, bungkaman lumpur, suara perintah yang berbunyi di sepanjang barisan.

Ia menahan dirinya untuk tetap tegak dan kaku, tetap teguh untuk melewati penderitaan ini. Ia tak akan membiarkan dirinya mati di dataran ini—ia tak akan membiarkan dirinya mati sama sekali. Namun tiap langkah seakan mengingatkannya bahwa ia begitu lemah, dan para prajurit yang tumbang seakan memberitahunya bahwa mungkin dialah yang akan menyusul mereka.

Tak diketahui berapa jam telah berlalu ketika mereka tergupuh-gupuh mencapai perkemahan. Jongin berusaha menahan air mata yang merayap di matanya. Mereka dipaksa untuk beristirahat di dalam tenda kampas yang tak mampu untuk menampung mereka semua, tubuh-tubuh mereka saling bertubrukkan; dan ketika Jongin duduk, ia dapat merasakan luka hangus akibat perjalanan beribu-ribu meter mereka. Kakinya seperti mati rasa dan sangat, sangat menyakitkan. Dan yang ingin ia lakukan hanyalah meringkuk di salah satu sudut tenda.

Hatinya seperti mau hancur ketika makanan mulai dibagikan dan yang mereka dapatkan hanyalah gumpalan kecil roti serta semangkuk kecil sup. Jongin meneguk kekecewaannya dan memakan apa yang ia dapatkan. Hanya butuh beberapa menit untuk menghabiskan semua makanannya; dan ketika mereka mengembalikan peralatan makan mereka, ia berpikir bahwa hal itu hanya membuatnya merasa semakin hampa.

Mereka berbaris bergantian di bawah atap tenda yang bocor, mencoba untuk meminum air hujan sebanyak mungkin. Bukan berarti mereka tidak akan diberikan air bersih nantinya.

Beberapa pengawal ditugaskan berjaga di pintu masuk tenda mereka, mata mereka gelap akan kebengisan. "Tidur sana!" bentak salah satu dari mereka. "Jangan pernah berpikir untuk kabur karena kami akan menembakmu," dengan itu, lampu pijar dimatikan dan bayang-bayang mulai menghantui mereka.

Jongin menekuk tubuhnya dan menenggelamkan wajahnya di lututnya. Ketika ia mencoba tidur dengan memori akan kematian Sehun, ia bertanya-tanya akan seburuk apa hari esok.


Mereka terbangun oleh cambukan di tubuh mereka. Jongin terengah saat sepasang sepatu boot menendang mereka dan sebuah tangan menyentak rambutnya, memaksanya untuk jatuh dengan kedua kaki dan tangannya menyentuh tanah. Ia menatap lantai tenda mereka, pandangannya terisi oleh gambaran siksaan yang akan ia alami; Ia menggigit bibirnya keras-keras ketika seseorang memukulnya dengan keras. Ia dapat merasakan kulitnya terkelupas, dapat merasakan luka-luka tersebut menyobek punggungnya. Hal ini terlalu berat untuknya.

"Kau tak dapat kabur semudah itu," ujar seorang prajurit jangkung, matanya merupakan mata yang paling gelap di ruangan itu. Ia menjentikkan jemarinya. "Lihat!"

Sebuah tangan tak berperasaan memaksa Jongin untuk mendongak dan ia menggertakkan giginya. Pengawal yang semalam menjaga mereka menyeret suatu bongkahan hijau besar, dan mereka melemparkan bongkahan tersebut hingga hanya beberapa meter jauhnya dari Jongin. Terguncang, Jongin menyadari bahwa bongkahan tersebut adalah mayat. Lubang peluru di tubuh mereka tampak begitu jelas, apalagi bau busuk serta darah segar yang mengalir dari tubuh mereka. Jongin ingin muntah melihatnya.

Sang pengawal jangkung menendang mayat mereka. "Biarkan ini menjadi pelajaran bagi kalian semua," ujarnya sembari mengamati ruangan. "Jangan pernah membantah perintah, kami sungguh-sungguh dengan perkataan kami."

Ketika pengawal tersebut berbalik, Jongin baru menyadari siapakah dia. Dia adalah Huang Zitao, salah satu prajurit terbaik dan berpangkat tinggi. Prajurit yang sangat seimbang dengan Sehun. Jongin menunduk dan mengepalkan tangannya.

Mereka membiarkan mayat tersebut membusuk di tengah tenda, menyebarkan tempat tujuan yang masih dirahasiakan. Jongin menemukan dirinya kembali ke dalam barisan prajurit, mencoba untuk mengabaikan keluhan tubuhnya; ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia dapat melalui hal ini.

Siang berubah menjadi malam dan malam berubah menjadi siang, dan mereka hanya diberikan waktu lima belas menit untuk istirahat. Semakin banyak prajurit yang mencoba kabur, beberapa diantaranya berhasil, menghilang ke dalam hutan belantara sebelum ditemukan. Namun kebanyakan dari mereka dibiarkan membusuk di pinggir jalan. Jongin ingin membiarkan dirinya percaya bahwa akan ada seseorang yang datang dan mengubur mayat mereka. Ia sadar bahwa hal tersebut tidaklah realistis—terlalu banyak mayat dan tidak banyak lagi kebaikan yang tersisa di dunia ini.

Ia mencoba untuk tetap hidup dengan gumpalan kecil roti, dan ia juga berterima kasih pada hujan karena membiarkannya minum. Jongin sadar kesempatannya sangat kecil. Satu hari ia akan tergelincir dan tersandung; satu hari ia akan mati oleh penyakit. Ia tahu ia akan mati, yang ia lakukan hanyalah menundanya.

Namun satu pikiran menyala terang dan dahsyat dalam pikirannya yang terdalam. Jika ia mati, ia akan menjadi yang terakhir.


Hal ini terjadi enam hari kemudian.

Halilintar menghujam tiap orang ke dalam rasa dingin yang menembus urat nadi mereka dan membuat mereka tak dapat bergerak. Hal tersebut membuat Jongin lebih sering tergelincir daripada biasanya. Hirup nafas yang keluar dari mulutnya bergetar tak karuan dan ia belum merasakan makanan ataupun minuman sekalipun selama beberapa hari ini. Otot-ototnya menegang seakan-akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun Jongin mencoba untuk mengabaikan hal tersebut dan melupakan sensasinya.

Setengah perjalanan pada tanah berbatuan, ia tersandung oleh batu halus yang menghalangi jalan, membuatnya jatuh terduduk. Ia mencoba untuk bangkit, namun baru ia sadari bahwa pergelangan kakinya terkilir. Rasa panik mengetuk-ngetuk dadanya dan Jongin mencoba, ia mencoba begitu keras, namun kakinya tak membiarkannya. Ia tersungkur dan tak akan pernah menemukan jalan keluar. Ketika sebuah tangan yang tegas dan berat beristirahat di pundaknya, ia membisikkan doa-doa bisu untuk jiwanya sendiri.

Tidak ada hukuman. Tidak ada suara cambukan, tidak ada ujung pistol yang menghajarnya habis-habisan sampai pingsan. Jongin meronta, namun tangan tersebut masih menahannya.

"Bangun," sebuah suara berbicara di telinganya. "Kolonel yang lain akan melihatmu. Bangunlah sekarang."

"Aku tak bisa," jawab Jongin terbata-bata, ia berusaha menguatkan dirinya. "Pergelangan kakiku terkilir."

Berat di pundaknya menghilang. Jongin memejamkan matanya dan membayangkan kematian Sehun, membayangkan senyuman ibu dan ayahnya yang seolah-olah tahu bahwa ia tak akan pernah pulang, membayangkan potongan tentara-tentara mainan yang duduk di mejanya. Dan ia menyadari bahwa sejak dulu semua orang telah mengucapkan selamat tinggal padanya, hanya saja ia tak siap untuk merelakan kepergian mereka.

Ia merasakan tekanan pada pergelangan kakinya dan kakinya yang terluka terangkat naik; Jongin berdiri terdiam. Kemudian ia dituntun ke depan, lengannya terlingkar pada pundak yang terlalu mungil untuk membawa beban tubuhnya; Jongin membuka kedua matanya. Ia melirik ke arah laki-laki di sebelahnya dan hampir saja berhenti karena ia jauh lebih pendek daripada dirinya. Bulu matanya yang panjang berkedip-kedip kemudian matanya yang lebar mendongak menatapnya sebelum mengalihkan pandangannya.

Musuh, Jongin berujar pada dirinya sendiri. Pasti dia memiliki maksud tersembunyi.

"A-aku bisa berjalan," ujarnya sembari mencoba memisahkan dirinya dari musuh. Laki-laki itu masih memeganginya, memberinya tatapan penuh gusar.

"Kau bahkan tak bisa berdiri," ucapnya sembari membiasakan lengan Jongin. "Diam dan ikuti saja. Aku sedang berbaik hati karena tidak membunuhmu."

Jongin terdiam mendengar perkataannya. Laki-laki itu ada benarnya juga. Beberapa detik kemudian, ia bertanya, "Mengapa kau tidak membunuhku?"

Hal selanjutnya yang ia dapat adalah tatapan penuh frustasi. "Kau bisa diam tidak?"

Jongin merunduk menatap kakinya. Hal ini terus berlangsung selama beberapa mili, Jongin bertumpu pada pundak laki-laki ini sampai mereka tiba di perkemahan. Ia diantarkan ke rumah sakit darurat yang busuk oleh penyakit yang tak dapat disembuhkan. Tak ada dokter yang berjaga. Laki-laki itu membiarkan Jongin duduk di ranjang dengan selimut kumal sementara ia mengobati pergelangan kaki Jongin yang terluka.

"Aku akan menjemputmu besok," ucapnya setelah selesai. "Sementara ini, tidurlah disini. Tak ada yang pernah mengunjungi tempat ini dan lagipula, kau tak ingin kolonel lain melihatmu seperti ini." Saat mereka saling bertatapan, Jongin dapat mendengar apa maksud laki-laki ini sebenarnya: Mereka tak memiliki kecemasan untuk membunuhmu.

Ia berbalik pergi, cahaya meluber masuk melalui celah-celah ketika ia membuka pintu. "Tunggu," ujar Jongin, mencoba duduk. "Siapa namamu?"

"Kenapa?" Laki-laki tersebut mengangkat alisnya ke arah Jongin. "Itu tidak penting."

"Aku... hanya ingin tahu." responnya hambar. Sejujurnya, Jongin tak mengerti mengapa ia menanyakan nama laki-laki ini. Tempat ini bukanlah sekolah dimana anak-anak bermain bersama dan mengenalkan dirinya dengan bebas. Tempat ini adalah medan perang dimana pihak Jongin kalah, dan ia harus menerima konsekuensinya.

Laki-laki itu berpikir sejenak. "Kyungsoo," ujarnya. "Namaku Kyungsoo."

"Oh," Jongin membasahi bibirnya. "Aku—"

"Kau Kim Jongin, aku tahu," Kyungsoo berbalik. "Tidurlah. Aku akan kembali besok," pintu tertutup dan Jongin menutupi dirinya dalam hitam, mendengarkan suara langkah kaki.

Malam itu, ia tak bermimpi buruk.


Jongin berjalan dalam barisan keesokan harinya, pergelangan kakinya masih memprotes kekerasan dalam barisan ini. Kyungsoo tak berbicara ataupun melihatnya ketika ia menyelundupkan Jongin melewati tatapan-tatapan waspada para pengawal. Dengan kasar dan tanpa ekspresi, ia mendorong Jongin ke belakang laki-laki yang tampak lesu oleh hawa panas.

Pergelangan kakinya sedikit berfungsi hari ini, namun masih sulit baginya untuk melewati dataran yang tak rata. Ia tahu bahwa seharusnya ia tetap membuat kakinya terangkat naik, ia sadar, namun ia tak ingin lukanya semakin jelas terlihat oleh para pengawal. Ia menatap bootsnya yang berlumpur dan bertanya-tanya berapa lama lagi ia dapat bertahan.

Ia sedikit tersentak ketika seseorang menghampirinya. Kyungsoo. Badannya bergerak netral sampai Jongin tak dapat berbuat apa-apa, dan ia memposisikan dirinya sehingga tubuhnya dapat menutupi apa yang ia lakukan.

"Biar kulihat," bisiknya; nada bicaranya membuat Jongin membayangkan beludru. Tangan mungil nan pucat menggapai tali sepatu Jongin dan melepaskannya. Kyungsoo memeriksa pergelangan kakinya selama beberapa detik. Kemudian, ia mengeluarkan sebuah kain kasa dan mengoleskan salep pada permukaannya sebelum mengikatnya pada pergelangan kaki Jongin.

"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Jongin tanpa berpikir. Ia tak mengerti. Pasti ia memiliki maksud tersembunyi—Kyungsoo masihlah musuhnya, dan Jongin adalah tawanan yang bisa ia manfaatkan.

"Jangan banyak tanya" adalah jawaban Kyungsoo. "Ini bukan tempatmu," Ia membersihkan kotoran yang menempel di celananya dan berjalan menjauh sebelum Jongin dapat bertanya lagi.

Mereka melanjutkan perjalanan ketika matahari sore menetes melalui celah angkasa yang berada di langit-langit. Jongin menggerenyit ketika mereka tiba di area yang berkarpet bebatuan dengan bentuk dan ukuran berbeda, dan ia melihat orang-orang lebih sering tergelincir daripada biasanya. Ia tak dapat melakukannya.

Namun dunia bersikeras ingin menyandungnya.

Kakinya tersandung sebuah batu tajam yang menonjol di tanah. Dan ketika Jongin terjatuh ke tanah dengan keras, ia juga dapat merasakan luka di lengan atasnya. Darah mengalir ke tanah saat ia berusaha bangkit; sadar sepenuhnya bahwa momen kelemahannya ini adalah sebuah lampu merah. Mereka tidak mungkin tidak mengetahui hal ini.

Entah bagaimana, ia tersungkur ke depan oleh sebuah tendangan yang sangat kuat dan ganas. Sebuah tangan mencekik lehernya dan Jongin tersedak karena tiba-tiba saja, ia tak dapat menghirup udara. "Seperti inikah pasukanmu?" suara kasar berteriak di telinganya. "Orang-orang lembek yang tersandung, tergelincir dan kehilangan arahnya? Menyedihkan!" ludah membentur kulitnya dan wajah Jongin disorong ke tanah. Ia merasakan tanah.

Tidak, pikirnya, tidak. Mereka tidak menyedihkan. Mereka hanya hancur dan tak dapat ditolong.

"Lepaskan dia," perintah sebuah suara yang familiar, dingin dan kesal.

"Ia tertinggal—"

"Ia jatuh karena bebatuan itu." Jongin menghentikan isakan yang berusaha keluar melalui giginya. "Lepaskan dia, sialan."

"Siap." Jongin terbebas dari cekikan tersebut dan mendongakkan kepalanya, mencoba untuk menaikkan level oksigennya kembali normal. "Namun tetap saja ia pemalas —"

"Semua orang pemalas dimatamu," ucap Kyungsoo. "Biarkan saja dia. Jika kita meneruskan hal ini, semua tawanan akan mati. Lalu apa gunanya?"

Gertakan, dengusan, dan bisikan kembali terdengar; kemudian Kyungsoo membantu Jongin bangkit berdiri. "Terima kasih," bisik Jongin pada Kyungsoo.

"Lebih berhati-hatilah," jawab Kyungsoo. "Aku tak ingin menghabiskan tenaga hanya untuk orang sepertimu." Lalu laki-laki yang lebih mungil menghilang ke dalam kerumunan di belakang Jongin.

Ketika petang merembes ke dalam kulit pohon di sekitar mereka, Jongin meyakinkan dirinya agar tidak tersandung pada apapun. Ia tidak yakin apakah ia ingin mengulang kejadian yang sama.


Mereka menenangkan diri di sekitar api unggun yang memberikan lebih banyak kedinginan daripada kehangatan. Tiap orang menjejalkan dirinya ke dalam lingkaran nyala api dengan para pengawal mengepung mereka. Jongin mencoba untuk merilekskan diri.

Ketika gumpalan roti kecil yang biasa dibagikan, Jongin menyadari ada yang aneh. Para pengawal membawa rantai besi tebal nan panjang serta borgol, dan pemandangan tersebut membuat Jongin ingin lari. Ia ingin membiarkan dirinya ditembak karena hal ini keterlaluan—saat ini adalah saat dimana gengsinya remuk berkeping-keping dan tak akan pernah menyatu seperti semula.

Kecurigaannya terbukti ketika seorang pengawal—berbeda dengan pengawal yang menyiksanya beberapa saat lalu—melempar roti yang berada di tangan Jongin dan mengunci kedua tangannya. Jongin tahu akan hal yang lebih baik daripada memprotes namun di dalam dirinya, ia ingin keluar dari kulitnya, ingin melelehkan besinya, ingin dunia tahu bahwa menjadi tawanan itu lebih buruk daripada mati. Ia menghirup kemarahannya dan mengunyah roti yang telah diberikan, merasakan rasa kering dan hambar yang masuk ke tenggorokannya.

Ia melihat wajah-wajah pria di sekitarnya; terlapisi oleh kelelahan serta kekalahan. Jumlah mereka berkurang sekarang. Ia mengingat sebuah pasukan yang terdiri dari 5,000 pemuda berdiri tegak dan bangga, siap untuk membela negara mereka. Pada saat ini, Jongin akan terkejut bila jumlah mereka mencapai angka seribu. Ia bertanya-tanya bagaimana ia dapat bertahan sampai sekarang.

Sang api unggun berkelap-kelip oranye, lenyap dalam malam. Jongin mendongak, bahkan pada saat ini, ia masih berusaha mencari bintang-bintang. Ia mencari harapan di tengah-tengah kesedihan yang tak ingin ditemukan, namun Jongin bersikukuh. Ia bahkan tak tahu apa yang ia harapkan, tidak lagi. Kebebasan hanyalah sebuah mitos yang tersebar dalam angin, siap untuk menghancurkan keinginan seseorang. Dan Jongin berpikir bahwa yang ia inginkan hanyalah putusan kematian yang diberikan sejak dimulainya barisan ini.

Ia membaringkan tubuhnya pada salah satu sisi, menyandarkan kepalanya pada lengannya sembari mencoba tidur. Sesuatu melewatinya, berganti-ganti dari satu tempat ke tempat lain dan membuat Jongin resah dan sakit; ia merasa ia mendengar suara seseorang menyanyi. Suaranya ringan dan jelas walaupun nadanya tenang, dan suara itu berasal dari suatu tempat di belakangnya. Jongin mengabaikan rasa penasarannya, memberitahu dirinya sendiri bahwa hal itu bukan urusannya. Namun kemudian, ia berbalik hanya untuk melihat seorang laki-laki dengan kepala menatap surga.

Laki-laki tersebut mempunyai garis wajah yang tegas, sudut wajah yang tegas, dan luka sayat yang indah. Dan Jongin pernah melihat Sehun berbicara dengan laki-laki ini sekali—matanya berkerut dan rahangnya terbuka oleh gelak tawa yang ia timbulkan; mereka berada di sebuah aula yang berantakan saat harapan akan memenangkan peperangan masih ada di depan mata. Ia menatap laki-laki itu dan mendengarkan, menikmati suara yang meluapkan keindahan pada dunia yang telah tercemari oleh kejelekan serta keburukan.

Sebuah lagu lama, lagu yang tak akan bisa Jongin gapai, namun memberikan kenyamanan di saat bersamaan. Sebuah melodi yang cocok untuk hari yang cerah dimana bunga-bunga bermekaran, kedua orang tuanya berada di kamar sebelah, dan Jongin ditinggalkan dengan sebuah radio kuno yang sesekali memainkan terlalu banyak gangguan.

Ketika laki-laki itu berhenti bernyanyi, Jongin hampir saja memberitahunya untuk terus bernyanyi. Namun kemudian ia sadar apa yang akan ia lakukan dan merona.

Ia tak mengharapkan sebuah tangan untuk mencoleknya dengan enteng, laki-laki itu kini menghadapnya. Terdapat luka yang membentuk garis diagonal pada pipinya dan luka memar pada lehernya, dan Jongin bertanya-tanya seperti apakah dia terlihat.

"Aku ingin menjadi seorang penyanyi," bisiknya. Jongin menatap ke arah cahaya suram dan tak dapat digapai dari iris laki-laki tersebut. "Namun kemudian perang datang dan aku harus mementingkan negaraku lebih dari apapun. Apa kau tahu lagu yang aku nyanyikan?"

Jongin menggelengkan kepalanya, menjaga telinganya tetap waspada akan tiap-tiap gerakan yang menunjukkan bahwa ada pengawal yang datang untuk menginspeksi mereka.

"Aku juga tak tahu," ujar laki-laki itu, tawa mungil keluar dari bibirnya. "Aku hanya mendengarnya dan menemukan diriku menyukainya. Lagu ini kerap berputar di kepalaku ketika kita berjalan," Ia bersenandung pelan. "Namaku Jongdae. Kau?"

"Jongin," bisik Jongin.

"Aku tahu ini tak berguna, saling mengenal nama satu sama lain," aku Jongdae. "Namun hal tersebut membuatku merasa lebih baik karena paling tidak, jika aku mati, akan ada seseorang yang mengingat namaku."

Jongin menggigit bibirnya. "Bagaimana jika kita berdua mati?"

Jongdae membalasnya dengan sebuah tatapan; sebuah tatapan yang tak dapat dibaca dan dangkal dan penuh oleh emosi. "Tidak, kurasa kau akan lebih lama bertahan daripada aku."

Dan sebelum Jongin dapat bertanya apa yang ia maksud, derap langkah berbunyi tak jauh dari mereka. Percakapan ini adalah percakapan yang akan selamanya putus dan tak dapat dibicarakan lagi. Jadi ketika mata Jongdae mulai terpejam, Jongin melakukan hal yang sama.


Ia tak menghitung sudah berapa lama mereka ditawan, namun sekitar delapan hari semenjak dimulainya barisan ini, mereka berpapasan dengan sungai berair bersih. Jongin menahan dirinya sendiri. Walaupun air biru itu begitu menggoda, walaupun ia hanya meminum air hujan selama ini, ia mengambil langkah mundur. Jongdae mungkin berpikiran yang sama ketika ia mengambil langkah mundur, bibir mengerut dan matanya menatap tajam. Hal ini bisa menjadi penyiksaan gaya baru.

"Lihatlah itu!" ucap Tao, senyuman nakal bermain-main di wajahnya. Mata hitamnya berkilat oleh kebahagiaan yang liar dan buas. Sebuah cambuk melingkar di tangannya. "Bukankah air itu membuatmu haus?" salah satu pengawal memberinya gelas logam dan ia berjongkok, mengambil air dengan anggun. Ia sengaja memperlihatkan bagaimana ia meminum air tersebut; mendongakkan kepalanya ke atas sembari meneguk air tersebut. Jongin hampir saja merasakan keringnya pasir di lidahnya.

Jongdae menyenggolnya pelan, hampir tak terasa. Jongin memejamkan matanya sembari menghirup oksigen, hanya menghirup, sebelum membukanya kembali hanya untuk melihat Tao menyeringai ke arah mereka.

"Kau mau minum?" Tao mendekati prajurit mungil yang ketakutan, tubuhnya seperti perempuan. Luhan, otak Jongin mengingatnya. Luhan, laki-laki yang pernah Sehun ceritakan pada satu malam sunyi; pipinya merona merah muda akan kekaguman saat Jongin menggodanya. Luhan, sebuah paradoks akan kehalusan dan kekuatan, yang kini berdiri ketakutan dan terkalahkan di depan Tao.

"Siap tidak," ujar Luhan, suaranya tegas walau kegelisahan menerobos masuk ke dalam matanya. Ia menatap lurus ke depan.

"Kau yakin?" Tao mengangkat sebelah alisnya ke arah Luhan. Jemari tangan kanannya menyusuri garis rahang Luhan, tangannya yang lain menggoyang-goyangkan gelas tersebut di depan mata Luhan. Luhan mengangguk, sekali. Tao memperhatikannya selama beberapa saat. "Mmm, kau cantik juga." Kalimatnya yang terakhir terdengar tenang namun hal tersebut merasuki Jongin dan ia terpaku di tempatnya.

Sehun juga menyebut Luhan cantik.

Tao melangkah mundur dan Jongin memfokuskan pandangannya pada pohon yang tumbuh di pinggir sungai. Ia marah untuk beberapa alasan, gambaran akan sahabatnya muncul satu demi satu dalam kepalanya, dan ia tak dapat keluar dari gambaran tersebut. Seberapa besar keinginannya untuk melupakannya, ia tak bisa. Karena sisa kenangannya akan Sehun berserakan dimana-mana; selalu terdapat kenangan akan Sehun pada setiap wajah yang Jongin lihat. Jongin selalu mencoba untuk mengingkarinya namun sekarang semuanya sudah jelas. Sahabatnya akan selalu melekat di dekatnya sampai akhir.

"Kita akan tinggal disini sampai matahari terbenam," perintah Tao, suaranya membangunkan Jongin dari lamunannya. "Kalian akan berdiri disini, tepat di sebelah sungai. Tidak ada yang boleh minum."

Bunyi keluhan keluar lemah dari barisan para prajurit. Tangan Jongin mengepal, besi borgol menggigit kulitnya dingin, dan ia saling bertatapan dengan Jongdae. Mereka berdua tidak berharap apa-apa. Walaupun cara Tao bermain-main dan mengejek mereka masih mengesalkan. jika Tao dan pasukannya berada di pihak yang kalah dan menjadi tawanan perang, Jongin ragu apakah pihak mereka akan sekejam ini.

Ia menyiapkan dirinya untuk waktu tunggu yang lama, memastikan untuk tidak menaruh banyak tekanan pada pergelangan kakinya karena ia masih belum sembuh sepenuhnya. Jongin tahu bahwa ia dapat menahannya walau sungai tersebut begitu menggoda—ia selalu menjadi prajurit yang disiplin. Namun ia tak yakin bagaimana prajurit yang lain menghadapinya, bagaimana mereka dapat mengabaikan air bersih yang mengalir di depan mereka. Mereka telah berjalan di bawah terik matahari dalam waktu lama, dan sekarang banyak dari mereka yang kelelahan dan dehidrasi.

Mereka tampak seperti domino yang disusun rapi, dan tiap orang dapat jatuh kapan saja. Dari sudut matanya, Jongin melihat Kyungsoo sedang berdebat dengan Tao, melihat bagaimana hidung laki-laki yang lebih mungil bererut kesal. Samar-samar, ia dapat mendengar pembicaraan mereka.

"...Hentikan ini, Tao. Ini gila. Kita harus jalan."

"Tenanglah, Kyungsoo. Kenapa kau selalu menjadi batang dalam lumpur?"

"Tao—"

"Aku yang bertanggung jawab disini, Kyungsoo."

Mendengar hal tersebut, Kyungsoo menutup mulutnya, namun frustasi berputar-putar di matanya. Jongin mengalihkan pandangannya, tidak yakin harus berbuat apa setelah mendengar percakapan tersebut.

Ia hendak mengatur posisinya karena ia mulai kesakitan ketika, dalam sekejap mata, seseorang berlari dari barisan sembari berteriak. Kejadian tersebut serasa terjadi dengan lambat, dan urat nadi Jongin serasa ingin keluar dari kulitnya. Di sampingnya, sebuah erangan keluar dari mulut Jongdae.

"Minseok," bisik Jongdae, mengucapkan nama tersebut layaknya sebuah dalih. "Minseok, kenapa?"

Walaupun ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Jongin tidak yakin apakah ia dapat melihat ke arah lain. Ia melihat Minseok berlari ke arah sungai, keputusasaan jelas terlihat dalam gerakannya, melempar dirinya ke dalam air sehingga ia bisa minum. Ia melihat senyum memuakkan merekah layaknya penyakit di bibir Tao. Sang kolonel jangkung nampak bersemangat.

Minseok mampu minum tidak lebih dari tiga tegukan sebelum sebuah pedang, mata pisaunya berkedip jahat di bawah terik matahari, ditarik keluar dari sarungnya yang melekat di pinggang seragam Tao. Ketakutan telah lama hilang, digantikan oleh insting untuk terus minum. Ia tak pernah menyangka hal itu, tapi Jongin menyangkanya. Jongin telah menyangkanya, dan hal tersebut akan menghantuinya selamanya, gambaran ini: pedang Tao memotong kepala Minseok, seakan-akan leher Minseok hanyalah sebongkah mentega. Dalam hitungan detik, birunya air ternodai oleh merah, tubuh Minseok tenggelam mengikuti bebatuan yang berada di bawah sungai. Tao menusuk kepala Minseok dengan ujung pedangnya dan mengangkatnya; mengangkatnya seperti bendera walaupun darah kerap menetes.

"Inilah yang terjadi jika kalian tak mematuhi perintah," ujarnya, sebuah seringai terangkat di sudut bibirnya, "Karena hal ini, tak ada yang boleh makan selama 24 jam ke depan. Kepalanya akan dijadikan peringatan bagi kalian semua."

Cairan empedu teraduk-aduk dalam perutnya, namun Jongin tak dapat melakukan apapun, menyeret dirinya kembali ke dalam ritme ketika mereka kembali berjalan. Pundak Jongdae bergetar oleh kemarahan serta kesedihan, dan ketika Jongin berjalan di sampingnya, ia dapat melihat air mata menetes dari matanya. Ia tak berkata apapun, malahan, ia berdoa dalam diam untuk jiwa Minseok walaupun ia tak tahu seperti apakah takdirnya.

Kemudian, ketika malam menyelebungi mereka dan Jongin dapat merasakan tingkat kelemahannya, Kyungsoo menghampirinya. Bibir laki-laki yang lebih mungil itu berkerut sembari menyelendupkan roti ke tangan Jongin. "Berbagilah dengan teman-temanmu," bisiknya, pandangannya tak pernah lepas dari Jongin.

"Kenapa?" tanya Jongin, hangatnya roti merembes sampai uratnya.

Kyungsoo menggelengkan kepalanya. "Seharusnya hal ini tidak terjadi," ucapnya pelan. "Tao sudah keterlaluan. Aku ingin menyelamatkan para tawanan sebanyak yang aku bisa."

Dan perkataan tersebut berhasil mengenainya, ironisnya situasi ini. Senyuman mungil yang ia keluarkan dari bibirnya terasa menyedihkan. "Menyelamatkan kita dari apa? Pembantaian?"

Ia tak menjawab. Kyungsoo bergerak menjauh, kembali bergabung dengan pengawal yang lain, meninggalkan Jongin dengan rahasia kecilnya. Jongin kembali bergerak ke tempat dimana Jongdae duduk, terlihat benar-benar kecil di bawah redupnya sinar lampu. Ia menawarkan roti di tangannya ketika tidak ada yang melihat.

"Dimana—"

"Ambillah," ucap Jongin. "Ambil saja dan makanlah. Jangan tanya apapun."

Jongdae berdalih kemudian mengangguk, mengambil segumpal roti. Jongin melakukan hal yang sama, keduanya menelan roti tersebut dalam hitungan detik. Roti tersebut tidaklah banyak namun juga lebih dari cukup.

Ketika mereka beristirahat malam itu, tubuh-tubuh saling berdekatan satu sama lain karena tak pernah ada tempat yang cukup, Jongin memberanikan diri bertanya, "Apakah Minseok temanmu?"

Bibir Jongdae bergetar. "Bukan," ujarnya setelah seorang pengawal melewatinya. "Ia adalah... seseorang yang bisa aku sebut saudara."

Dan ia tak berkata apapun lagi.


Jongin memimpikan wajah-wajah yang familiar. Jongin memimpikan wajah Sehun sesaat sebelum ia meninggal. Ia memimpikan mayat-mayat yang bergeletakkan kemanapun mereka pergi, mayat prajurit yang hilang dan tak akan pernah ditemukan, mayat dirinya yang terkubur enam kaki dalamnya dari permukaan dengan Tao menuangkan tanah ke mulutnya yang terbuka. Ia terbangun dengan jantungnya berdegup kencang dan rasa panik merangkak ke dalam anatnya. Ia menghabiskan menit-menit terakhir sebelum fajar dengan memperhatikan percikan warna yang muncul pada kanvas hitam putih dunia.

Barisan kembali berjalan, tanpa akhir dan arah, dan sesekali Jongin bertanya-tanya seberapa buruk keadaan akan terjadi jika ia larut menjadi debu. Pergelangan kakinya telah sembuh dan lukanya telah lama menjadi birat yang akan selamanya merekat di tubuhnya. Ia telah terbiasa dengan hukuman yang dilakukan tanpa alasan, dengan tatapan liar Tao ketika salah seorang prajurit tumbang.

Malam harinya, ia dan Jongdae mengisi kesunyian dengan kenangan, mengangkat bejana kehidupan mereka dan menuangkannya kepada satu sama lain. Terdapat persetujuan yang tak diucapkan diantara mereka, sebuah persetujuan untuk mengingat cerita satu sama lain di dalam dunia yang mungkin melupakan mereka. Jongdae jarang bernyanyi akhir-akhir ini, dan menuangkan melodi serampangan ketika semua orang telah tidur menjadi lebih berbahaya.

Mereka terkurung dengan berbagai cara yang ada.

Kyungsoo kerap memberinya bantuan dan Jongin tak tahu mengapa. Ia tak dapat memberinya apapun sebagai tanda terima kasih dan Kyungsoo tak pernah memintanya. Malahan, ia kerap menyelipkan gumpalan roti ke tangan Jongin dan sesekali ia memberinya isapan air. Semua ini menjadi tidak berhubungan akan mengapa Kyungsoo melakukan hal ini, karena Jongin tahu bahwa Kyungsoo melakukan apapun yang ia bisa untuk para tawanan.

Satu saat ketika mereka membangun sebuah perkemahan, ia dan Jongdae bertemu dengan laki-laki mungil bernama Baekhyun. Baekhyun memiliki kulit mulus serta mata yang indah, tubuhnya selalu bergetar akan ketakutan. Seperti Jongdae, Baekhyun adalah seorang penyanyi dan ia membiarkan suara seraknya menyanyikan melodi tak jelas setelah didorong beberapa kali.

Ia lebih tua daripada Jongin dan Jongdae namun ia masihlah mungil.

"Apa kau pikir mereka akan melepaskan kita setelah kita sampai ke tujuan kita?" tanya Baekhyun saat mereka memakan roti basi mereka yang biasa.

"Tidak," ujar Jongin, bersamaan dengan gumaman Jongdae. "Kurasa tidak."

Bibir Baekhyun membentuk garis lurus dan ia kembali mengunyah. "Aku tak tahu kenapa aku tetap bertahan," akunya.

Jongin tahu mengapa ia tetap bertahan pada titik ini. Ia tahu bahwa ia bukan orang yang mudah menyerah. Pikiran tersebut membuatnya jijik, entah bagaimana— ia tetap saja akan mati, namun ia lebih memilih mati ketika ia telah mencapai akhir dan bukan sebelum itu.

Ia menyimpan pikiran tersebut untuk dirinya sendiri saat Jongdae mengangkat bahunya dan tatapan Baekhyun terselimuti oleh ketidakpastian.

Kemudian seorang pengawal jangkung menghampiri mereka, pergerakannya cepat dan buru-buru. Ia menyeret Baekhyun, mengejutkan Jongin dan Jongdae, dan Jongin hampir saja melompat dari tempatnya. Hampir. Jongdae menahannya dan ia hanya dapat melihat ketika pengawal tersebut menyumpahi Baekhyun.

"Kau bangsat," desisnya. "Ikut aku!"

Jongin tak tahu apa yang terjadi. Ia melihat pengawal tersebut menarik Baekhyun menjauh, tubuh laki-laki mungil tersebut terbelit oleh kebingungan ketika ia dipaksa keluar dari tenda.

Yang membuat Jongin bingung adalah sedikitnya rasa takut yang tampak pada ekspresi Baekhyun.

"Menurutmu apa yang akan terjadi padanya?" Jongin bertanya pada Jongdae, khawatir. "Apa yang telah ia lakukan?"

Jongin menelan rotinya, dan ia baru saja membuka mulutnya ketika Jongin merasakan tarikan kasar pada rambutnya dan ia tersentak ke atas.

"Ikuti saja," bisik Kyungsoo. Kemudian, dengan nada marah, ia membentak, "Kau pikir kau bisa kabur dari ini?!"

Jongin merintih oleh tekanan yang ia dapat di kulit kepalanya. Sepertinya Kyungsoo menyadari hal ini karena ia meregangkan pegangannya sedikit. "Apa—apa yang kau—"

"Tak ada alasan!" Kyungsoo hampir berteriak. Ia mulai menyeret Jongin ke arah yang sama dengan pengawal yang menyeret Baekhyun tadi, dan Jongin melirik ke arah Jongdae. Tatapan Jongdae kosong, benar-benar kosong, dan Jongin ketakutan. Ia tak tahu apa yang terjadi.

Dan ketika mereka melewati pintu tenda, Jongin melihat seorang pengawal membentak Jongdae.

Udara malam membenturnya. Selama ini ia merasa tercekik dan kepanasan di dalam tenda tersebut, jelas saja dengan tiap orang saling bedempatan pada satu sama lain, dan Jongin hampir saja melupakan konsep ruang pribadi. Namun kini ia mulai mengingatnya kembali saat angin berhembus dan mengusutkan rambutnya, dan samar-samar ia mulai sadar akan bagaimana lumpur menyelimuti tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Suatu keajaiban luka-luka ditubuhnya belum juga terinfeksi.

Mereka memasuki sebuah kabin khusus bagi perwira musuh, dan Jongin hampir saja tak dapat menahan kekejutannya ketika ia melihat Baekhyun terkurung dalam lengan si pengawal jangkung. Ia melirik Kyungsoo namun Kyungsoo tak terkejut sekalipun; ia mendorong Jongin ke arah kursi dan menyuruhnya duduk. Jongdae tergupuh-gupuh masuk lima menit kemudian, bergelantungan pada lengan salah seorang pengawal yang Jongin kenali sebagai pengawal yang bertugas di bagian medis.

"Apakah Tao di tenda?" tanya si pengawal jangkung, suaranya berat dan bening. Baekhyun melirik melalui lengan yang melingkarinya dan sebuah senyuman mungil merekah di wajahnya ketika ia melihat Jongin dan Jongdae.

"Tidak," ucap Kyungsoo sembari membuka sebuah kardus dan mengubrak-abrik isinya.

"Terkadang aku tak tahu apakah ia marah atau senang mengetahui ada tawanan yang kabur," ujar si petugas medis sembari menyusuri bekas luka yang terletak di pipi Jongdae. "Satu menit ia berteriak pada semua tawanan namun menit berikutnya ia menyeringai."

"Dua-duanya, Yixing," ujar Kyungsoo, dan Jongin berusaha menahan erangannya ketika laki-laki yang lebih mungil membuka sepatunya dan melepaskan kain kasa yang membalut kakinya. "Ia marah, namun ia juga senang karena hal itu membuatnya bisa menyiksa tawanan."

"Aku tak mengerti mengapa Kris tak berbuat apa-apa mengenai hal ini," ujar si pengawal jangkung sembari menyisiri rambut Baekhyun tanpa sadar. "Lagipula, mengapa kita membiarkannya? Pangkatnya tidak..." Ia menghentikan ucapannya, wajahnya gusar. Baekhyun mendongak menatapnya dan sepertinya telah terjadi sesuatu diantara mereka.

"Seharusnya tidak berjalan seperti ini," ucap Yixing sembari mengeluarkan sebuah cangkir dan mengisinya dengan air panas. "Kita hanya ditugaskan untuk membawa mereka ke perkemahan itu, namun Tao menganggap hal ini sebagai sebuah kesempatan untuk membunuh semua tawanan."

Mendengar kata membunuh, pelukan si pengawal jangkung pada Baekhyun mengencang, bahkan tatapan Yixing pada Jongdae bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Jongin menunduk melihat lipatan pada kening Kyungsoo ketika ia membalut pergelangan kakinya yang terluka dengan kain kasa baru.

"Ini bodoh," gumam Kyungsoo. "Ini bodoh dan tak berguna." Ketika ia berdiri, Jongin menangkap kesedihan yang terlukis di wajah Kyungsoo—dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak dapat diungkapkan saat ibu jarinya menyusuri luka baru yang merusak bagian kanan wajah Jongin.

"Kita harus kembali," ucap Yixing, walaupun tangannya masih beristirahat pada pundak Jongdae. "Ia akan curiga jika kita bertiga menghilang bersamaan."

Kyungsoo mengangguk. "Mereka akan aman disini. Kita hanya perlu mematikan lampunya."

"Chanyeol," gumam Baekhyun saat ia melepaskan dirinya dari pelukan laki-laki yang lebih tinggi.

"Kau akan baik-baik saja," ucap Chanyeol, dan Jongin hampir saja percaya bahwa itu hanyalah trik cahaya ketika pengawal jangkung itu menunduk untuk membubuhkan ciuman pada kening Baekhyun. "Kita akan kembali, tenang saja."

Yixing membisikkan sesuatu di telinga Jongdae yang mana terlalu pelan untuk Jongin tangkap. Kyungsoo berbalik ke arah Jongin dan kata-katanya lembut, hangat.

'Aku tahu kau masih belum mengerti," ucap Kyungsoo, dan Jongin tenggelam dalam ketulusan yang muncul di mata Kyungsoo. "Namun percayalah bahwa tidak semua orang setuju dengan kelakuan Tao. Kita melakukan apa yang kita bisa."

Jongin menatapnya, pandangan mereka bertemu untuk pertama kalinya, dan ia masih belum mengerti. Namun perlahan, ia mulai paham. Ketika Kyungsoo memadamkan cahaya yang keluar dari lampu pijar, Jongin mengingat-ingat semua kejadian yang terjadi selama beberapa hari ini. Satu per satu, para pengawal keluar dari kabin, dan mereka semua mendengar bunyi klik pada lubang kunci pintu.

Ketika mereka bertiga kembali bergabung dalam barisan pagi harinya, mereka menyadari bahwa sebuah hukuman telah dijalankan semalam. Mereka bertiga bertukar pandang pada satu sama lain dan menunduk. Dan mungkin, mungkin Jongin masih tak mengerti mengapa Kyungsoo berbuat baik—mengapa Chanyeol dan Yixing berbuat baik—namun ia tak dapat menahan rasa bersalah yang membanjiri dirinya.

Mereka aman di dalam kabin sementara yang lain menderita, dan walaupun Jongin sadar bahwa tiga pengawal tersebut tak dapat melindungi semua tawanan, hal tersebut tetap membuat merasa bersalah.


author's note: hai setelah sekian lama menghilang (lagi) aku kembali bawa translatean baru. well, kaisoo lagi kali ini. haha. maaf banget karena akhir-akhir ini jarang banget buka ffn makanya banyak pm yang lama dibalesnya (2 bulan lebih malah). I am so sorry. sedikit pemberitahuan aja karena sekarang aku juga jarang baca fanfic dan gatau mana fanfic yang bagus buat di translate, kalau kalian punya recomend bisa request ke aku tapi please jangan via pm. bisa-bisa dibalesnya lama lagi. lol. I take request via line (id: jonginida) and twitter ( daisukais).

oh ya, sekalian. beberapa hari yang lalu exobubz (10080 author) chat aku dan minta tolong buat siapapun yang punya uname exobubz buat berhenti pura-pura jadi dia. so, buat kamu yang ngerasa punya uname itu bisa berhenti dan mungkin sekalian ganti uname karena dia juga bilang kalau dia mau pakai uname itu haha. thanks!

see you at the next chapter :)