Chapter 1
Namaku Byun Baekhyun. Ini hari pertamaku menginjakkan kaki di Seoul, kota paling bergengsi di Korea Selatan. Sebelumnya aku besar dan tinggal di sebuah kota kecil yang jauh dari keramaian. Ah, sebenarnya aku tidak mau mengatakan ini, tapi kupikir kalian harus tahu. Aku yatim piatu, sejak bayi orangtuaku tidak menginginkanku karena keistimewaan yang kumiliki. Aku punya rahim. Ya, kalian tidak salah dengar kok. Aku seorang laki-laki, dan aku punya rahim layaknya wanita.
Setelah aku dilahirkan di dunia ini, aku langsung dibuang begitu saja di depan pintu panti asuhan. Untungnya bukan tong sampah. Keistimewaan itu juga yang membuat pengunjung panti asuhan enggan mengadopsiku. Jadi, setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk pergi dari panti asuhan dan memulai hidupku dari nol. Bukannya aku tidak berterima kasih pada panti asuhan yang sudah merawatku sejak bayi, hanya saja aku punya banyak pengalaman buruk disana. Dan aku yakin pihak panti asuhan juga sangat bersyukur saat kubilang aku akan pindah ke kota lain dan memulai hidup baru tanpa mengharapkan bantuan dari mereka.
Aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok yang daritadi kutunggu-tunggu. Sudah hampir dua jam aku menunggunya, dan itu membuat kakiku pegal. Perutku juga mulai terasa lapar karena sejak pagi belum terisi makanan. "Luhan lama sekali. Ugh..." Aku membenarkan letak ranselku sambil terus menggerutu. Untunglah barang bawaanku tidak banyak karena seluruh pakaianku muat dalam satu ransel. Seandainya aku punya uang berlebih, pasti daritadi aku sudah masuk ke coffee shop di seberang jalan, dan menunggu Luhan sambil menyeruput secangkir kopi hangat. Sebenarnya bisa saja aku membeli kopi dengan ukuran small, tapi aku harus berhemat. Uang yang ada padaku sekarang harus bisa mencukupi biaya hidupku sampai aku mendapat pekerjaan. Untunglah Luhan berbaik hati mengijinkanku tinggal di rumah kecilnya. Kebetulan pekerjaan Luhan mengharuskannya tinggal disana dan hanya boleh pulang seminggu sekali di akhir pekan, jadi hitung-hitung aku menjaga rumah Luhan selama pemiliknya tidak ada.
Luhan berasal dari panti asuhan yang sama denganku, dan dia satu-satunya temanku disana. Dia yang selalu membelaku saat aku dibully walaupun pada akhirnya dia yang menangis. Saat teman-teman lain tidak mau bermain denganku, Luhan akan meminjamkan robot kesayangannya padaku. Saat aku hanya diberi makan sayur tumis, diam-diam Luhan akan menyembunyikan potongan daging di bawah tumpukan nasiku. Saat anak-anak lain merasa senang ketika ada yang mau mengadopsi mereka, Luhan malah bersikeras tidak mau diadopsi kalau aku tidak ikut bersamanya. Dan aku lah yang paling tersiksa waktu Luhan memutuskan untuk pergi ke Seoul, aku sampai demam selama seminggu waktu itu. Bukannya Luhan tidak mau mengajakku pergi bersamanya, tapi waktu itu aku masih sekolah. Luhan berjanji akan membawaku ke Seoul setelah aku lulus SMA, dan disinilah aku sekarang.
Drrt... Drrtt...
Kurogoh saku celanaku dan mengeluarkan sebuah ponsel jadul yang luar biasa ketinggalan jaman. Kalian tahu kan, ponsel yang layarnya masih hitam putih dan tombolnya 1-2-3. Senyumku langsung merekah saat kulihat nama yang tertera di layar. "Halo, Luhan. Kau dimana? Aku sudah lama sekali menunggumu disini! Kaki ku sampai mati rasa tahu!" Omelku sambil menggerak-gerakkan kaki ku yang pegal.
"Aduh, maaf! Maaf sekali, Baek! Daritadi aku tidak diijinkan keluar, aku dikira berbohong saat kubilang ingin menjemputmu." Suara Luhan terdengar panik dan itu berhasil membuatku terkikik geli. Aku yakin dia hampir menangis saking merasa bersalahnya sekarang.
"Ya sudah. Tidak apa-apa. Jadi sekarang kau dimana? Berapa lama lagi aku harus menunggumu hah?" Aku sengaja berbicara dengan nada kesal yang dibuat-buat, aku senang sekali menjahili Luhan. Hahaha.
"Aku sudah di dalam taxi sekarang. Kau tunggulah disana oke? Sebentar lagi aku sampai. Ahjussi, bisakah lebih cepat sedikit lagi?" Setelah itu Luhan langsung memutuskan sambungan, mungkin dia sibuk mendesak supir taxi supaya mengemudi lebih kencang. Dasar Luhan, dia lah satu-satunya orang yang menyayangiku di dunia ini. Dan akupun menyayanginya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa sosoknya.
10 menit kemudian, sebuah taxi berhenti tepat di depanku. Luhan menurunkan kaca jendela dan memberi isyarat agar aku masuk ke dalam. Aku yang sudah kelelahan berdiri langsung menurut dan masuk ke dalam taxi, duduk di sebelah Luhan. "Baekhyun-ah, aku sangat merindukanmu!" Luhan langsung memelukku dan menghujani pipiku dengan kecupan-kecupan sayang. Aku hanya tertawa dan balas memeluknya, "Aku juga merindukanmu! Kau tahu bagaimana hidupku setelah kau pergi? Shindong selalu merebut jatah makanku tahu." Aku mengerucutkan bibirku kesal. "Astaga, dia melakukan itu? Pantas saja kau semakin kurus, Baekhyun-ah. Kau pasti belum makan apapun dari pagi kan? Tenang saja. Setelah ini aku akan memasakkan makanan yang enak dan kau bisa makan sepuasnya!" Ujar Luhan sambil mengukur-ngukur pergelangan tanganku, dan kembali mengeluh tentang betapa kurusnya diriku.
"Ehem!" Kami langsung berhenti saat supir taxi berdehem dan melirik kami melalui kaca spion, "Setelah ini kita kemana?"
Taxi kami berhenti di depan sebuah gang sempit dan gelap. Saking sempitnya bahkan mobil pun tak bisa masuk ke dalam. Setelah membayar, Luhan membantuku membawa ranselku dan berjalan masuk ke dalam gang. "Luhan, aku bisa bawa tasku sendiri!"
"Sudahlah, Baek. Aku tahu kau capek." Luhan membuka pintu rumahnya dan menyalakan lampu. Rumah yang kecil tapi nyaman, menurutku. Sangat tidak sebanding dengan bangunan-bangunan tinggi pencakar langit yang kulihat di sepanjang perjalanan menuju kesini. Tapi setidaknya aku bersyukur karena masih mempunyai tempat berteduh, dan lagipula rumah ini tidak buruk-buruk amat kok. Luhan menata semuanya dengan baik. Tidak ada sofa, hanya ada kursi dan meja kayu di dekat dapur. Kamar tidurnya juga cuma satu. Kamar mandinya terletak di dalam kamar. Untungnya masih ada televisi kecil.
"Nah, selamat datang di rumahku. Bukan, rumah kita. Kecil memang, tapi kuharap kau betah." Luhan menghampiriku setelah meletakkan tasku di dalam kamar. "Kau tahu, Baek, biaya hidup di Seoul itu sangat tinggi. Tapi kalau kau beruntung, kau akan punya segalanya disini."
"Aku sangat bersyukur saat kau bilang kau lulus ujian masuk dan mendapat beasiswa di SM University." Tangan Luhan terulur, membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. "Akhirnya doaku terkabul. Kau bisa menyusulku ke Seoul, bahkan kita bisa berkuliah di universitas yang sama!"
"Itu semua berkat dukunganmu." Aku memeluk Luhan, dan dia balas memelukku. "Oh ya, kau bilang biaya kuliah di SM University itu mahal sekali, kau hebat karena bisa berkuliah disana tanpa beasiswa."
"Dan kau lebih hebat lagi karena berhasil mendapat beasiswa. Mm... Baek, sebenarnya ada beberapa hal yang belum kuceritakan padamu." Luhan menarik salah satu kursi kayu, aku mengikutinya dan kami duduk berhadapan. "Sebenarnya ada yang membiayai kuliahku, makanya aku bisa kuliah disana. Bagaimana menjelaskannya ya. Pokoknya aku bekerja pada orang itu. Aku jadi semacam... Pelayan pribadinya? Aku harus mengikutinya kemana-mana, termasuk ke kampus."
Aku sedikit kaget mendengar cerita Luhan. Sebelumnya kupikir dia bekerja sebagai pengasuh bayi, atau merawat orang tua. Luhan sepertinya bisa membaca ekspresiku, "Tenang saja, Baek. Pekerjaanku tidak buruk kok. Aku menyukai pekerjaanku. Dan lagi, kita jadi bisa berkuliah bersama-sama kan!" Melihat senyuman tulus di wajah Luhan membuatku sedikit lega. Percakapan kami terusik saat ponsel Luhan berdering, "Bosku menelfon." Luhan menunjukkan layar ponselnya dan tertera nama 'Oh Sehun' disana.
"Halo..."
"Luhan! Berani-beraninya kau pergi tanpa ijinku!"
"M-maafkan aku, tapi aku sudah meminta ijin berkali-kali padamu dan kau tetap tidak mengijinkan. Baekhyun sudah menungguku lama sekali, jadi-"
"Oh, sudah berani melawan rupanya. Aku jadi semakin meragukanmu. Jangan-jangan kau memang ada janji kencan dengan seseorang hari ini dan membuat alasan tak masuk akal."
"Sehun-ssi, tolong dengarkan aku! Aku tidak berbohong, dan tuduhanmu tidak berdasar!"
Bos Luhan sepertinya galak. Dia pasti sedang memarahi Luhan karena sudah pergi meninggalkan pekerjaannya untuk menjemputku, tapi di mataku mereka malah terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Aku yang tak tahan langsung merebut ponsel Luhan dan itu sukses membuatnya semakin panik. "Hei, Oh Sehun! Dengar ya, kau tidak pantas memarahinya hanya karena masalah sepele begini! Dia benar-benar menjemputku! Kalau kau tidak percaya, datang saja ke sini dan buktikan sendiri! Luhan bukan tipe orang yang suka berbohong, ingat itu baik-baik!" Setelah itu aku langsung memutuskan sambungan dan menyerahkan ponsel Luhan dengan kesal.
"Astaga, Baek..." Mata Luhan berkaca-kaca. Aku tahu dia pasti terharu karena aku membelanya barusan. Ya, selama ini dia yang selalu membelaku di panti asuhan. Sudah saatnya aku membalas kebaikannya. "Jangan menangis, Luhan-ah. Aku sudah memarahi orang itu."
"Justru itu! Kau sadar tidak siapa yang barusan kau marahi?! Dia bosku! Aku bekerja padanya! Bagaimana kalau setelah ini aku dipecat?! Hiks..." Oke. Luhan benar-benar menangis sekarang. Dia menunduk dan menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. Aku tertegun selama beberapa saat, berusaha mencerna kata-kata Luhan barusan. "L-Luhan... Aku... Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud begitu." Aku menggeser kursiku mendekati Luhan, dan menyentuh pundaknya yang gemetar. Luhan menggeleng pelan, dia menyeka pipinya yang basah. "Sudahlah, jangan minta maaf. Aku tidak apa-apa. Sehun akan mengerti kok."
Dan Sehun panjang umur. Baru saja Luhan menyebut namanya, sosok tinggi itu sudah berdiri dengan angkuh di depan pintu. Aku tidak tahu kenapa dia bisa muncul semendadak itu. Apa jangan-jangan dia membuntuti Luhan daritadi? Kalau memang iya, lalu kenapa dia masih menuduh Luhan berbohong? Ah kepalaku jadi sakit memikirkannya.
Dia memberi tatapan tegas pada Luhan, seolah-olah mengatakan 'Ayo ikut aku sekarang.' Dan Luhan benar-benar menurutinya. Dia segera bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Sehun. Aku mengekorinya dari belakang. "Jadi kau yang namanya Baekhyun?" Tanya Sehun dengan nada dingin. Matanya menelitiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, "I-iya. Maaf tadi sudah membentakmu. Tolong jangan marah pada Luhan, marahi aku saja." Aku membungkukkan badanku pada Sehun, yang langsung ditahan Luhan. "Tidak perlu minta maaf. Luhan sebenarnya sudah cerita banyak tentangmu, aku saja yang terlalu curiga." Sehun membuang pandangannya ke arah lain. "Nah, sekarang bisa kan aku membawa Luhan-ku?" Mataku melirik Luhan, dan kalau tidak salah lihat, ada rona merah yang tercetak samar di pipi putih itu. "Ya, tentu saja. Luhan harus kembali bekerja. Maaf sudah mengganggu waktu bekerjanya."
"Hm. Ini, belilah makanan." Sehun mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya padaku. Awalnya aku ingin menolak, tapi Luhan langsung memberi isyarat agar aku menerimanya. "Oke, terima kasih. Maaf sekali lagi karena sudah membentakmu." Setelah itu aku mengantar mereka sampai ke depan gang. Wah, sepertinya Sehun benar-benar orang kaya. Lihat saja mobilnya yang berkilat itu. Sebelum pergi, Luhan memelukku dan berbisik "Aku akan menghubungimu nanti malam."
Setelah mobil yang mereka tumpangi hilang di tikungan jalan, aku kembali masuk ke rumah. Kulirik jam yang tergantung di dinding, sudah hampir jam 7 malam, dan aku belum makan apapun. Pantas saja cacing di perutku sudah memberontak daritadi. Aku membuka kulkas, cuma ada beberapa butir telur dan botol air mineral. Tidak heran sih, Luhan kan cuma pulang seminggu sekali. Okelah, setelah mandi aku akan ke supermarket dan belanja beberapa bahan makanan.
Aku sedang sibuk memilih susu kotak saat Luhan menelfonku. "Halo?" Kujepitkan ponselku yang berukuran kecil itu di antara telinga dan pundak, sambil terus menimbang-nimbang susu mana yang harus kubeli, cokelat atau vanilla.
"Halo, Baekhyun-ah. Kau sedang apa? Maaf ya, padahal aku sudah janji akan memasakkan makanan untukmu, tapi Sehun keburu datang tadi."
"Aku sedang di supermarket. Tidak apa-apa, aku malah berterima kasih karena Sehun sudah memberiku uang. Kau bisa memasak untukku di akhir pekan nanti, tenang saja."
"Ah ya, mengenai itu, lain kali kalau Sehun memberimu uang atau apapun itu, jangan ditolak oke? Dia paling tidak suka kalau pemberiannya ditolak. Dia merasa... Diremehkan kalau kau melakukan itu." Suara Luhan sedikit berbisik saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Iya, aku mengerti. Ngomong-ngomong, kenapa dia baik sekali mau memberiku uang? Padahal dia kan tidak mengenalku."
"Aku menceritakan semuanya tentangmu. Walaupun terkesan dingin, tapi sebenarnya Sehun itu lembut. Ah sudah dulu ya, sudah saatnya makan malam. Aku harus mempersiapkan makanan untuk Sehun. Nanti kutelfon lagi. Bye~"
Aku tertawa pelan. Kalau boleh jujur, alih-alih bekerja sebagai pelayan pribadi, Luhan malah lebih cocok jadi pacarnya Sehun. Kalian setuju denganku kan?
Setelah memutuskan untuk membeli susu kotak rasa vanilla, sekarang aku beralih ke bagian yang menjual makanan instant. Aku mengambil beberapa bungkus ramyeon dan nasi instan. Sebenarnya aku ingin sekali membeli sosis, tapi kutahan diriku. Hemat. Hemat. Hemat. Aku terus mengucapkan kata itu berulang-ulang dalam hati. Aku berjanji pada diriku sendiri, setelah aku mendapat pekerjaan nanti, gaji pertamanya akan kubelikan sosis. Jadi bersabarlah , Byun.
Aku bergegas menuju kasir untuk membayar belanjaanku saat para snack dan ice cream memanggil-manggil namaku dari ujung sana. Tepat setelah kasir mengambil belanjaan pertamaku, sebuah tangan terulur dari belakang dan meletakkan sekaleng soda dengan kasar. "Aku dulu." Mataku membulat saat kulihat kasir itu menurut. Dia meletakkan kembali belanjaanku dan beralih mengambil kaleng soda itu. "Ah ya, dan berikan aku rokok itu. Yang bungkusnya hijau."
Aku berbalik dan mendapati seorang pemuda tinggi berdiri tepat di belakangku. Matanya menatap lurus ke depan, seolah-olah aku ini makhluk halus tak kasat mata. "Kau tidak tahu cara mengantri ya?" Aku sedikit mendongak saat berbicara dengan sosok tinggi itu. "Belanjaanmu banyak. Aku tidak sabar menunggu." Sialan. Dia menjawabku tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Tapi bagaimanapun kau tetap harus mengantri. Tolong punyaku dulu." Aku menarik kaleng soda itu dari tangan si kasir dan mendorong belanjaanku.
Aku bisa mendengar geraman marah dari belakangku, tapi tidak kupedulikan. Dipikirnya aku takut? Mentang-mentang tubuhnya lebih besar dariku, aku harus menurutinya begitu? Memangnya siapa dia? Tanpa sadar bibirku sudah maju beberapa inchi. Aku mengambil plastik belanjaanku tanpa mengucapkan terima kasih. Setelah melempar pandangan sinis pada pemuda tinggi itu, aku pun bergegas keluar dari supermarket sambil menghentakkan kakiku. Aku berharap tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.
Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Ini hari pertamaku masuk kuliah! Yeay! Perlu sekitar 15 menit untukku memilih baju mana yang akan kupakai hari ini. Bajuku tidak banyak, sebagian besar warnanya hampir pudar, makanya aku bingung mau pakai yang mana. First impression itu penting kan? Dan kudengar orang-orang Seoul sangat mengutamakan penampilan. Aku tidak mau merasa dikucilkan di hari pertamaku kuliah hanya karena masalah pakaian. Akhirnya aku memutuskan untuk memakai celana jeans dan kaos lengan panjang berwarna abu-abu.
"Baekhyun-ah! Kau sudah siap?" Aku bergegas mengambil tasku dan berlari keluar kamar saat mendengar suara Luhan. Sebelum keluar aku menyempatkan diri meminum susu yang semalam kubeli di supermarket.
Entah Sehun yang terlalu baik hati, atau Luhan yang membujuknya agar aku bisa ikut bersama mereka ke kampus. Memang kami berkuliah di universitas yang sama, tapi setahuku rumah Sehun itu cukup jauh dari tempat tinggalku. Itulah yang membuatku masih tak habis pikir, kenapa sosoknya bisa muncul tiba-tiba di depan pintu kemarin.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam. Luhan yang biasanya cerewet, juga mendadak jadi pendiam saat duduk di sebelah Sehun. "Ehem.." Aku berdehem pelan untuk memecah keheningan. "Sehun-ssi, terima kasih sudah mau repot-repot menjemputku." Sehun melirikku sekilas dari kaca spionnya. "Aku cuma melakukan ini sekali. Jadi ingatlah baik-baik jalan menuju ke kampus. Nanti kau pulang sendiri."
Luhan langsung berbalik ke belakang dan menatapku dengan perasaan bersalah. Aku memberikan senyuman terbaikku pada Luhan, "Tidak apa-apa. Aku bisa jalan kaki. Lagipula Luhan bilang letak kampusnya tidak terlalu jauh dari sini kok." Mendengar ucapanku, Luhan balas tersenyum. "Kau memang yang terbaik, Baekhyun-ah."
Aku bisa menilai kalau SM University benar-benar bergengsi. Sebagian besar mahasiswanya mengendarai mobil kesini. Dan yah... Walaupun aku sudah menghabiskan waktu 15 menit untuk memilih pakaian terbaikku, tetap saja aku merasa jelek sekali jika dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa yang berkuliah disini. Kepercayaan diriku jadi sedikit merosot.
Gedung kuliahku berbeda dengan Luhan dan Sehun. Mereka mengambil jurusan bisnis, dan kalau tidak salah tadi Luhan bilang gedung untuk jurusan bisnis ada di sisi timur. Sedangkan aku mengambil jurusan sastra, gedungku berada di sisi utara. Sebenarnya tadi Luhan ingin menemaniku sampai ke kelas, tapi Sehun bersikeras kalau dosen mereka sudah masuk. Ya tidak apa-apa lah, aku kan sudah besar. Tidak bisa terus bergantung pada Luhan.
Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam gedung kampus. Tidak kupedulikan tatapan-tatapan aneh yang ditujukan padaku. Gedung kampus ini terlalu besar, aku sampai bingung mencari ruang kelasku. Setelah menyusuri beberapa koridor, akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk bertanya. Mataku tertuju pada dua orang mahasiswa yang sedang melihat mading, satunya bertubuh pendek dan satunya lagi berbicara dengan suara yang nyaring. "Yang benar saja! Memangnya masih jaman ya ospek-ospek begini?"
"Permisi... Apa kalian anak semester 1?" Yang bertubuh pendek berbalik dan mengangguk. "Iya. Kau juga?"
"Iya. Aku agak kebingungan mencari ruang kelas kita. Ah ya, namaku Byun Baekhyun."
"Namaku Do Kyungsoo. Memangnya kau belum baca mading?" Oh, jadi yang pendek ini namanya Kyungsoo. Aku menjawabnya dengan gelengan kecil.
"Namaku Chen. Kau harus baca ini. Kelas ditiadakan, dan bagi mahasiswa semester 1 diharuskan menghadap ketua panitia ospek!" Chen menarik tanganku dan menghadapkanku ke depan kaca mading. "Aku tidak tahu kalau kita punya kegiatan ospek. Maksudku, saat pendaftaran tidak diberitahu kan?" Aku memang melakukan pendaftaran secara online waktu itu. Apa mungkin karena aku tidak mendaftar secara langsung aku jadi ketinggalan beberapa informasi penting?
"Ya memang tidak! Haish..." Chen mengacak rambutnya gusar. "Sepertinya ini mendadak. Kita bisa protes, seharusnya." Aku memandang Kyungsoo dan Chen bergantian. Protes? Mana berani aku protes. Bisa-bisa beasiswaku dicabut karena aku menentang kegiatan kampus. "Kupikir tidak buruk juga. Maksudku, kita jadi bisa mengenal mahasiswa dari jurusan lain dan mendekatkan diri dengan senior kan?" Aku tersenyum, berusaha meyakinkan dua pemuda di hadapanku. "Ya sebenarnya tidak terlalu buruk sih. Benar kata Baekhyun. Ya sudahlah, Chen. Tidak usah ngomel lagi." Kyungsoo menepuk-pundak Chen. "Kalau begitu ayo kita segera menemui ketua panitianya."
"Memangnya kau tahu dimana kita bisa menemui ketua panitianya? Lihat, bahkan disini tidak tertera namanya!" Chen kembali menunjuk-nunjuk kaca mading dengan gusar.
PENGUMUMAN
DIBERITAHUKAN KEPADA SELURUH MAHASISWA/I TAHUN AJARAN BARU (SEGALA JURUSAN), UNTUK MENGHADAP KETUA PANITIA OSPEK.
NB : Kelas ditiadakan selama seminggu untuk mendukung kegiatan ospek
Pengumuman itu singkat, padat, tapi tidak jelas. Kelihatan sekali kegiatan ospek ini mendadak dan tidak dipersiapkan dengan matang. Ternyata SM University tidak sebaik yang kupikirkan. "Mungkin kita bisa tanya senior." Usul Kyungsoo, yang langsung ditolak Chen. "Kau pikir senior mau membantu kita? Aku malah curiga, kalau nanti kita berhasil menemukan ketua panitianya, malah dia yang tidak mau mengaku sebagai ketua untuk mengerjai kita."
"Tunggu, aku akan tanya temanku. Dia semester 3 sekarang. Mungkin dia bisa membantu." Aku mengeluarkan ponselku dan mendial nomor Luhan. "Daebak... Memangnya masih ada ponsel seperti itu?" Kyungsoo langsung menyikut perut Chen saat kata-kata itu meluncur dengan lancarnya. "Maafkan dia, dia memang suka asal ngomong." Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan kedua teman baruku itu.
"Halo, Baekhyun? Ada apa? Maaf aku tidak bisa bicara lama, sedang ada dosen." Aku bisa mendengar suara Luhan yang berbisik dan sedikit gugup. "Ini... Aku mau tanya,"
"Kalau kau mau tanya tentang panitia ospek, kami dilarang memberi tahu. Cari tahu sendiri." Suara dingin Sehun langsung memotong, dan dia langsung memutuskan sambungan telfon tanpa memberiku kesempatan bicara. Menyebalkan.
"Sepertinya temanku tidak bisa membantu. Kita harus cari tahu sendiri." Tampak raut kecewa di wajah Kyungsoo dan Chen. "Ya sudah, kalau begitu ayo mulai mencari."
Benar dugaan Chen, bertanya pada mahasiswa yang lewat tidak banyak membantu. Malahan beberapa dari mereka mengerjai kami. "Bernyanyilah dulu, baru setelah itu kami beritahu."
"Lakukan gwiyomi. Kalau aku tertarik, akan kuberitahu."
"Kau tahu Michael Jackson kan? Kalau mau kuberitahu, kalian bertiga harus melakukan moon walk."
Memang setelah mereka menyuruh kami melakukan itu, mereka memberi tahu beberapa clue tentang sang ketua panitia. Dia seorang senior laki-laki jurusan bisnis, terkenal dengan kekayaannya, tidak pelit, dan memiliki dahi yang indah. Tapi kurasa clue ini tidak banyak membantu. Sampai jam makan siang, kami belum berhasil menemukan ketua panitia itu. Kyungsoo dan Chen mengajakku ke kantin untuk makan siang bersama. Awalnya aku menolak, karena aku yakin makanan di kantin pasti lumayan mahal. Tapi mereka terus memaksa sampai aku tidak bisa menolak. Akhirnya aku beralasan "Kalian saja yang makan. Perutku sedang tidak enak."
Kantin tidak terlalu ramai waktu kami kesana, mungkin karena masih ada beberapa kelas yang belum keluar. Luhan mengirimkan pesan singkat yang isinya 'Aku tidak bisa kemana-mana karena Sehun melarangku pergi'. Aku mengambil tempat duduk, sementara Chen dan Kyungsoo pergi membeli makanan. Sambil menunggu kedua teman baruku itu kembali, aku memainkan Snake Xenzia, permainan ular yang membosankan. Sampai sebuah suara berat mengalihkan perhatianku, "Ponselmu itu ketinggalan jaman sekali. Bahkan ponsel nenekku lebih canggih daripada itu." Aku seperti mengenal suara berat ini, dan benar saja, saat aku menoleh ke belakang aku mendapati sosok yang sangat tidak asing. "K-kau..."
Pemuda tinggi itu tersenyum miring, "Tidak kusangka kita bertemu lagi disini. Dan benar dugaanku. Kau memang miskin."
"Chanyeol-ah, ucapanmu melewati batas."
"Diamlah, Kai. Bukan urusanmu."
"Oh, jadi namamu Chanyeol?" Aku berdiri dan menatapnya dengan jengkel. Sejujurnya aku sedikit berjinjit agar perbedaan tinggi kami tidak terlalu jelas. "Memangnya kau kenal aku? Kenapa mudah sekali kau menganggapku miskin hah?" Memang benar sih kalau aku miskin, tapi aku tidak boleh merendah di hadapan tiang listrik ini. Dia terkekeh pelan, "Semalam kau cuma belanja susu dan beberapa bungkus ramyeon. Ponselmu masih hitam putih, dan lihat pakaianmu. Siapapun akan tahu kalau kau miskin."
"Memangnya kau sekaya apa? Cih, sombong sekali."
"Kau tanya aku sekaya apa? Aku cukup kaya untuk bisa membelimu, asal kau tahu saja."
Tanganku terkepal, siap meninju wajahnya kapan saja. Kalau saja aku tidak memikirkan Luhan, kalau saja aku tidak memikirkan beasiswaku, pasti hidung si tiang listrik ini sudah patah. "Hei, Baekhyun! Tebak apa? Kami sudah berhasil menemukan ketua panitia nya!" Bahkan suara nyaring Chen pun tidak membuatku mengalihkan tatapanku dari si brengsek ini. "Dia juga mentraktir kami makan. Baekhyun-ah, kau baik-baik saja?" Kyungsoo menyentuh pundakku dari belakang. Aku masih tidak peduli.
"Hei, kalian kenapa? Jangan bilang kau membully mahasiswa baru, Chanyeol-ah?" Tiba-tiba seorang pemuda lain berdiri di dekatku, berusaha memberi jarak antara aku dan si tiang. Sepertinya dia bisa membaca situasi dengan cepat. "Ah, tidak ada apa-apa kok. Kami baik-baik saja. Chanyeol cuma mau berkenalan dengan junior yang manis ini." Kai mengulurkan tangannya, hendak menyentuhku tapi langsung kutepis dengan kasar. Ini hari pertamaku berkuliah, dan aku tidak ingin bermasalah dengan siapapun. "Iya benar. Kami cuma berkenalan."
"Hahaha baguslah kalau begitu. Aku sempat khawatir tadi. Namaku Suho, temanmu pintar sekali langsung bisa mengenaliku sebagai ketua panitia ospek."
"Aku Byun Baekhyun."
"Baiklah, silahkan menikmati makan siang kalian. Dan jam 2 siang nanti kita berkumpul di aula bersama mahasiswa baru lainnya. Kita akan membahas tentang kegiatan ospek, oke?"
"Oh... Ospek ya." Tiba-tiba si pemuda tiang menyeringai, membuat bulu kudukku berdiri. "Sepertinya aku berniat mendaftarkan diri sebagai panitia ospek, Suho Sunbae."
TBC (or END?)
Annyeong, chingu~~Thanks banget ya udah mau mampir dan ngebaca FF ku yang super gaje ini. Maaf ya kalau ceritanya terlalu mainstream, kurang jelas, agak bertele-tele dan penyusunan kalimatnya masih kurang bagus. Harap maklum aja ya, soalnya ini Fanfic pertama aku
ㅠㅠ
Jangan lupa Review nya ya chingu~ Saran dan kritik juga aku terima banget, untuk ngebantu aku memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dan semoga chapter selanjutnya akan lebih baik dari ini. Dukungan kalian berarti banget loh untuk author amatir kayak aku ini.
Untuk next chapter, aku akan lanjutin kalau kalian mau ceritanya dilanjutin :3 Jadi mohon tinggalin jejaknya ya readers sayanggg.
Thankyouu
