Gundam Seed/Destiny © Bandai, Sunrise—Matsuo Fukuda and team
Saia hanya meminjam karakter Gundam Seed/Destiny untuk memuaskan hasrat menulis saia

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Every Me Loves Every You

Multiple AU (Is that even a thing?)

Trigger Warning: Suicide, mention of drug


Cagalli membuka buku tua milik ayahnya, kertasnya sudah kuning, tidak ada lagi aroma rumah atau perpustakaan pribadi rumah mereka. Yang sekarang tercium dari buku itu hanya aroma buku tua biasa, tidak peduli isi buku itu, dia terlihat sama dan mengeluarkan aroma yang sama seperti buku-buku tua lainnya.

Ruang kelas masih sepi ketika dia pertama kali menginjakkan kaki ke universitas yang ia kira tidak akan pernah ia datangi lagi. Jika bukan karena Murrue selaku rektor Universitas Archangel, mungkin Cagalli tidak mau kembali lagi ke sini. Murrue meminta Cagalli untuk menggantikan posisi Profesor Andrew–yang tahun ini mengundurkan diri setelah kematian istrinya–sebagai dosen untuk para mahasiswa tahun pertama.

Ia hadir di pemakaman, dan baru kali itu Cagalli melihat seorang Andrew Waltfeld, yang mendapat julukan sebagai "Sabaku no Tora" karena ke'ganasan' beliau setiap kali memberikan tugas, kuis dan ujian, menangis meraung-marung. Bahkan gosipnya beliau sempat ditangkap polisi karena dia memukuli remaja yang menabrak Aisha hingga istrinya tewas. Bohong jika Cagalli kaget ketika dia mengetahui kalau akhirnya Andrew mengundurkan diri, bukan rahasia umum lagi kalau Aisha adalah 'pawang' sang Desert Tiger. Cagalli tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para mahasiswa baru itu jika menghadapi Sabaku no Tora yang telah kehilangan 'pawang'nya.

Awalnya Cagalli menolak, dia tidak punya niat untuk kembali ke Orb. Tidak setelah separuh penduduk negara itu menuduh keluarganya menyalah gunakan jabatan dan menghambur-hamburkan uang, tidak setelah ayahnya tewas ditangan tim eksekutor, tidak setelah seluruh petinggi Orb meminta maaf setelah kebenaran yang sesungguhnya terungakp, tidak setelah mereka meminta Cagalli Yula Athha untuk kembali dan maju menjadi calon presiden, tidak setelah masyarakat Orb memohon kepada Cagalli untuk mengembalikan kejayaan Orb setelah negara kepulauan itu terpuruk dibawah kepemimpinan keluarga Seiran.

Baginya Orb hanya pulau kecil yang penuh dengan masa lalunya yang kelam. Orang gila macam apa yang ingin kembali ke tempat yang hanya memberikan kenangan buruk?

"Hei anak baru, singkirkan kakimu dari kursi sekarang." hardik seorang mahasiswa berambut pirang, atau lebih tepatnya orange seperti warna jeruk yang Cagalli makan di cafe ketika dia menunggu pesanan kopinya pagi ini.

Ternyata Cagalli telah menghabiskan waktu dua puluh menit untuk tenggelam dalam masa lalu, ia berusaha menahan senyum, ternyata mahasiswa itu tidak mengenal siapa dirinya. Baguslah. Tanpa bicara Cagalli menurunkan kaki sambil menyurup kopinya yang sudah dingin dan menatap mahasiswa itu dengan tatapan bosan, sementara yang ditatap kelihatannya berusaha menahan diri untuk tidak memukul Cagalli. Mahasiswa itu menggurutu sebelum duduk di paling pojok. Seharusnya Cagalli kesal karena dia dikira mahasiswa, tapi hei itu artinya dia masih terlihat muda kan? Padahal dia baru saja menyelesaikan studi S3 di University of PLANT.

Cagalli kembali membaca buku yang membahas tentang sistem hukum yang pernah diterapkan oleh salah satu kerajaan terbesar di dunia, Skandinavia. Bahkan beberapa masih digunakan hingga sekarang. Kelas sudah mulai penuh, walau ini kelas untuk mahasiswa baru, bukan berarti tidak ada mahasiswa lama yang mengulang. Cagalli sempat mendengar beberapa mahasiswa membicarakan Profesor Andrew, ada juga yang membicarakan dirinya.

Atau lebih tepatnya dosen misterius yang akan menggantikan Profesor Andrew. Apakah dia pria atau perempuan? Masih muda atau sudah tua? Apakah dia pelit nilai? Gila memberikan tugas? Atau santai? Murrue memegang teguh janjinya, tidak akan memberi informasi apa-apa mengenai Cagalli.

"Athrun! Kenapa lama sekali sih?!" teriak seorang mahasiswa berkulit cokelat yang duduk di sebelah kanan Cagalli.

Secara refleks Cagalli mengangkat wajahnya dari buku, dan dia melihat seorang laki-laki berambut biru tua dengan iris hijau yang menawan. Cagalli tertegun, ada yang menarik dari cara mahasiswa itu menatap Cagalli. Seolah ini bukan pertemuan mereka yang pertama, seolah mereka sudah sering saling tatap. Ada perasaan asing yang tiba-tiba menggelitik Cagalli setelah keduanya beradu pandang selama semenit penuh.

"Maaf kawan tapi kursi di bagian belakang sudah penuh," ujar laki-laki berambut perak yang duduk di sebelah kiri Cagalli. "Memang sudah nasibmu untuk melewati hari pertama kuliah duduk di barisan depan."

Walau Cagalli tidak melihat, dia tahu kalau laki-laki itu pasti tengah menyeringai senang karena melihat sahabatnya menderita. Cagalli menghela napas sebelum memasukkan buku yang sedari tadi ia baca ke dalam tas. Ia berdiri sambil mengambil cup plastik yang sudah tidak ada isinya lagi dan berdiri dari kursi, membuat mereka yang duduk di deretan akhir menatapnya bingung. Kelas sudah penuh, mau ke mana orang itu?

"Uhhh..." Mahasiswa bernama Athrun itu tertegun. "Kau mau ke mana?"

Cagalli yang berdiri di hadapan Athrun tersenyum. "Silahkan duduk, kelas sudah dimulai." Ia pergi sebelum memberikan Athrun kesempatan untuk bersuara. Cagalli mendengar seorang mahasiswa bertanya apa yang dilakukan anak baru itu? ketika ia berjalan ke depan kelas. Cagalli menjawab pertanyaan itu dengan menaruh tas dan cup plastik di atas meja dosen, mengambil spidol dan menuliskan namanya di papan tulis.

Kelas yang tadinya ramai seketika itu langsung hening. Sekarang Cagalli sudah tidak memunggungi mahasiswanya, Cagalli tersenyum ramah. "Perkenalkan, saya adalah dosen pengganti Profesor Andrew untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Seperti yang bisa saudara lihat di papan tulis, nama saya adalah Cagalli Yula Athha. Ya, saya adalah anak adopsi dari mantan presiden Orb yang tewas dibunuh oleh rakyatnya sendiri hanya karena gosip murahan yang disebarkan oleh keluarga Seiran. Selama di kelas, kalian harus memanggil saya profesor, memang kedengarannya agak aneh karena usia kita paling hanya beda sepuluh tahun. Di luar kelas, kalian boleh memanggil saya Cagalli."

Cagalli tersenyum lebar, tetapi aura yang keluar dari tubuhnya membuat bulu kuduk berdiri. "Kalau begitu, mari kita mulai kuliah pertama kita."

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Athruuuun!" teriakan Cagalli membangunkan Athrun dari tidurnya. Begitu ia membuka mata, ia melihat wajah Cagalli, menatapnya dengan khawatir. "Kau tidak apa-apa? Sudah aku bilang kan, jangan terlalu memaksakan diri untuk memperbaiki Justice. Atau setidaknya jangan melakukannya sendirian."

Athrun berkedip berkali-kali, Cagalli yang ada dihadapannya sudah bukan Cagalli yang memakai pakaian modis dan tengah menjelaskan tentang hukum tata negara dengan wajah serius. Cagalli yang sekarang Athrun lihat adalah Cagalli dalam balutan pakaian militer Orb, Representative Orb, kekasihnya.

"Oke, apa yang terjadi kepadamu, Athrun?" Cagalli terlihat sangat khawatir. Jelas saja, kekasihnya (yang memiliki potensi untuk menjadi suaminya di masa depan) tidak bicara apa-apa selama lima menit penuh. Untuk seorang Athrun Zala, itu cukup mengkhawatirkan.

Athrun akhirnya tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Aku bermimpi kau menjadi seorang dosen."

"Oh ya?" Cagalli menaikkan satu alis.

"Ya. Dan kau cukup menyeramkan. Aku yakin kau akan menjadi dosen killer."

Cagalli keluar dari kokpit Justice (sebetulnya nama resmi Gundam baru milik Athrun ini adalah Infinite Justice, tetapi karena Athrun selalu menyebutnya Justice, semua orang melakukan hal yang sama) disusul oleh Athrun. "Apa yang membuatmu bermimpi seperti itu?"

Athrun terdiam beberapa saat. "Aku, aku tidak tahu. Tapi rasanya, semua itu terlalu nyata untuk ukuran sebuah mimpi. Aku bahkan bisa mengingat kehidupanku sampai saat aku bertemu denganmu, uh, maksudku dirimu yang satunya lagi."

Cagalli menggeleng, bibirnya tersenyum simpul. "Ingatkan kepadaku untuk melarangmu duduk ketika aku memberikan ceramah."

Athrun tertawa sambil merangkul Cagalli. "Bagaimana pertemuanmu dengan delegasi ZAFT?"

"Mengerikan," Cagalli menghela napas. "Aku tidak mengerti kenapa bukan Kira yang datang ke sini. Setidaknya dia mengerti mana yang penting dan mana yang tidak."

Seingat Athrun Kira sedang sibuk mengurus beberapa pabrik Gundam yang hendak ditutup oleh Lacus. Ada ratusan bahkan ribuan orang yang bekerja di sana, lagipula Kira dan Lacus percaya kalau Cagalli bisa menangani delegasi-delegasi tua yang keras kepala.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Cagalli, demi Haumea ini sudah ketiga kalinya kau melamun!" omel Miriallia yang mulai memukuli Cagalli menggunakan lembaran naskah yang ia gulung.

"Hei, kekerasan dalam rumah tangga!" protes Cagalli sambil berusaha menyelamatkan diri dari serangan Miriallia. "Maaf, maaf, tapi sudah aku bilang bukan kalau aku bukan orang yang cocok sebagai partner latihanmu?"

Miriallia menggelembungkan pipi dan melipat tangan. "Kau tidak biasanya melamun Cagalli. Apa ada masalah?"

Yang ditanya hanya mengangkat bahu, dia tidak bisa menjelaskan mengenai mimpi yang baru saja dia lihat. Walau rasanya semua itu terlalu nyata untuk ukuran sebuah mimpi, sebab Cagalli masih bisa mengingat seluruh detil dari mimpi, penglihatan, atau apapun namanya itu. Cagalli masih ingat pesanan kopi yang ia sukai ketika ia menjadi seorang dosen, atau dia masih ingat nama-nama robot berbentuk bulat yang dibuat oleh pria bernama Athrun Zala. Pria yang memiliki mata hijau dan rambut biru seperti salah satu teman sekelasnya.

Cagalli merasa semua ini hanya efek samping dari perasaannya terhadap Athrun, mungkin Stellar ada benarnya. Cagalli harusnya segera menyatakan perasaannya kepada Athrun sebelum Meer mendapatkan Athrun. Walau hampir semua teman-teman Cagalli yang juga teman Athrun mengatakan kalau tidak mungkin Athrun akan menerima Meyrin.

Mengutip kalimat Dearka "Bahkan jika neraka beku dan surga dipenuhi lava, Athrun tidak akan pernah menerima Meyrin."

Cagalli ingin mempercayai kalimat Dearka, tetapi selama ini hubungannya dengan Athrun tidak pernah mengindikasikan jika mereka akan bisa menjadi lebih dari teman. Atau mungkin Kira memang benar, Cagalli tidak mengerti apa-apa soal hubungan.

Miriallia nampaknya bisa membaca pikiran Cagalli, dia melihat orang yang menjadi objek pemikiran Cagalli. "Kau tahu, kalian berdua benar-benar bodoh."

"Hah, apa?" tanya Cagalli kaget.

"Menurutmu kenapa Athrun mau mendaftar dalam drama ini, kalau bukan karena kau yang membuatnya," Miriallia menyeringai. "dan aku sempat dengar kalau dia kecewa karena ternyata kau bukan lawan mainnya. Dan aku yakin itu juga alasan kenapa dia mundur besoknya."

Wajah Cagalli memerah. "Tentu saja aku tidak bisa menjadi lawan mainnya! Siapa yang akan memimpin drama ini kalau aku juga berada di atas panggung?!"

Miriallia tertawa, suara tawa yang biasa ia gunakan kalau dia menang beragumen. Biasanya tawa ini khusus untuk Dearka, atau mungkin Dearka yang sering mendapatkan tawa sebab dia selalu mengalah setiap kali beragumen dengan Miriallia. "Kau mundur menjadi pemain utama setelah kau tahu kalau Athrun mendaftar." Godanya.

Cagalli berpikir apakah sekarang sudah telat untuk menghentikan drama perdana klub drama ini?

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Cagalli mengedipkan mata, ini bukan pertama kalinya dia melihat atau bermimpi... aneh. Entah apa yang ada dalam pikirannya, dia tidak bisa membayangkan dirinya menjadi pemain teater, apalagi membuat sebuah drama. Tanpa disadari Cagalli tertawa geli. Dia harus membicarakan hal ini kepada seseorang, atau kepalanya bisa pecah.

Setelah selesai menatapi langit malam yang sepi, Cagalli kembali menatap layar komputer, lebih tepatnya ke foto seorang pria berambut biru laut dengan iris hijau dan senyum menawan. Cagalli menghela napas, ini adalah hari pertama dia melakukan penyamaran untuk menangkap Alex Dino, atau yang lebih dikenal sebagai Athrun Zala. Anak tunggal dari pemilik perusahaan Zala, dan pengedar narkoba terbesar di Skandinavia.

Perempuan berambut pirang itu mendengus. Dia tidak pernah mengerti pemikiran orang-orang kaya. Untuk apa seorang Athrun Zala harus bersusah payah menjadi pengedar narkoba segala? Uang? Tidak mungkin. Atau dia hanya ingin merasakan petualangan? Ah, entahlah. Tugas Cagalli adalah menangkap Athrun, Alex, siapapun namanya.

Kenapa Athrun Zala tidak meniru Bruce Wayne atau Tony Stark atau karakter superhero lainnya yang memanfaatkan kekayaan mereka untuk kebaikan orang banyak?

Hari ini Cagalli Hibiki lahir. Itu adalah nama samaran yang Cagalli gunakan untuk mendekati Athrun. Walau Lacus sempat kecewa karena Cagalli tidak benar-benar mengganti seluruh namnya. "Masih ada unsur dirimu yang asli, Cagalli! Kau harusnya serius dalam tugas penyamaran ini." Itu yang Lacus katakan setelah Cagalli menyerahkan dokumen berisi biodata mengenai Cagalli Hibiki.

Dan unsur Cagalli yang asli nyaris menghancurkan penyamarannya hari ini. Dia mendekati Athrun di cafe langganan Athrun, pria itu tengah asyik mengobrol dengan salah satu barista di sana, kalau tidak salah namanya Meer. Ketika barista lain menanyakan pesanan Cagalli, Athrun menjawabnya dengan lancar tanpa mengalihkan perhatiannya dari Meer. Seolah Athrun sudah ratusan kali memesan minuman untuk Cagalli.

Lima detik kemudian dia baru sadar dengan kalimatnya, dan hal pertama yang terlintas dalam benak Cagalli adalah. "Bagaimana kau tahu?"

Athrun tersipu malu-malu sambil mengangkat bahu. "Tebakan beruntung."

Cagalli tahu jika seseorang berbohong, dan Athrun baru saja melakukannya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dia bisa tahu? Perutnya melilit, apa jangan-jangan Athrun mengetahui kehidupannya sebagai Cagalli Yula Athha?

Atau yang lebih parah, apakah Athrun juga mengalami hal yang ia alami? Hidup di dalam mimpi yang terlalu nyata untuk ukuran sebuah mimpi?

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Cagalli, tunggu sebentar!" Teriakan Athrun menghentikan langkah Cagalli. Ia menunggu hingga Athrun berdiri di sampingnya. "Ada yang ingin aku tanyakan."

"Ya?" Kira-kira apa yang ingin ditanyakan? Naskah sudah sempurna, seingat Cagalli Athrun tidak memiliki masalah soal kostum. Semua sudah sempurna, tinggal menunggu hari pentas saja.

"Uhhh," Athrun menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. "apa kau mau pergi denganku? Jalan-jalan, atau sekedar berdiskusi soal film atau novel atau apapun yang ingin kau lakukan."

Cagalli mengedipkan mata berkali-kali. Dia tidak salah dengar kan? Athrun Zala baru saja mengajaknya... kencan? Demi Haumea, tolong jangan bilang kalau ini adalah salah satu 'penglihatan' aneh yang telah ia alami dari kecil dulu. "Oke." jawab Cagalli tanpa ia sadari.

Athrun tersenyum lebar. "Oke."

.

.

.

.

.

Seharusnya ini adalah kencan pertama mereka, seharusnya Cagalli belum tahu minuman favorit Athrun berapa banyak gula yang ia pakai, hingga informasi bahwa Athrun suka menambahkan madu di atas roti yang ia makan, tidak peduli apa rasa atau isi roti itu.

Tetapi Cagalli mengetahui semua itu, dia mengetahuinya dari mimpi yang ia lihat. Sebuah dunia di mana dia lebih tua sepuluh tahun dari Athrun, di mana dia adalah seorang profesor yang membenci satu negara karena telah membunuh ayahnya. Di dunia itu, dia sudah sering mengobrol dengan Athrun, baik di cafe hingga di apartemen masing-masing. Dan yang paling mengejutkan, Cagalli di dunia itu jago masak, beda dengan dirinya.

Ia menggeram, mungkin besok Cagalli harus mulai mencari film atau novel yang menceritakan si tokoh utama hidup di dua dunia. Dan Cagalli harus menemukan kalimat pembuka yang tidak mengerikan seperti "Hei, aku tidak tahu apa hal ini terjadi kepadamu juga atau tidak, tapi aku selalu bermimpi tentang dunia lain. Di dunia itu kita sangat dekat, dan dari sana aku mengetahui makanan dan minuman favoritmu, hingga aktris dan aktor favoritmu. Aneh huh?"

Karena ya, jelas-jelas Cagalli tidak bisa membuka percakapan dengan kalimat semacam itu.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Athrun menjatuhkan kepalanya ke meja untuk yang kesekian kalinya, dia berharap dengan begitu dia bisa mengingat semua materi untuk kuis besok, atau lebih tepatnya hari ini. Ia menoleh ke jam dinding di cafe di dekat asramanya, yup, sekarang sudah jam tiga pagi. Dan Athrun harus bersiap-siap menghadapi kuis jam delapan. Lima cukup untuk tidur.

"Jangan terlalu memaksakan diri, toh ini hanya kuis."

Dengan cepat Athrun mengangkat kepala, dia tidak percaya kalau Cagalli berdiri di hadapannya sekarang. Dia mengenakan t-shirt band Akatsuki, celana jeans tua dan boots cokelat selutut. Tangan kanannya menggenggam mug besar sementara tangan kirinya memegang sebuah novel. Bagaimana dia bisa terlihat segar jam tiga pagi, Athrun benar-benar tidak tahu.

"Aku boleh duduk di sini?" Athrun hanya bisa mengangguk, dia merapikan catatannya yang berantakan. "Aku bukan dosen yang kejam yang akan memberikanmu nilai jelek hanya karena kau gagal dalam kuis pagi ini."

"Ha ha, senang mendengarnya." gerutu Athrun. Cagalli hanya tertawa.

Keduanya sibuk dengan dunia masing-masing hingga Athrun bertanya. "Apa yang membuatmu setuju untuk kembali ke Orb?"

Yang ditanya belum mengalihkan perhatian dari novel yang ia baca, namun sebelah alisnya naik, itu berarti Cagalli mendengar pertanyaan barusan.

"Kalau kau tidak ingin menjawabnya..."

"Kira Yamato, mantan tunanganku yang menyebalkan," Cagalli mengembuskan napas. "Dia mengatakan salah satu tahap untuk bahagia adalah belajar memaafkan, baik memaafkan orang lain dan diri sendiri. Dengan kembali ke Orb, dia pikir aku bisa mulai belajar untuk memaafkan."

Athrun menelan ludah. "Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Ayahmu tidak seharusnya mengalami nasib seperti itu."

Rahang Cagalli mengeras. "Yang penting para Seiran sialan itu sudah mendekam di penjara untuk selama-lamanya. Walau memang hal itu tidak bisa mengembalikan ayahku."

"Keluarga Athha berhak mendapatkan keadilan." kata Athrun tegas. Dia teringat dengan kehidupannya sendiri.

"Apa itu alasanmu kuliah hukum?" tanya Cagalli tiba-tiba. Athrun tertegun. "Aku membaca biodata murid-muridku. Dan siapa yang tidak kenal dengan nama Zala? Kasus pembunuhan Lenore Zala sempat menjadi bahan ujian saat aku kuliah di sana."

"Pria berengsek itu tidak pantas memanggil ibuku sebagai istrinya," Athrun mengepalkan tangannya. "Terkadang aku bingung, apa yang dilihat ibuku dalam diri seorang Patrick Zala, yang jelas-jelas lebih cocok disebut binatang dibandingkan manusia."

"Terkadang cinta bisa membuat kita buta, atau bodoh, atau bahkan keduanya."

"Syukurlah aku tidak akan mengalami hal itu."

"Percayalah, kau pasti akan jatuh cinta. Tidak peduli sekeras apa kau berusaha menghindari perasaan itu, pada akhirnya kau akan menyerah dan menerima cinta dengan lapang dada." Cagalli tersenyum. "Kau lebih baik dari ayahmu, Athrun. Kau tidak akan melakukan kesalahan yang sama."

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Athrun nyaris terjatuh dari Justice ketika dia mendengar berita bahwa Kira ditangkap oleh kelompok teroris di daerah Carpentaria, wajahnya langsung pucat. "Kau serius?!" ia berteriak. Tidak mungkin, tidak mungkin Kira bisa dengan mudahnya tertangkap. Tidak selama dia berada dalam Strike Freedom.

"ATHRUN!" teriakan panik Cagalli membuat jantung Athrun nyaris berhenti. Ia langsung loncat sebelum tali pengaman untuk menurunkan pilot dari kokpit Gundam berhenti. Athrun langsung berlari ke arah Cagalli.

"Apa benar Kira tertangkap?" tanyanya sambil mencengkram pundak Cagalli.

"Ya," jawab Cagalli serak. "Lacus sudah membentuk tim untuk menyelamatkan Kira. Murrue sedang mempersiapkan Archangel untuk menjemput Shinn, Lunamaria, Dearka, Yzak dan Shiho."

Athrun mengangguk. "Aku akan ikut dengan Archangel."

"Aku akan memimpin Kusanagi..."

"Cagalli," Athrun meremas pundak Cagalli sebagai tanda agar dia tidak melanjutkan kalimatnya. "Aku akan meminta Kisaka untuk memimpin Kusanagi jika diperlukan, tapi untuk saat ini, Archangel saja nampaknya sudah cukup."

Ketika Cagalli hendak menolak, Athrun mengecup kening Cagalli. "Aku pasti akan kembali dengan Kira, oke? Sekelompok teroris tidak bisa menghentikan aku, Shinn, Yzak, Dearka, Shiho dan Archangel. Oke?"

Cagalli hanya bisa mengangguk.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Sebuah panah nyaris mengenai Cagalli jika saja perempuan itu tidak menunduk, ia memacu kudanya lebih kencang untuk menghindari para prajurit dari kerajaan PLANT. Jika ia sudah tiba di markas Orb nanti, dia akan menghajar Shinn habis-habisan karena laki-laki meninggalkan Cagalli sendirian. Padahal ini tugas mereka berdua, mencuri dari ruang harta karun kerajaan.

Hujan panah belum berhenti, bahkan semakin ganas. Cagalli semakin kesulitan untuk menghindar, dia tidak bisa fokus mengarahkan kudanya, tidak sempat mengelak dahan-dahan pohon. Seharusnya tadi dia tidak lewat hutan, kenapa tadi dia tidak langsung masuk ke kota saja? Cagalli menggeram, dia ingin membuang tas berisi koin-koin emas yang berhasil dia rampok dari Raja Patrick, tapi ini adalah perampokan pertama yang berhasil Cagalli lakukan. Dia tidak mau kembali ke markas Orb tanpa membawa barang bukti.

Samar-samar Cagalli mendengar suara air terjun, jantungnya yang sedari tadi sudah berdetak melewati batas normal, tambah berdetak kencang, jika itu memang bisa terjadi. Cagalli hanya bisa mendengar gemuruh air terjun, dan ritme detak jantungnya yang semakin cepat. Perempuan berambut pirang itu menahan napas saat melihat hamparan langit hitam di hadapannya, dan air terjun yang terlihat bercahaya karena pantulan cahaya purnama.

Derap kaki kuda semakin mendekat, tanpa pikir panjang Cagalli loncat dari kudanya sambil menggendong tas berisi rampokannya hari ini. Entah apa yang ia pikirkan ketika ia menggerakan tubuhnya mendekati air terjun.

"BERHENTI!"

Cagalli membeku. Itu suara asing, tetapi terdengar sangat familier. Perlahan ia memutar tubuhnya, terkejut saat melihat puluhan prajurit PLANT sudah berada di belakangnya. Salah satu dari mereka turun dari kuda, ia menggenggam sebuah pedang. "Kau tidak bisa lari lagi!"

"Oh ya?!" balas Cagalli. "Tentu saja aku bisa–" Cagalli tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Sebuah panah tertancap ke kening Cagalli. Tubuh berserta tas hitamnya terjatuh ke belakang. Pria dengan pedang itu berusaha menangkap keduanya, tetapi tidak berhasil. Tubuh Cagalli dan tas tersebut jatuh ke air terjun.

Suasana hening beberapa saat hingga si pemanah bersuara. "Urusan kita telah selesai."

"Apa kau gila, Heine?!" omel si pria dengan pedang. "Kita ditugaskan untuk menangkap perampok itu, bukan membunuhnya!"

Pria bernama Heine itu menggeleng. "Buatku itu sama saja, Athrun."

Athrun menggeram marah, ia menatap air terjun sambil berdoa kepada semua Dewa-Dewi yang ia tahu, agar perempuan itu bisa selamat. Entah bagaimana caranya.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Cagalli melepas kaca mata hitamnya ketika masuk ke dalam ruangan, mata hazel miliknya berusaha mencari sosok Alex, Athrun, ugh, Cagalli bingung harus memanggil pria itu dengan nama yang mana.

"Aku takut kalau kau tidak datang hari ini." Orang yang sedari tadi Cagalli pikirkan muncul di hadapannya. Athrun memakai kemeja putih dengan jas hitam, dasi biru tua dan sebuah vest warna abu-abu.

Cagalli tersenyum. "Aku tidak akan melewatkan konser tunggal Rey Za Burrel."

Athrun tersenyum dan mengulurkan tangan. "Ayo, konser akan dimulai."

Sudah hampir tiga bulan Cagalli mendekati Athrun, tetapi sampai sejauh ini dia belum pernah membicarakan mengenai 'bisnis' sampingannya sebagai pengedar narkoba. Siapa yang mengira jika Athrun Zala begitu lihai menyembunyikan kehidupan lainnya sebagai pengedar narkoba, atau Cagalli Yula Athha yang tidak bisa membongkar sindikat ZAFT. Jika sampai akhir bulan ini Cagalli tidak bisa menemukan bukti yang menghubungkan antara Athrun dengan sindikat ZAFT, dia akan ditarik dari operasi ini oleh Mwu.

Cagalli membuka apartemen Athrun dengan kunci yang diberikan oleh pria itu beberapa minggu yang lalu. Athrun sudah pernah meminta Cagalli untuk tinggal bersamanya, tetapi Cagalli menolak. Penolakan itu tidak menghentikan Athrun, tentunya. Hingga akhirnya Cagalli menerima kunci apartemen Athrun.

Seperti biasa, hari ini Cagalli akan menyiapkan makan malam untuk Athrun. Lacus sudah berkali-kali mengingatkan Cagalli agar tidak terlalu dekat dengan Athrun, atau lebih tepatnya, jangan jatuh cinta dengan target. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga perasaan.

Langkah Cagalli terhenti saat melihat sosok Athrun tengah berdiri menghadap ke jendela. Tumben, biasanya Athrun baru pulang jam tujuh malam. Apa hari ini tidak ada rapat? Tapi biasanya Athrun akan memberi tahu Cagalli.

"Athrun? Kau sudah pulang?"

Athrun menoleh dari balik pundak, dan saat itu juga Cagalli sadar kalau yang ada di hadapannya sekarang bukan pria yang telah ia kenal selama tiga bulan terakhir, bahkan yang Cagalli kenal dalam mimpi/kehidupan lain. "Kau... Kau siapa?"

"Nampaknya kau sudah bertemu dengan adik kembarku," pria itu berjalan mendekati Cagalli. Dalam hati Cagalli memaki dirinya sendiri karena dia tidak membawa senjatanya.

"Adik kembar?" tanya Cagalli sambil berusaha menyembunyikan rasa takut.

Pria yang mirip dengan Athrun itu sudah berdiri di hadapan Cagalli. Matanya sama seperti mata Athrun, tetapi mata pria ini terlihat lebih gelap dan menyeramkan, seolah tidak ada kehidupan dibalik iris hijau tua tersebut. "Kenalkan," ia mengelurkan tangan kanannya. "Alex Zala. Atau lebih sering dipanggil Alex Dino." Alex memberikan senyum berbahaya kepada Cagalli. "Akhirnya kita berjumpa juga, Detektif Cagalli Yula Athha."

Cagalli hanya bisa menelan ludah.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Tunggu, kau benar-benar mengatakan itu kepada Jibril?" tanya Athrun tidak percaya.

"Iya, aku bahkan sampai naik ke meja," Lacus terkekeh dari ujung telepon. "tadinya aku mau bernyanyi untuk mengekspresikan persaanku dan karyawan lainnya. Untunglah aku tidak perlu melakukannya."

Athrun tertawa sambil memilih-milih bunga kol. "Seharusnya aku ada di sana dan menyuruhmu untuk bernyanyi. Aku tahu betapa bencinya Jibril jika melihat anak buahnya menyanyi sambil menari di dalam restorannya."

Lacus tertawa. "Aku akan selesai kerja sebentar lagi. Apa kita jadi makan malam dengan orang tuamu hari ini?"

"Ya, aku sedang belanja di Minerva." Athrun menjawab, dia mendorong troli. "Setelah ini aku akan menjemputmu, bagaimana?"

"Oke, sampai jumpa nanti Athrun. Aku mencintaimu."

Athrun tersenyum, dia tidak pernah lelah apalagi bosan mendengarnya. "Aku juga mencintaimu, Lacus." dan dia juga tidak pernah bosan mengatakannya. Tidak peduli dengan mimpi-mimpi aneh, gila dan nyata yang ia alami selama ini. Ia tahu bahwa hatinya hanya milik Lacus seorang. Lagipula sampai sekarang Athrun belum pernah bertemu perempuan yang memiliki iris mata hazel bernama Cagalli.

Selesai membayar semua belanjaannya, Athrun keluar dari supermarket Minerva sambil memikirkan kira-kira apa yang harus dia masak untuk orang tuanya malam ini.

Tepat setelah Athrun keluar dari Minerva, seorang perempuan berambut pirang berlari terburu-buru masuk ke dalam supermarket yang juga merangkap sebagai restoran. Ia menghela napas lega saat melihat pria berambut hitam melambaikan tangan kepadanya.

"Maaf aku terlambat, Shinn." ucapnya sebelum mengecup bibir Shinn. "Kira menyuruhku untuk menyelesaikan laporannya hari ini juga."

Pria beriris merah itu tersenyum. "Tidak apa-apa, aku juga baru datang," Shinn tertawa. "Padahal kalian ini bersaudara, tapi ternyata Kira cukup tegas juga."

Cagalli hanya menggeram sambil memutar bola matnya, hal itu membuat tawa Shinn tambah keras.

Sebelum duduk di kursi, Cagalli menoleh ke luar supermarket. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi dia sempat melihat seseorang, mungkin teman waktu sekolah dulu. Walau rasanya dia lebih dari sekedar teman waktu sekolah.

"Cagalli, kau tidak apa-apa?"

Suara Shinn membuyarkan lamunan Cagalli. "Aku tidak apa-apa." Ia tersenyum.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Hujan deras mengguyur Orb, gemuruh petir terus menggema. Tetapi semua suara itu tidak berhasil menutupi raung tangis seorang Cagalli Yula Athha. Yang tengah menumpahkan seluruh tangisnya dalam pelukan kakak kembarnya, Kira Yamato.

"Dia berjanji kalau dia akan kembali. Dia sudah berjanji, Kira!"

Kira hanya bisa menelan ludah sambil menahan tangis. Ini bukan pertama kalinya Kira melihat Gundam milik sahabatnya hancur berkeping-keping. Tapi kali ini, sesuatu dalam dirinya mengatakan kalau sahabatnya itu tidak selamat.

"Kira, tolong katakan kepada Cagalli, aku minta maaf karena tidak bisa memenuhi janjiku kepadanya."

"Aku tidak mau melakukannya, Athrun! Kau sendiri yang harus mengatakannya kepada Cagalli!"

"Si bodoh itu! Hei Zala sialan, kita ke sini untuk menyelamatkan Kira Yamato, bukannya menghentikan bom atom untuk meledak!"

"Kira-San, kita harus segera keluar dari sini!"

"Shinn, apa kau gila?! Kau ingin meninggalkan Athrun di sini begitu saja?"

"Tentu saja tidak, Luna! Tapi kita tidak punya pilihan lain."

"Jadi maksudmu lebih baik jika temanku yang mengorbankan nyawanya? Kenapa tidak kau saja yang berkorban dan menjadi pahlawan perang, berengsek?! Bukannya itu yang kau inginkan?!"

"Apa maksudmu, Yzak-San?! Aku tidak..."

"Hei, hei, kawan! Yzak, jangan bikin masalah! Shinn benar, kawan-kawan. Athrun, kalau kau tidak selamat dari ledakan ini, aku bersumpah akan membunuhmu di kehidupannya selanjutnya!"

"Athrun-Kun, apa kau serius dengan ucapanmu? Archangel tidak bisa berlama-lama di sini. Kerusakan mesin sudah menyambar ke bagian yang lain."

"Ya, aku serius Murrue-San. Archangel silahkan terbang menjauh dari pulau ini."

"Kau harus selamat, Athrun-Kun."

"Akan aku usahakan, Miriallia. Tapi, seandainya aku tidak selamat.."

"Berengsek, kau harus selamat, Athrun!"

"Jika aku tidak selamat, aku harap kita bisa berjumpa di kehidupan selanjutnya."

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Athrun meninju tembok unit apartemennya, napasnya masih belum teratur setelah ia terbangun dari mimpinya. Dia masih bisa merasakan panasnya ledakan tersebut, suara ledakannya, bahkan dia masih bisa ingat dengan jelas apa yang terakhir kali ia pikirkan sebelum ia tewas dalam mimpi itu, Cagalli.

Itu yang membuat Athrun meninju tembok apartemennya. Bagaimana dia harus bersikap di depan Cagalli, yang jelas-jelas adalah dosennya dan dia sepuluh tahun lebih tua dari Athrun? Dia tidak mengerti dengan mimpi-mimpi yang dia lihat, atau apakah memang semuanya hanya mimpi? Tapi kenapa semua terasa nyata, sangat nyata, terlalu nyata, untuk ukuran sebuah mimpi atau lamunan dikala senggang?

Beberapa temannya sudah menanyakan sikap aneh Athrun setiap kali melihat Cagalli. Walau banyak mahasiswa yang mengatakan kalau reaksi aneh Athrun itu wajar, Cagalli adalah satu-satunya dosen muda yang masih single. Tapi Athrun tahu kalau perasaannya ini lebih dari sekedar cinta monyet. Tapi dia belum berani menyatakan kalau perasaannya kepada Cagalli adalah cinta sejati.

Dia kenal dengan Cagalli dari mimpi/kehidupan yang lain, tapi Athrun tidak tahu apa-apa mengenai Cagalli yang ini. Apakah dia sama seperti Cagalli yang menjadi pemimpin Orb? Apakah dia sama seperti Cagalli yang memiliki impian untuk membuat sebuah drama yang terus diagung-agungkan seperti Shakespeare? Dalam waktu yang bersamaan, Athrun kenal tetapi juga tidak kenal dengan Cagalli.

Athrun kembali meninju tembok kamarnya.

.

.

.

.

.

"Mau protes lagi soal nilai ujianmu?" tanya Cagalli tanpa mengangkat wajahnya dari buku yang tengah ia baca.

"Tidak. Aku ingin membicarakan hal lain."

Cagalli akhirnya menatap Athrun, satu alisnya naik. Athrun menghela napas sebelum duduk di depan Cagalli. Ini adalah pertama kalinya setelah Athrun bermimpi dua minggu silam, mereka bertatap muka secara pribadi, bukan sebagai dosen dan mahasiswa. Sebelum mimpi itu, sebelum dirinya yang satu lagi tewas dalam ledakan, Athrun tidak pernah segugup ini bicara dengan dosennya.

"Ada apa, Athrun?" Buku yang sedari tadi dibaca Cagalli sudah berada di atas meja.

Athrun berusaha mengendalikan detak jantungnya yang tidak teratur. "Apa kau percaya dengan reinkarnasi? Kehidupan sebelumnya atau kehidupan selanjutnya?"

Sekarang kedua alis Cagalli sudah naik. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Aku percaya, dan aku juga mengalaminya." Athrun berhenti sejenak, dia berusaha membaca reaksi Cagalli ketika ia mengucapkannya. Tapi sang dosen tidak memberikan reaksi apa-apa, wajahnya terlihat datar. Tidak ada emosi terpancar dari mata hazel miliknya.

"Lalu apa hubungannya denganku?" Cagalli memiringkan kepala.

"Kita saling kenal satu sama lain." Athrun menghindari tatapan Cagalli. "Bahkan kita sangat dekat."

Cagalli menopang dagu. "Aku masih belum mengerti kemana arah pembicaraan ini."

"Aku," Athrun menghela napas, "aku ingin tahu apakah kau juga mengalaminya? Melihat mimpi yang terlalu nyata untuk sebuah mimpi, tetapi tidak senyata kehidupan asli."

"Hanya itu?" tanya Cagalli. Athrun mengangguk, matanya belum melepaskan sosok Cagalli. Tidak peduli berapa kali Athrun melihat wajah Cagalli, baik dalam mimpi, kilasan di kehidupan yang lain, Athrun tidak pernah bosan melihatnya.

Cagalli membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Athrun, tetapi dering telepon menghentikannya. "Maaf," ucapnya sambil buru-buru mengambil telepon genggamnya dan menjauh dari Athrun.

Selama menunggu Cagalli menelepon, Athrun melihat sampul buku yang dibaca Cagalli. Archangel karya Murrue Ramius, buku yang menerapkan The Art of War karya Sun Tzu dalam dunia bisnis. Archangel adalah nama perusahaan milik Murrue.

"Maaf, tapi aku harus pergi." Cagalli mengambil buku yang menjadi pusat perhatian Athrun selama tiga menit terakhir.

Athrun buru-buru berdiri, tangannya ingin menghentikan Cagalli yang tengah merapikan barang-barangnya. "Tapi kau belum..."

"Aku akan memberikan jawabannya," Cagalli tersenyum sebelum meninggalkan Athrun sendirian.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Tidak pernah terlintas dalam benakmu untuk memberi tahuku kalau aku memiliki seorang adik kembar?" Athrun melempar koran hari ini ke meja kerja Patrick. Di halaman depan koran tersebut terpampang foto dirinya, atau lebih tepatnya foto adik kembarnya, Alex Zala. Yang merupakan pengedar narkoba terbesar di Orb.

Pria paruh baya itu mengembuskan napas. "Athrun..."

Athrun memotong penjelasan Patrick. "Apa kau lupa kalau kau memiliki dua anak?"

"Itu permintaan Lenore," jawab Patrick pelan. "Ketika kami bercerai, kami setuju tidak akan mengatakan kepada kalian kalau kalian memiliki saudara kembar. Aku dan Lenore memutuskan kontak, bahkan aku tidak tahu kalau dia sudah meninggal sepuluh tahun silam."

"Kau bilang kalau ibu hidup bahagia di Junius Seven!" teriak Athrun. Dia tidak percaya, kenapa selama ini dia percaya begitu saja kepada ayahnya? Kenapa dia tidak pernah mencari tahu mengenai ibunya?

"Kau tidak mengerti betapa sulitnya kondisiku, Athrun!" Patrick berdiri.

"Tentu saja aku tidak mengerti, karena kau tidak pernah membicarakannya!" Athrun semakin marah. "Bagaimana aku bisa mengerti kondisimu jika kau tidak pernah bicara!"

Athrun keluar dari ruangan Patrick tanpa menoleh ke belakang.

.

.

.

.

.

Nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar...

Athrun melempar telepon genggamnya ke dinding apartemennya, puluhan wartawan membanjiri gedung Apartemen Heliopolis, dia tidak bisa kemana-mana lagi setelah dia kembali dari kantor ayahnya. Bukan hanya wartawan saja yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan mengenai adik kembarnya, sahabat-sahabat Athrun juga sudah memenuhi voice mail teleponnya.

Ada satu orang yang tidak meneror Athrun dengan berbagai pertanyaan, dan orang itu yang hendak Athrun hubungi. Athrun mengenal perempuan itu dengan nama Cagalli Hibiki, tetapi saat ia melihat berita mengenai penangkapan Alex Dino, nama perempuan itu adalah Cagalli Yula Athha, detektif yang berjasa dalam penangkapan Alex Dino.

Dan juga detektif yang berhasil mengungkap semua kegiatan ilegal Patrick Zala.

Athrun berteriak sekeras-kerasnya.

.

.

.

.

.

"Apa yang kau inginkan?" Cagalli bertanya dengan hati-hati. Matanya terus mengikuti tubuh Alex yang tengah mengitari dirinya.

"Aku memiliki sebuah ide..." Alex berhenti di depan Cagalli, hidung mereka bersentuhan. "Aku akan dengan senang hati menyerahkan diri kepada polisi."

Kening Cagalli berkerut. "Tapi?"

Alex menyeringai."Kau memang pintar, pantas saja kakak kembarku jatuh cinta kepadamu."

Cagalli menelan ludah. Dia masih tidak percaya kalau orang ini adalah adik kembar dari Athrun Zala. Bagaimana mungkin? Kenapa Athrun tidak pernah membicarakan Alex? Apa Athrun tidak tahu? "Katakan saja apa yang kau inginkan."

"Yang aku inginkan," Alex mundur selangkah. "Adalah melihat kehidupan sempurna seorang Athrun Zala hancur berkeping-keping. Semua dimulai dari kemunculan adik kembarnya yang merupakan pengedar narkoba incaran kepolisian, kemudian dia akan kehilangan perempuan yang ia cintai, tetapi disaat bersamaan, detektif yang menangkap adik kembarnya muncul. Dan hei lihat, mereka mirip! Kau tidak boleh memberikan penjelasan apa-apa kepada Athrun, kau tidak boleh melakukan kontak kepadanya. Percayalah, aku akan tahu walau aku berada di balik penjara."

"Kau ingin Cagalli Hibiki menghilang dari kehidupan Athrun Zala sepenuhnya?"

Alex mengangguk. "Bukankah memang seharusnya begitu? Kau menghilang dari kehidupannya setelah berhasil menangkapku?" Seringai muncul dibibir Alex. "Oh, tolong jangan katakan kalau kau jatuh cinta dengan Athrun?"

"Tidak." Cagalli berbohong. Dan dari senyuman Alex, nampaknya dia juga tahu kalau Cagalli berbohong. Tapi dia tidak peduli.

"Aku memiliki informasi mengenai transaksi ilegal perusahaan Zala. Kau, sebagai Cagalli Yula Athha, akan membeberkannya kepada publik."

"Aku hanya ditugaskan untuk menangkapmu, bukan menjatuhkan keluarga Zala."

"Dan melepaskan kesempatan untuk membuktikan kepada dunia mengenai teori konspirasi 'gila'," Alex menggunakan tanda kutip ketika mengucapkan gila, "yang dibuat oleh ayahmu lima tahun silam."

Cagalli menatap Alex dengan seksama. "Aku tidak megerti, apa yang kau dapatkan dari semua ini? Terlebih lagi kau akan dipenjara untuk waktu yang lama."

Alex tertawa. "Aku sudah dipenjara dari aku kecil dulu. Aku harus menjaga sikap, aku harus menjadi anak yang biasa-biasa saja agar tidak mengundang kecurigaan orang, agar aku tidak menjadi pusat perhatian. Sebab akan aneh bukan, jika ada dua Athrun Zala di dunia ini? Tapi kali ini, kehidupan kami akan sama-sama hancur. Aku rasa itu sepadan dengan menghabiskan sisa hidupku dibalik jeruji. Setidaknya aku tidak akan dikejar-kejar wartawan di dalam penjara."

Tangan dingin Alex mencengkram dagu Cagalli, memaksa perempuan itu menatap manik matanya. "Bagaimana, detektif? Sejauh mana kau mau melangkah dalam dunia kepolisian? Sejauh mana kau ingin berkorban demi membersihkan nama Athha?"

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Salah, salah!" teriak Cagalli ketika seorang murid membaca dialognya terlalu cepat. "Seharusnya kau membaca dialog itu setelah si prajurit nomor tiga terjatuh!"

Para pemain drama saling pandang, mereka tampaknya lupa siapa yang menjadi prajurit nomor tiga. Cagalli berteriak frustasi sebelum menyuruh semua pemain drama untuk istirahat selama sepuluh menit. Miriallia langsung mengejar Cagalli yang sudah keluar dari aula sekolah mereka.

"Cagalli, heeeeeeiiii!" Miriallia berteriak, namun si pemilik nama tidak mendengar atau memutuskan untuk tidak berhenti.

Setelah Cagalli berdiri di dekat lapangan sepak bola, ia berhenti dan menatap Miriallia dari balik bahu. "Apa?" bentaknya.

"Mau menjelaskan kenapa kau marah-marah barusan?" tanya Miriallia sambil bertolak pinggang. "Adik kelas itu hanya melakukan satu kesalahan, tapi kau hampir memakannya hidup-hidup."

Cagalli menghela napas, matanya tertuju ke arah tim sepak bola sekolahnya yang tengah latihan untuk menghadapi pertandingan antara sekolah beberapa minggu lagi. Matahari sudah tidak berada tepat di atas ubun-ubun kepala, tetapi ia juga masih belum kembali ke tempat peraduannya, angin sore membuat Cagalli terpaksa untuk memeluk tubuhnya demi mengusir rasa dingin yang perlahan mulai menusuk tulang.

"Kau mau tahu kenapa aku memarahi anak itu? Aku melakukannya karena Gilbert Durandal akan datang menonton dramaku, dan tidak boleh ada kesalahan dalam dramaku!"

Gilbert Durandal adalah rektor MAMDA–Messiah Academy of Music and Dramatic Arts–universitas terbaik di dunia jika kamu serius mengejar karir dalam dunia pertunjukan. Gilbert selalu mendatangi sekolah-sekolah yang telah bekerja sama dengan MAMDA untuk mencari sepuluh mahasiswa baru yang akan mendapat beasiswa penuh di jurusan yang ia pilih di MAMDA nantinya. Junius Seven International High School adalah salah satu sekolah yang telah bekerja sama dengan MAMDA selama dua puluh tahun lebih.

Drama yang akan ditampilkan oleh klub teater sekolah adalah salah satu tiket untuk mendapatkan tempat di MAMDA. Bukan hanya masa depan Cagalli saja yang bergantung kepada drama ini, ada sembilan orang yang telah menjadi kandidat untuk menerima alma mater MAMDA. Jika Cagalli melakukan satu kesalahan, dia akan menghancurkan impian teman seperjuangannya.

"Aku percaya kalau kau akan membuat Gilbert terkesima."

Cagalli langsung menoleh ke belakang, terkejut karena itu jelas-jelas bukan suara Miriallia. "Athrun..."

Pria berambut biru tua itu tersenyum, tangan kanannya memegang jaket sekolah. "Aku percaya kalau Bloody Valentine adalah tiket emasmu untuk ke MAMDA. Naskah itu sempurna, Cagalli."

Gadis berambut pirang itu menghela napas. "Tidak peduli sesempurna apa sebuah naskah, jika para aktor tidak bisa membawakannya dengan baik..." Dia tidak tahu sejak kapan Athrun berjalan, sebab begitu Cagalli melepaskan pandangannya dari rumput hijau, Athrun sudah berada di dekatnya.

"Kau terlalu khawatir." Athrun menyentuh pundak Cagalli. "Drama ini akan sempurna."

Cagalli menelan ludah. Drama dan MAMDA adalah hal terakhir yang ada dalam benaknya saat ini. Dia sengaja menggunakan MAMDA sebagai alasan karena itu yang paling mudah, daripada dia harus menjelaskan alasan kenapa dia jadi gampang marah seperti sekarang. Atau kenapa dia semakin menjauh dari Athrun.

Ya, berbohong kepada semua orang bahwa dia panik kalau dia tidak bisa mendapatkan beasiswa untuk masuk ke salah satu universitas ternama di dunia terdengar lebih mudah dan wajar dibandingkan alasan asli. Dia tidak mungkin mengatakan "Maaf aku jadi mudah emosi karena aku takut akan melukai Athrun, orang yang jelas-jelas tidak aku kenal dengan baik tapi entah bagaimana aku bisa tahu minuman favoritnya hingga hangat tubuhnya dipagi hari."

"Terima kasih, Athrun."

Murid pria itu hendak mengatakan sesuatu, sayangnya seseorang memanggil Cagalli. Athrun hanya membalas Cagalli dengan senyuman dan satu anggukan.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Rahang Cagalli mengeras saat melihat liputan di majalah Eternal, majalah khusus yang membahas makanan dan para chef terkenal. Salah satu rubrik yang paling dibaca adalah rubrik tentang chef, dan bulan ini chef yang diwawancara oleh Eternal adalah Athrun Zala.

Beberapa temannya sudah memperingatkan Cagalli agar tidak terikat dengan pria itu, tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Cinta Cagalli kepada pria itu lebih besar dibandingkan cintanya kepada Kusanagi, restoran turun temurun keluarga Athha.

Flay menghela napas. "Mungkin sekarang waktunya kita menghapus Morgenroete dari menu."

Lunamaria menyikut perempuan berambut merah muda di sebelahnya dan menyuruhnya untuk pergi ke dapur. Setelah hanya ada dirinya dan Cagalli di ruang belakang, Lunamaria menyentuh pundak Cagalli yang masih memperhatikan majalah tersebut. "Cagalli..."

"Seharusnya aku mendengarkan kalian," bisiknya lirih. "Seharusnya aku tidak pernah memberi tahu resep Morgenroete kepada Athrun, yang jelas-jelas adalah saingan kita."

Morgenroete adalah resep turun temurun keluarga Athha, tidak ada orang lain yang tahu resep masakanan tersebut. Hingga Athrun Zala, pemilik ZAFT, restoran terkenal di PLANT. Morgenroete adalah satu-satunya alasan Kusanagi masih bisa buka hingga sekarang, harga makanan tersebut memag cukup mahal, tapi sepadan dengan rasanya.

Entah mana yang lebih buruk, Athrun Zala mencuri resep Morgenroete. Atau Cagalli yang telah memberikan resep tersebut kepada orang diluar keluarga Athha.

Sekarang Cagalli bisa mengatakan dengan yakin kalau desas-desus bahwa Athrun Zala tidak memiliki loyalitas, itu bukan sekedar desas-desus.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Apa keluargamu memiliki resep turun temurun bernama Morgenroete?"

Cagalli mengerutkan kening, ini bukan pertama kalinya Athrun melemparkan pertanyaan aneh. Tapi bukan berarti dia tidak kaget. "Uhh, tidak. Aku tidak bisa masak, dan seingatku Morgenroete adalah merk sepatu." Ia menunjuk boots cokelat yang ia pakai menggunakan dagu.

Tanpa dipersilahkan, Athrun duduk di depan Cagalli. Menghiraukan lautan kertas di atas meja bundar, tetapi sempat melirik cup plastik berisi kopi yang sudah dingin. "Aku masih menunggu jawabanmu mengenai pertanyaan tiga minggu silam."

Cagalli berhenti mencoret-coret kertas yang ia pegang (kalau Athrun tidak salah lihat, itu adalah lembar jawaban ujian), tangannya membeku di udara. Perlahan ia menaruh kertas dan pulpen hitam di atas tumpukan kertas. "Sepenting itukah jawabanku?"

Athrun mengembuskan napas. "Aku ingin tahu apakah kau juga mengalaminya atau tidak."

"Dan setelah kau tahu, apa yang akan kau lakukan?" Cagalli melipat tangan di atas meja. "Jika aku mengalaminya, kenapa? Dan jika aku tidak mengalaminya, kenapa? Apa bedanya? Apakah kau akan memperlakukankku dengan beda setelah kau tahu apakah aku mengalami hal yang sama atau tidak denganmu?"

"Demi Haumea, aku hanya ingin tahu!" teriak Athrun. Beberapa pengunjung cafe menoleh ke arah mereka berdua, membuat Cagalli kesal.

Rahang Cagalli mengeras. Saat ia ingin membalas kalimat Athrun, sebuah tangan menyentuh pundaknya. "Apa dia menganggumu, Cagalli?"

"Rey," Nama tersebut keluar dari mulut Cagalli secara refleks.

Pria pirang itu tersenyum sebelum meremas pundak Cagalli. Ketika matanya tertuju kepada sosok Athrun, semua kehangatan di wajah Rey tergantikan dengan sikap dingin. "Kau menganggu adikku, aku sarankan kau pergi sekarang sebelum kau terluka."

Semua orang tahu siapa Rey Zaburrel Athha, adik kandung Cagalli, salah satu detektif paling ditakuti yang pernah mengabdi di Kepolisian Orb. Rey adalah detektif yang berhasil membuktikan kepada dunia bahwa ayahnya tidak bersalah, bahwa semua tuduhan yang dituduhkan oleh keluarga Seiran kepada ayahnya hanya sebuah rencana jahat untuk menjatuhkan keluarga Athha.

Tanpa bicara atau melihat kakak-adik Athha, Athrun pergi meninggalkan keduanya.

Rey duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Athrun. "Dia terlalu muda untuk menjadi kekasihmu, Cagalli."

"Dan halo juga kepadamu, Rey." ucap Cagalli dengan nada sarkas. Ia menggeleng. "Dia bukan kekasihku, dia salah satu mahasiswaku."

"Jadi seleramu itu mahasiswa?"

Cagalli melempar tissu bekas ke arah adiknya, tetapi meleset. "Jangan ngawur."

Rey tertawa. "Usianya sudah legal kan? Aku rasa kau tidak akan terjerat hukum jika memiliki hubungan lebih dari itu."

Wajah Cagalli memerah. "Demi Haumea, Rey!" sekarang Cagalli melempar pulpen ke arah adik yang lebih muda tiga tahun darinya itu.

Rey berhasil menangkap pulpen Cagalli. "Kapan terakhir kau kencan? Kira sudah menjadi milik orang lain, lupakan dia. Shinn pria berengsek, jangan coba-coba untuk kembali kepadanya. Auel sifatnya masih kekanak-kanakan, tidak cocok untukmu. Sting pria yang cukup baik, tapi aku tidak suka dengannya. Walau kau mengatakan kalau Heine bukan gay, aku merasa kalau Heine itu 100% gay, jadi jangan buang-buang waktu untuk pura-pura menjadi pacarnya lagi. Miguel terlibat dengan dunia kejahatan, jauhi dia."

"Waow, terima kasih Rey, kau baru saja mengingatkanku nama-nama pria yang pernah menjadi kekasih dan tunanganku." Cagalli memutar mata. "Aku nyaris lupa."

"Kenapa kau tidak berkencan dengan anak yang tadi?"

Cagalli menaikkan sebelah alisnya. "Uhhh, selain karena faktor bahwa dia adalah mahasiswaku dan usia kami terpaut sepuluh tahun?" Rey mengangguk. "Dia adalah mahasiswaku dan usia kami terpaut sepuluh tahun."

"Oh ayolah, Cagalli!" Rey merengut. "Kau perlu berkencan."

"Ya, tapi bukan dengan mahasiswaku." balas Cagalli ketus. Ketika Rey ingin bicara lagi, Cagalli memasang tampang 'jangan-bicara-lagi', Rey hanya menghela napas dan menyeruput kopi Cagalli yang sudah dingin.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Wajah Cagalli memucat saat melihat sosok Athrun berdiri di depan ruangan detektif, otaknya memerintahkan tubuhnya untuk pergi jauh-jauh dari sana, namun hatinya mengkomando tubuhnya untuk mendekati Athrun. Lucu, bukankah yang memegang penuh kendali atas tubuh manusia adalah otak? Oh, mungkin otak Cagalli saat ini sedang tidak bekerja. Atau otaknya sedang dibajak oleh alien atau sejenisnya.

"Lama tidak berjumpa, Cagalli Hibiki." Cibir Athrun.

"Athrun, aku bisa menjelaskan..."

"Apa kau tahu kalau aku memiliki saudara kembar?" Athrun memotong kalimat Cagalli. Nada suaranya berbeda dengan biasanya, sekarang Athrun benar-benar mirip seperti Alex, yang selalu bicara seolah dirinya tidak memiliki jiwa. Atau sekalinya ada, jiwa itu hanya berisikan amarah dan dendam.

"Tidak, aku tidak tahu." Cagalli menggeleng. Seolah kalimatnya barusan tidak cukup kuat. "Aku baru tahu sebulan sebelum aku menangkap Alex." Agak aneh ketika Cagalli menyebut nama saudara kembar Athrun tepat di wajah pria itu.

Athrun mengembuskan napas. "Sebenci itukah kau kepadaku? Sampai-sampai kau harus memenjarakan ayahku juga?"

Cagalli menelan ludah. "Athrun, aku tidak–"

Cagalli tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena timah panas telah terlebih dulu menembus keningnya.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Tidak ada orang selain Cagalli dan Kira di sini, yang lainnya sudah pulang beberapa saat yang lalu.

Pria berambut cokelat itu menghela napas. Dengan perlahan dia mengeluarkan cincin dari saku kemejanya. "Cagalli," panggilnya lirih.

Yang dipanggil tidak menyahut.

Kira menghela napas. "Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan ini, tetapi aku yakin Athrun ingin kau memiliki cincin pertunagan kalian... Uh, cincin yang seharusnya menjadi cincin pertunangan kalian."

Tidak ada reaksi dari Cagalli.

Kira berjalan mendekati Cagalli yang masih duduk bersila di depan nisan Athrun. Ia ikut duduk di sebelah Cagalli. "Apa yang terjadi, itu bukan salahmu, Cagalli. Tidak ada yang tahu kenapa Athrun melakukannya, tidak ada yang tahu alasan kenapa Athrun mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini."

Cagalli hanya bisa terisak, Kira langsung memeluk Cagalli dan mengecup rambut Cagalli sambil terus mengatakan "Ini bukan salahmu, Cagalli."

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Athrun tersenyum, tanpa perlu melihat siapa orang yang baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya, dia sudah tahu dari aroma parfum yang selalu dipakai oleh orang itu.

"Kenapa kau tidak merayakan hari terakhir di sekolah bersama teman-temanmu yang lain, Cagalli?"

Cagalli hanya memainkan dasi sambil menggeleng. "Aku sudah melakukannya, dan aku sudah bosan sekarang."

Athrun menggeleng sambil berusaha menyembunyikan senyumnya. "Selamat, aku dengar kau mendapatkan beasiswa penuh di Universitas ZAFT."

Cagalli mengangguk, seolah beasiswa yang ia dapatkan tidak seberapa.

Ruang kelas sepi, hanya terdengar suara-suara dari luar. Para murid tahun akhir sedang melakukan pesta kelulusan, atau lebih tepatnya pesta yang menandakan telah usainya masa belajar mereka di SMA ini.

"Kenapa kau selalu menolakku?" tanya Cagalli tiba-tiba.

Satu alis Athrun naik. "Kau muridku, Cagalli."

"Sekarang aku sudah bukan muridmu."

"Kau terlalu muda."

"Usia kita hanya beda lima tahun."

Athrun menghela napas, ia menutup buku yang tengah dibacanya. "Di luar sana masih ada pria yang lebih baik dariku."

"Tapi aku tidak mau pria lain." Cagalli meloncat turun dari meja yang sedari tadi ia duduki. Perlahan, dia berjalan mendekati meja Athrun. "Aku hanya ingin dirimu."

Athrun menelan ludah. Sejak kapan seorang Athrun Zala gugup saat berhadapan dengan seorang remaja? Oh ya, sejak dia kenal dengan Cagalli Yula Athha. "Kau masih muda, Cagalli. Jangan buang-buang waktumu denganku."

"Berhenti bicara seolah-olah usia kita berbeda dua puluh tahun!" Hidung Cagalli berkerut karena membayangkan sosok Athrun dua puluh tahun kemudian.

Yang ditegur tertawa.

"Empat tahun." kata Cagalli tegas.

"Maaf, apa?"

"Maukah kau menungguku selama empat tahun? Setelah aku selesai kuliah, aku akan kembali ke kota sialan ini, demi dirimu."

Athrun menggeleng. Dia tahu betapa bencinya Cagalli dengan Heliopolis. "Enam tahun. Kembali lagi ke sini setelah kau memiliki pekerjaan. Aku yakin dalam waktu enam tahun kau sudah bisa lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukan?"

Cagalli mengangguk. "Oke, enam tahun. Tunggu aku."

"Jangan harap aku akan menunggumu sendirian. Siapa tahu dalam waktu enam tahun itu aku sudah menemukan belahan jiwakku," ucap Athrun sambil menatap Cagalli.

Bibir Cagalli membentuk senyuman. "Berhenti membohongi diri sendiri, Athrun. Kita semua tahu kalau aku adalah belahan jiwamu." Cagalli mengucapkannya dengan penuh keyakinan dan cinta.

Athrun kembali tertawa, kali ini tawanya lebih keras dari sebelumnya. "Katakan itu enam tahun lagi, setelah kau keluar dari Heliopolis dan melihat dunia. Jika kau bisa mengatakan itu tepat ke wajahku dengan keseriusan dan cinta yang sama besarnya dengan sekarang," Athrun menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang ia kenakan, kedua kakinya berada di atas meja. "baru aku percaya."

"Oke. Aku terima tantanganmu." Cagalli tersenyum.

"Sampai jumpa enam tahun lagi, Cagalli."

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Aku tidak mengerti kenapa kau tidak mau memberikan jawaban kepadaku!" teriak Athrun sambil mengejar Cagalli di tempat parkir kampus mereka.

Cagalli berhenti berjalan, ia memutar tubuhnya. "Kau mau tahu kenapa? Karena aku tahu, setelah aku mengatakan kalau aku juga mengalami hal yang sama, kau akan menciptakan teori-teori gila mengenai kehidupan selanjutnya, kehidupan berikutnya, kehidupan yang lalu, dan kehidupan-kehidupan yang lain!" pekik Cagalli. "Dan selanjutnya kau akan memaksaku untuk memiliki hubungan romantis denganmu karena dalam kehidupan kita yang lain, kita selalu menjadi pasangan kekasih bahkan suami-istri! Apa itu yang kau inginkan, menjadi pasangan hanya karena dikehidupan kita yang sebelumnya kita adalah pasangan, bukan karena kau memang ingin menjadi pasanganku secara tulus?!"

Athrun berhenti mengejar Cagalli, jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah. Selain karena faktor napasnya yang sudah tidak kuat setelah seharian ini lari-lari, dia juga kaget setelah mendengar pengakuan dosennya itu. "Aku tidak..."

"Semua orang hanya ingin mendekatiku karena aku adalah anak dari Uzumi Nara Athha, atau karena aku memiliki hubungan darah dengan Rey Zaburrel Athha. Tidak ada orang yang benar-benar ingin menjadi temanku hanya karena aku, diriku sendiri! Dan sekalinya ada, dia terobsesi dengan kehidupan kami yang sebelumnya, atau kehidupan berikutnya, atau apa pun itu namanya!" Napas Cagalli terengah-engah setelah selesai bicara.

Athrun menunggu dengan sabar hingga Cagalli selesai marah-marah. Bibirnya sudah membentuk senyuman indah tanpa ia sadari. Lima menit setelah Cagalli selesai marah-marah, Athrun bicara. "Aku tidak peduli dengan kehidupan kita yang lainnya, yang aku pedulikan hanya hidup kita yang sekarang. Aku minta maaf jika pertanyaanku mengenai kehidupan kita yang lain telah memberikanmu ide seperti itu, tapi percayalah, aku tidak ada niat untuk memaksamu menjadi kekasihku atau sebagainya," pipi Athrun memerah.

"Aku hanya ingin mengenalmu, Cagalli." Athrun tertawa pelan. "Sebetulnya memang sangat aneh, karena disatu sisi, aku sudah mengenalmu, bahkan aku sudah sampai tahap dimana aku bisa memahami dirimu seperti membaca sebuah buku favoritku yang isinya sudah aku hafal di luar kepala. Tetapi disisi lain, aku tidak mengenal dirimu. Aku tidak mengenal dirimu yang sekarang tengah berdiri di hadapanku dan menatapku dengan kaget.

Aku hanya ingin menjadi temanmu, dan aku kira dengan membicarakan soal kehidupan kita yang lain adalah awal percakapan yang cukup unik. Sebab aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Pengetahuanmu jelas lebih luas dariku, kau memiliki pengalaman hidup lebih banyak dariku, bahkan buku-buku yang kau baca saja belum pernah aku dengar. Bisa kau bayangkan betapa bingungnya aku untuk menemukan topik pembicaraan denganmu? Selain diluar topik tentang hukum dan kuliah kita?"

Tanpa disadari Cagalli tertawa terbahak-bahak. "Kau pikir topik tentang kehidupan kita yang lain adalah topik diskusi yang cocok sambil minum kopi?"

Athrun mengangkat bahu. "Daripada kita harus membicarakan soal undang-undang."

Cagalli menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak memahimu, Athrun Zala."

Athrun tersenyum. "Bagus, itu artinya kita punya topik pembicaraan selain kehidupan kita yang lain."

Bibir Cagalli berkedut. "Apa kau yakin ingin berteman denganku? Usia kita berbeda sepuluh tahun."

"Memangnya ada larangan dalam urusan persahabatan?"

"Aku membenci separuh penduduk Orb."

"Aku juga tidak begitu suka dengan Orb. Selesai kuliah, aku akan kembali ke PLANT. Atau mungkin ke Junius Seven, aku tidak mau bertemu dengan ayahku lagi. Walau tentunya itu tidak mungkin karena dia dipenjara seumur hidup."

"Aku mudah emosi."

"Bagus, aku bisa belajar darimu bagaimana caranya menunjukan emosi. Dearka dan Yzak mengatakan kalau aku tidak pernah menunjukkan emosi dan itu membuat mereka resah dan ketakutan, kalau-kalau aku bisa menjadi pembunuh seperti ayahku."

"Tidak semua pembunuh itu tidak bisa menunjukkan emosi, kau tahu. Bahkan ada pembunuh yang tersenyum bahagia saat melakukan pembunuhan."

"Ya, aku sudah mengatakan itu kepada mereka. Tapi itu malah membuat mereka tambah khawatir dengan kondisi psikologisku."

Cagalli tertawa, bagaimana dia tidak tertawa? Athrun mengatakannya dengan wajah dan nada yang datar. Sekarang dia bisa mengerti bagaimana perasaan Yzak dan Dearka.

"Jadi, apakah kau menerima tawaranku untuk berteman?" Athrun tersenyum tipis. "Jika kau menolaknya juga tidak apa-apa, itu keputusanmu. Aku akan menghargainya."

Cagalli menghela napas. Kalimat Rey tiba-tiba terintas dalam benaknya, tetapi dengan cepat Cagalli menghilangkannya. "Oke. Teman."

Wajah Athrun langsung terlihat bahagia. "Teman. Oke."

Mungkin mereka lupa, atau mereka tidak tahu, atau tidak peduli. Tapi bukankah hubungan yang paling baik biasanya dimulai dari sebuah persahabatan? Dari persahabatan, semuanya bermula.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"Saya akan sangat bahagia jika Anda benar-benar inin menimba ilmu di MAMDA, Cagalli, begitu juga dengan dosen-dosen yang lain. MAMDA akan sangat beruntung untuk memiliki bakat hebat sepertimu di dalam keluarga besar kami." Gilbert Durandal tersenyum sambil menjabat tangan Cagalli seusai menonton drama.

Cagalli terlihat sangat bangga., senyumnya sangat lebar. "Saya yang akan sangat beruntung jika bisa menjadi bagian dari keluarga besar MAMDA."

Gilbert mengangguk. "Saya tunggu kedatanganmu di awal tahun ajaran baru, Cagalli Yula Athha."

Cagalli tersenyum sambil mengangguk senang. Tangan kanannya masih menggenggam dengan erat surat undangan untuk menghadiri pesta penerima beasiswa MAMDA yang akan dilaksanakan dua minggu setelah pengumuman kelulusan. Sampai detik ini Cagalli masih belum percaya kalau dia mendapatkan beasiswa dari MAMDA. Drama "Bloody Valentine" besutannya berhasil menarik perhatian Gilbert Durandal.

Gilbert Durandal, DEMI HAUMEA!

Setelah Gilbert keluar dari ruang persiapan pentas, Cagalli langsung meloncat bahagia lengkap dengan teriakannya. Beberapa temannya memberikan selamat kepada Cagalli, mereka bergantian memeluk Cagalli. Hingga akhirnya Athrun.

"Selamat, Cagalli. Aku tahu kalau bisa membuat Gilbert terkesan." Athrun tersenyum.

"Apa kau juga akan masuk MAMDA?"

"Ehhh," Athrun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Tidak. Aku akan masuk ke Morgenroete dan mengambil jurusan Sejarah." Ketika Athrun melihat wajah Cagalli kehilangan pancaran kebahagiaan, dia buru-buru menambahkan. "Hei, setidaknya kampus kita berada di satu kota, iya kan?"

"Ya, tapi nanti kita akan sangat sibuk dan tidak memiliki waktu untuk bertemu." Entah kenapa sekarang Cagalli baru menyadari noda aneh di lantai, setelah Athrun mengatakan kalau mereka tidak akan masuk ke universitas yang sama.

"Hei," Athrun mengangkat dagu Cagalli menggunakan telunjuknya. "kita memang tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku akan berusaha untuk selalu memliki waktu untukmu. Oke?"

Cagalli terkekeh. "Oke. Hei, apa kau mau ikut dengan anggota klub drama yang lain? Katanya mereka ingin merayakan pementasan di sebuah restoran tidak jauh dari teater."

Athrun mengangguk. "Oke."

Mereka berdua berjalan meninggalkan teater sambil bergandengan tangan. Suasana sekolah sore ini masih ramai karena festival tahunan sekolah baru saja resmi ditutup setelah klub drama pentas, jadi masih banyak orang yang sedang merapikan stand mereka. Nicol mengizinkan Cagalli untuk tidak membantu stand kelas mereka hari ini dikarenakan dia harus bersiap-siap untuk pentas, dan Athrun diberi izin untuk menjaga stand setengah hari saja karena dia ingin melihat pentas drama.

"Hei, ngomong-ngomong apa kau sudah mulai menuliskan ceritamu yang waktu itu?" Athrun bertanya sambil membenarkan syalnya.

"Ceritamu? Mungkin maksudmu cerita kita," Cagalli terkekeh. "Itu cerita tentang kita, Athrun. Itu cerita tentang diri kita di kehidupan yang lain, di semesta yang lain."

"Oke, cerita tentang kita di alam semesta yang lain." Athrun mengangguk. Rangkulannya di leher Cagalli semakin rapat. "Jadi, apa kau sudah mulai menulisnya?"

"Hum, sudah. Tapi aku rasa itu akan butuh waktu yang cukup lama. Terlalu banyak cerita, iya kan? Aku jadi bingung ingin memilih fokus cerita ke yang mana."

"Kenapa kau tidak membuat cerita dimana tokoh utamanya itu menyadari mengenai keberadaan dirinya di alam semesta yang lain? Seperti kita?"

"Oh, itu ide yang bagus! Jadi aku bisa mengambil sebagian dari kisah hidup kita yang lain. Tapi tentunya harus ada kehidupan utamanya, bukan? Huuum, kira-kira aku akan mengambil yang mana yah?"

"Kenapa tidak kehidupan yang ini saja? Yang sedang kita jalani sekarang?"

Cagalli berhenti berjalan. "Sungguh? Kau tidak keberatan?"

"Tentu saja tidak," Athrun tersenyum.

"Oke." Cagalli membalas senyum Athrun dengan senyum khasnya. Senyum khusus untuk Athrun seorang. "Terima kasih, Athrun."

"Ya, hanya itu yang bisa aku lakukan. Bisa kau bayangkan, betapa beruntungnya kita? Sementara di luar sana, di semesta yang lain, ada kita yang kurang beruntung karena kita tidak saling memiliki satu sama lain."

Cagalli tertawa. "Oke, itu terdengar agak aneh."

Athrun mengangguk setuju. "Tapi aku yakin, ceritamu nanti tidak akan aneh."

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Hei, apakah kau percaya dengan reinkarnasi? Kehidupan selanjutnya? Kehidupan sebelumnya? Atau apakah kau pecraya kalau di luar sana, di alam semesta yang lain, ada dirimu yang lain? Dia sama sepertimu, tetapi di saat yang bersamaan, dia berbeda denganmu.

Apa kau percaya dengan Cinta Sejati? Yang katanya mereka akan saling menemukan satu sama lain, tidak peduli apa yang terjadi?

Tidak semua Cinta Sejati itu memiliki akhir atau awal yang sama. Sebab disatu sisi, mereka sama, tetapi di saat yang bersamaan, mereka sangat berbeda satu sama lain. Itulah yang membuat Cinta Sejati unik, mereka selalu bertemu. Sayangnya mereka tidak selalu berakhir bersama, sebab terkadang kita tidak tahu kalau Cinta Sejati baru saja muncul dalam hidup kita.

Jika kau percaya, atau ingin mengetahui lebih lanjut mengenai Cinta Sejati yang katanya selalu menemukan satu sama lain, silahkan baca novel ini. Sebab novel ini akan menceritakan kisah itu. Kisah di mana Cinta Sejati akan selalu bertemu, tidak peduli bagaimana situasinya.


From the Author's Desk: Oke, saia mau curhat, sebetulny saia pengen bikin fic ini nembus 10K, tapi jujur saia engga sanggup. Ide buat bikin fic ini terlintas karena saia kebanyakan baca fic AU, kemudian terlintas dalam benak saia "Bagaimana kalau mereka pada sadar dengan AU-AU yang lain?" dan jadilah fic ini

Saia bingung kenapa saia bikin Athrun membunuh Cagalli dan tidak ada scene/part Cagalli membunuh Athrun secara langsung. Mungkin karena selama ini Athrun yang selalu menyakiti Cagalli, jadinyaaaa *dihajar Athrun* soal MAMDA, saia kemarin abis selesai marathon Glee, jadi saia ada ide buat bikin universitas kayak NYADA. I'm a nerd and I know it

Untuk part Cagalli jadi dosen, umur Cagalli itu 27 tahun dan udah selesai S3, sementara Athrun baru 17 tahun dan dy baru mulai kuliah. Kemudian di AU di mana Athrun jadi guru, usia Athrun sekitar 22, sedangkan Cagalli baru 17 tahun, baru lulus SMA. Untuk AU yang lain, antara mereka seumuran atau perbedaan usia mereka tidak terlampau jauh jadi tidak saia ungkit-ungkit

Lalu ide untuk menjadikan Alex Dino sebagai saudara kembarny Athrun itu benar-benar dadakan, hahaha. Tadiny saia mau bikin Athrun punya kepribadian ganda, tapi berhubung saia udah pernah menulis fic dengan ide seperti itu *yang terpaksa saia hapus karena fic itu adalah songfic* akhirny saia bikin Alex jadi saudara kembarny Athrun

Memang tidak semua fic ini berakhir dengan bahagia, bahkan ada yang awalny tidak bahagia. Sesuai dengan summary yang saia buat, saia ingin menggambarkan bahwa walau mereka bertemu, tetapi belum tentu mereka bersatu. Dan ada kemungkinan hal itu terjadi

BTW ini enggak pada bingung kan bacany? Setiap habis tanda "x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x" itu artiny ganti AU. Masing-masing Au tidak saling berhubungan tapi mereka semua sadar dan tahu dengan AU-AU yang lain, hanya saja dalam fic ini hanya tiga yang secara terang-terangan mengatakan kalau mereka tahu mengenai kehidupan mereka yang lain

Kritik, saran dan koreksi sangat berharga buat saia. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca fic ini *bows*